Akhwat dan Syahwat Episode 2


Dan, kan besok ada persiapan buat seminar nasional. Kayaknya sampe malam deh. Bawa mobil kamu ya. Soalnya nanti kayaknya bakal dipake buat nganter barang deh. -Demikian chat dari kak Tias-

Aku kembali melanjutkan kegiatanku. Kali ini, aku tidak memakai earphone lagi, aku kecilkan suaranya, sembari berharap suara erangan dari kamar kak Ridwan tetap bisa kudengar. Aku cuma mendengar kecil saja, itupun hanyalah suara erangan yang tertahan. Karena jengkel, aku segera memakai earphone kembali.

"Pagi Dandi. Unch. Makin ganteng aja kamu Dan" Kak Tias melontarkan senyum khasnya kepadaku.

Sedangkan aku hanya bisa diam. Jelas saja, mataku tidak bisa lepas dari buah dadanya yang seakan siap untuk diterkam, aku berani bertaruh jika di balik kemeja ketat warna krem yang ia kenakan, yang ada hanya BH saja. Dia seperti memancing hasrat para lelaki untuk melihat dadanya, dia sengaja menyampirkan ke belakang jilbab pashmina yang ia kenakan Sedangkan ia memakai celana kulot hitam. Ah, kalau saja dia bukan seniorku, mungkin saja dia sudah kuperkosa karena pakaiannya yang menantang kelaki - lakianku.

"Lho? kok bengong sih Dan? Mobil kamu mana? itu ada barang yang mau diambil di rumah pak Anto" Kak Tias mungkin sadar jika aku memperhatikan payudaranya, dia juga turut melihat payudaranya.

"Eh, iya kak. Bawa kok, emangnya sekarang ya mau dibawanya?" Tanyaku dengan kaget.

"Kamu kenapa sih Dan. Iya. Sini, kita berangkat bareng aja. Biar kakak yang bawa mobil, soalnya kamu belum liat rumahnya pak Anto kan?" Kak Tias dengan segera menuju parkiran fakultas.

"Eh, iya kak. Ini kuncinya" Aku mencoba menyusulnya menuju parkiran mobil fakultas

Sepanjang jalan menuju parkiran, pandanganku tak lepas dari bokong kak Tias. Memang tidak besar dan menggairahkan, tapi goyangannya saat berjalan yang menarik perhatianku. Ditambah pinggul yang ramping, tak ada orang yang tak ingin membuang kesempatan emas ini.





Kami tertahan macet selepas dari rumah pak Anto. Kali ini tetap kak Tias yang membawa mobil. Aku duduk di sebelah kak Tias. Di kursi belakangku, dipenuhi barang untuk persiapan seminar besok hari. Sepertinya macetnya akan panjang, karena disebabkan oleh aksi demo mahasiswa di depan kampus sendiri. Aku bisa tahu dari kepulan asap hitam tanda adanya pembakaran ban bekas dan mendengar suara megaphone yang terdengar lantang. Sejak lepas dari rumah pak Anto, aku dan kak Tias tak pernah berbincang. Hingga kak Tias memperbaiki duduknya lalu berkata.

"Dan, kamu udah punya pacar?" Jelas saja aku langsung kaget. Namun kucoba menjawab dengan tenang.

"Eh, belum kak. Nggak ada yang mau kayaknya"

"Gimana ada yang mau, otak kamu isinya bola aja" Kak Tias cuma bisa memajukan mobil sekitar 2 meter, keadaan lalu lintas macet parah.

"Dan, kakak denger kamu pacaran ama Chantika. Bener nggak?" Ah, pertanyaan basi.

"Nggak kok kak. Cuma temen aja. temen akrab tapi. Hehe. maklumlah kak, temen dari SMA"

"Oh pantes. Oh ya Dan, kakak mau tanya sesuatu nih" Jujur saja, aku tidak suka dengan pernyataan ini.

"Dari tadi, kamu perhatiin badan kakak ya?" DEG....aku kaget dan gelagapan

"Eh, anu.....Hmmmm, Nggak kok kak" Jawabku sambil dijawab dengan tertawa lepas kak Tias.

"Hahahaha.....Jujur aja kali kalau ama kakak. Kakak nggak punya pacar kok. Nggak bakalan ada yang mukul kamu. Dari tadi kamu liat toket kakak kan? Ngaku aja" Sial, kak Tias mulai frontal kepadaku.

"Eh, maaf kak. Habisnya...Nonjol sih. Eh..." Aku salah kata dan segera menutup mulutku

"Hahahahaha....Dasar mesum kamu. Ukuran BH kakak 32C. Kalau kakak ulang tahun, beliin yah Dan." Aku kaget bukan kepalang.

"Wah. Gede juga kak. Pantesan nonjol begitu" Kak Tias kembali menyampirkan jilbabnya ke belakang. Membuat dadanya kembali menonjol.

"Hahaha.....Itu pujian ya? Makasih lho Dan. Body kakak emang sebagus itu ya?" Aneh, kak Tias sama sekali tak merasa risih dengan percakapan kami.

"Bagus banget malah. Tapi bagusan badannya Tika sih" Aku mencoba menenangkan diri.

"Oh. Emang kamu udah pernah main ama Tika ya?"

"Eh...Belum kak. Cuma Tika pernah pake baju ketat kayak kakak sih. Enak aja main ama Tika, aku ini masih perjaka lho kak" Aku mulai nakal menjawab pertanyaan kak Tias.

"Kakak juga masih perawan. Mau perawanin nggak?" Ucap kak Tias bercanda sembari mendorong kepalaku. Tanpa terasa, kampus sudah ada depan mata. Kak Tias fokus pada kemudi mobil.





Aku tergopoh - gopoh berlari mengejar Chantika. Dia seperti marah padaku. Sejak pagi sampai siang, dia yang merupakan sekretaris acara seminar kami tahu jika aku dan Tias selalu bersama mempersiapkan ruangan seminar di fakultas, karena kami sama - sama divisi perlengkapan. Tapi entah kenapa, siang itu, Chantika seperti marah padaku.

"Kak Tiasnya mana? Tumben nggak ikutan" Muka Chantika terlihat cemberut

"Jyaaahhh....Ada yang cemburu aku jalan sama kak Tias. Kan udah selesai cantik" Aku mencubit hidungnya. Aku selalu melakukannya jika tahu kalau Chantika tidak suka aku dekat dengan perempuan lain.

"Iddih. Emang aku ini pacar kamu apa?" Chantika mencoba menghindari pertanyaanku

"Pacar sih nggak. Tapi rangkul tangan iya. Kayak kamu punya pacar aja" Aku mendorong kepalanya.

"Ih. Apaan sih. Eh, Dan, makan yuk" Ah, dia sudah normal sepertinya. jelas lah, jika sudah didorong kepalanya, pasti dia sudah senang. Anak aneh -_-





Karena aku bertanggung jawab sebagai penanggung jawab panggung acara di fakultas, aku terpaksa menginap di kampus malam itu. Aku sepertinya berjaga sendiri. Karena dua orang seniorku sepertinya sedang pergi membeli gorengan di dekat kampus, sedangkan tiga orang temanku yang lain tak tahu kemana. Aku berinisiatif berjalan jalan mengelilingi fakultas sembari menyenteri daerah sekitar fakultas untuk membunuh kebosanan. Sesampainya di pojokan fakultas yang sedikit terbengkalai, senterku sekelebat menangkap cahaya orang. Segera kumatikan senterku, aku mendekat dengan perlahan sembari menarik sebuah balok kayu.

Setelah kuperhatikan dengan seksama (Maklum, mata kiper, tajam bos). Aku melihat ada 4 orang. 3 orang seperti lelaki, satu orangnya perempuan, karena berambut panjang. Aku mendekat dan mendengar suara

"Kak, jangan kak." Rintih si wanita

"Hoy, bor. hajar nih, badannya kyak mantap nih." Seorang lelaki terlihat melucuti kemeja gadis itu dengan menarik kerasnya hingga terlempar kancingnya. Sau orang lagi kulihat sedang berusaha membuka celana jeans cewek yang sedang didudukkan di atas kursi itu.

"Kak. Jangan perk......Hmppppfhhh" Gadis itu memohon namun perkataannya ditahan oleh mulut lelaki yang mencium mulutnya dengan kasar.

"Wih. Kampret lu Sal. Padahal aku mau cium mulutnya nih ana. Seksi banget soalnya" Keluh seorang lagi yang sedang mengerjai puting payudara gadis itu. Sebelumnya dia telah melucuti BH si gadis dengan cara mematahkan penjepit tenganya.

"WOY !!! NGAPAIN LU SEMUA DISANA !!" Aku berteriak sembari memukulkan balokku ke lantai semen dan menyenter tepat ke arah tiga orang itu.

Seketika tiga orang itu segera lari. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi yang jelas, mereka sepertinya takut ketahuan. Aku segera berlari mendekati gadis yang terdengar menangis itu. Dia menangis sembari memeluk dadanya, aku mendekatinya. Keadaannya sangat membuat iba, rambutnya sudah tidak karuan lagi, kemej hijaunya sudah tidak berkancing lagi, BH putihnya sudah rusak bagian depannya dan tergeletak tidak jauh dari tempatnya duduk. Dia duduk sembari memperlihatkan daerah miss. V-nya yang sedikit berbulu dan CD putih berendanya yang dipelorotkan bersama celana jeansnya hingga lututnya. Setelah kusenteri secara seksama. aku sadar...

"Astaga, Riri. Kamu diapain?" Dia adalah Fajriana Zukriah, juniorku di jurusan

Dia tak menjawab, tapi segera memelukku dan menangis di dadaku. Aku membantu memberdirikan badannya yang tampak masih goyah untuk menarik CD dan celana jeans panjangnya. Dia masih menangis.

"Riri, kamu bisa jalan? Aku antar pulang ya?" Dia menggeleng.

Aku pun bersiap untuk menggendongnya dan membawanya ke mobil, berniat untuk membawanya pulang. Kuambil tas punggung kecilnya dan kupakai di depan, kupungut Branya lalu menggendong riri di punggungku. Dia masih menangis dan menyandarkan kepalanya ke punggungku. Sial, karena kancing kemejanya sudah tandas dan branya sudah rusak, tiada penghalang antara puting dan payudara Riri dengan punggungku kecuali baju kaos. Andai dia tidak menangis sesegukan, mungkin pikiran kotorku jauh lebih menguasai ketimbang pikiran pahlawanku.

Malam itu, aku tidur di karpet yang kupasang di dekat kasurku. Riri terpaksa memakai baju kaos kegiatanku, untunglah masih baru, jadi tidak ada bauku yang tertinggal disana. Sedari tadi, dia hanya sempat mengatakan satu kalimat.

"Aku diperkosa kak" Matanya sembam, tapi dia sudah tertidur.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam kehidupan kampusku, aku membawa cewek untuk menginap di kamarku.

0 Response to "Akhwat dan Syahwat Episode 2"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel