Cerita Anak Nakal Season 1 (Episode 16)


The Twist

Malam telah merayap mengerubung seperti semut hitam. Perasaanku mulai tenang karena polisi sepertinya tak menaruh curiga kepadaku. Pulang ke rumah merupakan sesuatu hal yang lebih nyaman kurasa. Ibarat pepatah bilang, "Rumahku adalah surgaku" mungkin memang benar. Di rumah aku bisa menemukan kedamaian daripada di luar sana. Rumah sepertinya sepi, terlihat ruangan masih gelap. Maka dari itu aku tak menaruh curiga bahwa ada orang di dalam sana. Namun ketika aku memasukkan anak kunci ke lubangnya sepertinya ada yang aneh. Pintu tidak terkunci. DEG, jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Aku melihat di keset tampak ada jejak kaki. Sejujurnya aku ketakutan. Tapi karena sudah terlanjur, aku harus siap. Kubuka pintu rumah dan masuk.

Setelah beberapa langkah maju BUK! Aku tak sadar.

Tak berapa lama kemudian aku terbangun. Diriku duduk di sebuah kursi dengan keadaan tanganku terikat ke belakang. Aku mulai membuka mata. Tapi keadaan masih gelap. Kucoba untuk berdiri.

"Duduk!" sebuah suara sedikit parau mengejutkanku.

"S..siapa?" tanyaku. Aku tak bisa melihat siapa-siapa di ruangan tanpa cahaya ini. Namun kakiku menyentuh kursi.

"Duduk saja!" kata suara itu. "Sebuah revolver sudah mengarah kepadamu, kuharap kau tak macam-macam."

Dengan gemetar, aku pun duduk.

"Siapa kau?" tanyaku.

"Tak kusangka kau benar-benar orang yang bejat. Apa kau tahu, kau telah menyakiti orang-orang yang aku sayangi?" katanya lagi. Suaranya seperti orang tua. Dari nadanya ia adalah seorang laki-laki. Ya, laki-laki yang sudah tua.

"Kau ini siapa? Apa maumu?" tanyaku.

"Apa yang aku inginkan?" katanya. "Aku tak inginkan banyak hal. Aku hanya ingin merebut kembali apa yang dulu pernah ada. Aku hanya ingin merebut kembali kebahagiaan yang dipunyai oleh orang-orang yang aku cintai. Kau tidak mengerti apa itu cinta, cinta yang butuh kepada pengorbanan, bukan nafsu semata. Nyatanya kau telah melakukan hal yang sama sekali tak pernah aku duga. Bagaimana mungkin kau bisa merengkuh cinta dari ibumu sendiri? Juga saudari-saudarimu? Bahkan punya anak dari mereka. Otakmu benar-benar sudah tidak waras."

Aku mulai mengingat-ingat suara ini, siapa dia? Tapi aku tak pernah punya memori tentang suara orang ini. Bagaimana ia bisa mengetahui permasalahan ini sampai sedetail itu.

"Kau mungkin terkejut sekarang dan bertanya-tanya, bagaimana aku bisa tahu," orang itu mengambil nafas sejenak. "Sebenarnya kalau hanya soal uang, aku bisa melakukannya. Membayar orang-orang yang membuat identitas palsu atas dirimu agar tak diketahui sebagai incest, aku bisa mendapatkan semuanya. Bahkan sebagai bonus, aku melihat rekaman perkosaan Laura atas dirimu dan orang-orang biadab itu. Ya, kalau kau tanya apakah aku membunuh mereka semua, benar sekali. Aku yang membunuhnya dan tak ada yang sulit bagiku."

"Kau ini siapa?" tanyaku.

Saklar pun dinyalakan sehingga lampu ruangan menyala. Terkejutlah aku di hadapanku ada tiga orang yang sedang terikat dan mulut mereka dilakban. Kak Vidia, Nur dan ....Laura??? Bagaimana bisa mereka ada di sini. Dan seorang lelaki bertubuh tegap tampak baru saja menyalakan saklar lampu. Wajahnya menunjukkan ia sudah tua. Sementara itu Kak Vidia, Nur dan Laura terikat di kursi. Dari mata mereka yang berkaca-kaca, aku tahu bahwa mereka sama sekali tak berdaya. Apa yang terjadi? Siapa lelaki ini? Aku sama sekali tak mengenalnya.

"Aku tahu kau tak mengenalku. Tentu saja kau tidak mengenalku, karena kau tak pernah bertemu denganku. Tapi aku tahu seluruh kehidupanmu. Kalian semua masih keluargaku. Dan aku akan memberitahukan siapa aku. Namaku Burhan, ayah Laura," katanya.

Kata-katanya itu mengejutkanku. Ayah Laura. Ta...tapi kalau memang ia pelakunya, lalu kenapa ia membunuh Anisa cucunya sendiri?

"Mungkin banyak pertanyaan-pertanyaan di benakmu sekarang ini," ia berkata sambil sedikit terisak. Diseka matanya yang mengeluarkan air mata. Tangan kanannya masih memegang revoler berwarna perak. Saat ini jantungku berdetak lebih kencang dan rasanya adrenalinku terpacu. "Biar aku jelaskan sedikit. Melihat orang-orang brengsek itu memperkosa putriku, aku sangat terpukul. Sebagaimana aku terpukul mengetahui kenyataan bahwa ayahmu telah menghamili Laura. Aku pun telah membunuhnya. Iya, akulah orang yang telah menghabisi ayahmu. Kubuat seperti kecelakaan. Orang itu tak pantas untuk hidup. Dan semenjak itu, akupun benci kepada cucuku sendiri. Cucu yang dulu aku sayangi ternyata adalah hasil dari perbuatan zina. Rasanya dendam yang ada di dalam hatiku ini belum lunas. Apalagi setelah mengetahui adikku meninggal tapi meninggalkan seorang anak. Dengan siapa dia berhubungan? Dengan siapa ia menikah? Aku pun curiga dan mulai menggali informasi tentang siapa suaminya. Ternyata suaminya adalah kau. Anaknya sendiri."

Burhan duduk di sofa. Revolver itu tetap berada di tangannya. Aku pun memutar otak bagaimana caranya agar bisa melumpuhkan orang ini.

"Sungguh aku terpukul. Sangat terpukul, aku dilanda amarah, kuhabisi orang-orang yang memperkosa Laura. Aku pertama kali membunuh suami Laura dan anaknya. Mereka berdua tak pantas hidup. Bagaimana mungkin ayah dan anak melakukan perbuatan itu? Dan kemudian kubunuh ketiga orang brengsek itu yang kau bayar untuk menyetubuhi Laura. Dan sekarang tinggal kau sendiri, revolver inipun tinggal satu peluru. Rasanya cukup untuk melepaskan timah panas ini ke kepalamu," kata Burhan.

"Anak-anakku, kau apakan mereka?" tanyaku.

"Tenang saja, aku akan cari cara untuk membunuh mereka. Kau tak perlu khawatir," jawabnya.

Brengsek. Bagaimana ini?

Laura tampak ingin berkata-kata. Tapi karena mulutnya tertutup lakban ia hanya bisa bergumam. Kak Vidia dan Nur menangis. Mereka mencoba berteriak tapi tak bisa. Kata-kata yang keluar dari mulut Burhan benar-benar membuat mereka takut. Apalagi dengan kenyataan bahwa ia pasti akan membunuh kami semua.

Burhan pun kemudian berdiri. Ia mengusap rambut putrinya. Ia ciumi kepala putrinya lalu menampar wajahnya. Orang ini sepertinya tidak waras. Kemudian ia menampar wajah Kak Vidia, disusul juga dengan Nur.

"Hentikan!" kataku.

Ia mengacungkan pistolnya ke arahku. Aku tak bisa berdiri dan hanya menyaksikan perbuatan Burhan.

"Hei pelacur?!" Burhan menjambak kerudung Kak Vidia. Ditodongkan revolver tepat di pelipisnya. Aku tak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa menyaksikan semua itu. "Berapa banyak kau bercinta dengan suamimu? hah? Kau mungkin sekarang sedang ketakutan. Tak perlu khawatir, kalau kau ketakutan itu wajar. Doni, aku ingin kau tahu bahwa orang tua ini pun masih gagah, masih bisa memuaskan wanita. Aku ingin kau lihat bagaimana aku akan memperkosa istri-istrimu, hahahahaha...."

"Brengsek! Sebaiknya kau tembak aku saja daripada kau melakukan hal itu!" kataku.

"Kau kira aku tak bisa melakukannya? Tidak tidak tidak. Memang revolver ini cuma satu peluru tapi aku bisa menembak ke salah satu keluargamu. Mau Vidia dulu, ataukah Nur, ataukah anak-anakmu dulu?" Burhan mengancamku. Lagi-lagi aku cuma bisa diam. Kursi yang aku duduki sangat jauh dari manapun. Aku hanya bisa duduk. Ikatan ini sangat kuat, aku tak bisa bergerak dari kursi. Namun aku terus menerus berusaha meronta agar ikatan yang mengikat tanganku bisa lepas.

Burhan membuka lakban yang menutupi mulut Kak Vidia. Kak Vidia tampak menangis. Revolver itu mengarah ke pelipisnya dan tiba-tiba Burhan mencium bibirnya. Bangsat, aku ingin segera menghajar orang tua ini, tapi takut kalau pistol itu meletus dan kak Vidia jadi korban. Kak Vidia tak bisa melawan, ia berusaha menghindar dari lumatan lelaki yang tak lain adalah pamannya sendiri ini. Setelah puas menghisap sari mulut Kak Vidia Burhan berbuat lebih jauh lagi. Ia membuka resleting celananya dan mengeluarkan batang penisnya. Batang penisnya tampak sudah tegang.

"Jangan teriak atau peluru ini menembus kepalamu, sekarang berikan pamanmu ini kepuasan seperti yang kau berikan kepada adikmu!" perintah Burhan.

"Tidaaak...!" Kak Vidia berteriak, namun lagi-lagi ia ditampar. Bangsat aku tak bisa bergerak. Kalau saja aku bisa bergerak. Aku pun berusaha menggesek-gesek tali yang mengikatku dengan cara meronta-ronta. Lelaki ini benar-benar sudah gila.

Laura tampak menggeleng-geleng dan juga meronta-ronta. Nur pun demikian. Dari air matanya aku bisa pastikan ia sedang berusaha untuk bisa lepas dari ikatannya. Kak Vidia kemudian terdiam. Ia melirik ke arahku. Aku menggeleng agar dia tidak melakukannya. Tapi ia pun mengangguk. Ia dipaksa untuk membuka mulutnya, ujung revolver itu masuk ke mulutnya. Kak Vidia ketakutan. Akhirnya ia buka mulutnya. Saat itulah sebatang daging masuk ke dalam mulutnya dan ujung revolver itu keluar dari mulut Kak Vidia. Kak Vidia tak bisa berontak. Penis berkulit hitam dan berotot itu masuk ke mulutnya.

"Ayo hisep dasar pelacur!" Burhan mengumpat lagi. Kak Vidia tak bisa melawan. Mulutnya pun menjadi sebuah alat kenikmatan untuk memuaskan nafsu Burhan yang sudah kalap. Kak Vidia menyedot penis itu hingga pipinya kempot. Kepalanya pun ditarik-tarik dengan kasar oleh Burhan. "Ahh...bedebah, baru kali ini aku nikmatin disepong cewek berjilbab. Teruss....yaaa gitu, lidahmu juga dong mainin di kepalanya. Jangan diem aja!"

Sementara Burhan sedang menikmati sepongan Kak Vidia, aku mengatur strategi cara agar aku bisa melumpuhkannya. Dengan keadaan terikat ini aku tak mungkin bisa leluasa. Satu-satunya cara yang harus aku lakukan adalah melepaskan ikatan. Namun karena saking kuatnya ikatan ini, mungkin butuh waktu. Bisa saja aku dengan kakiku berjalan sambil tanganku masih terikat di kursi. Tapi itu ide buruk. Di film-film berjalan dengan kursi terikat itu bisa saja terjadi. Apalagi sang jagoan bisa langsung menghantamkan kursinya ke arah musuh, tapi ini realita guys! Gila apa??? Salah-salah itu revolver meletuskan isinya ke kepala kak Vidia. Tapi spekulasi juga sih, antara yakin dan tidak yakin terhadap isi dari revolver itu. Apakah benar tinggal satu pelurunya? Ataukah tidak? Atau ia cuma menggertak padahal revolver itu tidak ada isinya?

Kemudian aku punya ide yang agak gila. Tapi aku tak yakin itu akan berhasil. Meskipun begitu patut dicoba. Yang harus aku lakukan pertama kali adalah melepaskan ikatan ini. Aku terus berusaha untuk bisa lepas. Dengan sekuat tenaga aku mencoba untuk bisa melonggarkan ikatannya. Tanganku sakit, pergelangan tanganku mungkin sudah lecet. Aku bisa merasakan perihnya di pegelangan tanganku.

Kak Vidia masih mengoral penis Burhan. Kepalanya naik turun memberikan efek kenikmatan surgawi bagi Burhan. Burhan sendiri masih waspada. Ia menekan sampai deep throat. Kak Vidia hampir saja muntah. Ia tersedak.

"Anjing, enak banget seponganmu. Pantes saja adikmu bisa setia banget sama kamu," kata Burhan. Kemudian lagi-lagi ia menjambak kerudung Kak Vidia lalu penisnya dimasukkan lagi ke mulut kak VIdia. Kali ini pinggulnya bergoyang dengan cepat. Kak Vidia gelagapan. Burhan sepertinya mau keluar, ekspresi wajahnya menandakan itu semua. Dan tiba-tiba ia menahan kepala Kak Vidia dan penisnya dimasukkan sedalam-dalamnya ke dalam mulut kak Vidia. Kak Vidia gelagapan. Pinggul Burhan menghentak-hentak beberapa kali. Lalu ia cabut penisnya dari mulut Kak Vidia.

"Aaaahhh....enak banget manis!" kata Burhan. "Baru kali ini aku merasakan oral seenak ini."

Kak Vidia langsung muntah. Muntahannya bercampur dengan sperma si Burhan. Dari mulutnya tampak air liurnya meleleh. Burhan lalu tak tinggal diam. Ia segera merobek baju Kak Vidia. Gamis kak Vidia pun terbuka. Bra yang menutupinya pun kemudian ditarik ke atas. Segera saja dua bukit kembar milik Kak Vidia terekspos.

"Lho, lho, lho. Putingmu koq menggoda banget. Masih kemerahan warnanya. Pasti ini keturunan adikku bisa sampai seperti ini. Dan pasti ada ASI-nya bukan? Aku coba ya?" kata Burhan. Ia langsung mengenyoti buah dada Kak Vidia. Kak Vidia tak bisa berbuat banyak ia hanya mengaduh dan mengeluh ketika hisapan-hisapan di teteknya membuat air susunya ikut keluar. Burhan menikmatinya. Ia dengan gemas meremas-remas ke buah dada keponakannya itu.

Kak Vidia tak mampu melawan saat putingnya dirangsang. Burhan ternyata mampu menaikkan libidonya. Revolver itu sudah ditaruh di lantai. Otakku masih bekerja, aku harus tetap mencoba melepaskan tali yang mengikat ini. Sementara itu Kak Vidia terus dirangsang oleh Burhan. Burhan tak hanya mengisapi teteknya, tapi kulit payudara Kak Vidia yang putih itu pun tak luput dari hisapan-hisapan. Hingga di bawah cahaya lampu sepasang buah dada itu mengkilat karena ludah dari Burhan. Lebih jauh lagi sekarang Burhan menaikkan rok Kak Vidia dan mengangkat kedua paha kakakku itu.

Ia dengan kasar menarik celana dalam Kak Vidia dan dilempar begitu saja. Burhan berhenti sejenak. Ia menoleh ke arahku. Aku menatap matanya dengan tajam.

"Sialan, pantes saja kamu suka ama kakakmu sendiri. Memeknya legit seperti ini," kata Burhan. Sejurus kemudian mulutnya sudah berada di belahan memek Kak Vidia. Kak Vidia meronta-ronta dan menjerit. Siapapun wanita kalau dirangsang seperti itu pasti tak akan tahan. Kak Vidia meneteskan air mata. Ia menggigit bibirnya menahan rasa geli yang kini mulai menyerang sekujur tubuhnya. Tangan Burhan masih saja menggerayangi toket kakakku itu.

Lidah Burhan sudah basah oleh cairan kemaluan Kak Vidia. Ditambah lagi ia menjilati klitoris kakakku sehingga kak Vidia tak bisa lagi menahan kegelian ini. Ia mendekapkan pahanya hingga mengapit kepala Burhan. Burhan kemudian tertawa terbahak-bahak ia menghisapi cairan kewanitaan Kak Vidia hingga tak bersisa.

"Hahahaha....aku ternyata bisa membuatmu orgasme ya?" kata Burhan.

Aku merasakan tali yang mengikatku sudah terasa sedikit longgar. Berarti usahaku tak sia-sia. Aku ulangi lagi menggesek-gesek tali yang mengikatku. Dan dengan terpaksa lagi-lagi aku harus menikmati perkosaan Kak Vidia di hadapanku. Burhan sudah menurunkan celananya. Kini tubuh bagian bawahnya sudah tak punya penghalang lagi. Kak Vidia terikat di kursi, kakinya dinaikkan dan ditekuk, sehingga ia tak bisa meronta selain menerima apa pun yang akan dilakukan Burhan. Penis Burhan yang besar itu mulai menyentuh bibir kemaluan Kak Vidia. Kemudian dengan dorongan pelan kepala penis berwarna kemerahan itu masuk ke liang senggama. Liang yang selama ini aku masuki sekarang dimasuki penis lain.

"Ohhh....anjiingg....enak banget...." rancau Burhan. "Pantes kamu kepengen banget ngentot kakakmu sendiri."

Burhan pun kemudian menggoyang pinggulnya maju mundur. Ia merem melek merasakan kenikmatan yang dia rasakan. Burhan mendapatkan kenikmatan surgawi. Gesekan-gesekan kemaluannya dengan kemaluan Kak Vidia membuatnya melayang. Ia menatap wajah kak Vidia yang menyiratkan kenikmatan juga. Bibir kak Vidia terkatup dan giginya menggigit bibir bawah. Wajah kak Vidia yang cantik makin membuat Burhan bersemangat untuk menggenjot kakakku itu. Aku terus berusaha melepaskan diri, sedikit lagi tali itu bisa lepas. Revolver Burhan sudah ada di lantai, aku punya kesempatan.

Burhan terus menggoyangkan pantatnya maju mundur, Laura terus meraung-raung tertahan agar bisa lepas. Nur pun sudah tak sanggup lagi melihat apa yang terjadi dengan kakaknya. Ia mungkin merasa sebentar lagi adalah gilirannya. Ia pun pasrah, terlebih lagi melihatku yang tak bisa berbuat apa-apa. Namun karena rasa khawatirnya Nur itulah aku makin bersemangat untuk bisa melepaskan diri. Sedikit lagi, aku bisa lepas. Dan yang pertama kali aku lakukan adalah membanting kursi ini ke kepala Burhan.

Burhan terus bergoyang, "Aaahh...enak...ohh....hhmmmmhh...paman mau ngecret nih, enak banget empot-empotmu Vidia. Ohhh...yaahh..yaaahh...paman..pamaaaaan mau keluuuuuaaarr....!" Burhan mempercepat goyangannya. Pertanda orgasmenya sudah diujung penisnya.

Saat itulah aku bisa terlepas. Aku yang tersadar sudah terlepas dari ikatan ini segera melepaskan tali yang membelit lenganku dan kursi. Setelah itu kuangkat kursi yang kududuki. Kuhantamkan ke kepala Burhan. BRAK!! Kursi itu terbuat dari kayu jati. Pastinya rasanya sakit dan kayu jati ini sangat keras. Bukan seperti yang ada di film-film kursinya mudah hancur. Yang ini tak bisa hancur begitu saja. Burhan tentu saja kaget. Tapi ia tak sempat bergerak karena, pukulan kursi itu tidak sekali, tapi berkali-kali. Hingga ia tersungkur di lantai. Saat itu penisnya tercabut dan ketika jatuh spermanya muncrat dan penisnya berkedut-kedut. Ia ejakulasi sambil pingsan. Dan yang terakhir aku menendak revolvernya agar jauh dari jangkauannya. Spesial kutendang buah zakarnya. Ia pun menjerit lalu pingsan.
MENCARI ISTRI

Petualanganku dengan banyak wanita yang lalu membuatku harus memberikan sebuah keputusan yang mana akan mengubah hidupku sepenuhnya. Yaitu aku harus punya istri. Mbak Juni kah? Atau siapa? Sampai sekarang pun aku tidak pernah bertemu lagi dengan Mbak Juni. Dia sempat mengisi hatiku tapi ia menghilang. Bunda, Kak Vidia dan Nur tahu rasa kehilanganku, dan mereka juga tahu bahwa aku belum sembuh dari rasa kehilangan.

Anakku sudah mulai besar-besar sekarang. Kalau misalnya anak Mbak Juni lahir, barangkali sekarang sudah seusia dengan Kak Vidia. Sudah beberapa tahun semenjak terakhir aku bertemu dengannya. Dan aku pun masih belum bisa melupakannya. Tak ada yang mengetahuinya, kerabatnya pun menghilang. Seolah-olah mereka menghilang ditelan bumi.

Aku tak perlu bercerita panjang tentang Burhan. Ia akhirnya diserahkan ke polisi atas tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan. Ia dijatuhi vonis hukuman mati. Setelah ketahuan Anisa adalah anak hasil dari hubungan Laura dengan ayahku, hal itu membuatnya shock. Ternyata tendanganku berakibat buruk kepada dirinya. Ia tak akan punya lagi keturunan. Dan Laura?? Ia memohon maaf kepada Kak Vidia dan Nur.

Laura berjanji ia tak akan berbuat jelek kepada kami. Bahkan sekarang yang membuatku senang adalah ketabahan hati Kak Vidia yang mau memaafkan Laura. Ia bahkan menawarkan untuk tinggal bersama kami karena Laura sudah tak punya tempat tinggal lagi dan kami adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang. Laura sekarang bersedia menjadi bagian dari hidupku. Bahkan Kak Vidia dan Nur pun menyetujuinya dan mau berbagi. Aku ya akhirnya mau memaafkan Laura, walaupun sulit. Tapi lambat laun melihat kesungguhannya aku pun luluh. Ia tak seburuk yang aku kira. Walaupun dulu dia sangat jelek wataknya.

Ia ingin menebus dosa-dosanya di masa lalu. Kehilangan Anisa merupakan hal yang terberat bagi dirinya sendiri. Terlebih yang membunuh suami dan anaknya adalah ayahnya sendiri. Tentu saja hal itu adalah pengalaman yang tak akan pernah aku lupakan. Tak akan pernah. Setelah menguburkan anaknya sendir itu, Laura lebih sering merenung. Aku belum resmi sih menjadi suaminya. Tapi semenjak ia ada di rumahku, dan seluruh keluargaku setuju, ia sudah kuanggap sebagai bagian dari diriku yang harus aku lindungi. Aku cukup bersyukur itu sperma Burhan tak sampai muncrat di rahim Kak Vidia. Dan karena ketabahan Kak Vidia itu, membuatku makin mencintainya.

Hari itu aku melihat Laura lagi-lagi termenung. Ia berada di kamarnya yang sepi di lantai dua. Hari Minggu ini di rumah bunda, tidak ada siapapun selain Laura. Sebab Kak Vidia dan Nur ada di rumah mereka masing-masing. Aku menyuruh Laura untuk menjaga rumah ini. Sudah hampir setahun setelah kejadian itu. Tapi sepertinya Laura masih memendam rasa bersalah. Hari ini adalah gilirannya. Laura kaget ketika melihatku sudah ada di dalam rumah. Ia menyambutku menyunggingkan senyuman. Walaupun kejadiannya sudah setahun lalu tapi ia sepertinya belum melupakan kejadian itu. Sebenarnya aku sampai sekarang tidak pernah menyentuhnya. Sedangkan ia selalu memintanya. Tapi aku selalu berikan alasan bahwa aku belum siap. Sekalipun sikapku kepadanya seperti itu, ia benar-benar bisa menunjukkan ketulusannya. AKu selalu dilayaninya, membersihkan rumah, memasakkan makanan, menyiapkan baju, semuanya. Kami resmi menjadi suami istri 6 bulan lalu. Sedangkan Laura sudah tinggal di rumah ini selama setahun.

Aku masuk kamar. Seperti biasa tanganku ku bentangkan. Dia melepaskan kancing bajuku satu per satu. Kemudian melepaskan kemejaku. Ikat pinggangku dilepas kemudian, celanaku pun dilepas. Ia telah mempersiapkan pakaian untukku. Kemudian ia memakaikan celana selutut dan kaos oblong. Setelah itu kami biasanya bercakap-cakap sebentar, tapi Laura diam. Aku kemudian duduk di tepi ranjang. Laura membawa seluruh pakaianku untuk dicuci di mesin cuci yang berada di belakang. Tak berapa lama kemudian ia kembali. Sepertinya ada yang berubah pada dirinya tapi aku tak tahu yang mana.

"Sudah makan mas?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Mau makan? aku sudah masakin cumi rica-rica kesukaanmu," kata Laura.

"Dari mana kau tahu?" tanyaku.

"Nur tadi yang bilang kalau kau pasti tak akan menolak kalau dimasakin masakan itu," jawab Laura. "Makan yuk?"

Iya, ada yang berubah dari Laura. Matanya lebih tulus. Dan aku baru tahu kalau sekarang ini ia sudah berdandan. Ia memakai tanktop yang ada kancingnya, ketiaknya yang berwarna putih kelihatan ketika ia menjulurkan tangannya kepadaku. Bawahannya pakai hotpants.

Akhirnya aku pun makan. Suasana hari itu sungguh berbeda. Aku makan dengan sangat lahap. Dan setelah kenyang, aku istirahat di ruangan tengah. Menyalakan tv dan menonton tv kabel. Laura bersandar kepadaku. Rasanya hari ini aku merasa nyaman di rumah ini. Laura sudah mulai berubah. Walaupun mungkin berat baginya harus kehilangan seluruh anggota keluarganya. Kami tak berbicara satu sama lain. Diam dalam keheningan. Walaupun tv bersuara tapi kami sebenarnya menontonnya dengan tatapan kosong. Hingga kemudian ia pun berbicara.

"Kau masih marah kepadaku selama ini?" tanya Laura.

Aku tersentak. Pertanyaannya ini langsung to the point. Aku menggeleng.

"Benarkah?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk.

"Lalu kenapa kau masih dingin kepadaku? Sedangkan Vidia dan Nur sudah memaafkanku dan menjadikan aku saudara mereka," Laura kemudian menaikkan kakinya, ia naik ke atas pahaku dan menghadapku. Aku secara refleks meletakkan tanganku di pinggangnya. "Aku sudah menjadi istrimu, dan kau sama sekali tak pernah menyentuhku selama ini. Don, aku juga butuh belaian, pliss....lakukanlah kepadaku malam ini ya...?"

Aku sebenarnya merasa kasihan kepadanya. Mungkin karena ia sudah terlau banyak kehilangan, hingga sekarang hanya akulah satu-satunya orang yang bisa mengisi hatinya. Aku menatap matanya lekat-lekat. Matanya tampak sayu. Sudah tidak tampak seperti mata yang menatapku dengan tajam seperti dulu. Wajahnya tidak dipenuhi dengan make-up. Ia selalu ingin tampil cantik di hadapanku dan aku sampai sekarang tak pernah tahu. Aku tak tahu kalau tubuhnya begitu wangi. Tangannya kini menarik T-shirtku ke atas hingga terlepas. Wajahnya mendekat ke wajahku. Ia mencium bibirku. Nafasnya kini mengendusku.

"Don...tolonglah, jangan kau siksa aku! Pliiisss...kumohon!" katanya. Ia menciumi leherku, pundakku, kedua putingku pun dikecupnya hangat.

Mau tak mau aku pun mengikuti iramanya. Tanganku mulai menggapai tank topnya. Kancing tanktopnya kulepas satu per satu. Dari luar aku sudah bisa merasakan puting susunya mengeras. Pertanda ia tak memakai bra. Begitu kancingnya terbuka semua, menyembulah sepasang buah dada puting dengan puting kemerahan. Laura menaikkan badannya dan menempatkan puting susunya sebelah kanan tepat di mulutku. Aku pun melahapnya. Aku kenyot. Aku hisap.

"Ohh....Donii....suamiku... engkaulah suamiku sekarang. Aku cinta kamu, aku cinta kamu, aku cinta kamu!" erangnya.

Laura memberikan dadanya yang sebelah kiri untuk aku perlakukan sama seperti yang sebelah kanan. Tanganku menelusup ke belakang tanktopnya, perlahan aku tarik agar tubuh bagian atasnya benar-benar polos. Punggungnya sekarang tak ada penghalang lagi. Aku membelainya, kedua telapak tanganku mengusap punggung yang mulus nyaris tanpa cacat itu. Kemudian kedua tanganku masuk ke hotpantsnya. Pantatnya pun aku remas-remas.

"Donnn....ohh..iya, menyusulah, ayooo...!" keluh Laura.

Kami kemudian berciuman lagi. Kali ini lebih hot. Lidah kami saling menghisap. Dada kami pun saling menempel, kehangatan mulai menjalar di seluruh persendian kami. Kemudian aku bangkit sambil menggendongnya, sementara kami masih berciuman. Laura melingkarkan kedua tangannya di leherku. Kedua kakinya rapat mengapit pinggangku. Kugendong dia hingga masuk ke dalam kamar. Kuturunkan dia. Laura berbaring dengan keadaan pasrah. Kutarik hotpantsnya hingga ia telanjang. Aku pun menurunkan kolorku. Kini tak ada sehelaipun benang yang menutupi tubuh kami. Laura bangkit kemudian secepat kilat menyergap penisku dengan mulutnya. Ouuhhh...aku masih berdiri di tepi ranjang, tapi dia sudah sigap menangkap penisku.

Kepalanya maju mundur dengan teratur. Sepertinya ia benar-benar dahaga. Dielus-elusnya buah pelerku dengan kedua tangannya, secara bertahap ia lakukan itu hingga kemudian ia gemas dan meremas-remas buah zakarku. Matanya menatapku. Ia pastikan aku mendapatkan kenikmatan atas perilakunya itu. Kepala penisku diusap-usap oleh lidahnya. Lidahnya bagaikan lidah ular yang menjulur, menjilat dan memutar-mutar di kepala kemaluanku. Ia lalu menghisapnya, mengulumnya dan mengocoknya dengan mulutnya yang indah. Tanganku pun mulai aktif meremasi buah dadanya. Kupelintir-pelintir putingnya, sambil sesekali kupencet. Mata Laura terpejam tapi mulutnya dan tangannya tetap aktif memberikan rangsangan kepada batang kemaluanku.

Kudorong dia sekarang. Ia merebahkan diri. Tangannya diangkat ke atas sehingga ia menampakkan ketiaknya yang putih mulus. Badanku sudah berada di atasnya, penisku mulai menyentuh bibir vaginanya. Aku sama sekali tak menuntun batang kemaluanku. Ia sudah menemukan caranya sendiri. Wajahku dan wajahnya berhadapan. Pantatku kuangkat sedikit, memposisikan kepala penisku persis di belahan vaginanya yang sudah becek.

"Ayo suamiku, tembus aku, masukkan!" katanya.

Pantatku kudorong. Pionku mulai masuk. Gesekan antara dua kulit kemaluan pun kini terjadi lagi. Seketika itulah seperti sebuah tegangan listrik menghajar seluruh pinggul hingga punggungku. Kenikmatan itu naik ke otak hingga ke ubun-ubun. Wajahku mendongak. Kemaluan Laura sangat rapat. Mungkin karena sudah hampir setahun tak pernah dipakai sehingga benar-benar seret.

"OOhhh....suamiku...!" Laura menatapku. Wajahnya menyiratkan kenikmatan yang ia tak bisa lukiskan. Kakinya mulai menghimpit pinggangku. Gesekan batang kemaluanku pun makin lama memberikan efek yang luar biasa pada diriku. Aku makin bersemangat untuk ngentot dengan dia. Lubang ini dulu pernah dimasuki oleh ayahku, sekarang akulah yang memasukinya. Laura memegang wajahku. Ia ingin melihat ekspresiku ketika bercinta.

Aku tak ingin melewatkan kesempatan ini, karena aku sudah birahi. Libidoku sekarang mulai terpacu, detak jantungku berpacu seperti kereta api. Ku ciumi leher Laura yang jenjang. Ia menengadahkan wajahnya. Laura tahu bahwa leher adalah sasaran yang paling ingin diincar oleh laki-laki selain buah dada. Lelaki lebih suka untuk menghisap leher wanita dan memberikan bekas cupangan di sana. Disamping itu, cupangan yang ada di leher itu merupakan sebuah hadiah cinta dari sang lelaki. Terlebih ketika bibir si lelaki menghisap kulit leher, maka bulu kuduk si wanita pasti akan berdiri. Itulah tanda-tanda si wanita sudah tunduk dan ingin dipuaskan. Lidahku bergerak ke belakang telinganya. Ku gigit kecil daun telinga Laura.

"Don...ohh... berikan semuanya Don, berikan semua cintamu untukku...cintailah aku!" kata Laura.

Kepalaku bergeser ke pundaknya. Kuciumi pundaknya. Aku tertarik dengan ketiaknya yang tak berbulu itu. Bahkan aku tak melihat sedikit pun bulu di sana. Entah itu bekas dicukur ataupun tidak. Ia benar-benar murni tak mempunyai ketiak berbulu. Baunya pun sangat wangi. Aku menciumi daerah lipatan ketiaknya. Laura menggelinjang. Efeknya vaginanya mengapit penisku dengan kuat. Aku makin keenakan. Kulakukan menjilati pangkal ketiaknya dan menghisap area ketiak dengan buah dadanya. Hal itu membuat ia makin erat memelukku. Pinggulnya didorong hingga kemaluanku makin dalam saja ke rahimnya.

"Terus Doni...suamiku, terus...aku suka digituin!" katanya.

Kuulangi lagi perbuatanku. Laura makin menggelinjang, ia menggoyangkan sendiri pantatnya. Kurasakan bulu kuduknya berdiri. Sementara itu kocokan terus aku lakukan. Laura menggeleng-geleng, matanya terpejam, ia menggigit bibir bawahnya. Ia meringis beberapa kali saat penisku menghujam lebih dalam.

"Don....aku..aku nyampee...aku nyampeee!" kata Laura.

Aku makin cepat goyangkan pinggulku. Dan Laura pun mendekapku dengan erat. Erat sekali Wajahnya terangkat dan pinggulnya menekan penisku sampai benar-benar mentok. Cairan kewanitaannya mengalir deras membasahi batang kemaluanku. Ia bertahan untuk beberapa detik, setelah itu ia lemas. Pelukannya longgar lagi. Kemaluanku aku cabut sebentar. Kuamati tubuhnya yang seksi. Selama ini aku tak pernah tahu bahwa Laura punya tubuh sebagus ini. Ia mirip palonk, tapi ia benar-benar Jawa tulen. Kulitnya terutama. Wajahnya sih tidak. Ia beberapa kali mengganti model rambut, mulai dari lurus, bergelombang dan sekarang lurus lagi. Aku tak tahu bahwa wanita ini sekarang tunduk kepadaku, menyerahkan hidupnya untukku. Wanita yang dulu pernah ditundukkan oleh ayahku. Aku tarik tangannya. Ia mengikutiku.

Sekarang Ia duduk dipangkuanku. Penisku kuarahkan ke sarangnya dibantu dengan tangannya. Tak ada halangan yang berarti. Penisku lenyap begitu saja ke dalam liang senggamanya. Kami berciuman lagi. Pinggangnya kini naik turun memompa penisku keluar masuk. Laura benar-benar ingin memberikanku kepuasan. Ia belai-belai dadaku, diusapnya rambutku, apapun ia lakukan untukku sekarang. Penisku rasanya penuh sekali di dalam sana. Walaupun dengan pelicin dari cairan kewanitaannya, tapi rasanya masih seret. Selama beberapa menit ia bergoyang naik turun, kemudian sekarang berubah memutar. Antara naik, turun, depan, belakang, kiri, kanan. Ritmenya ini membuat kemaluanku sangat terasa enak. Mungkin sekarang sudah on maksimal. Aku bisa merasakan betapa ngilunya penisku.

Tiba-tiba Laura berhenti. Ia memberi isyarat kepadaku untuk berhenti sejenak. Aku turuti saja. Ia kemudian melepaskan penisku. Ia kemudian berbalik dan memposisikan liang senggamanya ke penisku yang tegak berdiri. Lalu BLESSS...masuk lagi. Kini pantatnyalah yang menghantam selakanganku. Aku suka posisi ini. Aku berlutut ia juga berlutut tapi ia naikkan sedikit pantatnya dan membuat penisku masuk ke vaginanya dari belakang. Aku menumpu tubuhnya dengan meremas dadanya. Ia menoleh ke belakang, matanya tampak memancarkan wanita yang sedang dilanda birahi dan ingin dipuaskan berkali-kali. Lalu ia pun ambruk menungging. Aku serang dia dengan posisi doggy style. Buah dadanya menggantung bergerak depan belakang. Saking gemasnya aku pun meremas-remas keduanya. Pantatnya pun sangat menggairahkan. Tapi rasanya kemaluanku tak ingin cepat-cepat keluar walaupun benar-benar rasanya nikmat. Kubelai punggung Laura. Ia mengaduh, melenguh, pantatnya pun mengimbangi goyanganku maju mundur. Aku terus memompanya, detik demi detik serasa lama. Suara adu pantat dan perut menjadikan satu-satunya musik yang membuat kami makin birahi. Hingga kemudian aku menghentikan goyanganku dan menyuruhnya untuk tidur miring.

Kini posisinya miring ke kanan. Kakinya diposisikan untuk menerima penisku sehingga agak diangkat sedikit. Aku masih berlutut, untuk menuju ke sarangnya sang burung tak terlalu sulit. Sekali tancap ia tinggal mengikuti aliran lendir yang keluar dari kemaluannya yang bersih tanpa bulu. Lalu SLEBB...masuk lagi. Laura mengeluh, "Ooohh...aaahh..Doon...nikmat banget"

"Laura, aku ingin punya anak darimu," kataku.

Tangan kirinya menggapai tanganku. "Iya, lakukanlah suamiku, lakukanlah. Semburkan sperma hangatmu ke dalam rahimku. Itulah yang aku inginkan!"

Aku mulai menggerakkan pinggangku. Pelan...pelan..agak cepat....agak cepat...lalu cepat. Aku kumpulkan seluruh energi ke buah zakarku. Entah mengapa saat ini aku sangat ingin mengeluarkan sperma ke rahimnya. Setiap gesekan kelaminku ke kelaminnya Laura meringis keenakan. Ia tahu bahwa aku akan keluar. Testisku mulai mengeras, memproduksi milyaran sel sperma yang bisa jadi bakal menjadi anakku kelak. Aku sudah tak ingat apapun tentang masa lalu Laura. Mungkin memang ia wanita yang menyakiti bundaku, tapi sekarang ia sudah taubat. Sekarang semuanya sudah memaafkan dia walaupun berat. Termasuk aku. Anisa, semoga engkau memaafkan aku, bunda, semoga engkau memaafkan aku. Aku ingi menebus semua kesalahanku. Penisku makin keras. Laura bisa merasakannya.

"Mau keluar sayang??? Keluarin....aku bisa merasakan kerasnya punyamu!" katanya.

Aku hentakkan dengan cepat, seperti dikejar waktu. Penisku makin keras, buah zakarku sepertinya ingin memberitahu bahwa produksi sperma sudah siap. Dan benar, ketika cairan putih kental itu tak bisa lagi ditampung di zakarku, segera saja cairan itu melewati pipa di batang kemaluanku. Terkumpul di kepala penisku, kemudian menembak seperti selang pemadam kebakaran yang tertahan berkali-kali. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh....Sepuluh tembakan, kuhitung semuanya. Sisanya kedutan-kedutan kecil yang mengakhiri goyangan kami. Laura pun sepertinya orgasme lagi. Matanya memutih, bibirnya mengatup, pantatnya bergetar hebat. Rasanya baru kali ini aku merasakan orgasme sedahsyat ini. Tidak, aku pernah merasakan hal ini. Iya, aku pernah. Bersama bunda.

Aku terdiam beberapa saat. Melihat tubuh polos Laura yang sedang dilanda orgasme. Perlahan aku cabut penisku. Ia meringis tertahan. Penisku mengkilat terkena cairan dari kemaluan kami. Aku lalu ambruk di sampingnya sambil memeluknya. Laura tersenyum manis kepadaku. Ia mengangkat selimut dan kami pun tidur dengan rasa kepuasan yang selama ini tertahan.

"Aku sudah memaafkanmu Laura, aku sudah memaafkanmu!" kataku. Lalu kami pun terlelap hingga pagi.

*****

Kesibukanku di toko tak berubah. Sama seperti hari-hari biasa. Namun sekalipun sekarang aku sudah punya tiga istri, rasanya aku masih tak bisa melupakan satu orang. Yaitu mbak Juni. Aku masih menyimpan fotonya. Apalagi meja yang selama ini ia pakai tak boleh aku berikan kepada siapapun. Barang-barangnya semuanya masih disitu. Aku menyuruh petugas OB untuk membersihkan mejanya setiap hari walaupun tidak ada orangnya. Aku masih menganggap ia sebagai karyawanku. Bahkan aku pun tiap bulan masih menggajinya dan selalu kutransfer ke rekeningnya, dengan harapan ia akan datang kepadaku lagi. Tapi setelah bertahun-tahun ia tak pernah mengabari aku, ia seperti hilang begitu saja. Hingga aku diberi tahu bahwa seluruh uang yang aku transfer selama ini dikembalikan lagi. Dan ia menutup rekeningnya.

Aku sudah menyebar fotonya kepada seluruh kenalanku. Kepada seluruh rekan facebookku. Tapi tak ada kabar baik. Anak-anakku sudah mulai besar. Kini Kak Vidia sedang hamil lagi anak kedua kami. Nur juga hamil anak kedua. Dan dari Laura, lahirlah anak perempuan. Aku beri nama Juni. Karena aku memang sangat merindukannya. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari perjalanan hidupku. Dengan kepercayaan dan cintalah kami semua rukun. Aku sangat senang dengan apa yang aku capai sekarang. Dulu kami kekuarangan, sekarang kami serba berada. Dulu kami cuma punya satu toko, sekarang toko kami ada di mana-mana. Bahkan mungkin kalau aku menginginkan semua wanita-wanita yang dulu pernah aku tiduri aku ambil juga bisa. Tapi aku tak ingin melakukan itu.

Ketika aku berjumpa lagi dengan Bu Dian tetanggaku yang dulu itu. Kami tak pernah lagi membahas soal ranjang. Kami sekarang sudah punya kehidupan masing-masing yang tak mungkin terusik lagi. Walaupun memang sebenarnya aku masih penasaran kalau anak yang lahir itu adalah anakku. Aku masih tetap berbuat baik kepadanya dan kadang masih menengoknya. Begitu juga dengan Bu Is. Atau Bu Erna. Ataupun Erna yang kami masih sering main mata sebenarnya. Tapi tak pernah ada seseriusan lagi. Naura, sekarang sedang dipinang oleh seorang pemuda yang mau menerima dia apa adanya. Ia sedang bahagia. Aku tak mau mengusik dirinya. Walaupun setiap kali kami bertemu, pasti ada sesuatu yang aneh. Mungkin hanya ia yang mengerti keadaanku yang sulit. Atau mungkin tidak.

Aku punya niatan gila kali ini. Touring lintas Sumatra. Memang terdengar gila. Tapi itulah aku. Aku jadwalkan selama kurang lebih satu bulan aku akan melintasi jalanan pulau Sumatra dari Jambi hingga ke Aceh. Dan terakhir aku akan selfie di pulau Sabang. Itu cita-cita konyol. Tapi aku lakukan juga. Aku tak mengajak siapapun. Niatanku memang ingin melakukan petualanganku seorang diri. Sambil ingin mengetahui kekayaan alam Indonesia. Dan siapa tahu juga aku nanti bakal ketemu jodohku. Yah, mungkin aku terlalu berharap kepada mbak Juni. Sampai sekarang aku tak dipertemukan.

Aku pun mulai mengabadikan perjalananku ke dalam tulisan, blog, dan upload foto-fotoku di facebook dan jejaring sosial. Ternyata banyak yang suka. Bahkan karena tulisanku yang menceritakan selama perjalanan ini, blogku banyak dikunjungi oleh orang-orang. Bahkan ketika aku melewati Danau Toba dengan pemandangannya di sekelilingnya yang indah, blogku mendapatkan hits tertinggi yaitu 200.000 dalam waktu sehari. Aku sempat ditelpon oleh penyedia hosting dan domain, apakah webku terkena serangan, ternyata tidak.

Dan selama perjalanan ini aku pun terus bertanya tentang mbak Juni, siapa tahu ada orang yang kenal. Setiap kali aku ketemu orang di akhir kesempatan aku selalu memberikan foto mbak Juni. Tetapi tak ada yang tahu tak ada yang kenal. Walaupun memang ada yang katanya mirip. Tapi aku yakin bukan dia. Hingga di akhir perjalanan. Sampailah aku di tanah Rencong.

Aku tak menyangka perjalananku lintas sumatra sudah sampai puncaknya. Sebentar lagi aku akan sampai di Sabang. Setiap hari aku selalu menyisihkan waktu untuk menelpon keluargaku semuanya. Mereka juga ternyata mengikuti perjalananku di jejaring sosial. Dan aktif berkomentar. Kak Vidia sangat merindukan aku. Nur juga. Apalagi Laura. Aku mencintai mereka semua.

Aku pun kemudian menginap di sebuah hotel. Di depan hotel itu ada sebuah baliho besar dengan tulisan "Visit Aceh" ada seorang wanita memakai baju adat aceh seolah menyapaku. Hotelnya tak terlalu mewah, memang aku ingin sedikit melakukan pengiritan. Bukan berarti pelit. Menyetir selama hampir 4 jam cukup melelahkan. Ketika aku check in, aku tak basa-basi. Langsung kuangkat barang bawaan masuk kamar, mandi dan tidur. Capek sekali. Bangun hari sudah pagi lagi.

Hari ini aku berniat untuk jalan-jalan sambil membawa kamera LSR. Setelah sarapan yang mengenyangkan dengan 2 potong sandwich dan segelas kopi susu. Aku pun mulai jalan-jalan. Aku tak memakai baju yang begitu formal. Cukup jeans dan kaos oblong serta topi untuk melindungi diri dari teriknya matahari. Kupotret kehidupan rakyat Aceh, hampir semua perempuannya memakai jilbab. Dan sesekali kulihat polisi syari'ah hilir mudik. Pemandangan itu tak luput dari jepretanku.

Aku mampir ke sebuah pasar tradisional. Di sini aku membeli salah satu buah durian yang asli dari aceh. Duriannya sangat besar isinya. Aku baru pertama kali ini melihatnya. Katanya buah ini di petik dari salah satu desa di Aceh. Aku sempat bertanya-tanya tentang buah ini kepada penjualnya. Bahwa buah ini hanya ada di Aceh. Katanya sih kalau di tanam di Jawa ndak bakal bisa. Siapa tahu, aku sendiri belum pernah mencoba.

Ketika keliling pasar inilah aku kemudian secara tak sengaja ditabrak oleh seorang anak kecil. Ia seorang anak laki-laki. Anak kecil itu kebingungan. Usianya mungkin sekitar 4 tahunan. Sama seperti anakku.

"Adik kecil, sama siapa?" tanyaku.

Ia menoleh kiri kanan. Ia seperti mencari seseorang.

"Bunda?! Bunda?!" panggilnya.

"Mencari bunda?" tanyaku. "Udah cup cup, mana bundanya?"

Seorang wanita menghampirinya. DEG....Saat itu jantungku serasa berhenti berdetak. Wanita itu....

"Faiz, udah bunda bilang jangan lari-lari bukan? Nabrak paman ini jadinya. Ayo!" wanita itu membantu sang anak kecil itu. Kemudian ia menatapku, "Maaf ya pak, tidak sengaja."

"Mbak Juni??" gumamku.

Wanita itu tersentak. Ia seperti terperanjat. Saat itu dunia seperti berhenti. Aku ingat wajah itu. Wajah yang selalu aku lihat tiap hari. Walaupun pada gambar. Sekarang wajah itu tertutup kerudung putih. Masih cantik seperti dulu. Jantungku berdegup lebih kencang. Lebih kencang seakan-akan aku sedang menempuh lari maraton.

"Eh..ssii..siapa?" tanyanya.

"Kamu mbak Juni bukan?" tanyaku.

"Tidak, bapak salah orang. Permisi!" katanya. Ia pun segera bergegas meninggalkanku.

"Tunggu! Tunggu dulu!" kataku. Aku mengejarnya. Aku tak ingin melepaskannya. Aku bertemu dia lagi. Aku sudah bertemu dia. Orang yang selama ini ku cari. "Tunggu! Juniiiii!!"

Tapi larinya sangat cepat. Ia sudah berada di luar pasar. Tampak sebuah mobil sudah menunggunya. Mobil yang cukup mewah. BMW new Series. Ia sudah masuk mobil itu. Aku mengejar mobil itu agar berhenti tapi terlambat. Mobil itu sudah pergi. Aku yakin dia mbak Juni. Ternyata selama ini ia ada di sini. Dan aku pun sudah berhasil mengingat-ingat plat nomor mobil tadi.

0 Response to "Cerita Anak Nakal Season 1 (Episode 16)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel