I Love You Episode 16
Tuesday, May 22, 2018
Add Comment
TAPI AKU CINTA...
Kejadian di kantor PT Evolus sungguh menghebohkan. Jatmiko tewas dengan luka tembak di kepalanya. Dia seolah-olah seperti menembak kepalanya sendiri. Dari orang-orang hingga para polisi semuanya menyangka demikian, tapi tidak bagi Arci dan Andini yang tahu bagaimana keluarga Zenedine. Mereka bisa saja melakukan hal tersebut, tapi siapa?
Arci dan Andini berada di ruangannya. Mereka berdua tampak membisu. Antara cemas, takut dan khawatir. Semuanya bercampur jadi satu.
"Seharusnya tidak terjadi seperti ini bukan?" tanya Andini.
"Iya, seharusnya tidak begini. Aku takut Jatmiko dihabisi ketika sang pelaku takut ia akan membocorkan rahasia perusahaan ini. Tentang pengiriman barang ekspor itu, aku sungguh tak menduga sama sekali. Ini benar-benar gila," Arci menghirup nafas dalam-dalam.
"Aku jadi takut," kata Andini.
Arci segera beringsut mendekat ke Andini. "Tak perlu takut. Aku akan berusaha melindungimu."
"Tapi....aku khawatir kalau nanti terjadi sesuatu kepadamu," kata Andini.
"Aku tak akan apa-apa, sebaiknya siapkan saja dirimu. Bukankah kita sebentar lagi akan menikah. Aku akan datang ke rumahmu secepatnya untuk melamarmu."
Andini tersenyum. "Baiklah, secepatnya itu kapan?"
"Kamu bisanya kapan?"
"Kapan-kapan?"
"Besok?"
"Ayo aja!"
"OK, besok."
Arci menarik tangan Andini dan memeluknya. Tiba-tiba ia teringat dengan Safira. Apakah ia harus jujur kepada Andini tentang hubungannya dengan Safira yang melebihi saudara kandung?
"Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, tapi aku tak tahu bagaimana menceritakannya," kata Arci.
"Ceritakan saja!?"
"Tidak, nanti saja. Aku belum siap, aku takut kalau aku cerita, maka aku akan kehilangan dirimu."
Andini mengerutkan dahi. "Apa? Kenapa koq bisa begitu?"
"Hmmm...ini rumit."
"Kamu punya pacar?"
Arci menggeleng.
"Punya istri?"
"Aku belum kawin non."
"Gay?"
"Aku normal."
"Hmm?? Pernah menghamili anak orang?"
Arci menggeleng.
"Trus apa dong?"
"Beri aku waktu. Tapi yang jelas aku butuh jaminan dulu."
"Apa?"
"Kalau aku cerita, kamu jangan tinggalin aku ya?"
"Kalau itu hal yang baik, kenapa aku harus takut?"
"Ini hal yang tidak baik."
"Oh"
"Bagaimana?"
Andini terdiam beberapa saat. "Apakah ini bisa mengganggu hubungan kita?"
"Tidak."
Wajah Andini menampakkan raut wajah heran. "Trus?"
"Nanti yah, aku ingin merangkai kata-kata yang pas dulu."
"Baiklah."
Ghea meletakkan pistol glocknya di meja. Lengan baju jaketnya terkena cipratan darah. Ya, dialah yang membunuh Jatmiko. Di depannya ada Pieter yang sedang menikmati cerutu. Melihat kedatangan Ghea di ruangannya dia pun tahu bahwa Ghea baru saja melakukan sesuatu.
"Jatmiko?" tanya Pieter.
"Iya, dia yang mengepak barang-barang haram itu ke dalam box untuk diekspor ke luar negeri. Sebenarnya ia ingin mengirim ke Vietnam," jawab Ghea.
"Brengsek. Kita tak pernah mengekspor itu ke Vietnam. Siapa yang memberi dia otoritas itu?"
"Aku masih belum tahu."
"Aku tak menyangka ada anggota keluarga kita yang berusaha keluar jalur. Bagaimana dengan Arci?"
"Aku telah menyelidiki tentang dirinya. Dia bersih. Tak pernah berbuat kriminal, masa lalunya cukup kelam, demikian juga keluarganya. Hanya saja, kemarin Amanda pergi ke rumahnya."
"Hmm?? Itu wajar. Dia ibu tirinya. Lalu?"
"Dia begitu mengetahui kokain itu ada di produk PT Evolus, dia marah besar. Dia memusnahkan semua produk yang ada kokainnya. Ternyata dia boleh juga."
"Dia terlalu lurus. Itu akan merusak beberapa usaha kita. Di dalam keluarga ini semuanya saling makan, aku tak ingin dia juga jadi korban."
"Kenapa ayah?"
Pieter tidak menjawab.
"Dia bukan siapa-siapa. Terus terang aku merasa ayah terlalu menganak emaskan dirinya."
"Tenanglah, bukan begitu maksudku. Aku ingin kamu bisa melindungi dia, sebab seperti sebelum-sebelumnya ada orang yang tak suka kepadanya di keluarga ini yang ingin menghabisi pemuda itu. Apalagi sekarang ia adalah sang pewaris tahta. Apa yang baru saja ia lakukan akan berdampak besar. Aku yakin sebentar lagi akan heboh berita di surat kabar tentang barang yang diseludupkan itu. Aku ingin kamu mencegah para wartawan itu untuk mencetak berita. PT Evolus harus bersih dari berita negatif."
"Baik ayah."
Besoknya Arci sekarang sedang galau. Galau karena ia ingin berterus terang tentang keadaan dirinya dan Safira kepad Andini. Safira tak bisa lepas dari Arci dan juga sebaliknya. Ia takut keadaan ini tak akan diterima oleh Andini. Malam itu Arci mengajak Andini ke taman Merbabu. Mungkin karena malam hari, maka malam itu taman Merbabu sepi. Arci duduk di salah satu ayunan dan Andini berada di ayunan di sebelahnya. Mereka memang belum pulang, setelah selesai dari kantor Arci mengajak Andini ke sini.
"Jadi mau bicara apa?" tanya Andini.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Arci memulai.
"Yah, kalau ditanya dari peristiwa akhir-akhir ini. Boleh dibilang pikiranku kacau. Aku shock ketika kejadian di vila itu, ditambah lagi dengan barang seludupan ini. Everything seems fucked up!"
"Yeah, I agree."
"Din..."
"Ya?"
"Aku cinta kamu"
Andini menoleh ke Arci. Dia tersenyum. "Aku juga."
Arci menoleh ke arahnya. Mereka berdua berpandangan. "Aku sangat sangat mencintaimu dan aku tak ingin kamu pergi."
"Aku juga."
Arci terdiam dan memandangi kakinya sendiri.
"Ada apa sih?" Andini penasaran.
"Kamu tahu, aku sangat mencintai keluargaku. Ibuku, kakakku dan adikku."
"Yeah, aku tahu."
"Dan terkadang aku melakukan apapun untuk mereka. Apapun."
"Aku mengerti."
"Tidak, engkau tidak mengerti!" Arci berdiri.
"Bagaimana maksudnya?"
"Sejujurnya, aku dan Safira saling mencintai. Maksudku...dia mencintaiku."
"Aku bisa tahu itu."
"Bukan itu. Dengarlah, engkau adalah wanita yang paling aku cintai. Aku sangat ingin menikahimu, kita membangun keluarga tapi aku tak bisa menafikan Safira. Karena aku dan Safira juga saling mencintai. Dia membutuhkanku, aku tak ingin dia menjadi pelacur lagi. Cukup sudah bagiku melihat dia disewa oleh pria-pria hidung belang dan aku tak sanggup melihat keluargaku hidup mengais rejeki dengan cara demikian."
"Maksudmu? Kamu dan Safira...??"
"Iya. Kami melakukan hal yang tabu bagi semua orang. Aku tahu kamu bakal terkejut, mungkin juga jijik, marah, entahlah."
Andini terdiam. Dia mengalihkan wajahnya.
"Maafkan aku. Tapi ketahuilah aku sangat mencintaimu."
Andini kemudian bangkit. Ia beranjak dari ayunan itu. Dadanya terasa sesak. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Rasanya kejujuran itu sangat pahit. Tapi tidak seperti ini kan? Arci dan Andini terdiam. Tak tahu apa yang harus mereka katakan lagi. Semuanya serba gelap.
"Bicaralah!" kata Arci. "Aku harus bagaimana?"
Andini menarik nafas dalam-dalam, "Aku tak tahu"
"Setelah apa yang aku katakan apa kamu masih mencintaiku?"
"Aku tak tahu."
"Din..!?" Arci ingin meraih Andini tapi Andini mengelak.
"Maaf, biarkan aku berpikir," Andini pun pergi meninggalkan Arci.
"Din, tunggu! Jangan begitu, tolonglah aku. Apa yang harus aku lakukan?"
Andini tak menjawab. Air matanya keluar. Ia pergi meninggalkan Arci sendirian di taman itu. Kini suara dedaunan yang berguguran di musim kemarau pun membuat sebuah alunan nada yang sesuai dengan perasaan hatinya saat ini. Ah, andainya ia tak usah mengatakan hal ini kepada Andini. Tapi Andini harus tahu. Arci menghela nafas panjang. Ia tahu pasti akan ada imbas dari kejujurannya ini, tapi...ia masih mencintai Andini.
"Andini, aku sangat mencintaimu," gumam Arci, kemudian ia pun berbalik pergi meninggalkan taman tersebut.
Andini pulang ke rumahnya dengan mata sembab. Tak bisa disembunyikan, tentu saja. Ia menangis sepanjang jalan menuju rumahnya. "Arci sang pengkhianat" mungkin itulah yang ia tetapkan padanya. Arci sang pengkhianat. Kenapa dia melakukan hal itu kepada kakaknya sendiri?? Apapun alasannya seharusnya ia tak melakukannya. Andini marah, kesal, ia membanting pintu mobilnya dan segera masuk rumah.
Melihat putrinya seperti itu Susiati tampak keheranan. Ia segera bertanya, "Ada apa Din?"
Andini tak menjawabnya. Ia langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Gadis itu pun ambruk di atas kasur dan membenamkan wajahnya ke bantal. Ia menangis lagi.
"Arci, kenapa? Padahal selama ini aku menantikan dirimu. Aku mencintaimu...."
"Ahh...ahhh...ahhh," seorang wanita paruh baya tampak sedang menaiki tubuh seorang lelaki. Mereka berada di dalam kamar yang gelap. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari cahaya yang masuk ke jendela.
Sang wanita menggoyang pinggulnya dengan sangat hot. Sang pria tampak keenakan sambil meremas-remas buah dada wanita itu.
"Ahh...aku sudah lama tidak ngentot sama kamu," kata sang wanita.
"Argghh..iya...kamu tetap menggiurkan," kata sang pria.
"Kamu sudah siap kalau aku punya anak darimu?"
"Kamu memangnya masih bisa?"
"Aku masih mens. Bagaimana?"
"Baiklah, toh kamu sudah sendirian sekarang."
"Ahh...benar. Penismu masih perkasa saja sayang."
"Memekmu juga masih legit. Masih seperti saat aku memerawanimu dulu."
"Iyahh...nganggur lama ini. Uuuffhhh.."
Sang pria bangun dan menghisap puting sang wanita. Sang wanita pun menggelinjang keenakan. Mereka berpelukan dan sang pria pun mengubah posisinya. Kini ia berada di atas dengan gaya misionari. Dia melebarkan paha sang wanita dan mulai memompa penisnya keluar masuk.
"Aah...ahhh..ahhh...terus...terus!" ujar sang wanita.
Buah dadanya naik turun seirama goyangan sang pria. Keduanya kemudian saling memagut lidah. Menghisap setiap saliva yang keluar dari mulut mereka. Sang pria pun sepertinya ingin sampai ke puncak. Kantong menyannya sudah tak sanggup lagi untuk menampung sperma yang sudah siap untuk ditembakkan. Kepala penisnya yang berkali-kali menyentuh rahim sang wanita pun sudah mulai gatal.
"Aku mau keluar," kata sang lelaki.
"Iya sayang, semprot di dalam ya?!"
Akhirnya semburan sperma berkali-kali itu pun sampai pula membasahi rahim sang wanita. Sang pria menekan kuat-kuat penisnya hingga tenggelam sepenuhnya ke dalam liang senggama sang wanita. Ekspresi wajah mereka menampakkan kepuasan, sudah lama memang mereka tak bercinta seperti ini, terlebih ketika sang pria sudah tidak takut lagi untuk menghamilinya. Atau bahkan keadaan mereka sekarang sudah tidak bisa dianggap selingkuh. Keduanya janda dan duda.
Lampu pun dinyalakan, tampak wajah Amanda dan Pieter. Keduanya baru saja melakukan persetubuhan hebat. Sesuatu yang sudah mereka lakukan sejak lama. Kini Amanda menempelkan kepalanya ke dada Pieter.
"Bagaimana tanggapanmu tentang Arci?" tanya Pieter.
"Dia anak yang baik, seperti ayahnya," jawab Amanda. "Menurutmu ia akan bisa diterima di keluarga ini?"
"Tindakannya di kantor telah membuktikan ia sangat serius untuk mengurus perusahaan. Aku cukup bangga kepadanya. Hanya saja ia terlalu lurus. Aku takut dia akan menggapai apa yang menjadi lumbungku."
"Aku sudah menyuruhnya untuk bisa dekat denganmu."
"Oh, kenapa begitu?"
"Karena dia anakku di mata hukum, dan aku sebentar lagi akan kamu nikahi. Bukankah itu pantas?"
Pieter mencium kening Amanda. "Hanya saja, orang yang dulu berusaha membunuh Arci dan keluarganya masih belum aku temukan. Bahkan ketika Archer menyuruhku untuk menyelidikinya, malah aku masuk penjara."
"Menurutmu siapa?"
"Aku tak tahu. Tapi aku akan berusaha sekuat tenagaku menolong dia. Ghea sudah bergerak untuk menyelidiki."
"Semoga saja kita segera tahu siapa orang yang melakukan ini semua."
Pagi hari seperti biasa, suasana kantor sibuk. Hanya saja ada yang berbeda dengan Andini. Ia terlihat dingin. Bahkan ketika berpapasan dengan Arci ia tampak membuang muka. Arci pun tak tinggal diam. Ia segera masuk ke ruangan Andini.
"Dini?!" panggil Arci. Arci menutup pintu ruangan kerja Andini. "Din, aku...."
"Maaf pak,...kalau memang ada hal yang penting segera katakan saja aku sibuk," kata Andini dengan dingin.
"Dini, jangan begitu. Aku menemuimu karena aku mencintaimu. Maafkan aku."
"Keluar!?" perintah Andini.
"Din, mengertilah!"
"Kumohon keluar!" Andini memelas. Bulir-bulir air mata mulai keluar dari matanya.
"Din, apakah kamu tak mencintaiku lagi?"
Andini tak menjawab.
"Setelah apa yang kita lakukan? Aku tak bisa meninggalkan Safira. Aku ingin minta maaf, kalau kamu ingin kakakku pergi aku tak bisa. Dia butuh aku. Apalagi setelah ia tak diakui oleh ayahnya sendiri, kemana lagi ia harus pergi? Mengertilah. Ini tak seperti yang kamu pikirkan! Dan....aku butuh kamu."
"Pergi dari ruanganku, kumohon!...."
"Apakah hubungan kita berakhir begitu saja?"
Andini tak menjawab. Air matanya mulai jatuh.
"Kenapa? Karena satu kesalahan ini kamu tak memaafkanku? Dini, aku butuh kamu."
"Arci, pergilah."
"Aku ingin kamu dengar alasanku dulu."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Keluarlah, kumohon, atau aku yang akan pergi."
"Apakah hanya sampai di sini, Din?"
"Iya, sampai di sini."
"Kenapa? Bukankah selama ini aku berusaha untuk menepati janjiku? Dan kamu juga menungguku."
"Cukup Arci, cukup! Pergilah! Kumohon!"
"Baiklah, aku pergi. Kalau kamu memaafkanku dan ingin mendengarkan semua penjelasanku, aku akan menunggumu di taman Merbabu nanti. Aku akan semalaman menunggumu di sana. Aku pergi!"
Arci pun pergi meninggalkan ruangan Andini. Setelah Arci pergi, Andini pun mulai menangis. Entah ada rasa sesal ia berkata itu kepada Arci. Ia sendiri tak tahu perasaan hatinya saat ini.
Malam itu Arci menunggu Andini di taman Merbabu. Dari selepas maghrib sampai malam. Hingga ia harus tidur di bangku taman, dengan keadaan menggigil tentunya karena udara malam di Malang yang sangat dingin. Ia terbangun ketika matahari sudah mulai muncul. Andini tidak datang ke taman itu. Arci bersedih. Ternyata hanya sampai di sini saja hubungannya dengan Andini. Sang kekasih sepertinya masih belum menerima alasan dia. Masih tak memaafkan dia. Ia mencoba menelpon Andini tapi nomornya tak pernah diangkat bahkan direject. Arci hanya bisa menghela nafas panjang. Dia pun pergi meninggalkan taman itu dengan seribu penyesalan. Sekalipun Andini tak menerima alasannya, tapi ia terlanjur cinta.
Arci dan Andini berada di ruangannya. Mereka berdua tampak membisu. Antara cemas, takut dan khawatir. Semuanya bercampur jadi satu.
"Seharusnya tidak terjadi seperti ini bukan?" tanya Andini.
"Iya, seharusnya tidak begini. Aku takut Jatmiko dihabisi ketika sang pelaku takut ia akan membocorkan rahasia perusahaan ini. Tentang pengiriman barang ekspor itu, aku sungguh tak menduga sama sekali. Ini benar-benar gila," Arci menghirup nafas dalam-dalam.
"Aku jadi takut," kata Andini.
Arci segera beringsut mendekat ke Andini. "Tak perlu takut. Aku akan berusaha melindungimu."
"Tapi....aku khawatir kalau nanti terjadi sesuatu kepadamu," kata Andini.
"Aku tak akan apa-apa, sebaiknya siapkan saja dirimu. Bukankah kita sebentar lagi akan menikah. Aku akan datang ke rumahmu secepatnya untuk melamarmu."
Andini tersenyum. "Baiklah, secepatnya itu kapan?"
"Kamu bisanya kapan?"
"Kapan-kapan?"
"Besok?"
"Ayo aja!"
"OK, besok."
Arci menarik tangan Andini dan memeluknya. Tiba-tiba ia teringat dengan Safira. Apakah ia harus jujur kepada Andini tentang hubungannya dengan Safira yang melebihi saudara kandung?
"Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, tapi aku tak tahu bagaimana menceritakannya," kata Arci.
"Ceritakan saja!?"
"Tidak, nanti saja. Aku belum siap, aku takut kalau aku cerita, maka aku akan kehilangan dirimu."
Andini mengerutkan dahi. "Apa? Kenapa koq bisa begitu?"
"Hmmm...ini rumit."
"Kamu punya pacar?"
Arci menggeleng.
"Punya istri?"
"Aku belum kawin non."
"Gay?"
"Aku normal."
"Hmm?? Pernah menghamili anak orang?"
Arci menggeleng.
"Trus apa dong?"
"Beri aku waktu. Tapi yang jelas aku butuh jaminan dulu."
"Apa?"
"Kalau aku cerita, kamu jangan tinggalin aku ya?"
"Kalau itu hal yang baik, kenapa aku harus takut?"
"Ini hal yang tidak baik."
"Oh"
"Bagaimana?"
Andini terdiam beberapa saat. "Apakah ini bisa mengganggu hubungan kita?"
"Tidak."
Wajah Andini menampakkan raut wajah heran. "Trus?"
"Nanti yah, aku ingin merangkai kata-kata yang pas dulu."
"Baiklah."
* * * * I LOVE YOU * * * *
Ghea meletakkan pistol glocknya di meja. Lengan baju jaketnya terkena cipratan darah. Ya, dialah yang membunuh Jatmiko. Di depannya ada Pieter yang sedang menikmati cerutu. Melihat kedatangan Ghea di ruangannya dia pun tahu bahwa Ghea baru saja melakukan sesuatu.
"Jatmiko?" tanya Pieter.
"Iya, dia yang mengepak barang-barang haram itu ke dalam box untuk diekspor ke luar negeri. Sebenarnya ia ingin mengirim ke Vietnam," jawab Ghea.
"Brengsek. Kita tak pernah mengekspor itu ke Vietnam. Siapa yang memberi dia otoritas itu?"
"Aku masih belum tahu."
"Aku tak menyangka ada anggota keluarga kita yang berusaha keluar jalur. Bagaimana dengan Arci?"
"Aku telah menyelidiki tentang dirinya. Dia bersih. Tak pernah berbuat kriminal, masa lalunya cukup kelam, demikian juga keluarganya. Hanya saja, kemarin Amanda pergi ke rumahnya."
"Hmm?? Itu wajar. Dia ibu tirinya. Lalu?"
"Dia begitu mengetahui kokain itu ada di produk PT Evolus, dia marah besar. Dia memusnahkan semua produk yang ada kokainnya. Ternyata dia boleh juga."
"Dia terlalu lurus. Itu akan merusak beberapa usaha kita. Di dalam keluarga ini semuanya saling makan, aku tak ingin dia juga jadi korban."
"Kenapa ayah?"
Pieter tidak menjawab.
"Dia bukan siapa-siapa. Terus terang aku merasa ayah terlalu menganak emaskan dirinya."
"Tenanglah, bukan begitu maksudku. Aku ingin kamu bisa melindungi dia, sebab seperti sebelum-sebelumnya ada orang yang tak suka kepadanya di keluarga ini yang ingin menghabisi pemuda itu. Apalagi sekarang ia adalah sang pewaris tahta. Apa yang baru saja ia lakukan akan berdampak besar. Aku yakin sebentar lagi akan heboh berita di surat kabar tentang barang yang diseludupkan itu. Aku ingin kamu mencegah para wartawan itu untuk mencetak berita. PT Evolus harus bersih dari berita negatif."
"Baik ayah."
* * * * I LOVE YOU * * * *
Besoknya Arci sekarang sedang galau. Galau karena ia ingin berterus terang tentang keadaan dirinya dan Safira kepad Andini. Safira tak bisa lepas dari Arci dan juga sebaliknya. Ia takut keadaan ini tak akan diterima oleh Andini. Malam itu Arci mengajak Andini ke taman Merbabu. Mungkin karena malam hari, maka malam itu taman Merbabu sepi. Arci duduk di salah satu ayunan dan Andini berada di ayunan di sebelahnya. Mereka memang belum pulang, setelah selesai dari kantor Arci mengajak Andini ke sini.
"Jadi mau bicara apa?" tanya Andini.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Arci memulai.
"Yah, kalau ditanya dari peristiwa akhir-akhir ini. Boleh dibilang pikiranku kacau. Aku shock ketika kejadian di vila itu, ditambah lagi dengan barang seludupan ini. Everything seems fucked up!"
"Yeah, I agree."
"Din..."
"Ya?"
"Aku cinta kamu"
Andini menoleh ke Arci. Dia tersenyum. "Aku juga."
Arci menoleh ke arahnya. Mereka berdua berpandangan. "Aku sangat sangat mencintaimu dan aku tak ingin kamu pergi."
"Aku juga."
Arci terdiam dan memandangi kakinya sendiri.
"Ada apa sih?" Andini penasaran.
"Kamu tahu, aku sangat mencintai keluargaku. Ibuku, kakakku dan adikku."
"Yeah, aku tahu."
"Dan terkadang aku melakukan apapun untuk mereka. Apapun."
"Aku mengerti."
"Tidak, engkau tidak mengerti!" Arci berdiri.
"Bagaimana maksudnya?"
"Sejujurnya, aku dan Safira saling mencintai. Maksudku...dia mencintaiku."
"Aku bisa tahu itu."
"Bukan itu. Dengarlah, engkau adalah wanita yang paling aku cintai. Aku sangat ingin menikahimu, kita membangun keluarga tapi aku tak bisa menafikan Safira. Karena aku dan Safira juga saling mencintai. Dia membutuhkanku, aku tak ingin dia menjadi pelacur lagi. Cukup sudah bagiku melihat dia disewa oleh pria-pria hidung belang dan aku tak sanggup melihat keluargaku hidup mengais rejeki dengan cara demikian."
"Maksudmu? Kamu dan Safira...??"
"Iya. Kami melakukan hal yang tabu bagi semua orang. Aku tahu kamu bakal terkejut, mungkin juga jijik, marah, entahlah."
Andini terdiam. Dia mengalihkan wajahnya.
"Maafkan aku. Tapi ketahuilah aku sangat mencintaimu."
Andini kemudian bangkit. Ia beranjak dari ayunan itu. Dadanya terasa sesak. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Rasanya kejujuran itu sangat pahit. Tapi tidak seperti ini kan? Arci dan Andini terdiam. Tak tahu apa yang harus mereka katakan lagi. Semuanya serba gelap.
"Bicaralah!" kata Arci. "Aku harus bagaimana?"
Andini menarik nafas dalam-dalam, "Aku tak tahu"
"Setelah apa yang aku katakan apa kamu masih mencintaiku?"
"Aku tak tahu."
"Din..!?" Arci ingin meraih Andini tapi Andini mengelak.
"Maaf, biarkan aku berpikir," Andini pun pergi meninggalkan Arci.
"Din, tunggu! Jangan begitu, tolonglah aku. Apa yang harus aku lakukan?"
Andini tak menjawab. Air matanya keluar. Ia pergi meninggalkan Arci sendirian di taman itu. Kini suara dedaunan yang berguguran di musim kemarau pun membuat sebuah alunan nada yang sesuai dengan perasaan hatinya saat ini. Ah, andainya ia tak usah mengatakan hal ini kepada Andini. Tapi Andini harus tahu. Arci menghela nafas panjang. Ia tahu pasti akan ada imbas dari kejujurannya ini, tapi...ia masih mencintai Andini.
"Andini, aku sangat mencintaimu," gumam Arci, kemudian ia pun berbalik pergi meninggalkan taman tersebut.
Andini pulang ke rumahnya dengan mata sembab. Tak bisa disembunyikan, tentu saja. Ia menangis sepanjang jalan menuju rumahnya. "Arci sang pengkhianat" mungkin itulah yang ia tetapkan padanya. Arci sang pengkhianat. Kenapa dia melakukan hal itu kepada kakaknya sendiri?? Apapun alasannya seharusnya ia tak melakukannya. Andini marah, kesal, ia membanting pintu mobilnya dan segera masuk rumah.
Melihat putrinya seperti itu Susiati tampak keheranan. Ia segera bertanya, "Ada apa Din?"
Andini tak menjawabnya. Ia langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Gadis itu pun ambruk di atas kasur dan membenamkan wajahnya ke bantal. Ia menangis lagi.
"Arci, kenapa? Padahal selama ini aku menantikan dirimu. Aku mencintaimu...."
* * * * I LOVE YOU * * * *
"Ahh...ahhh...ahhh," seorang wanita paruh baya tampak sedang menaiki tubuh seorang lelaki. Mereka berada di dalam kamar yang gelap. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari cahaya yang masuk ke jendela.
Sang wanita menggoyang pinggulnya dengan sangat hot. Sang pria tampak keenakan sambil meremas-remas buah dada wanita itu.
"Ahh...aku sudah lama tidak ngentot sama kamu," kata sang wanita.
"Argghh..iya...kamu tetap menggiurkan," kata sang pria.
"Kamu sudah siap kalau aku punya anak darimu?"
"Kamu memangnya masih bisa?"
"Aku masih mens. Bagaimana?"
"Baiklah, toh kamu sudah sendirian sekarang."
"Ahh...benar. Penismu masih perkasa saja sayang."
"Memekmu juga masih legit. Masih seperti saat aku memerawanimu dulu."
"Iyahh...nganggur lama ini. Uuuffhhh.."
Sang pria bangun dan menghisap puting sang wanita. Sang wanita pun menggelinjang keenakan. Mereka berpelukan dan sang pria pun mengubah posisinya. Kini ia berada di atas dengan gaya misionari. Dia melebarkan paha sang wanita dan mulai memompa penisnya keluar masuk.
"Aah...ahhh..ahhh...terus...terus!" ujar sang wanita.
Buah dadanya naik turun seirama goyangan sang pria. Keduanya kemudian saling memagut lidah. Menghisap setiap saliva yang keluar dari mulut mereka. Sang pria pun sepertinya ingin sampai ke puncak. Kantong menyannya sudah tak sanggup lagi untuk menampung sperma yang sudah siap untuk ditembakkan. Kepala penisnya yang berkali-kali menyentuh rahim sang wanita pun sudah mulai gatal.
"Aku mau keluar," kata sang lelaki.
"Iya sayang, semprot di dalam ya?!"
Akhirnya semburan sperma berkali-kali itu pun sampai pula membasahi rahim sang wanita. Sang pria menekan kuat-kuat penisnya hingga tenggelam sepenuhnya ke dalam liang senggama sang wanita. Ekspresi wajah mereka menampakkan kepuasan, sudah lama memang mereka tak bercinta seperti ini, terlebih ketika sang pria sudah tidak takut lagi untuk menghamilinya. Atau bahkan keadaan mereka sekarang sudah tidak bisa dianggap selingkuh. Keduanya janda dan duda.
Lampu pun dinyalakan, tampak wajah Amanda dan Pieter. Keduanya baru saja melakukan persetubuhan hebat. Sesuatu yang sudah mereka lakukan sejak lama. Kini Amanda menempelkan kepalanya ke dada Pieter.
"Bagaimana tanggapanmu tentang Arci?" tanya Pieter.
"Dia anak yang baik, seperti ayahnya," jawab Amanda. "Menurutmu ia akan bisa diterima di keluarga ini?"
"Tindakannya di kantor telah membuktikan ia sangat serius untuk mengurus perusahaan. Aku cukup bangga kepadanya. Hanya saja ia terlalu lurus. Aku takut dia akan menggapai apa yang menjadi lumbungku."
"Aku sudah menyuruhnya untuk bisa dekat denganmu."
"Oh, kenapa begitu?"
"Karena dia anakku di mata hukum, dan aku sebentar lagi akan kamu nikahi. Bukankah itu pantas?"
Pieter mencium kening Amanda. "Hanya saja, orang yang dulu berusaha membunuh Arci dan keluarganya masih belum aku temukan. Bahkan ketika Archer menyuruhku untuk menyelidikinya, malah aku masuk penjara."
"Menurutmu siapa?"
"Aku tak tahu. Tapi aku akan berusaha sekuat tenagaku menolong dia. Ghea sudah bergerak untuk menyelidiki."
"Semoga saja kita segera tahu siapa orang yang melakukan ini semua."
* * * * I LOVE YOU * * * *
Pagi hari seperti biasa, suasana kantor sibuk. Hanya saja ada yang berbeda dengan Andini. Ia terlihat dingin. Bahkan ketika berpapasan dengan Arci ia tampak membuang muka. Arci pun tak tinggal diam. Ia segera masuk ke ruangan Andini.
"Dini?!" panggil Arci. Arci menutup pintu ruangan kerja Andini. "Din, aku...."
"Maaf pak,...kalau memang ada hal yang penting segera katakan saja aku sibuk," kata Andini dengan dingin.
"Dini, jangan begitu. Aku menemuimu karena aku mencintaimu. Maafkan aku."
"Keluar!?" perintah Andini.
"Din, mengertilah!"
"Kumohon keluar!" Andini memelas. Bulir-bulir air mata mulai keluar dari matanya.
"Din, apakah kamu tak mencintaiku lagi?"
Andini tak menjawab.
"Setelah apa yang kita lakukan? Aku tak bisa meninggalkan Safira. Aku ingin minta maaf, kalau kamu ingin kakakku pergi aku tak bisa. Dia butuh aku. Apalagi setelah ia tak diakui oleh ayahnya sendiri, kemana lagi ia harus pergi? Mengertilah. Ini tak seperti yang kamu pikirkan! Dan....aku butuh kamu."
"Pergi dari ruanganku, kumohon!...."
"Apakah hubungan kita berakhir begitu saja?"
Andini tak menjawab. Air matanya mulai jatuh.
"Kenapa? Karena satu kesalahan ini kamu tak memaafkanku? Dini, aku butuh kamu."
"Arci, pergilah."
"Aku ingin kamu dengar alasanku dulu."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Keluarlah, kumohon, atau aku yang akan pergi."
"Apakah hanya sampai di sini, Din?"
"Iya, sampai di sini."
"Kenapa? Bukankah selama ini aku berusaha untuk menepati janjiku? Dan kamu juga menungguku."
"Cukup Arci, cukup! Pergilah! Kumohon!"
"Baiklah, aku pergi. Kalau kamu memaafkanku dan ingin mendengarkan semua penjelasanku, aku akan menunggumu di taman Merbabu nanti. Aku akan semalaman menunggumu di sana. Aku pergi!"
Arci pun pergi meninggalkan ruangan Andini. Setelah Arci pergi, Andini pun mulai menangis. Entah ada rasa sesal ia berkata itu kepada Arci. Ia sendiri tak tahu perasaan hatinya saat ini.
Malam itu Arci menunggu Andini di taman Merbabu. Dari selepas maghrib sampai malam. Hingga ia harus tidur di bangku taman, dengan keadaan menggigil tentunya karena udara malam di Malang yang sangat dingin. Ia terbangun ketika matahari sudah mulai muncul. Andini tidak datang ke taman itu. Arci bersedih. Ternyata hanya sampai di sini saja hubungannya dengan Andini. Sang kekasih sepertinya masih belum menerima alasan dia. Masih tak memaafkan dia. Ia mencoba menelpon Andini tapi nomornya tak pernah diangkat bahkan direject. Arci hanya bisa menghela nafas panjang. Dia pun pergi meninggalkan taman itu dengan seribu penyesalan. Sekalipun Andini tak menerima alasannya, tapi ia terlanjur cinta.
Klik Gambar Di Bawah Untuk Melanjutkan Episode berikutnya
0 Response to "I Love You Episode 16"
Post a Comment