I Love You Episode 12

RUNAWAY​

Pimpinan direksi yang ada di PT Evolus Produtama ini ada lima pembesar. Andini salah satunya. Empat yang lainnya adalah Weny Widi Astuti, Tomi Rahardjo, Argha Federicus, dan Yuswan Andi. Keempatnya adalah orang-orang besar dan licik. Licik karena mereka semua ingin menguasai PT Evolus Produtama dan ingin menyingkirkan satu sama lain. Kecuali Andini, karena dia tahu harus memihak kepada siapa. Semuanya juga tahu satu sama lain sekalipun mereka berada dalam satu PT masing-masing berusaha membuat produk sendiri. Sepeninggal Zenedine PT Evolus dikuasai oleh orang-orang yang berambisi untuk bisa menguasainya. Hal ini tentunya sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup perusahaan.

Archer Zenedine mempercayakan perusahaan PT Evolus Produtama agar tetap berjalan seperti biasanya kepada seorang yang dipercaya. Tentu saja yang dimaksudkan adalah Andini. Karena Archer Zenedine sangat kenal dengan orang tuanya. Mereka telah menjalin persahabatan sejak lama. Bu Susiati dan suaminya selama ini berusaha melindungi Arci dari orang-orang yang tak bertanggung jawab yang hendak melenyapkan dirinya sejak Archer Zenedine meninggal.

Lalu siapakah ancaman terbesar dari keempat orang yang sekarang duduk di jajaran direksi? Selama ini Andini berusaha keras untuk bisa mengatur roda perusahaan, tapi karena sebentar lagi akan terjadi peralihan kekuasaan agaknya akan ada lobi-lobi dari direksi. Mereka kebanyakan sepakat untuk menyingkirkan Andini dari jajaran direksi kalau seluruh direksi mendukung langkah ini maka matilah langkah Andini untuk tetap bisa mengendalikan perusahaan ini. Andini kini berada di ujung tanduk. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan dia dan perusahaan ini adalah keputusan pengacara yang akan dibacakan pada tanggal 31 Mei saat rapat direksi berlangsung. Momen itu sangat pas untuk pengalihan kekuasaan.

Rahma kedinginan malam itu. Sudah tiga hari ia berada di ruangan dan disekap. Ia lemas karena belum makan dan minum. Bahkan sang penculik pun tidak memberikan apa-apa kepadanya. Hawa dinginnya sangat menusuk kulit, dari sini ia mengira bahwa saat ini ia berada di daerah pegunungan atau yang semisalnya. Sebab tak mungkin suhunya bisa sedingin ini kalau malam hari.

Rahma berjuang. Ia berusaha melepaskan ikatan yang membelenggunya. Seharian kemarin ia berhasil melepaskan ikatan tangan dan kakinya. Sekarang ia sedang berusaha untuk menyingkirkan seluruh perkakas, meja dan kursi yang ada di ruangan itu. Ia mencoba untuk menghantam kaca jendela dengan potongan kaki dari meja dan kursi.

Awalnya Rahma ketakutan. Tapi semakin ia takut ia semakin tak akan bisa berpikir jernih. Butuh waktu seharian bagi dirinya untuk yakin seyakin-yakinnya bahwa dia sendirian di tempat ini. Butuh waktu seharian pula untuknya agar bisa lepas dari ikatan yang cukup kuat ini. Kini ia ingin pergi ke toilet, sekaligus juga lapar dan haus. Komplit.

Ketika mengingat-ingat lagi siapa kira-kira orang yang tega melakukan ini semua. Pikirannya langsung tertuju ke orang-orang yang berniat jahat kepada Andini. Rahma bukan perempuan biasa. Ia sekalipun tak sekuat pria tapi tetap berjuang. Ia tak lemah.

JDAAARRRR!

Nyaring sekali suara kaca yang ia pukul. Tapi tenaganya kurang kuat. Apalagi kacanya juga tebal. Ternyata tidak seperti film-film yang menggunakan kaca dari bahan yang lunak sehingga bisa dengan mudah dihancurkan. Ini kaca beneran, bukan seperti di film-film.

Rahma pun akhirnya mengambil potongan meja yang agak keras, lalu dengan sekuat tenaga ia pukulkan ke kacanya.

JDAARRR!

Mulai muncul retakan. Ia pukulkan lagi. Lagi dan akhirnya.

PRAANGGG!

Untunglah kaca jendela ini bukan terbuat dari kaca anti peluru. Yang jelas sekarang pecahan-pecahan kaca itu berserakan di mana-mana. Rahma senang akhirnya bisa memecahkan kaca jendela itu. Dia melongok keluar. Hari sudah mulai pagi. Di ufuk timur tampak seberkas cahaya yang mulai memanjang. Sementara dari kejauhan terdengar suara surau dan masjid yang bersahut-sahutan. Hawa dingin kembali datang. Rahma menepis kuat-kuat perasaan takutnya. Ia harus lari!

Rahma melompat keluar dari ruangan tempat dia disekap. Ia kemudian berlari. Lari dan lari. Tiba-tiba ia berhenti, ia kebelet pipis. Dilihatnya sekeliling tempat itu masih banyak tanaman-tanaman, semak belukar dan pepohonan. Agaknya bangunan tempat ia menyekap seperti sebuah bangunan sekolah tua yang sudah tak terpakai. Rahma mencari tempat yang agak tersembunyi dan ia segera buang air kecil di sana. Rasanya sedikit lega walaupun diliputi rasa takut.

Ia agak terkejut ketika sebuah mobil datang dari kejauhan. Ia memekik tertahan ketika mobil itu menuju ke tempat di mana ia disekap. Ia ingin tahu siapa orang yang berada di mobil. Dari tempat ia bersembunyi sekarang kemungkinan ia tak akan terlihat.

Mobil BMW berwarna hitam itu bisa milik siapa saja. Apalagi plat nomornya, mungkin saja dipalsukan. Semua kemungkinan itu ada tapi Rahma sedikit ragu ia tak mengenali pemilik mobil BMW itu. Ia pernah melihat mobil itu terparkir di kantor tempat ia bekerja. Dan sudah pasti pemilik mobil itu ada hubungannya dengan perusahaan tempat dia bekerja.

Mobil berhenti. Sang sopir pun keluar. Beberapa orang juga keluar dari mobil. Rahma langsung mengenali siapa mereka. Setelah yakin seyakin-yakinnya siapa yang telah menculiknya, hanya ada satu hal yang harus Rahma lakukan. Lari!

"Lho, kabur orangnya!" seru salah satu orang yang memeriksa tempat tersebut.

"Brengsek! Cepat cari! Jangan sampai ia kabur! Bunuh saja kalau perlu!"

Rahma tidak melewati jalanan yang ada. Ia lebih memilih menghindari jalanan terbuka, sehingga para penculik tidak akan menemukan dia. Akibatnya ia harus berjibaku menuruni tebing yang curam dengan berpegangan pohon-pohon pinus yang sengaja tumbuh teratur. Ia beberapa kali harus menghantamkan tubuhnya di batang pohon itu, di bawah sana ia bisa melihat mobil lalu lalang. Apakah mungkin ia bisa minta tolong ke mobil yang lewat?

"Cari di sebelah sana!" seru seseorang di belakangnya.

Tiba-tiba lampu senter pun menyorot ke semua arah. Rahma langsung bersembunyi di balik pohon. Berusaha mengatur nafasnya. Ia tak boleh tertangkap, tak boleh tertangkap. Setelah lampu senter itu menyorot tempat lain dan terdengar suara langkah kaki menjauh Rahma kembali berlari.

Kejutan kecil, ia terpeleset. Ia sempat berguling-guling beberapa kali hingga ia berusaha menjaga keseimbangan lagi. Berlari menggunakan sepatu hak tinggi sungguh tak nyaman. Akhirnya ia pun membuang sepatunya. Ia kembali kepada pemahaman alam alias nyekerisme.

Rahma akhirnya sampai pula di atas aspal yang dingin. Tak mungkin kalau ia mencegat mobil sambil menunggu sedangkan nyawanya di ujung tanduk. Ia harus menghindari jalan raya karena para penculiknya membawa mobil. Siapa tahu mereka akan melewati jalan raya ini. Akhirnya, lagi-lagi Rahma berlari dan berusaha menghindar dari jalan raya.

Rahma tak bisa diremehkan. Dia selalu mendapatkan nilai bagus dalam olahraga. Ia sangat cepat larinya, dalam bidang atletik ia selalu juara satu. Untuk persoalan lari ia juga jagonya. Rahma berlari seperti orang kesetanan. Ia hanya butuh rumah penduduk untuk bisa minta tolong.

Tapi aneh sekali kenapa tak ada satupun rumah penduduk? Terlebih jalannya berkelok-kelok. Ia pun mengingat-ingat seluruh tempat yang pernah ia kunjungi apakah ia pernah melewati jalanan ini atau tidak. Akhirnya ia teringat sesuatu ketika melihat sungai.

"Ah, ini di Pujon!" serunya.

Pujon adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Malang yang terletak setelah melewati Batu. Letaknya di dataran tinggi sehingga hawanya sangat dingin dan sejuk. Rahma yang menyadari dirinya ada di sini akhirnya menjadi terang semuanya. Ia pun tahu siapa yang menculik dirinya dan berusaha berbuat jahat kepada Andini. Tapi kemana ia sekarang? Ia sendiri bingung.

Dari jauh ada lampu sorot mobil. Tapi tak begitu terang. Rahma langsung tahu bahwa itu adalah lampu mobil pickup. Segera ia melambai-lambai. Ternyata itu adalah mobil pengangkut sayuran. Sang sopir pun menghentikan mobilnya.

"Lho, ada apa mbak?" tanya sang sopir yang ternyata seorang wanita.

"Bu, tolong saya. Saya diculik. Saya kabur dan sekarang harus menghubungi seseorang. Saya bisa numpang?" tanya Rahma panik dan memelas.

Beberapa orang yang ada di dalam pickup saling berpandangan.

"Naik aja mbak, naik!" kata sopirnya.

Akhirnya Rahma pun ikut rombongan itu. Rahma sedikit lega. Dia pun akhirnya menceritakan tentang pengalaman dirinya yang tak mengenakan kepada rombongan tukang sayur itu. Rahma pun diberi makan nasi bungkus ala kadarnya. Ia sangat kelaparan. Bahkan makanan yang tak begitu mewah yang isinya hanya sambel goreng tempe dan mie goreng itu rasanya sangat nikmat.

Rahma pun kemudian meminjam ponsel salah satu dari mereka. Yang langsung dihubungi adalah Andini.

Tapi cukup lama ia menanti jawabannya, malah ponselnya direject. Ah ia baru ingat. Andini selalu mereject telepon dari orang yang tidak dikenal. Tipikal bosnya memang seperti itu. Ia lupa. Ponselnya telah dibuang oleh para penculik. Ia kehilangan semua kontaknya. Satu-satunya yang ia ingat hanya nomor telepon Andini. Ah tidak. Ada lagi. Arci! Entah kenapa ia bisa ingat nomor telepon cowok itu.

* * * * I LOVE YOU  * * * * ​

Lian duduk menikmati kopi yang ia bikin sendiri. Ia telah lega setelah kemarin menceritakan segalanya tentang ayah Arci. Bayangan wajah ayah Arci tak bisa ia tepis. Terlalu singkat memang perjumpaan dengannya, ia juga tak tahu apa yang akan terjadi kepada Arci setelah mengetahui tentang siapa jatidirinya. Agaknya ada rasa bersalah kepada dirinya sekarang. Rasa bersalah yang bisa jadi wajar karena dirinyalah anaknya bisa seperti Arci sekarang ini. Safira dan Arci terlalu dekat sehingga keadaannya seperti sekarang.

Hari sudah pagi dan ia tidak tidur semalaman. Besok adalah hari di mana Arci akan mendapatkan seluruh warisan ayahnya. Entah kemelut apa yang akan terjadi. Lian yang selama ini dikejar-kejar orang-orang yang ingin membunuhnya dan Arci dari pihak keluarga Zenedine, sekarang akan terbebas dari beban. Mereka yang mengincar harta Zenedine akan gigit jari kalau sampai Arci masih hidup pada hari ini.

Arci keluar dari kamarnya dan mendapati ibunya sedang memandangi keluar jendela.

"Arci? Sudah bangun?" tanya Lian.

"Sudah biasa Arci bangun jam segini," jawab cowok itu.

"Tak terasa, besok harinya. Kamu sudah siap?"

Arci menghela nafas. "Entahlah. Bagiku kekayaan itu tak penting. Yang paling penting adalah kalian. Asalkan kalian bahagia, aku tidak masalah."

"Safira masih tidur?"

Arci mengangguk.

"Kamu punya teman dekat? Ibu tak pernah lihat kamu punya teman dekat," tanya Lian.

Arci tersenyum. Wajar seorang ibu tanya seperti itu. Terlebih ia selama ini terlihat menjomblo. "Ada sih. Tapi, aku tak yakin."

"Siapa?"

"Bosku sendiri."

"Bosmu? Siapa namanya?"

"Andini Maharani."

"Ohh..., Andini. Sepertinya ibu kenal."

"Oh ya?"

"Ah, mungkin orangnya saja yang sama."

"Adakah yang ibu kenal dari masa lalu?"

"Bukan begitu, namanya tak asing. Ibu kenal dengan seseorang bernama Bu Susiati, punya anak namanya juga Andini Maharani. Dia yang selama ini menghubungkan ibu dengan ayahmu. Dan dia juga orang yang memegang surat wasiat ayahmu. Bu Susiati sang pengacara terkenal itu."

Arci terkejut. "Tunggu dulu, Bu Susiati? Yang punya anak namanya Iskha?"

"Iskha? Oh, anaknya yang itu sudah meninggal karena kecelakaan beberapa waktu lalu. Tunggu, koq kamu tahu?"

Arci segera kembali ke kamarnya dan mengambil ponselnya. Dicari nomor Andini. Ia langsung menelpon Andini saat itu juga.

"Arci, ada apa?" tanya ibunya.

"Sebentar, ada yang ingin aku tanyakan terlebih dahulu," jawab Arci.

Andini saat itu sedang tidur terbangun karena suara dering ponsel. Dari Arci, ia kaget. Segera ia angkat. "Ya? Halo?"

"Aku ingin bertanya, ibumu bernama Bu Susiati? Seorang pengacara?" tanya Arci.

Andini tentu saja terkejut. Dari mana Arci tahu??

"Jawablah!" kata Arci.

"I-iya... kenapa?" tanya Andini balik.

"Dan, Iskha itu meninggal karena kecelakaan?"

"Iya, kamu tahu sekarang?" terdengar suara Andini pelan.

"Kalau begitu yang di hotel itu??"

"Itu aku, bukan Iskha. Akulah yang mengaku sebagai adikku waktu itu. [tut] [tut] Aku sebenarnya ingin jujur kepadamu, tapi belum saatnya. Ternyata kamu sudah tahu lebih dulu [tut] [tut]....," kata Andini sepertinya diiringi ada nada telepon masuk.

"Jadi...waktu itu..."

"Iya,...itu aku..."

"Kamu berubah sekali," Arci sedikit tertawa.

"Hehehe[tut] [tut]..begitulah, jadi?? Kalau sudah tahu itu aku??"

"Berarti kamu tahu siapa aku selama ini?"

"Iya. Aku tahu semuanya, besok kamu akan jadi bosku. [tut] [tut]Kita bertukar posisi."

"Damn..., tak bisa begitu. Aku...aku hanya tak menyangka saja."

"Sekarang sudah [tut] [tut]jelas kan? Jadi? Lanjut?"

"Apanya?"

"Ah, kamu jadi cowok nggak [tut] [tut] sensitif!"

"Maaf, jujur aku shock. Kaget. Kalau tahu itu kamu aku sudah pasti akan menerimanya."

"Maksudnya?"

"Kamu mau jadi pacarku?"

Lian mengangkat alisnya. "Duh duh duh, subuh-subuh nembak orang. Dasar anak jaman sekarang." Ia pun menggeleng-geleng dan meninggalkan Arci sendirian.

"Pacar? Bukannya [tut] [tut] janjinya mau nikahin aku?"

"Hehehe...siapa takut."

"I Love You Handsome"

"I Love You too."

"Jangan lupa, nanti langsung ke tempat acara yah?"

"Siap boss."

Arci lalu menutup teleponnya tanpa mempedulikan nada sela di teleponnya tadi. Ia melonjak-lonjak kegirangan. Sampai tanpa sengaja ponselnya jatuh.

PRAAK!

"Waduh?!"

Safira terbangun. Ia melihat Arci memunguti ponselnya. Ia mencoba merangkai ponselnya yang layarnya retak.

"Yaah, pecah. Mana nggak bisa nyala lagi," gumam Arci. "Beli baru deh, untung kontaknya udah synchronize."

"Apaan sih? Seneng banget?" tanya Safira.

"Ada dehhh.


* * * * I LOVE YOU * * * * ​

"Aarrrgghh! Arciii, Arci bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego bego! Kenapa malah ditutup???" umpat Rahma.

Ia mencoba menelpon balik. Tapi malah terdengar suara seorang wanita cantik yang mengatakan bahwa telepon tidak aktif. Rahma mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Sekarang malah mati lagi. Duuuuuhhhhhhh pusiiinngg!?" Rahma memijat-mijat kepalanya.

"Dianter kemana mbak?" tanya sopir.

Rahma tahu kalau hari ini akan ada jadwal rapat di salah satu Vila di daerah Songgoriti. Kalau ia pulang justru makin jauh. Kalau ia pergi ke polisi takutnya Andini nanti malah kenapa-napa. Akhirnya ia pun memutuskan, "Anter ke songgoriti bu!?"

0 Response to "I Love You Episode 12"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel