Jamuan Seks Di Pedalaman Episode 2


PERSEMBAHAN YANG TERTUNDA

Dua hari yang lalu aku memulai survei ke seluruh pelosok hutan Lihito, ditemani Pak Juna. Beliau sebenarnya hanya ditugaskan mengantarkan aku ke Dusun ini, bukan untuk menemaniku melakukan survey, namun beliau bersikeras menemani aku survey meskipun aku melarangnya. Mungkin beliau khawatir karena aku belum menguasai medan di Lihito.
Survey terus kami lakukan di area pemukiman dan hutan Lihito.

Sore hari baru kami kembali ke pemukiman, singgah sebentar di salah satu rumah warga. Di rumah itu sepasang suami isteri tinggal, Pak Lapu dan Bu Panio. 

Hingga saat itu aku belum juga menemukan apa yang bisa aku ciptakan untuk membantu para warga disini. Awalnya terbersit ide hendak membuat semacam saluran air dari pipa lalu membuat penampungan air dari tong ditengah pemukiman, dirancang seperti bejana berhubungan. Pipa PVC akan masuk melalui bagian atas tong yang penutupnya dilubangi lalu diberi lem pipa agar air tak keluar lewat celah pipa di penutup tong. Bejana dari tong itu akan diisi air penuh, tak boleh ada udara yang masuk. Lalu bagian bawah tong dilubangi dan dipasang keran. Jika keran dibuka maka air akan turun keluar lewat keran yang secara otomatis saluran pipa bagian atas akan menyedot air dari sumber air, karena tekanan udara dan berat air dalam tong akan memaksa air masuk mengisi tong. Demikian kira-kira, tak perlulah secara detail aku jelaskan, karena hanya dosen pembimbinglah yang seharusnya menerima penjelasan secara detail dariku.

Ide itu tak mengena, karena pemukiman ini berada dekat danau. Jadi masalah air tak jadi masalah. Aku harus mencari ide lain.

OK, kembali pada keadaan dimana kami duduk bersila dilantai rumah Pak Lapu.
Kami disuguhi air putih yang diisi dalam wadah yang terbuat dari potongan pohon sejenis bambu (warga suku itu menyebutnya “Tomula”), dan sepiring soko.

Pak Lapu bertubuh kekar dengan kumis dan cambang yang lebat. Bu Panio, isteri Pak Lapu, bertubuh kecil mungil dan padat. Kulitnya kecoklatan dengan rambut yang keriting, namun mempunyai tubuh yang seksi (dalam ukuranku sih) dan payudara yang montok.

Bu Panio saat itu hanya memakai pakaian seperti celemek, payudaranya nongol sebagian. Aku sempat terkesma dengan caranya duduk. Dia jongkok didepanku..., dan kulihat bagian terlarangnya tak diututupi apapun selain rok yang tersingkap. Tak tersingkap sekalipun jika duduknya seperti itu pasti rok itu tak akan sanggup menutupi selangkangannya.

Aku mencoba memusatkan perhatian pada piring, mengambil gumpalan soko dan memakannya. Kulirik sekali lagi Bu Panio, dia menatapku, biasa saja tanpa rasa jengah atau risih karena barang terlarangnya kelihatan. Pak Lapu pun seperti tak memperdulikan cara duduk isterinya. Hadeh..., makin pusing aja kepalaku (kepala bawahku juga...hehehe)
“Pak Anton sudah mendapatkan Bundato dari kepala suku ?” tanya Pak Lapu sejurus kemudian.

Aku menatap Pak Lapu heran, tak faham dengan maksud “Bundato”.

“Nak Anto.., Bundato maksudnya merintis atau memulai “ Pak Juna menjelaskan padaku ketika melihat kebingungan diwajahku. “ada satu tradisi disini yang Nak Anton tak tahu...”

“Segala sesuatu yang akan diberikan kepada Nak Anton sebagai tindakan memuliakan tamu harus kepala suku yang memulainya, dan itulah yang dinamakan Bundato, jika tidak maka semua warga tak boleh melakukannya” lanjut Pak Juna.

“Saya sedikit faham, Pak Juna. Tapi tolong jelaskan pada saya tentang hal ini, Bundato apa yang dimaksud Pak Lapu tadi ?” tanyaku meminta penjelasan lebih jauh.

“Jika Pak Anton sudah mendapat Bundato dari kepala suku, maka mohon terima Isteri saya. Ini kemuliaan besar bagi kami “ Pak Lapu menyela penuh harap.

“Apa maksudnya ini, Pak Juna ?” aku mulai bingung. Bundato..., isteri..., apalagi ini ?

Kegugupanku makin menjadi, kebingungan makin besar, ketika Bu Panio mulai melucuti pakaian minimnya. Dari celemeknya, lalu rok pendek berjumbai, hingga bugil. Waw...! darahku segera berlomba naik ke kepala, mengusik otak dan memaksanya memerintahkan Si Otong untuk bereaksi. Payudara Bu Panio cukup besar dan montok. Perutnya agak gendut, pahanya kencang tanpa lemak, dan diantara kedua pahanya itu... mamaaaaaaaaa,,,, indah benar Vagina itu.

Srrrrrrrrr...... glekkkkk.....! aku menelan ludah yang mulai banyak memancar dari lubang kecil di mulutku.

Dalam (konak) tegang dan bingung, aku menatap Pak Juna dan Pak Lapu bergantian. Mencoba mencari penjelasan dari keduanya. Mereka hanya tersenyum.

“Silahkan Pak Anton. Terimalah isteri saya sebagai tanda hormat dan tanda telah memuliakan Pak Anton “ ucap Pak Lapu. “jika tidak, maka seluruh warga suku ini akan dihukum oleh Penguasa Darat dan Langit”

Satu lagi yang bikin aku tambah bingun, lebih kepada kaget. Aku tak pernah tahu sama sekali tentang tradisi ini. Tak tahu sama sekali, dan tak pernah menemukan info ini di internet atau di buku-buku terbitan manapun.

Pak Juna menganggukkan kepala ke arahku., mengatasi kebingunganku.

“Tapi Pak, kepala suku belum memberikan Bundato kepadaku...” kataku menampik penuh khawatir.

Preeeeet! Kenapa pula aku mengatakan itu ? bukankah lebih baik aku diam saja dan menerima “pemberian” itu ? (Padahal kata pepatah Diam itu adalah Emas, ya kan ?)

Tapi ini adalah kepercayaan mereka yang tak boleh mereka langgar ! aku mencoba menentang keinginan otak mesumku. Harus ada Bundato dari kepala suku dulu baru boleh melakukan itu. Meskipun sesuai dengan pemahaman keagamaan itu hal yang salah, tapi aku yakin dengan kepercayaan dan keyakinan mereka yang kuat, itu mungkin akan jadi bencana bagi merek jika dilanggar. Boleh jadi.

“Oh....” Pak Lapu berucap agak serak. Ada nada kecewa disana. Aneh.... “Baiklah kalau begitu. Nanti jika kepala suku sudah memberikan Bundato kepada Pak Anton, maka saya harap isteri sayalah yang pertama Pak Anton terima” harap Pak Lapu.

Aku mengangguk setuju. Siapa yang tak mau menikmati binor gratis ? (tunjuk tangan yang tak mau)

Pak Lapu lalu menepuk paha isterinya yang tengah terlentang bugil. Bu Panio pun bangun dan memandangku penuh tanya. Setelah diberi penjelasan oleh Pak Lapu, Bu Panio pun memakai kembali “celemek” dan roknya.

Skip.... Skip... Skip.... (pada ngeres.... hahaha)

Kamipun pamitan, segera menuju ke pondokanku setelah menghabiskan sepiring soko, dan berjanji akan kembali lagi ke rumah itu setelah aku menerima Bundato dari kepala suku.

....................................

Esok harinya, aku kembali melakukan survey, Pulang sore hari, dan Pak Juna pun pamitan pulang ke Desa dan berjanji akan kembali beberapa hari lagi untuk menemaniku di sini.
Esoknya lagi aku survey, hanya sendirian. Lalu pulang siang. Aku tak berani sendirian melakukan survey di hutan Lihito itu.

Ketika kembali ke pondokku, kulihat dua bersaudara putri kepala suku sudah menungguku dengan makanan yang rutin mereka antarkan padaku (meskipun kadang-kadang ada warga lain yang mengantarkan makanan untukku).

Dari mereka aku mendapat penjelasan tentang maksud Bundato. Dalam pemahamanku bahwa Bundato itu semacam Pengresmian. Sama seperti jika hendak membuka satu cabang perusahaan atau semacamnya yang baru, maka akan dilakukan gunting pita tanda bahwa Kantor itu diresmikan pengoperasiannya. Seperti itulah kira-kira maksud dari Bundato.

Dan, artinya aku akan menikmati isteri atau putri kepala suku yang cantik-cantik dan bohay itu. Begitulah kira-kira........ 

Kak Anton harus genap tiga hari disini, barulah Bapak akan memberikan Bundato itu kepada kakak” begitu penjelasan lebih lanjut dari Muna.

Bah...! Tiga hari ! bukankah ini hari ketiga ?

“Jadi aku harus datang ke rumah kalian hari ini ?” tanyaku dengan semangat (dan tegang tentunya) ini sudah hari ketiga kan ?”

Muna tersenyum menganggukkan kepalanya. “Bapak sudah menunggu, Kak Anton di persilahkan datang ke rumah.”

Semangat, senang, gugup (dan konak) bercampur aduk dalam dadaku. Ku ambil buku harianku yang sudah hampir penuh dengan catatan perjalananku kesini, lalu dengan terburu-buru ku tarik tangan Muna, hendak engajaknya pergi.

“Tunggu Kak “ Muna menahan tanganku. Semangat benar aku rupanya. “Sore hari baru kita kesana. Kakak istirahatlah dulu. Kami mohon pamit mau duluan kesana. Sampai jumpa disana ya, Kak...”

Muna menarik tangan adiknya, bergegas pulang.

0 Response to "Jamuan Seks Di Pedalaman Episode 2"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel