The Dark Lantern "Berani" Episode 12


NARASI RAY

Maria bersandar di bahuku. Dia tertidur pulas. Aku tak tega untuk membangunkannya. Dia mendengkur halus. Mungkin karena merasa nyaman di bahuku akhirnya ia tertidur. Aku belai rambutnya, rambutnya agak kemerahan dengan warna hitam yang lebih dominan mungkin karena terkena matahari. Bau parfumnya yang harum akan aku ingat selalu. Parfum ini sudah jadi ciri khasnya. Aku ingin melepaskan genggamannya tapi rasanya tak bisa. Ia erat sekali menggenggamku.

Baca Juga

Aku melihat Detektif Johan berada di pintu. Melihat Maria tidur di bahuku dia tersenyum. Kulihat hujan sudah mulai reda.

"Biar aku angkat tuan detektif," kataku. Dia mengijinkan aku.

Perlahan-lahan aku memaksa tangannya untuk melepaskan genggamanku. Lalu aku menyandarkan tubuhnya ke dadaku. Kemudian aku angkat dia. Kubopong perlahan hingga dengan lembut aku letakkan di atas ranjang. Setelah itu, aku mengambil selimut dan menyelimutinya. Kubelai rambutnya dan kuusap dahinya. Dia sangat cantik ketika tidur.

Aku lalu keluar kamarnya.

"Terima kasih tuan detektif. Maaf, tadi putrimu tertidur di bahuku," kataku.

"Ya, aku bisa lihat itu," kata Detektif Johan.

"Saya permisi," kataku.

"Ray, aku minta maaf kepadamu. Tapi...aku ingin bilang, sebaiknya jangan terlalu dekat dengan Maria. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dirinya. Kamu tahu sendiri bagaimana sikap mereka bukan?"

"Aku mengerti. Aku selama ini berusaha menjaga jarak agar mereka tak menyakiti Maria. Aku juga menjaga jarak dengan seluruh teman-temanku."

"Tina Einsburgh baru saja menghubungiku. Kalau kamu ingin bertemu dengannya dia ada di Syberia saat ini. Dia berpesan kepadamu gunakan uang yang dia pakai untuk menemuinya."

"Rusia? Ibuku ada di sana?"

"Aku hanya menerima pesannya. Dan aku sudah sampaikan kepadamu."

Aku memeluk Detektif Johan. "Makasih tuan detektif. Setelah aku bertemu dengan ibuku, aku akan berikan bayaranmu."

"Tak perlu," katanya.

Aku melepaskan pelukanku. "Kenapa?"

"Setidaknya karena kamu teman putriku, lagi pula uang pemberian ibumu sudah lebih dari cukup."

"Sekali lagi terima kasih detektif."

"Ah, nggak usah dipikirkan."

"Boleh aku minta satu hal?"

"Silakan."

"Setelah ini mungkin aku tak akan bertemu lagi dengan Maria. Dan bisa jadi ini adalah perjumpaan terakhirku. Aku ingin jujur kepada Anda, aku sangat mencintai putri Anda. Kalau boleh, ijinkan aku menciumnya untuk terakhir kali. Kumohon!"

Detektif Johan mengerutkan keningnya.

"Aku tak akan minta apa-apa lagi selain ini. Sekali saja."

Detektif Johan menghela nafas.

"Sekali!"

"Iya, sekali."

"Silakan!"

Aku segera berbalik menuju Maria yang sedang tertidur pulas. Detektif Johan melihatku.

"Sayang mana temannya Marr...," istri Detektif Johan kaget ketika suaminya membekapnya. Setelah ia melihatku ada di dalam kamar Maria ia pun diam.

Aku membungkukkan badan dan kucium bibir Maria untuk yang terakhir kali. Apakah aku akan bisa menciumnya lagi suatu saat nanti? Maafkan aku Maria, aku harus pergi. Ini adalah ciuman perpisahan kita. Aku harap aku bisa kembali menemuimu. Setelah itu aku berdiri dan menuju keluar kamar.

"Terima kasih detektif," kataku.

"Hati-hati, kamu tahu kamu berurusan dengan siapa bukan?"

"Ya, aku tahu."

"Ray jangan pergi!" tiba-tiba suara Maria terdengar. Aku menoleh ke arahnya. Ternyata dia hanya mengigau. Ayah dan ibunya juga kaget tadi. Aku harus pergi.

****

Setelah dari tempat Detektif Johan, Alex menghubungiku. Menyuruhku untuk datang ke sebuah gedung yang tak terpakai. Dia ingin memperkenalkan teman-temannya. Karena aku tak tahu harus kemana, maka aku pun menuruti dia. Gedung itu terletak jauh dari keramaian. Aku ke sana menggunakan taksi dan tentu saja jalan raya juga jauh dari tempat ini. Sepertinya gedung itu terbengkalai. Ada dua puluh lantai tapi gedung itu mangkrak, baru setengah jadi. Tiang-tiangnya saja sudah berkarat.

Aku masuk ke gedung itu. Di lantai pertama aku sudah disambut Alex.

"Yo, bro. Selamat datang! Kawan-kawan! Kenalkan, namanya Ray. Dia sama seperti kita," kata Alex.

"Hai, apa kabar?!" aku mendengar sebuah suara dari atas.

Ternyata Alex tak sendiri ada kurang lebih sepuluh orang di tempat ini. Salah seorang dari mereka bermain kerikil tapi kerikil itu melayang-layang di atas udara. Beberapa di antaranya ada yang merokok tapi menyalakan api dengan jarinya.

Salah seorang turun. Dia seorang anak kecil, rambutnya berombak. Tampangnya sok jagoan.

"Bisa apa dia?" tanyanya.

"Ray, kenalkan. Timoti, panggilannya Tim," kata Alex. "Kamu jangan menguji Ray, dia kalau marah bisa membekukan seluruh kota ini jadi es."

"Oh ya? Sama seperti aku dong. Aku juga bisa berbicara dengan air," kata Tim.

"Beda! Kamu hanya bisa bicara dengan air, dia bisa bicara dengan lebih dari satu elemen. Dia angin dan air," jelas Alex.

"Hah? Dua elemen? Kukira kita semua hanya bisa bicara dengan satu elemen," kata yang lainnya.

"Iya, bagaimana dia melakukannya? Aku juga mau," sahut yang lain lagi.

"Itu sudah bawaan dari lahir. Kalian juga bukan? Ray, coba tunjukkan kepada mereka!" pinta Alex.

Aku mengulurkan tanganku, cahaya biru keluar dari telapak tanganku. Kuperintahkan angin dan air untuk membekukan kaki mereka sementara. Kukibaskan tanganku ke udara, menyapu seluruh ruangan.

"Woi! Lo apain kaki gua?!" seru Tim.

"Tahu bukan perbedaannya?" tanya Alex. "Tapi Ray, kakiku juga ya jangan dong!"

Seluruh kaki mereka sekarang sedang tertanam di dalam balok es. Seorang yang mempunyai kekuatan api mencairkan balok es itu. Ia lalu membantu temannya yang lain. Kekuatannya seperti Agni. Dia seorang cowok kulitnya gelap dan rambutnya ikal.

"Oh, untung kita ada Jack, Jack bisa membantu kalian. Jangan khawatir!" kata Alex.

"Tak usah bingung, aku hanya sementara memasang balok es itu di kaki kalian. Lima menit lagi juga mencair," kataku.

"Kereeen! Aku tak menyangka bisa bertemu dengan orang dengan dua elemen sekaligus," kata Tim.

"Jadi, ini kelompokmu?" tanyaku

"Iya, begitulah. Kami menamakan diri VALIANT," ujar Alex.

"Nama pasaran. Apa nggak ada nama yang lain?" tanyaku.

"Emang kamu mau ngusulin apa?" tanya Alex.

"Nggak tahu. Aku nggak ada ide," kataku. "Oh ya, aku ingin memberitahumu sesuatu Lex."

"Apa?"

"Aku ingin pergi ke Syberia, menemui ibuku," kataku.

"Kamu sudah ketemu dengan ibumu?"

"Iya, detektif itu sudah menemukan ibuku. Aku takut ibuku juga akan diburu oleh mereka, aku mohon maaf tidak bisa membantu kalian di sini," kataku.

"Kamu bilang apa bro, kita saudara. Aku sudah menganggapmu sebagai sudara, tak perlu begitu. Kami akan membantumu, karena tujuan dari Valiant adalah kita bersatu, menyatukan kekuatan untuk menghadapi Dark Lantern," kata Alex.

Aku sangat menghargai idenya. Tapi aku harus pergi.

"Aku harus pergi Lex, aku akan do'akan perjuangan kalian berhasil," kataku. "Ini ada sesuatu untukmu dari ibu kepala."

Aku mengulurkan kalung salib pemberian ibu kepala. Alex menerimanya.

"Dari Ibu kepala ya?" tanyanya.

"Selama aku pergi, jagalah beliau! Juga anak-anak panti lainnya," kataku.

Tangan Alex tampak gemetar. Ia mencium kalung salib itu lalu memelukku. "Bro, aku nggak mau kamu pergi! Ayolah bro, aku sendirian di sini."

"Aku harus pergi. Aku ingin tahu semuanya, aku ingin tahu semua ini berawal. Setelah ini mungkin aku tak akan kembali lagi. Tapi aku masih berharap bisa kembali lagi," kataku.

Alex lebih erat lagi memelukku. "Jangan pergi bro! Setelah Agni, Troya, masa' kamu juga harus pergi? Lagipula kamu masih lemah. Kamu belum kuat."

Aku menepuk-nepuk punggungnya. Ia lalu melepaskan pelukannya.

"Aku sudah berbeda dari sebelumnya," kataku. "Sampai jumpa kawan-kawan, semoga kita bertemu lagi. Sampai jumpa."

Aku lalu berbalik meninggalkan mereka.

"Ray! Ray!" Alex berkali-kali memanggilku. Tapi maaf kawan, aku harus pergi.

NARASI MARIA

UAS sudah berakhir dan kami sudah masuk liburan natal dan tahun baru. Hiruk pikuk natal ada di mana-mana. Hari terakhir masuk sekolah Ray tidak masuk. Hari sabtu itu aku pun bertanya-tanya "Di mana Ray?" tak ada yang menjawab. Tak ada yang tahu. Entah kenapa hari itu aku merasa kehilangan Ray.

Andre pun heran.

"Kamu kenapa Say?" tanyanya.

"Kamu tahu kemana Ray?" tanyaku.

"Yaelah, dia emang misterius. Datang nggak diundang, pergi nggak diantar."

"Yee emangnya jaelangkung?"

Hari itu pun aku suntuk sekali, nggak mau ngapa-ngapain. Sekolah pulang cepat hari ini. Aku tidak bareng Andre. Aku bilang kepadanya aku jalan saja.

"Beib, ada apa sih sebenarnya? Ada yang aneh deh," katanya.

"Ndre, aku mau sendiri sementara ini. Plis ya," kataku.

"Ada masalahkah? Bilang dong!"

"Ndre, kamu baik. Kamu pengertian ama aku, tapi aku tak bisa berbagi ini kepadamu."

"Oh, Ok. Take your time kalau gitu. Aku pergi dulu ya, ntar dicariin nyokap," Andre menstarter sepeda motornya.

"Hati-hati ya!" kataku. Setelah itu aku hanya bisa melihatnya pergi menghilang dari pandangan dengan sepeda motornya.

Ada sesuatu perasaan di dalam dada yang tak bisa aku ungkapkan. Aku merasa rindu sekali dengan Ray. Kenapa aku ini? Aku merenung di sepanjang jalan. Hingga aku punya ide ingin menemui Ray di panti asuhan. Aku tidak langsung pulang hari itu. Segera aku pergi ke sana untuk mencarinya.

Aku pun disambut oleh suster Elizabeth.

"Ray, sudah pergi. Dia tak bilang ke mana," katanya.

"Tidak mungkin apakah ada nomor yang bisa dihubungi?" tanyaku.

"Dia tak membawa barang-barangnya. Sepertinya ia tak ingin dihubungi oleh siapapun," jawab Suster Elizabeth.

Mataku berkaca-kaca. Kenapa dia pergi? Ray, kenapa kamu pergi? Aku segera pulang ke rumah. Aku akan tanya ayah. Ia pasti tahu di mana Ray. Pasti dia mengetahuinya. Ayahku detektif hebat, pasti dia tahu.

Singkatnya aku pun sampai di rumah. Aku langsung ke tempat kerja ayahku.

"Ayah, di mana Ray?"

"Hei hei! Datang-datang langsung tanya sesuatu. Ada apa sih?" tanya ayah.

"Ayah nggak usah menyembunyikan ini, aku ingin tahu di mana Ray? Ayah pasti menyembunyikan sesuatu."

"Ayah tak menyembunyikan apa-apa sayangku."

"Ayah bohong, tatap mata aku! Tatap mata aku kalau ayah bicara jujur!"

Ayah tak berani menatapku. Ayah lalu menundukkan wajahnya dan mengusap wajahnya.

"Ayah, tolonglah aku beritahu di mana Ray?"

"Kenapa? Dia sudah ada dunianya sendiri Maria, dan dunianya sangat berbahaya. Ayah tak mau kamu celaka."

"Ayah tak tahu perasaan putrinya. Ayah jahat! Aku butuh dia ayah."

"Jangan katakan kamu jatuh cinta kepada dia?"

"Iya, aku cinta dia. Aku cinta kepadanya. Aku ingin bertemu dia sekarang, katakan!"

"Oh my God."

Aku menangis aku merasa kehilangan. Sesuatu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Dadaku serasa sakit, sesak sekali. Setiap aku memikirkan Ray, rasanya sesak sekali. Inikah perasaan cinta? Aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini kepada Andre. Rasa ini membuatku tak bisa bernafas.

"Ayah, tolong aku!" aku mulai ambruk.

Ayahku langsung cekatan berdiri dan menangkap tubuhku, "Mar, Maria?! Ibuuu! Ibuuu! Kesini!"

Ibuku langsung muncul dari pintu. "Maria?! Kenapa?"

"Ray...panggilkan Ray ayah! Panggilkan Ray!" bisikku. "Ray, jangan pergi!"

Aku susah bernafas. Nafasku sesak. Raayy...jangan pergi...

"Panggilkan dokter, panggilkan ambulan!" teriak ayahku.

Setelah itu aku tak sadarkan diri.

Semuanya jelas sekarang. Ada sesuatu yang aku lupakan selama ini. Dalam ketidak sadaranku itu aku ingat semuanya. Aku ingat seluruh detail kisahku dan Ray. Waktu itu awal-awal semester baru masuk sekolah. Raylah yang sebenarnya lebih perhatian kepadaku. Memang dia orangnya terlalu dingin, sok cool, pendiam, walaupun memang sebenarnya dia cakep. Aku tak pernah tahu siapa Ray. Tapi ia ternyata lebih mengetahui siapa aku.

Aku punya kebiasaan tanganku sering keluar keringat. Walaupun dia tak pernah bilang entah kenapa besoknya selalu ada tissue di bangkuku. Tak ada yang pernah mengaku siapa yang menaruhnya. Aku anggap itu dari Andre karena dia perhatian kepadaku. Tapi ternyata tidak. Andre tak tahu kalau telapak tanganku selalu berkeringat.

Saat aku berulang tahun ke-16, sama juga sih aku diperlakukan seperti ulang tahunku ke-17. Ray hanya melihatku dari jauh. Badanku kotor semua. Lucunya sih dia malah menyemprot aku dengan selang air. Dia tak mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Tapi, kenapa dia lakukan itu? Dia benci ulang tahun. Ternyata hal itu aku baru sadari sekarang. Dia ingin membersihkan tubuhku yang kotor waktu itu dengan menyemprot diriku. Teman-teman menganggap dia mengerjaiku. Tidak ternyata.

Aku pernah pingsan dalam pelajaran olahraga. Asmaku kumat. Dan waktu itu aku berada di gym. Entah bagaimana setelah itu aku terbangun di ruang UKS. Aku kira juga Andre waktu itu yang membawaku. Tapi ternyata tidak. Andre baru datang setelah diberi tahu teman-teman. Di kelas aku hanya melihat Ray yang sok cuek. Dia hanya melihatku dalam tatapan lega dan tersenyum. Itu dia. Dialah yang menolongku. Sebab tak ada satupun yang tahu aku pingsan saat itu. Entah kenapa dia ada di sana.

Aku memang terkadang naik monorail kalau Andre tidak mengantarku. Selama ini aku tak habis pikir, bukankah rute tempat panti asuhan Ray itu lebih dekat tidak pakai monorail? Semua itu aku jadi tahu. Aku jadi sadar, dia selalu mengikutiku. Dia selalu menemaniku dari jauh.

Apakah di tempat bioskop itu kebetulan? Entahlah. Mungkin tidak. Karena Ray tak suka nonton bioskop. Jadi kemarin itu adalah benar-benar murni karena kita memang dipertemukan.

Kenapa waktu pelajaran berlangsung Ray selalu menulis? Apakah dia menulis? Aku tak pernah melihat apa yang dia tulis. Ketika guru bertanya tentang apa yang diterangkannya Ray bisa menjawab, karena dia memang pintar. Tapi tunggu dulu apa yang dia tulis sebenarnya? Aku tinggal menoleh ke kanan aku bisa melihatnya melihat ke depan, tepat ke arahku. Jawabannya adalah dia menggambar diriku. Dan aku tak tahu berapa banyak kertas di bukunya yang dibuat untuk menggambar diriku.

Kenapa dia suka baca novel? Terlebih ketika aku sedang bicara, ketika aku sedang berjalan bersama Andre. Karena ia tak ingin diperhatikan. Ia yang ingin memperhatikan. Dia memperhatikan diriku dengan menyembunyikan diri terhadap sikapnya.

UTS itu....dia menasehatiku untuk tenang. Dia tahu aku sedang kesulitan. Dan entah kenapa aku bisa tenang.

Ray, aku tahu kamu menyukaiku. Aku tahu kamu sering memperhatikanku. Kamu sering melirik ke arahku. Aku sadar semuanya. Perhatianmu selama ini ke aku. Membuat hatiku sadar. Kamu telah mencuri hatiku sejak awal. Sebuah cinta yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Sebuah perasaan yang sudah kamu tanam ke diriku sejak awal. Walaupun engkau terlambat untuk jujur, tapi aku telah yakin Ray,...aku telah jatuh cinta kepadamu sejak dulu.

NARASI DETEKTIF JOHAN

Putriku sedang dimabuk cinta. Dan kenapa dia sampai seperti itu? Apalagi cintanya kepada Ray. Berbeda dengan Andre yang pernah ia katakan sudah jadian dengan dia itu. Kali ini Maria seperti baru saja menemukan sebuah oase di padang pasir. Ia tak pernah mencintai seseorang seperti ini sebelumnya. Bahkan sampai membuat asmanya kambuh.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Dia sudah stabil setelah dibawa ke rumah sakit. Tapi sekarang ia tak sadarkan diri. Dia selalu mengigau "Ray jangan pergi".

"Ayah, putri kita ini sedang jatuh cinta. Obatnya ya cuma satu panggil Ray!" kata istriku.

"Aku tak bisa. Dia sudah pergi. Bahkan mungkin tak akan kembali," kataku.

"Lihat! Lihat putri kita! Kamu tega melihatnya seperti itu?" tanya istriku.

"Aku tahu tapi....arrghh!" aku tak bisa berpikir lagi.

Apa yang sekarang dipikirkan Maria. Mana mungkin aku harus menyusul Ray ke Syberia. Itu jauh. Lagipula belum tentu ia ada di sana sekarang. Sebentar, bukankah Ray bilang dia akan berurusan dengan Dark Lantern? Itu dia, dia pasti akan mengobrak-abrik sekte itu. ATFIP, ya. Dia pasti akan kembali untuk mereka. Jadi aku tak perlu khawatir. Aku tak perlu mencari Ray sampai ke Syberia, karena dia akan datang kembali. Dan aku akan menguak misteri di balik Dark Lantern. Ini demi putriku.

***

Natal sudah tiba. Tapi putriku tak bisa merayakannya. Dia masih berada di kamarnya. Kondisinya drop. Aku juga sudah berusaha mencari Ray. Menemui ibu kepala Panti, bertanya ke teman-temannya, tak ada yang bisa tahu di mana Ray sekarang. Dan kulihat putriku terbaring lemah tak berdaya di kamarnya membuatku bersedih.

Tapi malam natal ini teman-temannya datang. Mereka semua menjenguk Maria. Mungkin Maria sedikit bahagia tapi tetap saja setelah teman-temannya pergi keceriaannya kembali redup. Dia masih melihat keluar jendela. Berharap ada sesuatu di sana yang menjadi keinginannya saat ini. Maria, apa yang harus aku lakukan.

Pukul delapan malam ada yang mengetuk lagi. Aku pun membuka pintu. Saat itulah aku lihat wajah yang tidak asing, Andre.

"Misi om, Marianya bagaimana?" tanyanya.

"Masuk aja!" kataku.

Andre lalu kuantar sampai ke kamarnya Maria. Maria melihat Andre dengan tersenyum.

"Hai Mar, gimana keadaanmu?" tanya Andre.

Aku melihat mereka dari pintu.

"Ndre...makasih ya udah datang," kata Maria.

"Ya aku harus datang dong, gimana sih?"

"Aku tahu kamu baik sekali orangnya, walaupun kadang nyebelin."

Andre sedikit tertawa. "Ya ya ya, aku tahu."

"Ndre, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu. Tapi kamu jangan marah ya?"

"Apaan sih?"

"Ndre...aku tahu kamu mencintaiku. Aku juga. Tapi....aku juga mencintai orang lain."

Andre terdiam. Raut mukanya berubah. Ia menunduk. Entah kecewa atau apa, pasti hatinya sakit sekarang.

"Kamu boleh koq marah ama aku sekarang, marahlah. Aku akan terima. Aku tahu aku mengecewakanmu. Aku yang salah."

Andre memegang tangan Maria, "Kenapa aku harus marah? Aku tak bisa marah kepadamu Mar. Aku tak bisa memarahi orang yang kucintai. Aku tak bisa."

"Maafkan aku ya Ndre, tapi dadaku ini sakiit, aku sesak sekali memikirkan dia, aku sekarang kehilangan dia, aku merindukan dia. Aku tak tahu kalau aku tiba-tiba bisa mencintai dia. Maafkan aku Ndre..."

Maria menangis. Andre berusaha menenangkannya. Aku tahu sebagai cowok yang mendapatkan kejujuran dari seorang yang dicintainya pasti sakit sekali mendapatkan kata-kata itu.

"Mar, kenapa kamu melakukan ini? Kitakan sudah lama bersama."

"Maafkan aku Ndre, marahlah kepadaku! Marahlah!" Maria masih menangis sambil menciumi tangan Andre.

"Mar, siapa dia? Siapa lelaki itu?"

"Dia...dia Ray."

"Ray? Anak pendiam itu? Bagaimana bisa kamu....oh, iya. Kamu mencari-cari dia waktu itu. Aku tahu sekarang...."

"Ndre...aku minta maaf. Aku tak bisa lagi menahan perasaanku ini. Dadaku sesak memikirkan dia. Dia sudah jadi nyawaku, setiap tarikan nafasku aku selalu ingat dia. Debaran jantungku.....rasa ini....," tiba-tiba Maria merasa sesak.

Aku segera masuk ke kamarnya. "Maria, Maria! Bertahanlah!"

Aku segera mengambil obat hirupnya. Kukocok alat itu, lalu kupasangkan di mulut Maria dan ia menghirupnya. Ia lalu mengambil nafas dan mulai lega lagi. Dari dekat aku bisa lihat mata Andre berkaca-kaca.

"Sebegitu besarkah cintamu kepadanya, Maria?" tanya Andre.

"Aku tak tahu Ndre, aku tak tahu. Tapi aku butuh dia, hatiku butuh dia," kata Maria.

"Mar, selama ini aku sudah memberikan cintaku kepadamu, masa' harus sampai di sini? Pikirkanlah baik-baik Mar! Kenapa harus aku yang kamu tinggalkan setelah lama kita bersama?"

"Aku tahu Ndre, aku tahu. Aku yang salah," Maria menyentuh dada Andre. "Aku ingat semua kenangan indah kita, aku ingat semuanya. Tapi aku baru sadar bahwa aku selama ini mencintai dia."

Maria menangis lagi. Rasa sedihnya ini bisa membuat dia makin sakit. Ray, kau apakan sih anakku ini sampai seperti ini sakitnya.

Andre menggenggam erat tangan Maria. "Baiklah, aku akan berjanji kepadamu. Aku akan cari Ray sampai ketemu. Aku akan pukul dia karena meninggalkanmu seperti ini."

Maria hanya tersenyum. Ia mengusap pipi Andre. "Makasih ya Ndre, kamu memang orang yang paling baik. Tolong jangan marah kepadanya. Marahlah kepadaku Ndre."

Andre lalu mencium kening Maria. Ia agak berat melepaskan tangan Maria.

"Om, om tahu di mana dia?" tanya Andre.

Aku menggeleng, "Ikut aku sebentar!"

Aku menggeret Andre keluar kamar. Kemudian kami bicara di tempat kerjaku. Aku jelaskan semuanya tentang Ray, tentang Dark Lantern, tentang segala hal yang aku lihat. Andre shock. Tangannya gemetar dan kakinya lemas.

"Anda tak bercanda?" tanyanya.

"Kamu kira apa yang terjadi dengan Maria itu bercanda?" tanyaku balik.

Kami hening. Hanya terdengar suara detik jam dinding. Andre benar-benar tak percaya terhadap apa yang barusan aku ceritakan. Tapi ia pasti akan menerima.

"Om, aku ingin menolong Maria. Tolong, apa yang harus aku lakukan?" tanya Andre.

"Aku takut kamu akan mati gara-gara ini. Ini bukan permainan anak-anak!" jawabku.

"Aku tahu, aku memang lemah. Tapi aku tidak mungkin berdiam diri saja melihat Maria. Ijinkan aku membantu Om. Aku akan lakukan apa saja agar Maria sembuh," katanya.

Dasar kalau sudah urusan cewek, anak laki-laki emang akan melakukan apa saja untuk orang yang dicintainya. Yah, aku tak dapat memaksa. Lagipula kerja dua orang lebih baik daripada kerja satu orang.

"Baiklah, tapi ini tidak akan mudah," kataku.

"Demi Maria aku akan lakukan apapun," kata Andre.

Dan dimulailah petualangan kami berdua setelah itu.


Related Posts

0 Response to "The Dark Lantern "Berani" Episode 12"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel