I Love You Episode 3


"Ci, dipanggil bos!" panggil Rahma.

Arci menoleh ke arah Rahma. "OK!" Ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian segera beranjak ke ruangan direktur Produksi. Sudah seminggu ini dia bekerja di perusahaan ini. Pekerjaannya cukup bagus, cukup rapi, cukup cepat untuk anak baru. Ternyata ijazah yang dibanggakannya sebagai mahasiswa cumlaude benar-benar nyata. Arci pun mengetuk pintu.

TOK! TOK! TOK!

Arci kemudian membuka pintu dan segera masuk. "Ada perlu dengan saya, bu?"

"Ah, iya. Sini sebentar!" kata Andini sambil memberikan isyarat agar Arci duduk. Pemuda itu pun segera mendekat kemudian duduk di hadapan atasannya. Arci mulai menduga-duga banyak hal.

"Ada apa, bu?"

"Begini, aku butuh kamu untuk menganalisa data tentang penjualan produk-produk yang tidak laku atau kurang diminati pasar. Aku ingin kamu cari cara bagaimana agar supaya barang-barang yang tidak laku itu bisa habis. Dalam arti stok kita habis, sehingga gudang itu bisa kosong dan kita bisa dapatkan laba dari barang-barang itu," kata Andini.

"Lho, bukannya itu tugas tim pemasaran bu?" kata Arci. Andini menatap tajam ke arah Arci. "Eh, maaf, teruskan!"

"Jadi, karena saat ini tim pemasaran stuck dan banyak kerjaan untuk produk-produk baru. Mereka memang diperlukan untuk itu. Aku ingin kamu cari cara bagaimana agar supaya gudang kita yang berisi barang-barang lama itu bisa laku terjual. Entah kamu pasarkan bagaimana kek caranya yang penting stok habis. Perusahaan ini lemah di bidang marketing online, kamu coba pasarkan lewat media online. Buat situs semenarik mungkin agar orang membeli ke kita. Kalau misalnya berhasil, aku ingin kamu yang menangani tim pemasaran dan sekaligus aku akan mengangkatmu menjadi manajer pemasaran yang sekarang ini kerjanya lamban kaya' siput."

Arci menelan ludah. Manajer?? Manajer???

"Tapi bu...," Arci ingin protes karena pekerjaan itu terlalu mendadak. Ia baru seminggu bekerja masa' harus dapat tugas begini berat.

"Aku beri waktu kamu dua minggu. Selesaikan! Kalau gagal kamu saya pecat," kata Andini.

"Heeh?? Jangan dong bu, masa' saya cuma seminggu langsung dipecat. Iya deh, iya deh."

"Nah, bagus. Kalau kamu butuh tentang data stok coba tanya-tanya Yusuf. Dia kan bagian Entry, pastinya hafal dengan semua barang-barang yang numpuk di gudang itu," kata Andini dengan nada ketus.

"Err...baik bu, saya coba," kata Arci.

"Kamu kerja apa main-main?"

"Kerja bu."

"Nggak usah pake coba-cobaan, langsung saja kerjakan!"

"Iya, bu. Maaf. Saya kerjakan sekarang?"

"Tahun depan!"

"Eh?"

"Ya sekaranglah! Udah sana!"

Arci agak keder juga melihat ketegasan Andini. Dia segera keluar dari ruangan bossnya. Rahma melirik ke arah Arci. Melihat Arci dengan mimik serius, pasti ada sesuatu.

"Ci!" panggil Rahma.

Arci menoleh ke arahnya. "Apa?"

"Ada apa tadi di dalem?" tanya Rahma.

"Ada kerjaan, berat kaya'nya," jawab Arci dengan sedikit nada datar.

"Oh, beneran? Emang apa kerjaannya?"

"Ngabisin stok barang lama di gudang."

"Heh? Itukan bukan tugasmu."

"Entahlah, yang nyuruh boss, mau gimana lagi?" Arci mengangkat bahunya.

Rahma hanya manggut-manggut. Arci segera kembali ke mejanya. Dia melonggarkan dasi yang dia pakai kemudian membuka satu kancing atas kemejanya. Lengan kemejanya pun dia gulung. Setelah itu ia menganyam jemarinya sampai berbunyi. Ia menepuk tangannya tepat di depan wajahnya. Hal itu membuat semua orang menoleh ke arahnya. Arci tak peduli. Ia langsung menggerakkan jemarinya dengan lincah di atas keyboard. Orang-orang yang kaget melihatnya tadi akhirnya kembali ke mejanya. Yusuf tambah lebih bingung dengan sikap Arci.

"Oh ya," Arci menghentikan aktivitasnya sejenak dan mendekat ke Yusuf yang meja kerjanya bersebalahan.

"Ada apa?" tanya Yusuf.

"Tadi Bu Dini ingin aku menganalisa data stok penjualan, aku butuh data barang yang saat ini ada di gudang. Terutama barang-barang lama," kata Arci.

Yusuf menegakkan alisnya, "Buat apa?"

"Aku ditugaskan untuk bisa menjual habis barang-barang itu."

"What?? Yang bener?? Itu tugas tim pemasaran."

"Entahlah, tapi sepertinya kata-kata Bu Dini tadi aku dengar sangat jelas di dalam sana."

"Hmm...sepertinya ada sesuatu nih," kata Yusuf sambil menggaruk-garuk dagunya.

"Apa?"

"Jadi gini ada isu yang mengatakan bahwa pihak marketing mau diganti jajaran manajemennya karena akhir-akhir ini penjualannya nggak segencar tahun lalu. Padahal sebentar lagi mau tutup tahun dan tentu saja kalau misalnya stok barang di gudang yang ada itu tidak habis bisa-bisa Bu Andini bakal dihabisi di rapat jajaran direksi."

"Kenapa barang-barang itu tak bisa dipasarkan oleh pihak marketing saat ini?"

"Masalahnya kita kekurangan tim di pihak marketing. Manajer pemasaran orangnya sedang sakit dan opname di rumah sakit. Namanya Pak Malik. Tapi sepertinya perusahaan tahu bahwa sakitnya Pak Malik nggak akan bisa ditolong lagi. Beliau kena komplikasi gula dan darah tinggi. Kita di tim marketing sudah kosong kepemimpinan selama dua minggu ini dan tak ada yang bisa menggantikan beliau. Kandidatnya nggak ada."

Arci manggut-manggut. "Baiklah, aku tahu sekarang permasalahannya."

"Trus, kamu punya ide bagaimana cara untuk memasarkannya?" tanya Yusuf.

Arci berdiri. Ia berjalan mondar-mandir, lalu menatap ke arah Rahma. Sebenarnya Arci menatap dengan tatapan kosong, karena ia tak benar-benar menatap Rahma. Tapi melihat Arci menatap ke arahnya Rahma jadi salah tingkah. Beberapa kali ia membenarkan rambut yang menutupi telinganya.

"Ini bocah ngapain ngelihatin aku?" kata Rahma dalam hati. "Nggak, nggak, nggak, dia emang cakep. Tapi aku udah punya cowok. Nggak deh, nggaak."

Arci kemudian berjalan ke tembok lalu melakukan handstand. Orang-orang heran melihatnya.

"Kon lapo rek, ngono iku?" tanya Yusuf.

"Mikir" jawab Arci.

"Wong edan," Yusuf melanjutkan pekerjaannya lagi.

Arci memang sering mendapatkan tekanan seperti ini. Dan melakukan handstand seperti ini adalah salah satu cara yang bisa membuatnya lebih bisa berpikir. Andini mengintip dari kaca jendela di kantornya. Ia ngikik melihat tingkah polah Arci.

"Dasar, anak aneh. Ayo, kamu pasti bisa. Buktikan kepadaku bahwa kuliahmu memang berhasil," kata Andini.

Tak sampai lima menit Arci menyudahinya. Setelah itu ia segera ke mejanya. Ia mengutak-atik komputernya. Entah apa yang dikerjakannya di sana. Yang jelas hari itu ia sampai lupa makan karena seharian berada di depan komputer.


* * * * I LOVE YOU* * * * ​

Siang hari Andini pergi ke kantin. Mungkin memang sedikit aneh bos di perusahaan ini mau makan di kantin bersama anak buahnya. Tapi begitulah Andini tiap hari. Ia tak pernah merasa tinggi, ia menganggap dirinya sama seperti yang lain. Ada satu yang selalu aneh dari dirinya, setiap kali ia makan tak pernah ada yang mau nimbrung. Mungkin karena kewibawaannya, mungkin juga karena tak ada makhluk yang pantas bersanding dengan ibu bos yang cantik itu. Melihat Arci tidak di kantin, Andini bertanya-tanya ke mana dia.

Ruangan kantor sepi, hanya Arci sendirian sedang mengutak-atik komputer. Ponselnya berdering, tapi nadanya ia matikan, hanya getaran. Berkali-kali ponselnya bergetar. Tapi dia tak peduli.

Andini kesal karena ponsel Arci tak diangkat. Dia kemudian beranjak kembali ke ruangannya. Orang-orang heran karena tak biasanya Andini bertingkah seperti ini. Biasanya dia duduk manis sambil menikmati makan siangnya berupa menu sayur sehat tanpa kolesterol dan jus wortel, straweberry, dan jeruk yang dicampur jadi satu. Namun kali ini belum sempat ia memesan apapun sudah pergi. Dengan rok selututnya ia tampak berjalan anggun. Memang ia menarik perhatian semua lelaki selain paras cantik, cara berjalannya pun mengakibatkan seluruh jajaran karyawati yang ada di pabrik itu lewat semua. Andini juga tak ketinggalan dalam hal mode. Terlihat dari sepatunya yang mahal, bahkan baju kantornya pun sangat trendi.

Andini kembali ke ruangannya dan melihat Arci sedang sibuk di meja kerjanya. Wanita karir ini pun menghampirinya.

"Nggak makan siang?" tanya Andini.

"Eh, ibu. Bikin kaget saja," jawab Arci.

"Ayo, makan siang!" ajaknya.

"Saya kerjain ini dulu."

"Nggak ada tapi-tapian, kamu ikut makan siang sama saya atau saya pecat."

Mendengar kata pecat bikin telinga Arci sensi. "Eh...i..iya deh, sebentar." Arci buru-buru logout dari komputernya. Ia mengambil ponselnya yang ada di meja. Ternyata ada 10 kali misscall dari nomor Andini.

"Kerja itu juga butuh istirahat. Kalau kamu tewas karena workaholic, yang rugi juga perusahaan. Kamu adalah aset berharga bagi perusahaan, maka dari itu jaga kondisimu," Andini menasehatinya.

Arci mengangguk. "Iya bu."

Mereka berdua pun berjalan bersama. Saat perjalanan menuju kantin, mereka berdua jadi perhatian. Baru kali ini Ibu Direktur mau berjalan dengan seorang cowok, walaupun ini bukan pertama tapi kali ini agak lain. Adini yang mengajaknya. Arci hanya mengikutinya saja sambil menjaga jarak, karena ia tahu bahwa banyak pasang mata yang melirik ke arah mereka.

Rahma saat itu sedang ada di kantin tampak kaget melihat mereka berdua masuk ke kantin. Langsung beberapa teman wanitanya berbisik-bisik.

"Eh lihat itu, si boss tahu aja cowok cakep," kata Nita teman kerja Rahma.

"Hihihi, siapa namanya?" tanya Sonia juga teman kerja Rahma.

"Namanya Arczre Vian Zainal. Aneh yah. Mirip nama bule," jawab Rahma.

"Yah, potongannya kaya' orang blesteran gitu. Tapi tampang harajuku hahahaha," Nita ketawa.

"Dia kan udah kenalan beberapa hari lalu, masa' kalian nggak tahu sih?" tanya Rahma ketus.

"Yee... kenal nama doang, tapi selama seminggu ini dia jadi pembicaraan cewek-cewek kantor tahu!" ujar Sonia. "Cakep yah."

"Selain cakep, kerjanya juga bagus koq. Kerjaan yang biasanya dikerjain Yusuf seharian, sama dia cuma sepuluh menit," kata Rahma.

"Hah? Nggak salah?" Nita tak percaya.

"Dan kaya'nya tadi di ruangan Bu Dini, Arci ini mau ditempatkan bagian pemasaran. Gantiin Pak Malik. Nggak tahu deh."

"Heh? Pak Malik? Ora salah kon?" tanya Sonia.

"Menejer yang sekarang sakit itu?" Nita nggak percaya lagi.

"Beneran. Makanya dia dikasih tugas agak sulit ama Bu Dini tadi. Whew, koq aku naksir dia ya?" tanya Rahma ceplas-ceplos. Memang mereka bertiga seperti itu suka ceplas-ceplos kalau sedang bersama-sama. Maka jangan heran kalau misalnya segala persoalan mereka bicarakan, bahkan sampai habisnya tissue toilet mereka bicarakan.

"Ciee..cieee.... yang naksir. Tapi aku juga naksir lho. Kita saingan dong," kata Sonia.

"Aku ikut deh, ngantri urutan paling depan pokoknya," sela Nita.

Mereka ketawa-ketiwi di meja mereka sendiri. Tiga cewek jomblo yang sedang ngincer cowok ter-cool di kantor ini. Tapi mereka paling tidak sekarang harus gigit jari karena sekarang Arci sedang semeja dengan Andini.

Seorang pelayan datang ke meja Andini. Dia membawa nota untuk dicatat.

"Pesan apa?" tanya Andini.

Arci melihat daftar menu makanan yang ada di meja. "Ibu sendiri?"

"Saya sih biasanya pesan sup sehat dan jus sehat."

Arci ragu untuk memesan.

"Nggak usah dipikirkan, aku yang bayarin. Kamu tinggal pilih."

"Saya jadi nggak enak. Biasanya juga cowok yang bayarin."

"Kali ini aku yang traktir. Lain kali saja kamu nraktir aku, gajian saja belum."

"Hehehehe, saya pesen nasi rawon saja deh, sama teh anget."

"Nasi rawon satu, teh anget satu, sup sehat satu, jus sehat satu. Gitu ya bu?" tanya pelayan mengulangi.

Andini mengangguk. "Iya."

Sang pelayan segera berbalik menuju dapur. Andini kembali menatap ke arah Arci. Ia melonggarkan dasinya. Andini sedikit tersenyum. Melihat itu Arci jadi heran. Senyuman bosnya ini sungguh manis dan renyah. Kalau misalnya ada rempeyek, maka rasanya seperti rempeyek yang paling garing digigit. KRIYUUUKKK! Apalagi kacangnya itu dikunyah rasanya sangat sensional. Dalam hidupnya, Arci tak pernah sedekat ini dengan perempuan. Bukan berarti dia lebih suka dekat dengan keluarganya, bukan itu. Ia tahu tabu rasanya dengan hubungan incest dia, hanya saja sekarang ini bukan itu yang menjadi masalah. Tak pernah ada wanita yang datang dalam kehidupannya. Dia melakukan itu semata-mata karena peristiwa ketika dia menjadi gigolo. Selama ini ia kerja keras, kuliah tinggi, berjuang hingga dapat nilai cumlaude, mengorbankan seluruh masa mudanya untuk belajar, belajar dan belajar, hingga sekarang ia duduk di sini. Diterima di perusahaan textil terkemuka di Indonesia.

"Semua karyawan cowok di sini itu nggak pakai dasi, cuma kamu yang kaya'nya pakaiannya resmi. Tapi nggak apa-apa, aku suka," kata Andini.

"Eh, i..iya bu. Hehehe," Arci nyengir. Ia baru saja sadar kalau memang semua pegawai cowok tak ada yang pakai dasi.

"Tapi jangan kamu lepas itu, kamu kelihatan tampan kalau pakai dasi."

Lagi, senyumannya itu membuat dunia seakan runtuh. Tiba-tiba dengan melihat senyuman bosnya ini perut Arci sudah merasa kenyang. Efek apa ini? Sihir? Ah, jaman sekarang koq ya ada sihir. Ini dunia nyata pren. Dunia nyata. Apa wanita ini pake susuk? Sudah menikahkah dia?

"Cantik," gumam Arci.

"Hmm? Kamu bilang apa?" tanya Andini mengejutkan dia.

"Oh, nggak koq bu. Nggak bilang apa-apa. Itu lho, sekretaris ibu cantik juga orangnya."

"Kamu suka ama dia?"

"Eh, nggak koq. Nggak."

"Aku nggak cantik?"

"Kamu...eh, ibu, cantik juga."

"Hahahaha. Aneh kamu ini. Oh ya, ceritain dong tentang keluargamu."

"Keluargaku...hmmm, mereka baik-baik saja. Begitulah. Ibu sudah membacanya di file saya bukan?"

"Aku cuma kepengen denger langsung dari kamu. Cerita aja!"

"Yah, saya hidup bersama ibu, kakak dan adik. Saya paling ganteng di rumah. Karena kakak dan adik saya cewek semua. Adik saya masih SMP dan sekarang sedang berjuang untuk UJIAN NASIONAL."

"Kerja apa ibu dan kakakmu?"

"Oh, mereka... ibu nggak kerja, kakak kerja kecil-kecilan."

Kerlingan mata Andini mengisyaratkan bahwa ia sepertinya tahu segalanya, hanya saja itu tak difahami oleh Arci. Ia lebih tertarik kepada wajah Andini yang menawan. Parfumnya sungguh harum, wangi khas Paris dibalut dengan lembut aroma Barcelona. Pasti parfumnya sangat mahal.

Tak berapa lama kemudian pesanan mereka sampai. Arci dan Andini makan bersama. Dan tiga cewek yang agak jauh dari mereka mengamati dengan rasa dongkol.

"Duuhh... mereka koq bisa makan bersama kaya' gitu ya? Mana Bu Dini ketawa-ketiwi seperti itu. Kaya'nya akrab banget." Rahma menahan dagunya dengan kedua tangannya. Minuman es campur buah yang ada di depan mereka tak disentuh, hanya melihat bagaimana akrabnya Arci dan Andini di meja makan mereka.

Nita, Sonia dan Rahma hanya menatap Arci dari kejauhan sambil mengaduk-aduk gelas es campur mereka sampai esnya mencair.

"Cakepnyaaa..." itulah gumaman mereka berkali-kali.

* * * * I LOVE YOU * * * * ​

"Makasih bu, makan siangnya," kata Arci.

"Mulai sekarang, kamu makan siang tiap hari sama saya," kata Andini.

"Hah? Tapi bu, jadi nggak enak ntar dilihat orang-orang."

"Kenapa? Kamu sudah punya cewek?"

"Nggak, blom punya."

"Nah, saya juga nggak punya cowok, single. Nggak masalah kan? Lanjut juga nggak masalah."

"Hah? Maksudnya?"

"Hahahaha, bercanda. Gitu aja dianggap serius," lagi, ketawa renyahnya Andini membuat jantung Arci nggak menentu.

Arci nyengir. Dia nggak nyangka bosnya bisa seagresif ini. "Tapi saya keberatan kalau tiap hari harus makan siang sama ibu."

"Ya sudah, nggak masalah koq. Selanya kamu saja. Tapi aku ngasih peraturan khusus untuk kamu. Waktunya istirahat, kamu harus istirahat. Kecuali lembur. Ok?"

"Siap bu."

"Nah, begitu. Aku nggak suka bawahanku orangnya workaholic semua."

"Oh, begitu."

"Malam Minggu ada acara?"

"Hmm?? Maksudnya?"

"Kamu kosong nggak malam minggu?"

"Biasanya sih, nggak. Cuma jagain ibu sama saudara-saudara saya di rumah."

"Kepengen nonton film di 21. Ada film bagus. Temenin aku yah."

"Err...gimana yah."

"OK, jam 5 sore aku tunggu di Matos."

"Lho, bu, saya belum bilang mau."

Andini tidak menghiraukannya. Ia sudah masuk ke ruangan kerja. Arci hanya menghela nafas.

"Mateng aku"

Perasaannya sekarang ini campur aduk. Apalagi dideketi oleh bosnya seperti ini. Memang banyak cewek dulu yang mendekati dia. Tapi ia selalu bisa menolaknya dengan halus. Nah, bagaimana menolak bosnya sendiri seperti ini? Apakah ia harus move on dan melupakan janjinya dulu? Lagipula ia sudah pindah ke Malang, mana mungkin juga Ibu Susiati bakal tahu di mana dia berada. Tapi yang namanya orang kaya seperti Bu Susiati pasti bisa membayar orang untuk melacak dirinya dan keluarganya. Arci lagi-lagi menghela nafas. Ia tak tahu harus bagaimana. Tapi ini adalah janji, dan ia harus bisa menolak halus atasannya itu walau bagaimana pun juga. Tapi jujur sebagai seorang lelaki normal ia juga terpesona dengan kecantikan Andini.

Sementara itu tiga gelas es campur buah yang sudah meleleh dibiarkan begitu saja di meja kantin. Tiga gadis yang nimbrung di meja kantin tadi meninggalkannya dan kembali kepada aktivitasnya masing-masing. Perasaan mereka tentu saja kecut, tak semanis es yang tadi mereka pesan. Saingan mereka berat. Saingan mereka adalah bos mereka sendiri.

Es campur, es campur, mubadzir banget.

0 Response to "I Love You Episode 3"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel