I Love You Episode 18
Wednesday, May 23, 2018
Add Comment
TRY TO MOVE ON
"Rahma, pulang bareng yuk," ajak Nita.
"Eh, bentar girls, tunggu disit lhaa!" kata Rahma.
"Arep lemburan a?" tanya Sonia.
"Iyoi, wis tinggalen dhisit! Bu Dini belum ngijinin pulang, akeh garapan jes!"
"Ooo...yawes, tak tinggal yo!?" Nita melambai ke Rahma.
"Hati-hati! Ntar kesambet cowok ganteng," goda Rahma.
"Aamiin...klo gantengnya kayak bos baru kita ya... OK OK aja!" jawab Sonia.
"Rahma?!" Arci tiba-tiba ada di dekat Nita dan Sonia.
Nita dan Sonia langsung wajahnya memerah. Mereka jadi salah tingkah melihat Arci.
"Eh,...i..iya pak?" sahut Rahma gugup.
Nita dan Sonia buru-buru pergi.
"Lho, katanya kepengen kesambet cowok ganteng, koq kabur semua?" goda Arci.
Muka Nita dan Sonia memerah. Mereka malu setengah mati. "Nggak paaaak!?"
Arci ketawa. Rahma hanya tersenyum.
"Bu Dini ada?" tanya Arci.
"Ada, tapi....dia tak mau diganggu," kata Arci.
"Kamu ada waktu?" tanya Arci.
"Saya sedang ngurusi pembukuan pak," jawabnya.
"Halah, nggak usah bilang Pak. Kemarin saja bilang Arci. Biasa ajalah. OK, aku mau masuk."
"Tapi pak? Eh, Ci...!"
Arci tak menghiraukan Rahma. Ia mengetuk pintunya dan masuk. Andini kaget melihat kedatangan Arci.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Andini.
"Aku hanya ingin kejelasan. Apakah kamu masih mencintaiku?" tanya Arci.
Andini tidak menjawab. Mungkin terlalu keki bagi dia mengakui masih mencintai Arci. Dia teringat kemarin ketika Arci jalan dengan Safira. Betapa dadanya bergemuruh, terlebih Arci mengakui telah berhubungan dengan Safira. Andini meneteskan air mata.
"Keluarlah, kumohon. Jangan temui aku lagi," kata Andini.
Arci menghela nafas. Ia mendekati Andini. Andini memejamkan matanya. Arci mendekat dan kini tepat berada di hadapannya. Arci memegang wajah Andini lalu mencium orang yang sangat dicintainya itu. Andini tak bisa berbuat apa-apa. Ia ingin dicium, tapi ia tetap tak bisa menerimanya. Ia menerima ciuman Arci itu tapi ada sesuatu di dadanya yang tak ingin Arci ada di sini.
"Baiklah kalau kamu ingin seperti ini," kata Arci. "Aku akan buktikan kalau kamu masih mencintaiku. Dan ketahuilah, aku sangat mencintaimu. Aku tak bisa jauh darimu, tapi.... setelah ini kamu akan melihatku lain. Setelah aku keluar dari pintu ini aku tak akan lagi menemuimu. Aku tahu ini sulit. Menerima kenyataan bahwa aku mencintai kakakku sendiri memang sulit. Tapi aku jujur kepadamu, karena aku mencintaimu. Tak ada yang lebih baik bagiku selain kejujuran. Maafkan aku. Sekarang belum terlambat, aku masih disini. Katakanlah kalau kamu mencintaiku!?"
Andini masih memejamkan mata. Ia membisu. Arci melepaskan tangannya dari wajah Andini. Ia berbalik menuju pintu. Perlahan-lahan ia pegang gagang pintunya.
"Katakanlah kamu masih mencintaiku, kumohon!" kata Arci.
Andini terisak. Ia sangat mencintai Arci, dia ingin bicara, tapi mulutnya seperti tercekat.
"Aku sungguh mencintaimu. Kalau kamu tak menerimaku....baiklah, aku tak bisa memaksamu. Selamat tinggal...cinta," Arci membuka pintu dan keluar dari ruangan Andini.
Tangis Andini pecah. Ia langsung duduk di mejanya dan menangis sejadi-jadinya, "Arci.... aku mencintaimu.... hikkss.... maafkan aku, hikss... aku masih mencintaimu, huaaaaaaa...."
Seumur hidup, Arci tak pernah mabuk. Baru kali ini ia minum wisky sampai mabuk. Dia pun sampai tertidur di bangku taman. Ghea yang seharian itu membuntutinya hanya menggeleng-geleng. Dia sudah mengetahui hubungan Arci dengan Andini, tentu saja percakapan Arci di dalam ruangan Andini ia pun tahu.
"Ayolah, kamu itu lelaki. Kenapa hanya urusan seorang wanita saja sampai seperti ini?" kata Ghea di depan Arci yang sedang tertidur.
Ghea lalu berjongkok. Dia mengusap wajah sepupunya itu. Entah kenapa hatinya sekarang nyaman ketika bisa mengusap wajah pemuda ini. Ia tak pernah mengerti yang namanya cinta. Tapi, apakah kini ia telah terkena virus itu? Dia menampar-nampar pipi Arci, tapi pemuda itu tak bangun. Ghea menghela nafas.
"Kenapa aku harus jadi babysitter?" gumamnya.
Dilihatnya wajah pemuda itu. Wajah Arci sangat mirip dengan pamannya Archer. Ghea masih ingat pamannya itu. Pamannya orang yang baik. Archer selalu memperlakukanya dengan lembut. Beda dengan ayahnya yang keras. Archer seorang penyayang. Maka dari itulah mungkin ia bisa melihat sisi kasih sayang pada diri seorang pelacur seperti Lian. Entah kenapa Ghea saat itu teringat dengan insiden ciumannya dengan Arci. Tiba-tiba timbul sisi feminim di dalam dirinya. Jantungnya berdebar-debar lagi. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Arci. Dan dia pun akhirnya menempelkan bibirnya ke bibir pemuda ini. Walaupun bau alkohol tapi ia tak peduli.
Ghea tersentak dan menjauh, "Tidak, tidak, tidak. Apa yang aku lakukan?" Ia berdiri lalu berpaling. "Apa yang terjadi kepadaku?" Jantungnya makin keras berdetak. "Fuck! Apa yang terjadi? Oh God..." Ghea melihat Arci sekali lagi.
Ghea memukul-mukul dadanya sendiri, berusaha menenangkan detak jantungnya. Ia lalu mengambil pistolnya dan membidik Arci. Air matanya jatuh keluar membasahi pipinya. Baru kali ini ia merasakan rasa seperti ini.
"What's wrong with me?" katanya. "Kenapa aku tak bisa menembakmu?? Fuck!"
Ghea menyarungkan kembali pistolnya. Dia lalu menarik badan Arci, kemudian ia memapahnya. Ghea sukar mengungkapkan perasaannya saat itu. Dia tak pernah tahu yang namanya cinta. Jadi dia menganggap perasaan aneh di dalam dadanya sebagai penyakit. Penyakit yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Ia berencana akan pergi ke dokter untuk melihat kejiwaannya.
Arci pun sampai di rumahnya. Pintu diketuk. Yang menyambutnya adalah Safira.
"Arci??!" panggil Safira.
"Dia mabuk," kata Ghea.
"Mabuk? Nggak mungkin, Arci tak pernah minum.... bau alkohol?!"
"Dia sedang galau, cintanya baru saja ditolak. Dia jujur kepada pacarnya tentang dirimu. Betapa gentlemen dirinya," kata Ghea.
"Apa? Tak mungkin!" Safira menerima Arci yang sempoyongan.
"Baiklah, jaga dia. Dia sekarang udah jadi orang besar, bagian dari keluarga kami," kata Ghea.
"Kamu?"
"Aku Ghea Zenedine, sepupunya. Sebaiknya, kamu selesaikan urusanmu dengan Andini, mungkin kalian bisa saling mengerti. Ah, kenapa aku harus peduli dengan urusan kalian? Aku pergi," Ghea kemudian meninggalkan mereka.
Safira segera memapah Arci masuk. Lian yang terbangun pun melihat kondisi Arci yang mengenaskan membantu Safira. Mereka memapah Arci sampai ke kamarnya.
"Kenapa dia?" tanya Lian.
"Katanya sih soal cinta," jawab Safira. Dia menghela nafas. Tak menyangka semuanya akan seperti ini. Safira merasa bersalah. "Apa aku pergi saja ya...?"
"Apa maksudmu?" tanya Lian.
"Gara-gara aku adek seperti ini," jawab Safira. Mereka berdua duduk di tepi ranjang. Safira membantu melepas sepatu adiknya.
"Apa sebabnya?"
"Arci jujur kepada kekasihnya tentang diriku. Mungkin terjadi sesuatu kepada mereka. Itu semua gara-gara aku."
"Tidak, Safira tidak. Bukan karenamu!"
Safira memeluk ibunya. Air matanya meleleh.
"Andini...aku mencintaimu....," Arci mengigau. Safira menoleh ke arah adiknya. Ia makin bersedih.
"Malam ini temani adikmu!" kata Lian.
Safira mengangguk. Setelah itu Lian pergi meninggalkan Safira dan Arci. Malam kian larut. Safira pun kemudian merebahkan diri di samping adiknya. Seperti malam-malam sebelumnya. Tapi mungkin kali ini beda. Kali ini ia menemani Arci yang sedang galau. Akhirnya ia pun tertidur sambil memeluk adiknya.
* * *
Baru beberapa jam tertidur, Safira kaget ketika ada yang meraba-raba dirinya. Ia terbangun dan mendapati pakaiannya telah terlepas dan dia melihat Arci sudah telanjang dan menindih dirinya. Ia tak sadar ketika bajunya dilucuti. Bahkan sekarang Arci menciumi lehernya sambil meremas-remas buah dadanya.
"Dini...ohhh..," desah Arci. Ia menyangka Safira adalah Andini.
Safira terasa sakit hatinya. Ia tak menyangka adiknya sangat mencintai wanita itu sampai menganggap dirinya adalah Andini. Dia pun hanya pasrah ketika Arci kemudian memasukkan penisnya yang keras ke liang senggamanya.
"Aahhhkk!" pekik Safira. Matanya mulai berair.
Arci menggenjotnya tanpa pemanasan membuat liang senggamanya serasa agak perih. Tapi lama kelamaan lendirnya mulai membasahi liang senggamanya membuat ia juga keenakan. Safira berusaha melayani Arci yang sedang kesetanan. Mungkin pengaruh minuman keras yang membuat Arci kini beringas. Ia tak puas menggarap Safira dengan gaya misionari. Kemudin ia membalikkan tubuhnya sehingga tengkurap. Diangkat sedikit pantat Safira, kemudian Arci memasukkan penisnya.
Blesss...
"Aaahhkk! Deek...pelan-pelan!" kata Safira.
"Andiniii...oohh...memekmu enak sekali," rancau Arci sambil memejamkan mata.
"Anggap aku Andini dek, ayo! Lakukanlah! Obati rasa sakit hatimu!" kata Safira.
Arci menggenjot Safira lagi. Ia merasakan keenakan ketika pantat Safira yang seksi itu bertemu dengan selakangannya. Penisnya berusaha mengoyak vagina kakaknya, lendir Safir makin banjir, ia juga menikmati persenggamaan ini walaupun Arci menganggapnya sebagai Andini. Ya, Safira menikmatinya. Itu juga karena ia ingin berlaku seprofesional mungkin untuk melayani adiknya. Hatinya terkoyak, tapi dia terlalu cinta kepada adiknya. Seandainya dia adalah istri Arci, mungkin ia akan marah. Tapi dia terlalu cinta.
"Ohhh....Dini, aku keluar! Aaahhkk!" Arci menyudahi persenggamaannya ini dengan semburan sperma bertubi-tubi ke rahim Safira. Dia pun ambruk sambil memeluk Safira dari belakang. Penisnya masih tertanam di dalam rahim Safira, berkedut-kedut mengeluarkan sisa-sisa sperma.
Tak berapa lama kemudian Arci tertidur. Safira juga. Pelukan Arci sangat erat hingga membuatnya nyaman.
"Arci, aku bingung... aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sedang mengandung benihmu. Kamu mencintai Andini, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku cemburu, tapi... kau mencintai dia," kata Safira.
* * *
Pagi menjelang. Arci terbangun. Ia kaget ketika bangun mendapati Safira dipeluknya. Dia kemudian memeluk kakaknya lagi. Menciumi punggung kakaknya. Ia sama sekali tak ingat kenapa dan bagaimana ia bisa berada di kamarnya, dengan memeluk kakaknya. Terakhir kali yang diingat ia berada di taman menghabiskan wisky.
"Sudah bangun?" tanya Safira.
"I-iya," jawab Arci.
"Kamu sedang galau ya?" tanya Safira.
"Kenapa kak?"
"Kemarin kamu mabuk, kemudian kita bercinta dengan hebat. Tapi kamu menganggapku sebagai Andini."
"Benarkah?"
"Iya. Diakah wanita yang kamu cintai?"
"Iya."
"Kenapa kamu jujur tentang hubungan kita?"
"Jujur atau tidak, ia akan tahu."
"Arci, kalau aku menghalangi hubungan kalian. Aku ingin pergi saja."
"Jangan! Kenapa kakak punya pemikiran seperti itu?"
Safira kemudian membalikkan tubuhnya. Matanya tampak sembab. Arci mengetahuinya. "Karena, aku mencintaimu. Aku tak mau kamu tersiksa. Aku ingin melihatmu bahagia."
"Itu hal bodoh yang aku ketahui. Justru biarkan dia tahu tentang kita. Dia harus menerima kita, lagi pula aku tak bisa hidup kalau kakak pergi."
"Tapi kamu tak bisa hidup juga kalau dia pergi."
"Aku tak bisa hidup tanpa kalian."
Safira menatap ke mata Arci dalam-dalam. Ia tak sanggup. Arci mendaratkan ciuman ke bibir kakaknya. Safira menerimanya, bahkan saat lidah mereka berdua bertemu Safira bisa merasakan perasaan Arci yang terdalam. Penis Arci yang tegang, kini di arahkan ke belahan liang senggama Safira.
"Aku ingin menghamilimu," kata Arci.
"Hah? Kenapa?"
"Agar kau tak pergi dariku."
"Dek, kamu serius?"
Arci mengangguk. "Aku tak bisa hidup tanpa kalian. Andini tetap harus menerima kita semua. Biarkan aku jadi ayah dari anakmu kak."
"Tapi..."
"Ssshh...kumohon!"
Safira ingin mengatakan kalau dia sudah hamil. Tapi melihat Arci ia jadi bingung. Arci menggulingkan tubuhnya, hingga Safira ada di bawahnya. Dia kemudian menghisap puting kakaknya. Safira mendesah. Dia selalu begini kalau Arci sudah memulai memainkan puting susunya. Mungkin baginya Arci adalah penyedot susu terbaik di dunia. Klien-kliennya pernah mengerjai dirinya, tapi tak seperti Arci yang penuh perasaan.
Mereka memulai bercinta lagi. Kini Arci tak menganggap Safira sebagai Andini. Arci memperlakukan Safira dengan lembut. Dikecupnya seluruh tubuh Safira. Bahkan sampai luka bekas operasinya pun dikecup. Safira terangsang. Setiap sentuhan adiknya sangat menggetarkan dirinya. Mungkin disaat semua orang bermimpi ingin bisa bersetubuh dengan kakak seseksi Safira, Arci sudah mendapatkan dirinya. Mendapatkan tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Safira masih ingat bagaimana pengalaman pertama adiknya bercinta dengan dirinya. Ia juga ingat bagaimana Arci mengerjai dia ketika tidur. Semua dilakukan atas perasaan cinta. Tapi ini cinta yang salah. Berkali-kali Arci merangsangnya, hingga telapak kakinya dijilati Arci, ia menggelinjang.
"Dek, udah. Kakak nggak kuat!" kata Safira.
Arci kemudian menarik tubuh kakaknya. Dipeluknya tubuh sang kakak. Mereka berdua lalu berpagutan, kedua lidah memutar-mutar, mencari celah birahi, dan ketika didapatkan Arci mengangkat sedikit paha Safira lalu memasukkan penisnya.
Tubuh Safira melengkung. Ia mendapatkan orgasme, padahal hanya disodok sekali oleh adiknya. Tentu saja Arci merasakan orgasme dahsyat Safira.
"Kak, kamu sangat menggairahkan. Siap yah, aku mau menghamili kamu," kata Arci.
"Sudahlah dek, jangan yah!"
Arci tak peduli, kini ia menggenjot kakaknya tanpa ampun. Safira kewalahan dan kepalanya bergerak kiri kanan. Kenikmatan kembali menjalar. Dua kelamin kini saling bergesek, menimbulkan suara kecipak basah dan becek. Arci makin tegang, ia semakin memasukkan penisnya dalam-dalam. Safira antara keenakan dan terharu tak bisa diungkapkan. Ia menggigit bibir bawahnya. Arci lalu memeluknya dengan erat, menekan buah dadanya.
"Ohhh...kaaaakk....ini, udah mau keluar. Aku keluarrrr....! Oohhhkk!" Arci pun menembakkan semua spermanya ke dalam rahim kakaknya. Berbeda, tentu saja. Kalau biasanya ia hanya mengeluarkan setengah, kini ia benamkan seluruh penisnya ke dalam liang senggama kakaknya. Safira menggigit pundak Arci.
Arci tak mencopot penisnya. Membiarkan terbenam di sana hingga setiap tetes spermanya habis keluar. Perlahan-lahan ia cabut. Nafasnya terengah-engah, Safira juga. Agak lama mereka terdiam.
"Kamu nggak ke kantor?" tanya Safira.
"Nggak, hari ini aku akan menghamili kakak biar kakak nggak pergi," jawab Arci.
"Dek, jangan kekanakan gitu ah, udah pergilah!" kata Safira.
Arci menggeleng.
"Sejujurnya....,"
"Aku tetap akan di rumah, kakak harus aku hamili!" Arci memotong kata-kata Safira.
Safira menghela nafas, "Kakak nggak bakal kemana-mana. Kamu hamili atau tidak, aku akan tetap di sini."
"Benarkah?"
"Iya, sekarang...pergilah. Kalau kamu memang ingin jadi ayah dari anak-anakku, kamu harus pergi bekerja. Nggak indehoy melulu!"
Arci tersenyum. "Makasih kak, untuk semuanya."
"Tak perlu berterima kasih, aku kakakmu," kata Safira.
"Rahma, ada waktu?" tanya Arci.
"Hmm? Errr...nggak tahu pak, eh Ci!" jawab Rahma.
"Aku ingin ngobrol sebentar, bisa? Nanti makan siang?" tanya Arci.
"B-bisa," jawab Rahma.
Arci pun menunggu Rahma keluar dari ruangannya. Begitu Rahma keluar, Arci langsung menggandengnya.
"Eh, ada apa Ci?" tanya Rahma.
"Bantuin aku ya," jawab Arci.
"Bantuin??"
"Aku akan cerita, kita di mobil aja. Makan yang jauh dari tempat ini."
Arci membawa Rahma pergi. Mereka cukup jauh untuk mencari tempat makan, hingga akhirnya mereka menemukan sebuah tempat makan lesehan yang agaknya cukup nyaman untuk dibuat ngobrol. Dan akhirnya mereka pun mengobrol. Arci merapikan rambutnya yang sedikit kucel dan berantakan. Rasanya tidak enak sekali kepalanya, mungkin pengaruh alkohol kemarin masih terasa.
"Ada masalah apa?" tanya Rahma.
"Aku ingin melakukan satu hal, tapi kamu mau atau nggak. Sebenarnya ini persoalan pribadiku. Tapi kalau kamu bersedia, oke deh kita lanjut."
"Apa sih?"
"Aku dan Andini sudah menjalin hubungan...."
"Haaaah??"
"Sssshh...jangan dipotong dulu!"
"OK, OK, jadi bener ya gosip itu?"
"Yeah whatever. Ketahuilah, sekarang ini situasinya sedikit kritis. Ia tak mau menerima aku karena satu kesalahan. Tapi jujur aku tak bisa untuk melepaskannya. Aku ingin dia kembali kepadaku. Aku ingin memancing emosinya agar ia mengakui kalau dia mencintaiku," ujar Arci.
"Gimana caranya?"
"Kamu mau jadi pacarku?"
"Hah??"
"Pura-pura saja. Kita jalan bareng, bermesraan gitu, bahkan kalau perlu aku bisa menyiapkan pernikahan asal-asalan."
"Ci, kamu gila!"
"Please, aku hanya ingin dia bilang kalau mencintaiku, setelah itu selesai."
"Ini nggak masuk akal Ci! Aku nggak mau!"
"Rahma please, siapa lagi yang bisa aku mintai tolong?? Justru aku memilihmu karena kamu dekat dengan Andini. Biar dia benci kamu dan dia akan memperjuangkan cintanya. Aku ingin dia kembali. Aku tak bisa hidup tanpa dia."
Rahma menghela nafas.
"Kamu bisa kan? Please, tolonglah. Kamu minta apa aja aku akan turuti. Termasuk mencari kekasihmu yang ada di London itu aku akan lakukan. Kumohon tolonglah aku!"
Rahma sedikit kaget. Ya, dengan kekayaan Arci sekarang, ia bisa saja menemukan Singgih. Rahma memang membutuhkan Singgih sekarang ini. Setelah hubungan yang tak jelas dengan Singgih ia bingung dengan statusnya. Singgle atau tidak. Rahma berpikir sejenak.
"Rahma, tolonglah!" kata Arci.
"Baiklah, aku mau. Tapi kamu bisa mencari Singgih untukku?"
"Bisa."
"Ini pura-pura saja kan?"
"Iya, pura-pura. Sampai Andini kembali kepadaku."
"Kalau dia tak kembali?"
"Dia pasti kembali."
Rahma dalam hati berkata, "Iya, ini pura-pura, tapi kalau aku sampai jatuh hati beneran kepadamu bagaimana?"
"Baiklah, tapi aku hanya membantumu kali ini," sambung Rahma.
"Terima kasih, terima kasih. Aku berterima kasih kepadamu."
"Eh, bentar girls, tunggu disit lhaa!" kata Rahma.
"Arep lemburan a?" tanya Sonia.
"Iyoi, wis tinggalen dhisit! Bu Dini belum ngijinin pulang, akeh garapan jes!"
"Ooo...yawes, tak tinggal yo!?" Nita melambai ke Rahma.
"Hati-hati! Ntar kesambet cowok ganteng," goda Rahma.
"Aamiin...klo gantengnya kayak bos baru kita ya... OK OK aja!" jawab Sonia.
"Rahma?!" Arci tiba-tiba ada di dekat Nita dan Sonia.
Nita dan Sonia langsung wajahnya memerah. Mereka jadi salah tingkah melihat Arci.
"Eh,...i..iya pak?" sahut Rahma gugup.
Nita dan Sonia buru-buru pergi.
"Lho, katanya kepengen kesambet cowok ganteng, koq kabur semua?" goda Arci.
Muka Nita dan Sonia memerah. Mereka malu setengah mati. "Nggak paaaak!?"
Arci ketawa. Rahma hanya tersenyum.
"Bu Dini ada?" tanya Arci.
"Ada, tapi....dia tak mau diganggu," kata Arci.
"Kamu ada waktu?" tanya Arci.
"Saya sedang ngurusi pembukuan pak," jawabnya.
"Halah, nggak usah bilang Pak. Kemarin saja bilang Arci. Biasa ajalah. OK, aku mau masuk."
"Tapi pak? Eh, Ci...!"
Arci tak menghiraukan Rahma. Ia mengetuk pintunya dan masuk. Andini kaget melihat kedatangan Arci.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Andini.
"Aku hanya ingin kejelasan. Apakah kamu masih mencintaiku?" tanya Arci.
Andini tidak menjawab. Mungkin terlalu keki bagi dia mengakui masih mencintai Arci. Dia teringat kemarin ketika Arci jalan dengan Safira. Betapa dadanya bergemuruh, terlebih Arci mengakui telah berhubungan dengan Safira. Andini meneteskan air mata.
"Keluarlah, kumohon. Jangan temui aku lagi," kata Andini.
Arci menghela nafas. Ia mendekati Andini. Andini memejamkan matanya. Arci mendekat dan kini tepat berada di hadapannya. Arci memegang wajah Andini lalu mencium orang yang sangat dicintainya itu. Andini tak bisa berbuat apa-apa. Ia ingin dicium, tapi ia tetap tak bisa menerimanya. Ia menerima ciuman Arci itu tapi ada sesuatu di dadanya yang tak ingin Arci ada di sini.
"Baiklah kalau kamu ingin seperti ini," kata Arci. "Aku akan buktikan kalau kamu masih mencintaiku. Dan ketahuilah, aku sangat mencintaimu. Aku tak bisa jauh darimu, tapi.... setelah ini kamu akan melihatku lain. Setelah aku keluar dari pintu ini aku tak akan lagi menemuimu. Aku tahu ini sulit. Menerima kenyataan bahwa aku mencintai kakakku sendiri memang sulit. Tapi aku jujur kepadamu, karena aku mencintaimu. Tak ada yang lebih baik bagiku selain kejujuran. Maafkan aku. Sekarang belum terlambat, aku masih disini. Katakanlah kalau kamu mencintaiku!?"
Andini masih memejamkan mata. Ia membisu. Arci melepaskan tangannya dari wajah Andini. Ia berbalik menuju pintu. Perlahan-lahan ia pegang gagang pintunya.
"Katakanlah kamu masih mencintaiku, kumohon!" kata Arci.
Andini terisak. Ia sangat mencintai Arci, dia ingin bicara, tapi mulutnya seperti tercekat.
"Aku sungguh mencintaimu. Kalau kamu tak menerimaku....baiklah, aku tak bisa memaksamu. Selamat tinggal...cinta," Arci membuka pintu dan keluar dari ruangan Andini.
Tangis Andini pecah. Ia langsung duduk di mejanya dan menangis sejadi-jadinya, "Arci.... aku mencintaimu.... hikkss.... maafkan aku, hikss... aku masih mencintaimu, huaaaaaaa...."
* * * * I LOVE YOU * * * *
Seumur hidup, Arci tak pernah mabuk. Baru kali ini ia minum wisky sampai mabuk. Dia pun sampai tertidur di bangku taman. Ghea yang seharian itu membuntutinya hanya menggeleng-geleng. Dia sudah mengetahui hubungan Arci dengan Andini, tentu saja percakapan Arci di dalam ruangan Andini ia pun tahu.
"Ayolah, kamu itu lelaki. Kenapa hanya urusan seorang wanita saja sampai seperti ini?" kata Ghea di depan Arci yang sedang tertidur.
Ghea lalu berjongkok. Dia mengusap wajah sepupunya itu. Entah kenapa hatinya sekarang nyaman ketika bisa mengusap wajah pemuda ini. Ia tak pernah mengerti yang namanya cinta. Tapi, apakah kini ia telah terkena virus itu? Dia menampar-nampar pipi Arci, tapi pemuda itu tak bangun. Ghea menghela nafas.
"Kenapa aku harus jadi babysitter?" gumamnya.
Dilihatnya wajah pemuda itu. Wajah Arci sangat mirip dengan pamannya Archer. Ghea masih ingat pamannya itu. Pamannya orang yang baik. Archer selalu memperlakukanya dengan lembut. Beda dengan ayahnya yang keras. Archer seorang penyayang. Maka dari itulah mungkin ia bisa melihat sisi kasih sayang pada diri seorang pelacur seperti Lian. Entah kenapa Ghea saat itu teringat dengan insiden ciumannya dengan Arci. Tiba-tiba timbul sisi feminim di dalam dirinya. Jantungnya berdebar-debar lagi. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Arci. Dan dia pun akhirnya menempelkan bibirnya ke bibir pemuda ini. Walaupun bau alkohol tapi ia tak peduli.
Ghea tersentak dan menjauh, "Tidak, tidak, tidak. Apa yang aku lakukan?" Ia berdiri lalu berpaling. "Apa yang terjadi kepadaku?" Jantungnya makin keras berdetak. "Fuck! Apa yang terjadi? Oh God..." Ghea melihat Arci sekali lagi.
Ghea memukul-mukul dadanya sendiri, berusaha menenangkan detak jantungnya. Ia lalu mengambil pistolnya dan membidik Arci. Air matanya jatuh keluar membasahi pipinya. Baru kali ini ia merasakan rasa seperti ini.
"What's wrong with me?" katanya. "Kenapa aku tak bisa menembakmu?? Fuck!"
Ghea menyarungkan kembali pistolnya. Dia lalu menarik badan Arci, kemudian ia memapahnya. Ghea sukar mengungkapkan perasaannya saat itu. Dia tak pernah tahu yang namanya cinta. Jadi dia menganggap perasaan aneh di dalam dadanya sebagai penyakit. Penyakit yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Ia berencana akan pergi ke dokter untuk melihat kejiwaannya.
Arci pun sampai di rumahnya. Pintu diketuk. Yang menyambutnya adalah Safira.
"Arci??!" panggil Safira.
"Dia mabuk," kata Ghea.
"Mabuk? Nggak mungkin, Arci tak pernah minum.... bau alkohol?!"
"Dia sedang galau, cintanya baru saja ditolak. Dia jujur kepada pacarnya tentang dirimu. Betapa gentlemen dirinya," kata Ghea.
"Apa? Tak mungkin!" Safira menerima Arci yang sempoyongan.
"Baiklah, jaga dia. Dia sekarang udah jadi orang besar, bagian dari keluarga kami," kata Ghea.
"Kamu?"
"Aku Ghea Zenedine, sepupunya. Sebaiknya, kamu selesaikan urusanmu dengan Andini, mungkin kalian bisa saling mengerti. Ah, kenapa aku harus peduli dengan urusan kalian? Aku pergi," Ghea kemudian meninggalkan mereka.
Safira segera memapah Arci masuk. Lian yang terbangun pun melihat kondisi Arci yang mengenaskan membantu Safira. Mereka memapah Arci sampai ke kamarnya.
"Kenapa dia?" tanya Lian.
"Katanya sih soal cinta," jawab Safira. Dia menghela nafas. Tak menyangka semuanya akan seperti ini. Safira merasa bersalah. "Apa aku pergi saja ya...?"
"Apa maksudmu?" tanya Lian.
"Gara-gara aku adek seperti ini," jawab Safira. Mereka berdua duduk di tepi ranjang. Safira membantu melepas sepatu adiknya.
"Apa sebabnya?"
"Arci jujur kepada kekasihnya tentang diriku. Mungkin terjadi sesuatu kepada mereka. Itu semua gara-gara aku."
"Tidak, Safira tidak. Bukan karenamu!"
Safira memeluk ibunya. Air matanya meleleh.
"Andini...aku mencintaimu....," Arci mengigau. Safira menoleh ke arah adiknya. Ia makin bersedih.
"Malam ini temani adikmu!" kata Lian.
Safira mengangguk. Setelah itu Lian pergi meninggalkan Safira dan Arci. Malam kian larut. Safira pun kemudian merebahkan diri di samping adiknya. Seperti malam-malam sebelumnya. Tapi mungkin kali ini beda. Kali ini ia menemani Arci yang sedang galau. Akhirnya ia pun tertidur sambil memeluk adiknya.
* * *
Baru beberapa jam tertidur, Safira kaget ketika ada yang meraba-raba dirinya. Ia terbangun dan mendapati pakaiannya telah terlepas dan dia melihat Arci sudah telanjang dan menindih dirinya. Ia tak sadar ketika bajunya dilucuti. Bahkan sekarang Arci menciumi lehernya sambil meremas-remas buah dadanya.
"Dini...ohhh..," desah Arci. Ia menyangka Safira adalah Andini.
Safira terasa sakit hatinya. Ia tak menyangka adiknya sangat mencintai wanita itu sampai menganggap dirinya adalah Andini. Dia pun hanya pasrah ketika Arci kemudian memasukkan penisnya yang keras ke liang senggamanya.
"Aahhhkk!" pekik Safira. Matanya mulai berair.
Arci menggenjotnya tanpa pemanasan membuat liang senggamanya serasa agak perih. Tapi lama kelamaan lendirnya mulai membasahi liang senggamanya membuat ia juga keenakan. Safira berusaha melayani Arci yang sedang kesetanan. Mungkin pengaruh minuman keras yang membuat Arci kini beringas. Ia tak puas menggarap Safira dengan gaya misionari. Kemudin ia membalikkan tubuhnya sehingga tengkurap. Diangkat sedikit pantat Safira, kemudian Arci memasukkan penisnya.
Blesss...
"Aaahhkk! Deek...pelan-pelan!" kata Safira.
"Andiniii...oohh...memekmu enak sekali," rancau Arci sambil memejamkan mata.
"Anggap aku Andini dek, ayo! Lakukanlah! Obati rasa sakit hatimu!" kata Safira.
Arci menggenjot Safira lagi. Ia merasakan keenakan ketika pantat Safira yang seksi itu bertemu dengan selakangannya. Penisnya berusaha mengoyak vagina kakaknya, lendir Safir makin banjir, ia juga menikmati persenggamaan ini walaupun Arci menganggapnya sebagai Andini. Ya, Safira menikmatinya. Itu juga karena ia ingin berlaku seprofesional mungkin untuk melayani adiknya. Hatinya terkoyak, tapi dia terlalu cinta kepada adiknya. Seandainya dia adalah istri Arci, mungkin ia akan marah. Tapi dia terlalu cinta.
"Ohhh....Dini, aku keluar! Aaahhkk!" Arci menyudahi persenggamaannya ini dengan semburan sperma bertubi-tubi ke rahim Safira. Dia pun ambruk sambil memeluk Safira dari belakang. Penisnya masih tertanam di dalam rahim Safira, berkedut-kedut mengeluarkan sisa-sisa sperma.
Tak berapa lama kemudian Arci tertidur. Safira juga. Pelukan Arci sangat erat hingga membuatnya nyaman.
"Arci, aku bingung... aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sedang mengandung benihmu. Kamu mencintai Andini, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku cemburu, tapi... kau mencintai dia," kata Safira.
* * *
Pagi menjelang. Arci terbangun. Ia kaget ketika bangun mendapati Safira dipeluknya. Dia kemudian memeluk kakaknya lagi. Menciumi punggung kakaknya. Ia sama sekali tak ingat kenapa dan bagaimana ia bisa berada di kamarnya, dengan memeluk kakaknya. Terakhir kali yang diingat ia berada di taman menghabiskan wisky.
"Sudah bangun?" tanya Safira.
"I-iya," jawab Arci.
"Kamu sedang galau ya?" tanya Safira.
"Kenapa kak?"
"Kemarin kamu mabuk, kemudian kita bercinta dengan hebat. Tapi kamu menganggapku sebagai Andini."
"Benarkah?"
"Iya. Diakah wanita yang kamu cintai?"
"Iya."
"Kenapa kamu jujur tentang hubungan kita?"
"Jujur atau tidak, ia akan tahu."
"Arci, kalau aku menghalangi hubungan kalian. Aku ingin pergi saja."
"Jangan! Kenapa kakak punya pemikiran seperti itu?"
Safira kemudian membalikkan tubuhnya. Matanya tampak sembab. Arci mengetahuinya. "Karena, aku mencintaimu. Aku tak mau kamu tersiksa. Aku ingin melihatmu bahagia."
"Itu hal bodoh yang aku ketahui. Justru biarkan dia tahu tentang kita. Dia harus menerima kita, lagi pula aku tak bisa hidup kalau kakak pergi."
"Tapi kamu tak bisa hidup juga kalau dia pergi."
"Aku tak bisa hidup tanpa kalian."
Safira menatap ke mata Arci dalam-dalam. Ia tak sanggup. Arci mendaratkan ciuman ke bibir kakaknya. Safira menerimanya, bahkan saat lidah mereka berdua bertemu Safira bisa merasakan perasaan Arci yang terdalam. Penis Arci yang tegang, kini di arahkan ke belahan liang senggama Safira.
"Aku ingin menghamilimu," kata Arci.
"Hah? Kenapa?"
"Agar kau tak pergi dariku."
"Dek, kamu serius?"
Arci mengangguk. "Aku tak bisa hidup tanpa kalian. Andini tetap harus menerima kita semua. Biarkan aku jadi ayah dari anakmu kak."
"Tapi..."
"Ssshh...kumohon!"
Safira ingin mengatakan kalau dia sudah hamil. Tapi melihat Arci ia jadi bingung. Arci menggulingkan tubuhnya, hingga Safira ada di bawahnya. Dia kemudian menghisap puting kakaknya. Safira mendesah. Dia selalu begini kalau Arci sudah memulai memainkan puting susunya. Mungkin baginya Arci adalah penyedot susu terbaik di dunia. Klien-kliennya pernah mengerjai dirinya, tapi tak seperti Arci yang penuh perasaan.
Mereka memulai bercinta lagi. Kini Arci tak menganggap Safira sebagai Andini. Arci memperlakukan Safira dengan lembut. Dikecupnya seluruh tubuh Safira. Bahkan sampai luka bekas operasinya pun dikecup. Safira terangsang. Setiap sentuhan adiknya sangat menggetarkan dirinya. Mungkin disaat semua orang bermimpi ingin bisa bersetubuh dengan kakak seseksi Safira, Arci sudah mendapatkan dirinya. Mendapatkan tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Safira masih ingat bagaimana pengalaman pertama adiknya bercinta dengan dirinya. Ia juga ingat bagaimana Arci mengerjai dia ketika tidur. Semua dilakukan atas perasaan cinta. Tapi ini cinta yang salah. Berkali-kali Arci merangsangnya, hingga telapak kakinya dijilati Arci, ia menggelinjang.
"Dek, udah. Kakak nggak kuat!" kata Safira.
Arci kemudian menarik tubuh kakaknya. Dipeluknya tubuh sang kakak. Mereka berdua lalu berpagutan, kedua lidah memutar-mutar, mencari celah birahi, dan ketika didapatkan Arci mengangkat sedikit paha Safira lalu memasukkan penisnya.
Tubuh Safira melengkung. Ia mendapatkan orgasme, padahal hanya disodok sekali oleh adiknya. Tentu saja Arci merasakan orgasme dahsyat Safira.
"Kak, kamu sangat menggairahkan. Siap yah, aku mau menghamili kamu," kata Arci.
"Sudahlah dek, jangan yah!"
Arci tak peduli, kini ia menggenjot kakaknya tanpa ampun. Safira kewalahan dan kepalanya bergerak kiri kanan. Kenikmatan kembali menjalar. Dua kelamin kini saling bergesek, menimbulkan suara kecipak basah dan becek. Arci makin tegang, ia semakin memasukkan penisnya dalam-dalam. Safira antara keenakan dan terharu tak bisa diungkapkan. Ia menggigit bibir bawahnya. Arci lalu memeluknya dengan erat, menekan buah dadanya.
"Ohhh...kaaaakk....ini, udah mau keluar. Aku keluarrrr....! Oohhhkk!" Arci pun menembakkan semua spermanya ke dalam rahim kakaknya. Berbeda, tentu saja. Kalau biasanya ia hanya mengeluarkan setengah, kini ia benamkan seluruh penisnya ke dalam liang senggama kakaknya. Safira menggigit pundak Arci.
Arci tak mencopot penisnya. Membiarkan terbenam di sana hingga setiap tetes spermanya habis keluar. Perlahan-lahan ia cabut. Nafasnya terengah-engah, Safira juga. Agak lama mereka terdiam.
"Kamu nggak ke kantor?" tanya Safira.
"Nggak, hari ini aku akan menghamili kakak biar kakak nggak pergi," jawab Arci.
"Dek, jangan kekanakan gitu ah, udah pergilah!" kata Safira.
Arci menggeleng.
"Sejujurnya....,"
"Aku tetap akan di rumah, kakak harus aku hamili!" Arci memotong kata-kata Safira.
Safira menghela nafas, "Kakak nggak bakal kemana-mana. Kamu hamili atau tidak, aku akan tetap di sini."
"Benarkah?"
"Iya, sekarang...pergilah. Kalau kamu memang ingin jadi ayah dari anak-anakku, kamu harus pergi bekerja. Nggak indehoy melulu!"
Arci tersenyum. "Makasih kak, untuk semuanya."
"Tak perlu berterima kasih, aku kakakmu," kata Safira.
* * * * I LOVE YOU * * * *
"Rahma, ada waktu?" tanya Arci.
"Hmm? Errr...nggak tahu pak, eh Ci!" jawab Rahma.
"Aku ingin ngobrol sebentar, bisa? Nanti makan siang?" tanya Arci.
"B-bisa," jawab Rahma.
Arci pun menunggu Rahma keluar dari ruangannya. Begitu Rahma keluar, Arci langsung menggandengnya.
"Eh, ada apa Ci?" tanya Rahma.
"Bantuin aku ya," jawab Arci.
"Bantuin??"
"Aku akan cerita, kita di mobil aja. Makan yang jauh dari tempat ini."
Arci membawa Rahma pergi. Mereka cukup jauh untuk mencari tempat makan, hingga akhirnya mereka menemukan sebuah tempat makan lesehan yang agaknya cukup nyaman untuk dibuat ngobrol. Dan akhirnya mereka pun mengobrol. Arci merapikan rambutnya yang sedikit kucel dan berantakan. Rasanya tidak enak sekali kepalanya, mungkin pengaruh alkohol kemarin masih terasa.
"Ada masalah apa?" tanya Rahma.
"Aku ingin melakukan satu hal, tapi kamu mau atau nggak. Sebenarnya ini persoalan pribadiku. Tapi kalau kamu bersedia, oke deh kita lanjut."
"Apa sih?"
"Aku dan Andini sudah menjalin hubungan...."
"Haaaah??"
"Sssshh...jangan dipotong dulu!"
"OK, OK, jadi bener ya gosip itu?"
"Yeah whatever. Ketahuilah, sekarang ini situasinya sedikit kritis. Ia tak mau menerima aku karena satu kesalahan. Tapi jujur aku tak bisa untuk melepaskannya. Aku ingin dia kembali kepadaku. Aku ingin memancing emosinya agar ia mengakui kalau dia mencintaiku," ujar Arci.
"Gimana caranya?"
"Kamu mau jadi pacarku?"
"Hah??"
"Pura-pura saja. Kita jalan bareng, bermesraan gitu, bahkan kalau perlu aku bisa menyiapkan pernikahan asal-asalan."
"Ci, kamu gila!"
"Please, aku hanya ingin dia bilang kalau mencintaiku, setelah itu selesai."
"Ini nggak masuk akal Ci! Aku nggak mau!"
"Rahma please, siapa lagi yang bisa aku mintai tolong?? Justru aku memilihmu karena kamu dekat dengan Andini. Biar dia benci kamu dan dia akan memperjuangkan cintanya. Aku ingin dia kembali. Aku tak bisa hidup tanpa dia."
Rahma menghela nafas.
"Kamu bisa kan? Please, tolonglah. Kamu minta apa aja aku akan turuti. Termasuk mencari kekasihmu yang ada di London itu aku akan lakukan. Kumohon tolonglah aku!"
Rahma sedikit kaget. Ya, dengan kekayaan Arci sekarang, ia bisa saja menemukan Singgih. Rahma memang membutuhkan Singgih sekarang ini. Setelah hubungan yang tak jelas dengan Singgih ia bingung dengan statusnya. Singgle atau tidak. Rahma berpikir sejenak.
"Rahma, tolonglah!" kata Arci.
"Baiklah, aku mau. Tapi kamu bisa mencari Singgih untukku?"
"Bisa."
"Ini pura-pura saja kan?"
"Iya, pura-pura. Sampai Andini kembali kepadaku."
"Kalau dia tak kembali?"
"Dia pasti kembali."
Rahma dalam hati berkata, "Iya, ini pura-pura, tapi kalau aku sampai jatuh hati beneran kepadamu bagaimana?"
"Baiklah, tapi aku hanya membantumu kali ini," sambung Rahma.
"Terima kasih, terima kasih. Aku berterima kasih kepadamu."
0 Response to "I Love You Episode 18"
Post a Comment