Cerita Anak Nakal Season 2 (Episode 1)

Warisan

Namaku Faiz. Boleh dibilang kehidupanku lumayan unik. Aku hidup dengan banyak saudara. Mereka adalah Putri, Icha dan Rendi. Aku anak nomor dua. Ayahku sendiri sangat kaya. Beliau menguasai bisnis toko waralaba bahkan sekarang pun menjadi pialang saham. Tidak hanya itu bisnisnya pun juga bergerak di bidang properti. Hampir semua gedung di kota ini perusahaannya yang membuat. Bahkan beberapa perumahan elit pun adalah dari perusahaannya. Jadi dengan kata lain, sangat tajir. Istrinya saja ada empat. Hebat kan?

Hanya saja dalam mendidik anak, dia tidak pernah pandang bulu. Walaupun punya istri empat dan juga masing-masing istrinya punya anak, bukan berarti salah satunya yang paling dimanja. Ayahku memegang prinsip keadilan. Well, di jaman segini ternyata masih ada yang punya rasa keadilan setinggi ayahku. Baiklah, ini adalah kisahku. Lebih tepatnya kisah perjalanan hidupku hingga aku mendapatkan cinta sejatiku. Hanya saja, untuk mendapatkannya tak semulus jalanku.

Cerita ini dimulai ketika aku masih duduk di bangku SMA. Di sekolah ini aku satu kelas dengan saudara tiriku Pandu. Dan kami semua tahu kalau Pandu ini anak yang paling disayang oleh ayahku. Bahkan kandidat terkuat untuk bisa mewarisi perusahaan ayahku sekarang ini. Kami tak iri bahkan kagum kepadanya. Sebab selain Pandu ini anaknya pintar, dapat beasiswa, dia adalah anak dari istri pertama ayahku. Makanya yang paling disayang, menurut beliau wajahnya selalu mengingatkan dia kepada mendiang istrinya yang telah tiada.

Sebenarnya Pandu ini orangnya baik, bahkan terlalu baik. Sekalipun di sekolahan dia dibully ia tetap mengalah. Akulah yang hampir setiap hari membela dia. Sekalipun dia kandidat terkuat mewarisi kerajaan ayahku, dia punya kelemahan yaitu penyakit asma. Penyakitnya ini sudah dideritanya sejak kecil. Sebagai anak kesayangan nomor dua, ayahku berpesan kepadaku untuk menjaga Pandu. Maka dari itulah aku dan Pandu selalu bersama, kami berbagi kenakalan bersama, kami juga berbagi kesenangan bersama, sedih juga bersama-sama. Lucunya juga dalam masalah cinta, kami juga mencintai orang yang sama. Bahkan tak jarang kami selalu bersaing untuk mendapatkan apapun. Termasuk juga cinta.

"Pan, masih ada ekskul?" tanyaku.

"Iya, kenapa?" tanyanya.

"Ya udah deh, aku tunggu aja kalau gitu," jawabku.

"Kalau ada acara tinggal pulang aja!" katanya.

"Ebuset, kita berangkat pake mobilmu monyong!" kataku.

Pandu ketawa, "Oiya lupa. Ya sudahlah tunggu aja, hari ini ada latihan soalnya."

"Ngomong-ngomong, kamu serius ya ama ekskul nyanyi ini? Mau jadi penyanyi?"

"Nggak taulah Iz, kamu tahu sendiri kalau aku ikut ekskul sepak bola misalnya, bisa mati aku cuma disuruh lari 100 meter aja."

"Bener juga sih. Oke deh, aku tunggu di perpus!"

"Nah, gitu dong, sekali-kali ke perpustakaan biar pinter. Nggak lihat bokep mulu."

"Halah, situ juga suka lihat."

Kami tertawa bersama lalu melakukan tos sebelum cabut ke tempat masing-masing.

Aku menuju ke perpustakaan. Perpustakaan sekolahan ini buka sampai sore. Setelah pulang sekolah memang beberapa orang anak masih duduk-duduk di bangku bahkan ada yang asyik bermain basket di lapangan basket. Beberapa di antaranya mengikuti ekskul. Pengunjung perpustakaan seperti biasa, sepi. Deretan rak buku memanjang seperti labirin berjejer buku-buku pelajaran, kamus, ensiklopedia dan buku-buku yang lain. Minus buku komik ataupun buku stensilan tentunya. Emang sekolah apaan?

Di perpustakaan pun aku iseng saja mencari buku sejarah. Entah kenapa kepengen banget baca buku sejarah. Maka aku ambil sebuah buku yang cukup tebal. Judulnya Di Bawah Bendera Revolusi. Eh, ini tulisannya Bung Karno. Lumayanlah untuk dibaca-baca. Tebel banget, mungkin ada sampai seribu halaman lebih. Aku pun mengambil tempat untuk membaca di sebuah meja yang kosong. Aku pun membuka bukunya dan ...... apa-apaan nih ejaan kuno semua. Jadi penulisannya masih memakai ejaan lama ternyata. Aku pun mulai menyesuaikan diri dengan membaca huruf "DJ" dibaca menjadi "J", huruf "J" dibaca menjadi "Y" ataupun "OE" menjadu "U".

Selagi asyik membaca saat itulah ada seorang cewek ikut mengambil tempat di mejaku. Cewek ini siapa yang tidak kenal. Dia ini cewek senior yang sama-sama disukai oleh aku dan Pandu. Namanya Vira. Rambutnya panjang, bau parfumnya itu sangat khas. Semacam parfum Perancis mungkin. Dan anaknya ini cukup kalem. Mungkin karena kalemnya ini kita jadi suka ama dia. Soal wajah, dia manis banget. Kulitnya putih. Waktu melihatku ada di perpustakaan dia nyeletuk.

"Tumben ada di perpustakaan," kata Vira.

Biarpun dikata dia seniorku, dia cukup kenal denganku. Ya iyalah, anak orang terkaya di kota ini masa' nggak dikenali. Dan Vira ini cukup kenal baik dengan aku. Aku pernah ngajak dia nonton bareng atau sekedar jalan bareng. Sama juga ama Pandu, ia juga diajak jalan bareng ama Pandu. Mungkin dia tahu kalau kita saingan merebutkan dia.

"Yah, nunggu Si Pandu tuh," kataku.

Dia tersenyum. Kumelirik buku yang diambilnya, buku Kamus bahasa Indonesia. Sepertinya ia sedang ada tugas. Ia mencatat sambil melihat kamus. Untuk beberapa menit lamanya ia tak melihatku karena sibuk menulis sedangkan aku sibuk melihat dia. Waduuh...pokoknya di dekat cewek ini rasanya aku bisa melihat taman-taman surga.

"Apaan?" tanyanya. Lamunanku pun langsung buyar.

"Eh, iya? Ada apa?" tanyaku.

"Kamu itu lho. Dari tadi melihatku terus, apa ada yang aneh ama mukaku" katanya.

"Oh tidak. Sama sekali tidak. Kau perfect koq," jawabku.

Ia menutup kamusnya. "Aku mau cabut, sampai besok yah."

"Eh, gitu aja?" tanyaku.

"Emang ada apa?"

"Ntar malem minggu kosong nggak? Boleh dong kita nonton bareng lagi. Ada film bagus lho."

Vira tersenyum sambil menggeleng-geleng. "Bilang aja mau ngajak kencan."

"Iya, emang mau ngajak kencan," jawabku.

"Sayangnya, aku sudah dibooking ama saudaramu besok Sabtu," katanya.

"Hah? Sialan. Keduluan deh," kataku.

Vira beranjak dari tempat duduknya, "Maaf ya, sampai nanti."

Aku memukul telapak tanganku sendiri. Sialan si Pandu, lebih gesit gerakannya daripada aku. Tapi aku ikhlas koq misalnya kalau Pandu bisa dapetin Vira. Kami sudah sepakat siapa pun yang dipilih oleh Vira maka dia harus menerimanya. Hanya saja aku tak pernah melihat mereka berdua jadian koq. Jadi ya tetep aja pe-de-ka-te dong.

"Tumben kamu di perpus?" celetuk seseorang. Dia adalah Bu Lina guru BP-ku.

"Eh, ibu. Belum pulang bu?"

"Justru aku yang harusnya tanya ama kamu, koq belum pulang?"

"Sedang nunggu Pandu bu."

"Oh, begitu," Bu Lina kemudian meninggalkanku. Beliau ini guru idolaku. Jilbabnya lebar, masih belum punya suami. Dia barusan lulus dua tahun yang lalu. Boleh dibilang dari semua guru di sekolahan beliaulah yang paling banyak ditaksir cowok-cowok. Dan kalau cowok konseling ama dia, lamaaaaa banget. Aku juga sering konseling ama beliau ini dan juga ikut-ikutan lamaaa banget kalau konseling. Hanya saja Si Pandu nggak suka ama Bu Lina ini. Mungkin dari sisi ini aku menang dari Pandu.

Aku lalu melanjutkan membacaku sampai entah berapa lama. Pokoknya ketika Pandu menelpon, aku segera cabut dari perpustakaan. Pandu keluar dari salah satu ruang ekskul bersama beberapa group vokalis lainnya. Setelah bertemu denganku kami pun pulang bersama memakai mobil Honda Jazz warna putih.

"Eh, gila kamu ya, udah ngajak si Vira jalan besok Sabtu, padahal aku mau ngajak dia," kataku.

Pandu tertawa. "Makanya siapa cepat dia dapat."

"Dasar, awas ya aku nggak mau kalah," kataku.

"Kamu bakalan kalah deh, besok Sabtu ini aku mau nembak dia," katanya.

"Buset, yang bener?"

"Lihat saja ntar!"

Aku lalu menengadahkan tangan dan mulutku komat-kamit.

"Ngapain?"

"Berdo'a biar kamu nggak diterima."

"Sialan lu!" Pandu memukul bahuku. Aku pun terkekeh-kekeh.

"Eh, hei lihat jalan! Lihat jalan!"

Agaknya jalanan macet membuat kami harus berjibaku dengan penuh kesabaran hingga sampai di rumah. Rumah kami ada di sebuah perumahan elit. Pandu tinggal bersama kami. Rumah dijaga oleh dua orang satpam yang berjaga bergiliran. Begitu mobil kami tiba sang satpam segera membuka pagar. Setelah mobil terparkir di dalam garasi, aku langsung melompat keluar dengan membawa ranselku.

Aku kemudian masuk ke rumah lebih dulu disusul Pandu. Di dalam aku melihat ibuku sedang menata meja makan.

"Udah makan Iz?" tanyanya.

"Belum bunda," jawabku.

"Ini masih tersisa banyak. Saudara-saudara kalian juga belum pulang koq, cuma Kak Putri saja yang sudah ada di rumah duluan," kata ibuku.

"Asyiik, mari makan!" kata Pandu.

"Pandu, hayo....ganti baju dulu!" kata ibuku sambil menjewer Pandu.

"Aduh duduh...iya Bunda Aula, iya!" kata Pandu. Ia mengambil sepotong lauk tempe yang ada di atas meja makan lalu berlari meninggalkan meja makan.

"Dasar Pandu!" gerutu ibuku.

Aku mencium tangan ibuku. Kemudian segera bergegas ke kamarku untuk mandi lalu ganti baju. Setelah wangi dan ganti baju aku menuju meja makan. Tampak Pandu sudah ada di sana. Aku kemudian menghabiskan nasi dengan sayur asem dan lauk tempe. Jangan dibayangkan orang tajir makannya spagheti atau pizza atau yang lain. Makanannya ya sama seperti penduduk lokal. Emang kita alien?

Setelah kenyang dan membereskan alat makan aku ke ruang keluarga. Di sini aku melihat Kak Putri ada di ruang tamu sedang menonton tv.

"Acaranya apa kak?" tanyaku.

"Lagi nonton film nih, Transformers," ujarnya. Ternyata dia sedang nonton HBO.

"Nggak kuliah?" tanyaku.

"Dosennya nggak masuk, makanya pulang duluan tadi," katanya.

"OH gitu ya?"

Aku melihat Pandu tampak sedang menelpon seseorang. Ia menjauh dariku, tapi aku bisa dengar jelas bagaimana dia mesra banget dengan lawan bicaranya. Arggh...sialan, itu pasti Vira.

"Iya dong, besok aku jemput yah? Si Faiz? Lagi nonton tv tuh ama kakaknya," kata Pandu sambil melirik ke arahku.

Aku lalu menggaruk-garuk rambutku padahal tidak gatal. Rambutku makin kusut.

"Ngapain?" tanya KAk Putri.

"Kalah deh ama Pandu," kataku.

"Soal cewek?" tanya Kak Putri.

"Ho-oh," jawabku.

"Hahahaha....kasihan deh lu."

"Ini kakak nggak belain malah ngejek, huuh..sini remotenya!" kataku sambil merebut remote dari tangan Kak Putri.

"Eits..nggak boleh! Enak aja aku yang pegang duluan koq."

"Sini!"

Aku dan Kak Putri pun bergelut berebut remote. Kak Putri ini memakai hotpants dan T-Shirt, jadi beberapa kali aku berebut remotenya hampir pasti aku juga memegang pahanya atau pun terkadang menyenggol payudaranya. Tapi karena kami saudara, apapun yang aku lakukan nggak ada efeknya. Aku juga begitu nggak ada rasa sebenarnya. Hanya saja, nanti perasaan itu pun muncul. Tapi belum sekarang.

Ketika kami berebut remote tiba-tiba ada tangan lain yang merebutnya. Kami berdua melihat Icha. Dengan tenang Icha memindah Channel ke Animax. Dan tampillah acara anime kesukaannya.

"Aaarrgghh...Ichaaaaa!" keluh kami berdua.

"Kalau kalian tak tahu cara gunain remote, biar aku aja!" katanya dengan nada datar lalu duduk di sofa dengan santai.

Satu hal kenapa kami tak berani merebut remote dari tangan Icha. Sebab kalau ia marah, maka ia akan menjerit dengan suara melengking yang akan mengakibatkan ibu marah besar dikira kami berbuat sesuatu kepadanya. Dan oleh karena itu, aku dan Kak Putri mengalah.

"Kamu sih!" Kak Putri memukulku dengan bantal sofa.

Icha ini masih SMP. Sama seperti Rendi mereka hanya terpaut satu tahun.

Begitulah hari-hari kami, keseruan di rumah. Berebut remote tv, bercanda, kadang juga kami musuhan antara satu sama yang lain. Bisa dibilang membuat bunda benar-benar naik pitam. Nggak ada yang salah kan? Normal bukan? Iya. Normal. Tapi hanya sesaat.

Hari ini ayah tidak ada di rumah, karena ia ke rumah istrinya yang lain. Biasalah, orang kalau sudah punya banyak istri harus menggilir istrinya dengan adil.

Hari sudah larut dan aku berada di kamarku. Iseng aku pun menelpon Vira. Awal mula aku dan Pandu suka ama Vira ini adalah ketika Masa Orientasi Sekolah. Vira jadi salah satu kakak seniornya. Dan dari situlah aku dan Pandu akhirnya berusaha untuk mencari perhatian dia, tanya nomor telepon dan seterusnya. Apalagi kita semua tahu ternyata Vira ini memang primadona di sekolah ini. Dan yang pasti dia ini jomblowati tulen berkualitas.

"Halo?!" sapa Vira.

"Halo Vir, lagi ngapain?" tanyaku.

"Lagi mau bobo', ada apa?" tanya Vira.

"Oh, sudah mau istirahat yah?"

"Iya nih, udah ngantuk. Takut besok nggak bisa bangun."

"Kalau nggak bisa bangun aku bangunin deh."

"Ih, emangnya situ jam beker?"

"Kamu kepengennya aku jadi jam beker? Boleh deh."

"Hahaha, ada ada saja. Ada apa nelpon jam segini. Udah jam sebelas nih."

"Oh, iya. Aku nggak lihat. Maklum biasanya nggak tidur waktu malem."

"Lho, emangnya kenapa? Insomnia."

"Aku ini sejenis batman. Keluarnya malem. Kalau siang tidur."

"Huuu...ngaco ah. Batman jadi-jadian kali."

"Masalah kalau malam aku itu sedang terbang mencari sesuatu."

"Emang cari apaan?"

"Mencari dirimu di hati aku."

"Adudududuh...rayuannya maut. Hihihihi."

"Sayang ya besok Malem Minggu kamu mau jalan ama Pandu. Padahal kepengen banget ngajak kamu nonton."

"Kenapa nggak besok aja? Kan besok hari Jum'at. Kalau kamu mau ngajak keluar, aku free koq"

"Yang bener?"

"Iya, lagian kalau hari Jum'at bioskopnya ada nonton hemat kan?"

"Betul betul betul."

"Ya sudah, aku mau bobo' nih."

"Besok habis pulang sekolah ya? Atau malemnya?"

"Malem dong, ntar aku nanti dicari nyak ama babe gara-gara nggak pulang habis sekolah."

"Asyiiikk...oke deh. Sampai besok yah. Dan jangan lupa!"

"Apaan?"

"Mimpiin aku dong."

"Huuu...emangnya bisa mimpi dipesen?"

"Bisa aja."

"Gimana caranya?"

"Sebut namaku tiga kali sebelum tidur, bayangin wajahku, ntar pasti bakal ketemu."

"Huu..emang apaan? Udah ah, bobo' dulu cowok cakep."

"Selamat tidur cewek cantik."

Aku pun menutup teleponnya. Yes...besok aku mau jalan ama Vira. Wooohooooo!
Aku mencintai kalian

Hari esoknya aku merencanakan bakal nembak Vira duluan. Aku pun mempersiapkan semuanya hari itu. Mulai dari hadiah, bunga dan lain-lain. Pandu sama sekali tak tahu rencanaku. Sengaja hari itu aku bertingkah seperti biasa. Tapi ketika aku bertemu dengan Vira, pandangan mata kami mengisyaratkan sesuatu. Aku pun berdebar-debar hari itu.

Bagai seorang petinju. Aku sedang galau. Galau misalnya nanti Vira nolak aku. Tapi aku tetap yakin aku pasti bisa dapatin Si Vira ini. Aku meng-SMS Vira ke nomor ponselnya.

"Jangan lupa nanti aku jemput ya?"

Dia pun membalas

"Iya, jemput jam enam?"

"Oke."

Pandu sore itu tak pergi ke mana-mana, mobilnya bisa aku pakai malam itu. Karena jam sudah menunjukkan pukul lima aku pun berangkat. Dengan pakaian necis, parfum yang sangat wangi, khas parfum pria, setangkai mawar merah dan sebuah kotak perhiasan yang berisi kalung aku bawa. Melihat aku berdandan seperti itu Kak Putri keheranan.

"Mau kemana lu?" tanyanya.

"Mau kencan dong," jawabku. "Udah ya!"

"Eh..eit..tunggu! Kakak ikut!" katanya.

"Hah? Ikut? Ikut kencan? Ogah ah. Bisa rusak suasananya nanti!"

"Siapa mau ikut kencan? Dasar dodol!" Kak Putri menonyor kepalaku.

"Aduh!"

"Anterin kakak ke rumah temen!"

"Temen apa temen hayoo?"

"Rese', udah ah. Bentar tunggu kakak dulu!"

"Aku tinggal!"

"Kalau lu berangkat tanpa aku, awas aku laporin ama ayah kalau kamu gunain mobil buat kencan ama cewek!"

"Waduh, koq tega sih?"

"Makanya tunggu!"

"Ya sudah deh."

Aku pun menunggu Kak Putri berdandan. Kurang lebih sepuluh menit kemudian dia sudah memakai jilbab, celana casual, kemeja dan jaket jins. Aku garuk-garuk kepala. Pake Jilbab tapi seksi amat?

"Ayo berangkat!"

Aku pun berangkat bersama kakakku. Dalam hati aku pun menggerutu, kenapa nggak naik taksi aja sih? Rumah teman Kak Putri cukup jauh, sehingga aku menghabiskan waktu setengah jam sendiri sebelum sampai ke rumah Vira. Tapi aku agak aneh melihat bangunan rumah kost teman Kak Putri ini. Bukannya itu tempat kos cowok? Ah, whatever. Aku pun segera pergi ke rumah Vira setelah itu.

Tepat pukul enam petang aku tiba. Aku lalu turun dari mobil. Vira langsung muncul dari dalam rumah. Alamaaak...ini manusia apa bidadari sih? Cakep banget. Dia memakai gaun berwarna biru. Sepatu hak tinggi, dan rambutya dibiarkan tergerai. Sebuah tas kecil tampak ia bawa dengan tangan kanannya.

"Hai," sapaku.

"Hai. Lumayan, tepat waktu," katanya.

"Iya dong," kataku.

"Berangkat?" tanyanya.

"Oh, sebelumnya. Aku ingin ngasih sesuatu ama kamu," jawabku.

"Apa itu?" Vira tersenyum kepadaku.

Aku mengeluarkan setangkai bunga mawar berwarna merah. Vira tertawa geli.

"Apaan sih?"

"Ini aku nembak kamu, masa' kamu nggak sensitif sih?"

Dia menutup mulutnya sambil menahan tawa. "Aduuhh... Faiz, Faiz."

"Vir, aku suka ama kamu, sejak pertama kali ketemu di Orientasi sekolah itu, aku sudah suka ama kamu. Tahu nggak sih selama setahun lebih aku suka ama kamu?"

Vira terdiam. Ia mulai melihat kesungguhan dari sorot mataku.

"Sebentar, aku kira kita mau jalan. Koq malah jadi ajang penembakan gini sih?" kata Vira. Damn, cakep banget dia malam ini. Kamu kalah Pandu, kamu kalah. Aku yang menang!

"Terima aja deh bunganya. Udah aku siapin lho, sampe toko bunganya aku beli juga," gombalku.

"Gombal, tapi terima kasih bunganya!" Vira menerima bungaku. "Nggak beracun kan kalau aku hirup?"

"Beracun, ntar kamu bisa mati," kataku.

Vira tertawa manis. Alamak, kalau dia terus-terusan ketawa macem gini, aku bisa pingsan di tempat deh melihat wajahnya yang cute itu. Dia menghirup bunganya. Wangilah. Dia melirik ke arahku.

"Tapi aku belum bisa jawab sekarang, nggak apa-apa kan?"

Hah? Waduh....kenapa?

"Kenapa?" tanyaku.

"Ya, nggak apa-apa. Gimana bisa jawab. Ada dua orang tampan, kaya, yang sama-sama jatuh cinta ama aku. Dan sama-sama nembak aku," kata Vira.

Ebuset. Siapa?

"Siapa?"

"Pandu ama kamu, tapi aku tahu koq kalau kalian sudah ngejar aku dari dulu. Aku tetap menganggap kalian sahabatku. Kalian adalah teman-temanku. Pandu hari ini nembak aku di sekolah. Aku belum bisa jawab. Eh, malemnya kamu juga nembak aku. Kalian ini dua saudara yang kompak ternyata," kata Vira.

Sialan. Si Pandu udah nembak duluan ternyata. Kalah lagi. Aku pun menampakkan muka kecut.

"Jadi kita jalan?" tanya Vira.

"Ya jadi dong, kalau kamu tak keberatan," jawabku.

"Kalau keberatan aku biasanya naruh barangnya," celetuk VIra.

"Kalau kamu berat, sini aku angkat," balasku.

Kami pun tertawa lepas.

Selama kencan itu, tanganku tak terpisahkan dari tangan Vira. Aku begitu erat menggenggam tangannya. Pdahal dia belum ngasih jawaban mau nerima aku apa nggak. Kami nonton bioskop kemudian disusul makan malam. Kemudian saat jalan-jalan seseorang menelponku. Dari Danny.

Danny ini anak orang kaya juga, sering nantang aku balapan liar. Katanya dia barusan punya mobil baru, Lotus Elise Exige Roadster 2013.

"Hai Dan? Ada apa?" tanyaku.

"Kamu ada di luar kan? Aku telpon saudaramu katanya kamu sedang di luar," kata Danny.

"Iya, kenapa?" tanyaku.

"Aku tantangin balapan nih. Satu lap aja. Sekalian mau ngetes mobil baru. hehehehe."

"Mobil Lotus milikmu?"

"Iya dong. Gimana?"

"Taruhannya apa?" tanyaku.

"Sepuluh juta? Kecil kan?"

"Siapa takut, sekarang?"

"Iya dong. Aku tunggu di jalan tol."

Danny kemudian menutup telponnya.

"Vir, ikut dulu sebentar yuk. Kita mau balapan," kataku.

"Hah? Faiz, nggak bahaya tuh?"

"Udah tenang aja. Aku pasti menang koq," kataku.

Aku pun melajukan mobilku memecah udara malam. Tak lama sih, hingga akhirnya aku sampai di dekat jalan tol. Tempat di mana aku bertemu dengan Danny. Kami pun sampai. Di sana ternyata sudah menunggu banyak orang.

"Woii...datang juga," kata Danny.

"Hai, apa kabar?" aku melakukan tos dengan Danny.

"Wah, bawa gebetan lu?" tanya Henri. Dia ini bandar balapan liar.

"Sshh...Hari ini mau aku tembak," kataku.

"Ohh..belum resmi, I see," kata Henri.

"Gimana? siap?" tanya Danny.

"Siap, sudah full tank. Satu lap kan? Yakin bisa ngalahin aku satu lap?" tanyaku.

"Ayo buktikan saja!" kata Danny.

Aku segera masuk ke mobil. Danny pun juga masuk ke mobilnya. Mobil Lotus-nya cukup keren. Entah dia beli dengan harga berapa. Yang jelas pasti hampir nyentuh 1 M atau lebih mungkin. Kemudian kedua mobil bersiap untuk masuk ke jalan tol. Yang menjadi pemberi aba-aba adalah Si Henri.

"Oke, siapa yang sampai duluan di kilometer lima, maka dia yang menang. Kita sekarang ada di kilomoter dua puluh. Mengerti ya? Ayo!" kata Henri.

Dia mengangkat sapu tangannya. Aku sudah bersiap.

"Kamu yakin Iz?" tanya Vira.

"Udah nggak apa-apa, pasang sabuk pengaman! Kalau kamu takut, tutup mata aja. Aku akan melindungimu sampai garis finish," kataku.

Vira pun memasang sabuk pengaman. Aku kemudian memasukkan gigi satu. Bendera diturunkan oleh Henri, aku segera menancapkan gas sedalam-dalamnya. Mobil Danny dan aku pun sama-sama seperti melompat. Yup, kami sudah berpacu dalam kecepatan tinggi. Vira sepertinya agak ketakutan melihat betapa cepatnya mobil ini melaju. Kecepatannya sudah lebih dari 100km dan terus naik. Dia mencengkram lenganku.

"Izz...Faizzz!!!!" jeritnya. Aku melewati sebuah truk gandengan, kemudian langsung melesat ke belakang bis, lalu mengambil arah kiri, kanan lalu melesat mendekati mobil LOtus yang sudah ada di depanku. Paling tidak sekarang si Danny kebingungan karena aku dan mobilnya bisa seimbang.

Mobil ini sudah aku modif bersama Pandu. Kuberi mesin turbo. Dan tentu saja satu lagi aku memasang NOS. Aku membuka sebuah kotak yang ada di dekat kemudi dan aku tekan tombol itu. Seketika itu mobil langsung melaju lebih cepat. Aku melihat Vira memejamkan mata. Jantung kami berpacu lebih cepat. Sedangkan mobil Lotus sudah jauh di belakang. Singkatnya malam itu aku menang balapan. Kami berkumpul lagi di tempat semula. Danny berkacak pinggang sambil menggeleng-geleng.

"Kalau aku tahu kamu pake NOS nggak bakal aku tantang kamu pake ini, dasar," kata Danny.

"Oke, silakan transfer ke rekening biasa. Kau sudah tahu kan?" tanyaku.

"Iya, iya, lain kali aku akan balas," kata Danny.

"Silakan saja, anytime bro!" kataku.

Vira yang masih shock menyandarkan tubuhnya di mobil sambil minum air mineral botol. Aku menghampirinya.

"Malam yang hebat kan?" tanyaku.

"Gila, kalau tahu aku tadi bisa melacu 200km/jam, nggak bakal deh aku jalan ama kamu," kata Vira.

"Sorry, kalau aku membuatmu shock," kataku.

"Jangan ulangi lagi," katanya.

"Oke, aku janji," kataku.

"Tapi, itu tadi pengalaman yang paling mendebarkan dalam hidupku. Kapan-kapan kau boleh koq paksa aku lagi," Vira mengedipkan mata.

Aku tertawa geli. Menurutku itu adalah wajahnya yang paling kyut yang pernah aku lihat.

Pukul setengah sebelas aku nganter dia pulang. Acara malam itu kami habiskan dengan banyak bercerita dan bercanda. Dan tibalah kami akan berpisah.

"Vira, sebentar!" kataku.

Vira yang hendak masuk ke rumahnya itu berhenti dan berbalik. Aku mengeluarkan sbuah kotak yang aku hadiahkan untuk Vira. Kotak perhiasan berisi kalung.

"Apaan sih?" tanyanya.

"Ini buat kamu, buka aja!" kataku.

Ia menerima kotak itu. Dan ia sangat takjub. Tentu saja. Itu kalung perhiasan yang aku beli dari uang sakuku sendiri.

"Oh tidak, Faiz. Ini terlalu berharga. Aku tak bisa menerimanya, pasti mahal," katanya.

"Nggak apa-apa, terima aja!" kataku.

"Tapi...." jari telunjukku menyentuh bibirnya.

Sekelebat kemudian bibirku sudah menempel di bibirnya. Kedua pasang mata kami terpejam. Terus terang itu reflek. Entah kenapa aku bisa menciumnya malam itu. Dadaku berdebar-debar. Tentu saja. Saat bibir kami berpisah dengan perlahan-lahan, mata kami kembali terbuka. Aku kemudian membuka kotak perhiasan itu dan memakaikan kalung tersebut ke leher Vira. Setelah first Kiss kita itu, Vira tak berkata apapun.

"Sorry, kalau aku tak menciummu sekarang, aku tak tahu kapan lagi akan menciummu. Seandainya kau lebih memilih Pandu, aku rela koq. Memang kita selalu bersaing. Tapi, aku tetap berharap kau bisa menerimaku dan memilihku," kataku.

Vira mengusap pipiku.

"Makasih ya malam ini, sebenarnya aku mencintai kalian berdua. Dan sekarang kalian memberikan aku pilihan yang tersulit dalam hidupku. Tapi, kau bertindak lebih dulu menciumku. Ini first kiss kita, aku tak akan pernah melupakannya seumur hidupku. Aku sekarang bingung memilih siapa, Kalian jahat!" kata Vira.

Aku tersenyum hingga gigiku kelihatan.

"Sampai besok?" tanyaku.

"Mungkin malam ini aku mati saja deh," kata Vira.

"Lho, koq?"

"Ciuman tadi hampir bikin jantungku copot tahu?!"

"Mau lagi?"

"Ih, maunya. Kamu lakuin lagi aku tabok...!"

Aku dengan gerak cepat menciumnya lagi. Tentu saja Vira gelagapan. Tapi ia pun akhirnya menyerah. Kami akhirnya berciuman sambil berpelukan. Dan kali ini lidah kami yang bicara. Dari ciuman biasa hingga kemudian french kiss. Aku lalu melepaskannya.

"Udah, dibilang kalau kamu lakuin lagi bakal aku tabok. Nih!" Vira pun menamparku.

"Aww...!" sakit, panas terasa di pipi.

"Lain kali jangan lakuin lagi. Kalau mau nyium ngomong dong!" kata Vira.

"Boleh nyium lagi?" tanyaku.

"Ngga...hhhmmmhh..." belum sempat ia berkata, aku sudah menciumnya lagi. Tapi tak selama sebelumnya.

Wajah Vira memerah. "Ishh..udah ah, kalau tetep di sini ntar bibirku dibawa pergi ama kamu. Udah sana pergi, ntar ketahuan bokapku tau rasa kamu."

"Hihihihi, sekalian saja deh sini aku lamar kamu," kataku.

"Ogah....dibilang tunggu jawabannya koq udah nyosor duluan," kata Vira.

"Oh, jadi masih belum ada jawaban toh? kukira sudah. Koq tadi nggak menolak aku cium?"

"Soalnya, ciumanmu maut!" goda Vira.

Ia segera bergegas masuk ke rumah dengan wajah memerah.

Aku segera melompat-lompat, senang sekali hari itu. Berkali-kali aku berpose Yes, Yes Yes! Segera aku pulang.

Hari sudah larut ketika aku sampai di rumah. Dengan bersiul-siul aku masuk ke dalam rumah. Dengan wajah kemenangan aku pun segera masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri. Dan tentu saja. Wajah Vira yang baru saja kucium selalu terbayang hingga terbawa mimpi.

NARASI VIRA

Aduh......gimana ini...aku barusan dicium ama Faiz. Dia keren sih, ganteng, cakep, tajir, tapi saudaranya juga naksir aku. Sama-sama ganteng, cakep, tajir pula. Gimana dong? Moga aja tadi ciumannya nggak dilihat ama orang rumah, bisa berabe ntar.

"Siapa itu?" tanya ayah. Dia ternyata berdiri di jendela. Alamaaak, jadi ayah tahu semua. Mateng aku.

"T..temen koq yah," jawabku.

"Temen koq sampe pake ciuman segala?" tanyanya.

"Tadi nggak sengaja, itu kecelakaan," kataku.

"Kecelakaan? Koq sampe tiga kali?"

"Hush,...udah yah, kaya' nggak pernah muda saja. Beruntung toh, si Vira dapat cowok anaknya konglomerat," ternyata ibu juga ada di sebelah ayah. Jadi selama ini tadi mereka melihat.

"Tapi ya nggak bisa gitu dong bu, masa' ciuman di luar?" tanya ayah.

"Apa bapak mau lihat mereka berdua ciuman di rumah ini?" tanya ibu.

Ayah tampak menampakkan wajah nggak suka.

"Ayah, ibu, udah. Vira mau tidur dulu. Emang dikira apaan?" dengan wajah malu aku pun segera pergi ke kamar.

Aku lalu mencopot gaun yang kupilih malam ini. Sesekali aku melihat kalung pemberian Faiz. Agaknya aku lebih memilih Faiz daripada Pandu. Faiz romantis, tapi Pandu tidak begitu. Pandu bicara apa adanya, tapi Faiz lebih lembut. Tapi, aku dari dulu naksir ama Pandu, bukan ama Faiz. Namun apa yang dilakukan Faiz hari ini, membuatku menilai Faiz lebih baik daripada Pandu. Keduanya bukan orang yang playboy sih, walaupun banyak cewek yang naksir. Bibirku....masih serasa bagaimana lidah dia membasahi bibirku. Ohh...tuhan....kenapa aku jadi memikirkan Faiz???

Faiz....kamu mimpiin aku nggak? Maaf Pandu, sepertinya aku harus memilih Faiz.

Hari Sabtu. Rencananya malam ini aku akan diajak keluar oleh Pandu. Aku hari ini berencana untuk memberikan jawaban kepada Pandu yang kemarin sudah menembakku. Kemarin ketika pulang sekolah aku bertemu dengan dia. Cara nembaknya beda dikit ama Faiz. Dia sama memberikan bunga kepadaku dan dia memberikanku hadiah coklat. Tapi aku tak suka coklat. Aku menerima saja hadiah itu tapi setelah itu aku berikan kepada teman-temanku. Aku bilang jawabannya nunggu besok.

Memang aku banyak yang dekati. Nggak cuma Pandu sama Faiz saja. Anak-anak cowok seangkatanku juga banyak yang dekati, tapi aku jual mahal dan cuek. Mereka cuma mendekati aku tapi tak pernah nembak aku. Beda dengan Pandu ama Faiz. Mereka entah darimana berani nembak senior mereka sendiri.

Namun entah kenapa hari ini aku dikejutkan dengan kabar dari Pandu. Dia pingsan saat jam pelajaran sedang berlangsung. Kenapa? Sebagai orang yang juga mencintainya, aku pun segera bergegas ke ruang UKS ketika jam istirahat datang. Saat itulah aku melihat seseorang yang tak aku kenal. Rambutnya berwarna putih keabu-abuan, namun tercukur rapi. Badannya tegap dan dia sedang berbicara dengan Faiz. Dari baju kemejanya yang necis dan sepatu hitamnya yang mengkilat, aku yakin dia pasti ayahnya Faiz. Seorang konglomerat yang menjadi dua puluh besar konglomerat di negeri ini. Doni Hendrajaya. Tapi kenapa sampai datang ke sekolah?

Aku pun menguping pembicaraan mereka.

"Faiz, sepertinya ayah ingin mengubah keputusan ayah," kata ayahnya Faiz.

"Keputusan apa?" tanya Faiz.

"Ayah sebenarnya memang berpesan kepada pihak sekolah kalau-kalau Pandu pingsan secara tiba-tiba seperti ini. Sejak kecil Pandu menderita kelainan pada otaknya. Karena kelainan itulah dia selalu sakit-sakitan. Hilang keseimbangan dan seterusnya. Sebenrnya kita sudah menggunakan hampir semua cara untuk menyembuhkannya. Dokter dulu hanya mengatakan bahwa dia akan sehat-sehat saja sampai usia dua puluhan. Kalau misalnya kurang dari itu maka dia tak akan bisa ditolong lagi. Pandu sekarang ini sedang sekarat dan aku tak bisa menyerahkan perusahaan ini kepada dia. Aku ingin engkaulah yang memegangnya," kata ayahnya Faiz.

"Hah? Ayah, ini nggak salah? Aku? Kenapa harus aku? Pandu yang lebih berhak! Dia...dia...."

"Aku tahu, Pandu yang seharusnya memiliki semuanya, tapi aku tak mungkin menyerahkan semua ini kepada orang yang sakit, ketahuilah itu. Aku tak tahu berapa lama lagi Pandu akan bertahan dengan keadaannya ini. Aku sangat bersedih, Faiz."

Melihat ayahnya berkaca-kaca Faiz lalu memeluknya. Aku tak menyangka kalau Pandu sakit dan sedang sekarat.

"Tapi ini terlalu mendadak ayah, aku masih berharap setelah aku lulus aku bisa memikirkan hal ini, tapi..."

"Aku tahu, ini berat. Selesaikan saja sekolahmu, setelah itu kamu akan aku ajari untuk mengatur semuanya. Paling tidak, berikanlah kehidupan yang baik di saat-saat terakhirnya. Jangan tampakkan wajah sedih. Semuanya sudah aku beritahu tentang Pandu. Aku sebenarnya menyimpan hal ini sudah sangat lama. Hingga sekarang aku bisa mengatakannya. Ingat, berikanlah kebahagiaan kepada Pandu. Kau menyayangi saudaramu bukan?"

"Iya, tentu saja. Aku sangat menyayanginya."

"Ya sudah ayah tinggal dulu. Ingat, jangan pernah kau tampakkan kesedihan. Buatlah hari-hari Pandu penuh dengan kebahagiaan."

Setelah itu Pak Hendrajaya pergi dengan wajah murung. Aku hanya melihat Faiz sendirian berdiri merenung. Dan ia tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku terkejut. Melihatku berdiri di sini ia segera menghampiriku.

"Kau dengar semuanya?" tanya Faiz.

Aku mengangguk.

"Aku tak menyangka Pandu seperti itu keadaannya," kataku.

"Aku juga tak menyangka," kata Faiz.

"Aku sudah putuskan Faiz. Hari ini aku akan memberikan jawaban," kataku.

"Jawaban?"

"Iya, aku hari ini akan memberikan jawaban kepada Pandu kalau aku lebih memilihmu."

Tiba-tiba Faiz mencengkram pundakk hingga aku hampir saja terhuyung. "Vira, kamu tak tahu keadaan Pandu?"

"Iya, aku mengerti."

"Kalau kau mengerti, seharusnya kamu tahu kalau kau mengatakan itu kepada dia akan lebih membuatnya shock. Tahukah kamu ia sangat mencintaimu. Sama seperti aku. Aku takut kalau kau menolak cintanya ia akan tambah parah sakitnya."

"Tapi Faiz, aku mencintaimu. Aku sadar sekarang engkaulah cintaku. Dan aku sangat mencintaimu. Engkaulah yang aku pilih. Apa kamu ingin memaksaku mencintai Pandu sedangkan aku tak mencintainya?"

"Vira, aku juga mencintaimu sangat mencintaimu. Tapi aku tak tega melihat kondisi Pandu seperti ini. Kami bermain bersama, kami tumbuh bersama, kami melakukan kenakalan bersama. Aku tak tega kalau hatinya sampai rapuh karena dirimu."

"Tapi, engkau bilang kalian bersaing secara sehat? Kalau kamu menyerahkan kemenanganmu kepada dia, maka sia-sia saja perjuanganmu selama ini."

"Ini semua demi Pandu. Ia saudaraku. Apa yang harus aku lakukan kepada dia? Aku ingin berbagi kebahagiaan dengan dia, Vira."

Aku langsung memeluk Faiz. Aku mendekap dia sangat erat. Faiz pun kemudian membalas pelukanku. Diusapnya rambutku dengan lembut.

"Maafkan aku Vira, maafkan aku. Tapi aku mohon, biarkan Pandu menang. Biarkan dia bisa merasakan kebahagiaan dengan cintamu," kata Faiz.

"Tapi, apa kamu tak memikirkan aku? Bagaimana aku bisa hidup dengan orang yang tidak aku cintai?" aku pun menangis. Faiz memegang wajahku. Kami bertatapan. Dan dia menciumku lagi. Ciuman bibirnya yang sangat lembut, ciuman yang penuh cinta yang berbeda dari tadi malam. Ciumannya kali ini seperti ciuman perpisahan. Lama dan aku tak ingin melepaskan bibirnya itu. Tapi....dia pun menyudahi ciumannya.

"Maafkan aku Vira. Sungguh aku sangat mencintaimu, tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang?" kata Faiz.

Aku memegang wajah Faiz, mengusap pipinya dengan lembut. Dia pun mencium tanganku. Menghirup parfum yang ada di tanganku. Oh...aku sangat mencintainya. Kenapa ini semua bisa terjadi? Apakah memang aku dan Faiz tak ditakdirkan untuk bersama? Tapi...kalau memang Faiz yang aku cintai menginginkan ini, aku akan melakukannya.

"Kalau memang engkau menginginkan ini, maka aku akan melakukannya Faiz. Hanya saja, aku melakukan ini karena semata-mata aku mencintaimu. Maka setiap kali ketika aku mengatakan mencintai Pandu nantinya, sesungguhnya aku mengatakan itu untukmu. Setiap kali nanti dia menciumku aku akan menganggap engkaulah yang menciumku. Setiap pelukan dia nanti, aku akan menganggap engkaulah yang memelukku. Engkaulah hidupku Faiz. Engkau, bukan dia."

"Oh...Vira, maafkan aku!" kata Faiz.

Kami pun berpelukan. Sedih rasanya. Tapi inilah keputusanku.


Curhat ke Kakak

NARASI FAIZ


Aku dan Vira masuk ke ruang UKS. Pandu masih belum sadar. Ada seorang dokter di dalam ruang UKS ini. Sekolah ini memang mempunyai dokter cewek yang bertugas kalau-kalau ada siswanya yang sakit. Namanya Dr. Dhana. Dia masih muda, berusia 27 tahun. Karena ini sekolahan elit jangan pernah tanya berapa honor sang dokter cantik ini. Pastinya tidak sedikit. Dan pasiennya jangan pernah tanya, pasti berebut. Dr. Dhana ini masih muda. Dan ia juga kadang sering menggoda anak-anak cowok di sekolahan ini.

Begitu aku masuk Dr. Dhana segera tahu.

"Selamat pagi pangeran mahkota, saudaramu sudah siuman," kata Dr. Dhana.

"Oh ya?" aku pun gembira.

Vira mengikutiku dari belakang. Kami kemudian sampai di ruang perawatan. Di sana tampak Pandu sedang main game di ponselnya.

"Hei kunyu! Udah sadar nggak kembali ke kelas malah main game," kataku.

"Rese' ah, suka-suka gua dong," katanya.

"Ayah tadi ke sini," kataku.

"Hah? Masa', trus dia kemana?"

"Udah pergi lagi."

Pandu melihat Vira. Ia buru-buru meletakkan ponselnya.

"Pandu, kau tak apa-apa?" tanyanya.

"Hai, Vir. Eh, maaf. Kusangka Si Jabrik ini sendirian," kata Pandu.

"Pan!" aku berkata sambil mengangkat tangan kananku untuk tos. Pandu pun membalasnya. Tapi aku tangkap tangannya. "Lu menang! Jaga dia baik-baik. Awas kalau lu sampai nyakitin dia!"

Aku meninju bahunya. Pandu nyengir. Ia tak mengerti maksudku. "Apaan sih?"

"Aku tinggal dulu," kataku.

"Woi, mau kemana?" tanya Pandu.

"Aku lagi sakit hati, jangan tanya kemana. Ya balik ke kelas-lah!" kataku.

Vira kemudian maju ke arah Pandu.

"Vira, kamu...?" kata Pandu.

"Iya, aku sudah bilang ke Faiz. Aku menerimamu, Aku mencintaimu Pandu," kata Vira.

Fuck....sakit hatiku mendengar itu. Dadaku bergemuruh.

"Faiz,...jadi...itu...," Pandu mulai mengerti.

Suasana ruang perawatan itu hening. Aku pun bergegas pergi meninggalkan ruang UKS. Tampak Dr. Dhana sedang membersihkan kukunya.

"Dasar, anak muda. Nggak di mana aja, kalau sedang ada masalah cinta hadeeeh," katanya.

"Faiz, makasih," kata Pandu.

Aku melambaikan tanganku.

"Faiz tak apa-apa?" tanya Vira. Dia tahu perasaanku sekarang sedang hancur.

"Ah, nggak apa-apa. Kami sudah berjanji koq. Siapapun yang dipilih olehmu, kami akan menerimanya walaupun sakit," kata Pandu.

Masalahnya, akulah yang memberikan Vira kepadamu Pandu. Karena aku terlalu sayang kepadamu.

***

Seminggu setelah kejadian itu, aku jadi jutek di rumah. Makan ndak nafsu, mau ngapa-ngapain bete. Tiap hari melihat Vira dan Pandu bersama, apalagi sambil gandengan tangan. Bikin aku ilfil. Tapi aku mencoba untuk senyum. Mungkin hanya Vira yang tahu arti dari senyumanku. Ia tahu aku sangat sakit. Tapi aku tak bisa berbuat banyak dengan ini semua. Kegembiraan di wajah Pandu pun membuatku makin bisa menerima nasib.

Ternyata kegundahanku selama ini diketahui oleh Kak Putri. Aku duduk di ruang keluarga nonton tv sendiri sampai larut. Nonton Masih Dunia Lain. Ngelihat orang-orang kesurupan. Heehh....nggak ada kerjaan emang. Saat itu rupanya Kak Putri terbangun dari tidurnya dan langsung duduk di sebelahku.

"Ngapain?" tanyanya. "Lagi galau ya?"

"Sok tahu," kataku.

"Udah deh, aku tahu kalau kamu lagi galau. Gebetan direbut orang? Kalah dari Pandu?" gila, langsung tepat dia.

Aku terdiam.

"Hahahaha, ternyata bener. Ceweknya yang mana sih? Kasih tahu dong!" pintanya.

Aku mengambil ponselku dan membuka gallery. Di sana ada foto Vira. Aku kasih ke Kak Putri.

"Cakep banget. Sialan kalian ini seleranya tinggi-tinggi ya?" puji Kak Putri.

"Iyalah," kataku.

"Udah deh. Jangan sedih gitu," katanya.

"Gimana lagi ya kak, dia cinta pertamaku. Aku sebenarnya nggak rela sih. Tapi, ketika ayah bilang Pandu kena penyakit itu, rasanya aku tak tega. Aku mengalah dari dia," kataku.

"Kamu sih bego!" kak Putri menoyor kepalaku.

"Lho?"

"Dalam kehidupan ini kau boleh mengalah kecuali tiga hal, pertama kamu nggak boleh mengalah dalam soal makanan, kalau kamu nggak makan bisa mati soalnya, kedua kamu nggak boleh mengalah dalam soal nyawa. Soalnya nyawamu cuma satu, dan yang terakhir, kamu nggak boleh mengalah dalam hal cinta. Sebab kalau kamu ngalah maka hati kamu yang mati!"

Aku menunduk.

"Ah, sialan. Pake pasang muka nggak berarti gitu. Udah dong ah. Udah terlanjur mau gimana lagi? Move on aja!"

"Enak kakak bilang move on, gampang banget. Sakitnya tuh di sini!" kataku sambil menunjuk ke dada.

Kak Putri tersenyum. Dia merebut remote tv dan mematikan tv. Tanganku lalu ditarik olehnya.

"Sini, ikut kakak!" katanya.

"Apaan sih?"

"Udah ikut aja!" katanya.

Aku digiring ke kamarnya. Setelah aku masuk, eh dianya langsung mengunci pintu, aku lalu didorong dan dipeluknya. Aku ambruk di atas ranjang dan bibirku pun dilumat olehnya. Kenapa kak Putri ini? Aku mendorongnya.

"Apaan sih kak?"

"Denger ya, aku ngelakuin ini biar kamu nggak sedih. Aku nggak pengen adikku ini sedih terus soal cewek. Biar aku menghiburmu," katanya.

"Maksudnya? Ini kakak mau ML ama aku?"

"Ah, cerewet, udah tahu nanya."

"Tapi, kita kan saudara!?"

"Persetan Iz, aku udah horni dari tadi."

Dan setelah itu....eng-ing-eng, terjadilah. Aku awalnya agak terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Kak Putri, tak tahu kalau dia seagresif itu melumat bibirku. Dalam sekejap pakaianku sudah dilucutinya. Hingga aku cuma tinggal pakai celana dalam saja. Kak Putri pun melepas T-Shirtnya. Kini dia cuma memakai bra dan CD.

Dengan lembut kak Putri mencium pipiku, bibirku, lalu ke leherku dadaku, dan dia menjilati putingku. Perutku diciuminya sampai ke celana dalamku. Ia usap-usap pusakaku itu.

"Gila Iz, punya lu. Gede amat ya?" katanya.

"Jangan ngaco ah, itu ukuran orang Indonesia. Standar!" kataku.

"Nggak, beneran. Apa pacarku yang impoten ya?" katanya.

"Kak Putri ngelakuin ini ama pacar? berarti udah nggak perawan dong?"

"Iya, kurang lebih setahun lalu," katanya enteng. "Aku buka ya?"

Tanpa mendapat persetujuanku ia sudah melepaskan celana dalamku.

"Anjir ini sih ukuran nggak normal Iz! Ukuran cowokku aja cuma sejari telunjuk. Ini lebih! Panjang banget! Gede lagi. Ini belum on beneran kan?" tanyanya.

"Belum," jawabku enteng.

Tiba-tiba ia menciumi dan menjilati ujung penisku. OWwwuhh....aku baru kali ini digituin perempuan. Biasanya cuma coli doang. Hap...kepala pusakaku sudah dikulum oleh Kak Putri. Kak Putri ini cukup seksi, kulitnya putih dan aku bisa tebak ukuran branya 34B. Ketika mengulum dan membiusku dengan oral sexnya ia membuka sendiri kaitan branya. Menggantunglah dua buah bongkahan susu bergizi itu. Ia meremas-remas telurku sekarang, membuatku makin keenakan. Sekarang punyaku benar-benar tegang.

"Duh, gemes aku ama kontolmu," katanya. Dia bisa juga bicara penis pake kata kontol.

Dia mengocok-kocok punyaku sambil sesekali menghisapnya. Aku hanya bisa melihat dia memperlakukan penisku seperti mainan. Kadang dia jilat, kadang ia ciumi dengan hidungnya. Ia kemudian berbaring di sampingku sambil melepaskan celana dalamnya.

"Gantian dong Iz!" kata kak Putri.

Aku kemudian mencium bibirnya lagi. Aku sebenarnya tak pernah membayangkan bisa ikut horni juga dengan kakak sendiri. Ciumannya juga cukup maut. Berkali-kali kami french kiss. Aku kemudian mencium lehernya. Apa yang aku lihat di film bokep aku praktekkin semuanya. Aku kemudian menyusu ke dia.

"Lu yakin nggak pernah ML?" tanyanya.

"Nggak lah, lihat bokep sih berkali-kali," kataku.

"Ohh...Izz...enak banget. Empengin aku...iya...gitu...ohhh....putingku gatel banget," katanya.

Aku menjilati dan mengenyotnya. Ia gelagapan sekarang. Ia ingin lagi dan lagi. Aku remas dadanya itu, entah apa yang ia rasakan. Tapi yang pasti dia keenakan. Aku kemudian menciumi perutnya, pusarnya, lalu ke selakangannya.

"Iiiizzz....ohhh...!!" ngeluhnya.

"Kakak nggak apa-apa?" tanyaku.

"nggak apa-apa, terusin! Terusin!" katanya.

Aku melihat bagian privasinya sekarang. Rambutnya sedikit, tapi memeknya sungguh sangat indah. Bibirnya berwarna pink, tak ada cacat. Aku mencium bau aneh. Sedikit amis. Dan di situ lendirnya banyak. Aku penasarn dengan rasanya. Aku pun menjilati bibir memeknya. Tiba-tiba pantat kakakku gemetar.

"Izz...kamu apain itu koq enak banget?" tanyanya.

"Aku cuma giniin koq kak," aku ulangi perbuatanku.

"OHHHH.....iizzz, aku keluaarrrr.....!!!" katanya.

Pahanya menekan kepalaku dan pantatnya terangkat ke atas. Bergetar tubuh Kak Putri untuk beberapa saat. Setelah itu aku duduk di sampingnya.

"Lakuin sekarang Iz!" pintanya.

"Kakak yakin?"

Kak Putri menatapku sayu dengan tampang memohon. Ia lalu mengangguk. Aku kemudian menekuk kakinya, aku berlutut, memposisikan senjataku tepat di lubang kemaluannya. Baru ujungnya yang bertemu Kak Putri sudah menjerit.

"Aaahhh....Izz...nikmat banget. Kontolmu itu diapain sih?? enak banget," katanya.

"Cuma disunat doang kak, nggak ada apa-apa," kataku.

Kedua kakinya kini berada di pinggangku. Aku kemudian mendorongnya perlahan-lahan. Aoouuuhhh..mulai masuk, memeknya udah becek. Gila baru setengahnya aja rapet banget. Kak Putri melengkungkan badannya. Aku kemudian menarik kemaluanku, kemudian kudorong lagi, tarik dorong, tariikk dorooong.....akhirnya semuanya masuk. Batang kemaluanku benar-benar seperti diremas-remas. Entah sengaja atau tidak kak Putri menggeliatkan badannya kiri atau kanan. Aku kemudian ambruk ke atas tubuh Kak Putri. Aku bertumpu dengan kedua tanganku sambil memeluknya. Tanganku kini ada di punggungnya.

"Iz...penis lo, uuhhh..penuh banget. Sampai nyentuh rahimku...ouuuhh!" katanya.

"Enak banget kak, seperti diremas-remas," kataku.

"He-eh, goyang dong. Yang lembut ya, aku ingin merasakan semuanya," katanya.

Entah kegilaan apa ini, yang jelas kami berdua bercinta dan benar-benar ingin merasakan kenikmatan bersama. Pantatku bergoyang naik turun. Dan pinggul Kak Putri berputar-putar seperti mengobok-obok penisku. Dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang sangat gatal di ujung penisku. Sesuatu yang ingin sekali menyeruak keluar.

"Kak, kayaknya aku mau sampe," kataku.

Tiba-tiba pinggangku dicubit dengan sangat keras.

"Aaaaahhh!" jeritku.

"Ntar dulu!" katanya. "Sedikit lagi"

Entah kenapa tiba-tiba pejuhku nggak jadi keluar. Kak Putri kembali memutar-mutar pinggulnya. Aku keenakan lagi. Segera aku goyang lagi. Makin cepat dan makin cepat.

"Iz, keluarin di dalem nggak apa-apa, aku kosong hari ini," katanya. "Sekarang kita keluar bareng yuk, aku mau nyampe nih."

"Kak....ohhh...,"

"Izz...Faizz....enaaaakk....terusss.....ssshhh "

"Ahhh...akhhh....aaaaakhhhh!!!"

"Faiiizzz...oooohhh,...adikku ngentotin mbaknya sendiri....oohhhh...keluar...pejumu....uuuhhhh...a nget Iizzz!!" rancau kakakku.

Spermaku menyembur di rahimnya. Entah berapa kali tembakan yang jelas aku benamkan sedalam-dalamnya penisku di kemaluannya. Tak kucabut hingga spermaku habis ditelan oleh kemaluan kakakku. Nafasku terengah-engah. Aku cium kakakku berkali-kali. Wajahnya terlihat puas. Perlahan-lahan aku mencabut penisku...PLOP, sebuah bunyi lucu terdengar ketika seluruh batangku keluar dari sarangnya. Spermaku meleleh dari lubang memek kakakku itu.

Dia meringkuk, menikmati sisa-sisa orgasme yang menyerangnya tadi. Aku berbaring di sampingnya. Kak Putri memejamkan matanya. Aku mendekat di samping tubuhnya dan memeluknya.

"Kak?!" panggilku.

"Ya, ada apa?" tanyanya lemas.

"Jangan kita ulangi lagi ya," kataku.

"Kenapa?"

"Aku takut kak, ini nggak bener, masa' kakak sendiri aku gituin? Ntar klo hamil gimana? berabe kan?"

"Biarin ajah, nggak usah dipikirkan!"

Kak Putri lalu memelukku, Kini kami berguling dan dia ada di atas tubuhku. Menyandarkan kepalanya di atas dadaku. Ia membelai dadaku. Setelah itu suasana hening sejenak. Aku hanya menatap langit-langit kamar. Sambil sesekali mencium kepala kakakku. Entah kenapa aku hari itu ada perasaan khusus kepadanya, seperti takut kehilangan dirinya. Sesuatu perasaan yang aneh. Kak Putri lalu beringsut ke atas, hingga kini kepalanya sejajar dengan kepalaku.

"Kamu marah ya?" tanyanya.

"Nggak, kenapa?"

"Habis, kamu diem. Nggak usah khawatir. Aku rela koq kalau kamu yang melakukannya. Aku sudah sejak dulu suka ama kamu Faiz. Aku mungkin juga cinta ama kamu. Memang ini kaya'nya aneh, kakak cinta ama adiknya sendiri tapi aku tak bisa menyembunyikannya. Awalnya aku menampik semua perasaanku. Aku pun punya pacar, tapi akhirnya ketika kemarin aku tahu dia selingkuh hilang sudah kepercayaanku ama cowok."

"Kemarin waktu aku anter ke tempat kost cowok itu?"

"Iya, waktu aku ke sana aku mergokin mereka berdua sedang empot-empotan di atas ranjang, bete' merasa dikhianati."

"Tapi, kak. Aku tak bisa mencintai kakak. Aku tetap menganggap kakak sebagai kakakku, sebagai saudara."

"Nggak apa-apa. Aku tak mengharapkan balasan dari cintamu Faiz. Aku sepertinya punya kelainan. Suka ama saudara sendiri. Terutama kamu."

Kak Putri mencium bibirku lagi. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Bingung. Senang sih punya kekasih seperti Kak Putri, tapi dia saudaraku sendiri. Apalagi apa yang kami lakukan ini tabu di masyarakat.

"Faiz, janji kepadaku!" katanya.

"Janji apa?" tanyaku.

"Kau jangan ceritakan ini kepada siapapun!" katanya.

"Iyalah, masa' aku ceritain? Gila apa?" kataku.

"Makasih, sama satu lagi!" katanya.

"Apa?"

"Kalau kamu kepengen, silakan aja bilang ke aku. Aku hari ini menganggapmu sebagai pacarku. Kan kamu baru patah hati, jadi nggak apa-apa kan? Anggap aja aku sebagai pacar."

"Nggak ah, kamu tetep kakakku!" kataku bersikeras.

"Udahlah pliiiss...kamu tak tahu rasanya dikhianati sih!" Kak Putri tiba-tiba menangis. "Sakit tahu. Plis ya, aku tak mau seperti ini terus. Kamu yang bisa bikin aku kuat Iz."

Aku tahu ini salah, tapi...kakakku butuh bantuan aku sekarang dan hanya aku yang bisa menenangkan dia. Jadi pacarnya? Rasanya sedikit absurd, tapi aku pun berkata, "Ya sudah, aku bersedia."

"Terima kasih adikku!" kak Putri menciumku lagi.

Aku menghela nafas. Kami tetap berpelukan. Malam kian dingin dan larut. Tak ada lagi suara di kamar Kak Putri. DIa pun mematikan lampunya, kami sekarang dalam kegelapan. Selimut tebal telah menutupi tubuh kami. Malam ini aku tidur di kamar Kak Putri. Kamarnya rapi, ada beberapa poster Hello Kity di dindingnya bisa kulihat poster itu menyala dalam gelap. Aneh anak ini. Aku tak bisa tidur. Dalam benakku selalu terbayang Vira. Kalau Vira tahu apa yang aku lakukan dengan Kak Putri hari ini ia pasti bakal marah.

Aku melihat ke arah Kak Putri, matanya masih terbuka. Ia juga tak bisa tidur rupanya.

"Kau tak bisa tidur?" tanyaku.

"Iya," katanya.

Aku entah kenapa iseng aja, memencet-mencet putingnya. Payudaranya yang montok itu aku remas-remas dengan lembut. Ternyata remponanku itu bereaksi. Suara keluhan mulai terdengar lagi.

"Faiz, kalau kau gituin enak banget, uuuhhhh....ssshhh," katanya.

Aku kemudian menyusu ke susunya lagi. Ronde dua pun dimulai. Lagian baru saja perjakaku hilang ama kakakku sendiri. Aku kemudian beranjak ke atas dan aku lumat bibirnya yang seksi itu. Lehernya yang jenjang pun aku hisap.

"Faiz, Jangan keras-keras. Aku tak mau kelihatan cupang besok pagi," katanya. Aku pun menurut. Kuhisap lembut lehernya. Kak Putri melenguh lagi. Ia meremas rambut kepalaku.

Tiba-tiba kak Putri langsung berguling di atas tubuhku.

"Ganti posisi yah," katanya.

Aku menurut saja. Dia lalu berjongkok di atas selakanganku. Penisku dikocok lembut, karena sudah tegang lagi dan keras. Ia pun menduduki penisku dan benda panjang besar itu meluncur masuk ke memeknya yang masih seret rupanya.

"OOhh...Faiz, enak banget!" katanya.

Kak Putri kemudian bergerak naik turun. Dia bertumpu kepada perutku dan sesekali mengusap dadaku. Tanganku bergerak ke atas, ke dadanya dan kuremas-remas dua bongkah payudara putih yang menggiurkan itu. Kak Putri goyangannya sangat pro, sesekali ia berputar-putar, mengakibatkan penisku seperti dikocok dan diobok-obok. Cukup lama Kak Putri ada di tas dengan posisi seperti itu. Hingga kemudian ia sedikit mengubah posisi.

Tanpa mencabut penisku, kak Putri memutar badannya sehingga membelakangiku. Penisku serasa dipelintir, tapi nikmat. Dan aku kini hanya melihat tubuh bagian belakangnya dari pantatnya hingga punggungnya. Rambutnya yang panjang tergerai. Dan Kak Putri pun bergoyang. Aku seperti menyetubuhinya dengan gaya doggy style. Aku pegang pantatnya dan sesekali memukulnya. Kak Putri menjerit.

"Nakal kamu Iz!"katanya.

"Kak, enak banget!" kataku.

"Kakak mau nyampe lagi," katanya.

Kak Putri menghentikan aktivitasnya dan beristirahat. Ia lalu mencabut penisku. Perlahan-lahan dengan merangkak ia berbaring di sebelahku. Aku kemudian bangkit. Aku menindihnya dari atas sedangkan dia tengkurap. Kuposisikan penisku ke memeknya dari belakang. SLEB!

"Aww...Faiz,....entotin kakak yah?" katanya.

"Iya kak, Faiz ngentot kakak sekarang," kataku.

Kugoyang pantat kakakku ini. Ohh...nikmat sekali. Aku naik turun memacu penisku dengan kecepatan tinggi. Penisku sudah ingin segera meledak keluar. Kak Putri sepertinya juga merasakannya.

"Terus Izzz.....keluarin! ayoo...aaaahhh!!!" katanya.

Dan spermaku pun keluar di memeknya. Kuhujamkan sedalam-dalamnya. Akhirnya aku pun lelah, ambruk di sebelahnya. Nafasku terengah-engah lagi. Kami lalu tidur sambil berpelukan setelah menghabiskan dua ronde dengan penuh kenikmatan.

***

"Putri??!!" panggil bunda.

Aku terbangun, kaget karena aku tak melihat kamarku. Aku baru tersadar kalau aku ada di kamar Kak Putri ketika aku melihat ia sedang tidur dan menggeliat di atas dadaku. Ia pun bangun. Matanya melihatku, lalu dengan ekspresi terkejut dia menutupkan telunjuk ke bibirnya.

"Putri!!? Ini sudah jam sembilan lho. Nggak pergi kuliah?"

"Iya bunda, aku kaya'nya di rumah aja deh. Lagi males pergi ke kampus," jawabnya.

"Lhoo, koq gitu. Kuliah itu bayarnya mahal nak. Nggak boleh seperti itu. Nanti kamu dimarahi ayah lho," kata bunda.

"Iya iya," kata Putri.

"Sarapannya ada di meja makan. Sebelum makan mandi dulu!" kata bunda.

"Iya bunda, iyaaa!" kata Putri.

Lalu terdengar suara langkah beliau meninggalkan pintu kamar.

"Gila, hampir copot jantungku!" kataku.

Kak Putri malah ketawa cekikikan. Ia kemudian bangun dan menuju ke kamar mandi yang memang ada di dalam kamar tidurnya. Aku bergegas menyusulnya. Entah mungkin karena melihat kesemokan pantatnya sehingga aku horni. Aku segera sergap kak Putri di kamar mandi. Ia pun mengerti maksudku.

"Ih, bangun tidur langsung nyosor," katanya.

"Biarin, mumpung gratis!" kataku.

Kepalaku digetok pake gayung.

"Biarpun gratis aku bukan cewek gampangan lho!" katanya.

Aku langsung menciumnya. Ternyata kak Putri itu lemah dengan ciuman. Ketika aku lumat bibirnya sudah lemas. Seolah-olah memasrahkan dirinya untukku. Aku kemudian memepet dirinya, kudorong tubuhnya hingga menempel ke tembok. Tangannya memeluk leherku. Kuangkat kaki kirinya dan aku memasukkan penisku yang sudah On. BLESS...nggak susah. Apa mungkin karena Kak PUtri juga horni? Segera aku genjot dia. Kami berpelukan erat.

"Ohh..Faiz...hmmhh...."

"Kaakk...ohhh...!"

Di kamar mandi itu pun aku akhirnya bercinta lagi dengan kakakku. Dengan posisi seperti itu saja aku sudah benar-benar bisa ejakulasi di dalam memeknya. Kami akhiri pagi itu dengan mandi bersama. Otomatis acara mandi kami penuh nafsu. Berisi belaian, ciuman, rabaan, setelah itu kami berpakaian. Aku pun kembali ke kamarku. Hari ini bolos sekolah ah.

Epiosde 2

0 Response to "Cerita Anak Nakal Season 2 (Episode 1)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel