Cerita Anak Nakal Season 2 (Episode 2)

berikut ini saya kasih foto Kak Putri, Vira dan Iskha. Tapi ini foto comot dari internet, buat agar ceritanya lebih greget aja

PUTRI

VIRA

ISKHA 
ISKHA DGN KACAMATA


Move On

Erik adalah teman baikku. Aku belum banyak memperkenalkannya tapi kalau ditanya teman baikku selain Pandu di sekolahan pasti Erik. Sebenarnya boleh dibilang aku dan Erik ini juga sahabat dekat. Bahkan dia adalah orang yang pertama kali aku beritahu tentang keadaan Pandu.

"Bro, aku turut berduka yah," katanya.

"Thanks," kataku.

"Btw, biar kamu nggak berduka terus. Mau aku ajak ke pergelaran musik?" tanyanya.

"Pergelaran musik? Di mana?"

"Di Srikandi Hall, yaelah itu kan punya bokap lu sendiri."

"Walaupun bokapku banyak bangun gedung, bukan berarti anaknya tahu gedung yang dijadiin acara kan? Emang pergelaran musik apaan?"

"Ya ampun, kamu ini nggak gaul! Hampir semua band terkenal ada di sana malam ini. Ada pendatang baru tuh, sebuah band personelnya cewek semua. Musiknya ngerock, dan yang jadi perhatian adalah ciri khas vokalisnya."

"Emang kenapa ama vokalisnya?"

"Kamu suka nonton Naruto kan?"

"Ya, trus apa hubungannya?"

"Tuh mata vokalisnya mirip Sharingan! Keren abis deh performnya."

"Kayaknya asyik tuh, boleh-boleh! Kujemput atau ketemu di sana langsung."

"Halah, ketemu saja langsung males aku dijemput. Emang gua pacar lu gitu?"

Aku ketawa keras. Akhirnya malam itu aku dan Erik menonton pergelaran musik. Ada banyak band yang manggung kelihatannya. Tapi mungkin yang bisa aku kenali cuma dua band ternama yaitu Kotak band ama Repvblik. Ini seperti parade sepertinya. Aku juga melihat tadi sepertinya untuk amal. Aku dan Erik langsung menuju ke depan panggung.

"Gila rame banget!" kataku.

"Yoi, hebat kan?" kata Erik menyetujui.

Aku memang sudah harus melakukan hal-hal seperti ini, biar bisa move on. Vira sekarang sudah bersama Pandu. Aku harus merelakan itu. Dan aku tak mungkin untuk merebut dia dari Pandu sekarang. Acara memang belum mulai tapi yang nonton sudah begini banyak. Bisa muat nggak nih Hall-nya?

MC pun muncul langsung disambut riuh tepuk tangan.

"Selamat malam semuanya, Apa kabaaaaar??" kata sang MC yang kemudian disambut riuh tepuk tangan. "Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya acara ini. Kemudian juga kepada Hendrajaya Group yang telah memberikan izin untuk mengadakan parade Band Indonesia."

Aku kemudian melihat beberapa orang cewek yang bergerak berlari ke belakang panggung.

"Ayo Iskha! Cepetan!" seru seorang cewek yang paling depan.

Tak disangka sang cewek yang dipanggil Iskha menjatuhkan sesuatu. Sebuah kotak kecil. Aku beringsut ke arahnya mengambil kotak itu. Sepertinya ia tak sadar. Aku ambil kotak itu ternyata kardus kontak lens. Aku pun bergegas menuju ke belakang panggung untuk mengejarnya.

"Aduh...koq bisa jatuh sih? Kamu ini gimana? Padahal kita perfom pertama lho!" kata salah seorang cewek.

"Tadi aku taruh di saku koq. Jatuh mungkin," kata cewek yang dipanggil Iskha tadi.

"Maaf," kataku. "Jatuhin ini?"

Iskha langsung menjerit, "Iyaaaaa,....makasih ya mas."

"Syukurlah! makanya hati-hati!" seru temannya yang lain.

Cewek itu lumayan cakep. Gayanya imut. Dia menerima kardus kontak lens itu. Ia mengeluarkan isinya dan langsung memasangkannya ke matanya. Dan dalam sekejap, matanya langsung menyala merah. Alamak, dia vokalis yang diceritain ama Erik?? Entah kenapa saat itu juga dadaku berdebar-debar. Dadaku sampai sesak. Aku terpana sejenak. Kalau boleh dibilang Iskha ini cewek yang entah bagaimana bisa langsung menusuk jantungku. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Tonton aku ya mas!" katanya. Ia mengedipkan matanya.

"O...Ok, iya. Aku ada di depan koq," kataku.

"Dan inilah dia penampilan pertama kita dari band The Zombie Girls!" kata sang MC. Serentak seluruh penonton bersorak. Iskha tersenyum kepadaku lalu meninggalkanku naik ke panggung.

Aku kemudian segera kembali ke tempatku semula. Erik heran melihatku.

"Dari mana lu?" tanyanya.

"Dari...ah lupakan," kataku.

Saat itulah Iskha menyapa para penonton, "APA KABAR SEMUANYAAA??"

Sambutan riuh tepuk tangan menggelora di gedung itu. Keren. Dia bisa membuat seluruh penonton tergerak. Padahal dia bukan band papan atas. Aku yakin mereka pasti bisa jadi band besar suatu saat nanti. Mataku dan mata Iskha bertemu. Ia tersenyum kepadaku. Iya, ia tersenyum kepadaku. Aku melambaikan tangan kepadanya.

Hentakan musik rock pun dimulai. Keren, peformanya keren. Aku suka ama band ini. Ama lagu-lagunya. Seluruh penonton bersorak sorai, melompat-lompat. Semuanya dibius oleh penampilan Iskha dan kawan-kawannya. Aku berada di sana sampai selesai. Menonton band-band papan atas pentas pun bukan sebuah hal yang sia-sia rupanya. Pertujunkannya keren. Ternyata parade band ini juga untuk amal. Dan terakhir ditutup oleh penampilan The Zombie Girls lagi. Setelah itu kami pulang.

"Gimana keren nggak?" tanya Erik.

"Keren bro, keren!" kataku.

"Ya udah, nggak nyesel kan aku ajak?"

"Nggak, sama sekali nggak."

"Baguslah kalau begitu," kata Erik. Kami pun berpisah malam itu.

Terus terang wajah Iskha terbayang-bayang terus di benakku. Aku tak bisa melupakannya. Apakah aku sekarang ini sudah move on?

***

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku sudah ada di sekolah. Hari ini dengan sangat terpaksa aku naik taksi. Mobilku mogok nggak bisa distarter. Sepertinya Akinya mati. Lagian aku juga lupa nggak ngecek. Aku punya mobil sendiri sih, Pandu juga punya mobil sendiri. Mobilku Honda City Type Z, tapi aku sudah modifikasi sampai mirip mobil sport. Beda dengan Pandu. Ia lebih milih selamat, mobilnya Honda Jazz, keluaran Pabrik. AKu nggak suka sih ama mobilnya.

Aku hari ini duduk di sebuah tempat duduk di pinggir lapangan basket. Nggak ada kerjaan, bel masuk juga belum bunyi koq. Dan biasanya juga kalau lagi suntuk aku duduk-duduk di sini. Aku mulai merenung tentang diriku, tentang Vira. Aku harus bisa melepaskan diri dari bayang-bayangnya. Aku sudah harus merelakannya. Karena dia memang sudah bukan lagi milikku. Ia milik Pandu. Hari ini saja aku melihat mereka bergandengan tangan dengan mesranya. Daripada sakit hati melihat mereka, aku selalu menghindar. Bahkan sekarang aku berangkat sekolah tidak bersama Pandu lagi. Pandu bisa mengerti keadaanku. Dia sengaja membiarkanku. Kami sudah sepakat memang siapapun yang dipilih oleh Vira harus ikhlas. Tapi aku tidak.

Move On aku harus bisa meninggalkan semua ini. Saat aku merenung itulah kumelihat seorang cewek dengan menuntun sepeda menuju tempat parkir. Rambutnya sebahu, dikuncir. Aku sepertinya tahu dia. Dia menoleh ke arahku. Tak salah lagi. Di Iskha. Eh, dia sekolah di sekolah ini?? Koq aku nggak pernah tahu ya?

Aku langsung beranjak menghampirinya.

"Iskha?" sapaku.

Dia menoleh ke arahku. Ia memicingkan mata dengan kacamata minusnya. Aku yakin dia Iskha. Dia memicingkan matanya mengamatiku.

"Ya mas?" sapanya balik.

"Kamu Iskha ya? vokalis band The Zombie Girls?" tanyaku.

Ia mengangguk.

"Aku yang kemarin menemukan kontak lens," kataku.

"Oh...ya ampuuun, itu ternyata mas ya? Aku nggak nyangka kita ternyata satu sekolah," katanya.

"I..iya, hehehe," kataku.

KRIIINNGGGG! bunyi bel masuk. Ah sial, kepingin ngomong banyak juga.

"Wah, bel masuk. Nanti disambung ya mas," katanya.

"Ok, sampai nanti. Eh, kamu kelas berap sih?" tanyaku.

"Aku kelas X-2", jawabnya.

"Oo...adik kelas rupanya," kataku.

Ia pun bergegas pergi ke tempat parkir dan segera masuk kelas. Aku juga demikian.

****

NARASI ISKHA

Nggak nyangka ketemu fans di sekolah ini. Eh, apa dia fansku? Paling juga cuma penonton biasa. Aku nggak pernah kenal dia. Apa mungkin karena nggak pernah masuk organisasi ya? Aku sudah ikut beberapa ekskul tapi nggak pernah lihat dia. Eh, namanya juga siapa sih dia? Aku belum sempat nanya. Tapi cakep juga.

"Iskha!" panggil Nailul.

"Eh, hai!" jawabku.

"Koq hai? Ngelamun aja. Ada apa sih?" tanyanya.

"Nggak apa-apa koq," jawabku.

"Biasanya cewek ngelamun sambil senyum-senyum sendiri itu lagi jatuh cinta," katanya.

"Sok tahu. Emangnya aku senyum-senyum sendiri?" tanyaku.

"Lha? Nggak sadar? aku sampai ngira kamu ini senewen tadi."

"Hush! Udah ah!"

Aku kemudian konsen lagi ke pelajaran yang dibawakan oleh Pak Andi, guru Matematika kami. Pelajaran itu berlangsung cukup lama menurutku, atau mungkin hanya perasaanku saja. Ketika jam istirahat tiba aku pun keluar mencari kantin. Karena kebiasaanku kalau pagi nggak pernah sarapan. Keluargaku dari keluarga biasa. Mendapatkan beasiswa untuk bisa di sekolah elit ini adalah sebuah kebanggaan bagi mereka. Aku pun membantu mereka dengan manggung di atas pentas. Ibuku bekerja di rumah sebagai seorang penjahit. Ayahku bekerja sebagai masinis kereta api. Jarang pulang kalau mudik. Fiyuuhh...sibuk bukan?

Tak berapa lama kemudian aku sudah sampai di sebuah kantin. Langsung saja aku memesan nasi campur dan segelas air. Walaupun ini sekolah elit tapi menunya masih menu warteg. Enak lho. Saat pesananku sudah ada di nampan, Nailul memanggilku.

"Iskha, sini!!" katanya.

Aku pun segera menuju ke mejanya dan meletakkan nampanku di sana. Bersebalahn dengan nampan dia yang berisi frenchfriess dan hamburger, serta segelas minuman bersoda. Kontras memang, fast food dan nasi campur.

"Hihihi, belum sarapan ya tadi?" tanyanya.

"Iyalah, boro-boro sarapan. Telat iya," kataku.

"Kamu kapan naik panggung lagi?" tanya Nailul sambil memakan hamburgernya.

"Barusan kemarin malem naik panggung. Untuk berikutnya ya nunggu kontrak lagi," jawabku.

"Oh, enaknya jadi anak band. Honornya gede nggak sih?"

"Hmm...bayangin aja deh. Lima juta dibagi lima, berapa dapatnya?"

"Heh? Sedikit amat? Dibagi ama lima personel ya?"

"Maklumlah, kita masih band lokal. Belum seterkenal band papan atas. Mau gimana lagi?"

Saat itulah aku melihat cowok tadi pagi. Dia memesan sesuatu.

"Wah, itu Faiz," celetuk Nailul.

"Siapa Faiz?" tanyaku.

"Lho, kamu nggak tahu?"

Aku menggeleng.

"Kamu lihat cowok yang sedang memesan sesuatu itu?!" Nailul menunjuk ke cowok itu.

"Itu?"

"Iya, dia itu anak paling kaya di sekolah ini. Masa' kamu nggak tahu?"

Aku menggeleng.

"Ya ampun, kamu kemarin konser di gedung bapaknya tahu? Dia ini anak konglomerat. Bapaknya berada di peringkat dua puluh besar orang terkaya di Indonesia!" jelas NAilul.

Aku melongo. Nggak percaya. Dan yang lebih tak kupercaya lagi adalah dia pesen nasi pecel ama teh anget. Anjir itu anak konglomerat makan nasi pecel ama minum teh anget? Ah, tapi kan tidak setiap orang kaya punya selera luar negeri juga kale.

"Duh, Iskh. Kalau aku jadi pacarnya aku klepek-klepek deh," kata Nailul.

"Ah, lebay kamu," kataku.

OK, ini agak aneh, karena tiba-tiba Faiz berjalan melintas di meja kami dan menoleh ke arahku. "Lho, kamu?"

"Hai," kataku nyengir.

"Sarapan juga?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Boleh duduk di sini?" ia minta izin.

"Ya,...silakan!" kataku. Ngapain juga minta ijin? Udah tahu mejanya panjang koq. Bisa buat enam orang.

Dia duduk di hadapanku. OMG, koq aku berdebar-debar gini ya?

"Aku belum mengenalkan diri. Namaku Faiz. Kamu temannya Iskha?" katanya.

Nailul terbata-bata menjawab, "I...iya."

Aku dan Nailul benar-benar canggung. Anak konglomerat bo, di depanku. Ganteng, cakep, rendah hati lagi. Mimpi apa aku semalem bisa duduk di hadapannya. Koq bisa ya dia bikin aku deg-deg-ser? Ketemu aja baru sekali.

"Kalian nggak makan?" tanyanya yang sudah melahap nasi pecelnya.

"Eh...i...iya," kataku.

Aku pun melahap nasi campur yang aku pesan tadi. Entah kenapa sarapan itu terasa aneh. Aku selalu menudukkan wajahku. Takut melihat wajahnya. Nailul juga gitu. Aku buru-buru menghabiskan sarapanku sampai pipiku terlihat tembem. Dan buru-buru juga pergi. Nailul pun demikian. Melihatku buru-buru pergi Faiz tiba-tiba mencegahku.

"Tunggu!" katanya.

Mulutku masih penuh, hampir saja tersedak.

"Minum dululah, nggak baik makan buru-buru seperti itu. Minumanmu masih penuh!" katanya.

Aku berbalik lagi dan meminum air putih yang aku pesan tadi. Faiz menatap wajahku ketika minum. Oh tidak, ia bikin aku malu. Segera setelah itu aku pergi meninggalkannya.

Aku sudah sampai di kelas dan aku menjerit bersama Nailul.

"Gilaaaa!!! Apaan itu tadi?" tanyaku.

"Kamu sendiri apaaan? Koq ia bisa tahu kamu?"

"Kemarin ia nonton konserku. Aku nggak tahu siapa dia!"

"Keren kan? Cakep kan? Aduuuhhh..."

Kami berdua histeris pokoknya. Tapi satu hal yang aku catat adalah Faiz ini beda dengan cowok yang aku kenal sebelumnya. Ia tak jual mahal. Ia baik dan aku bisa lihat dari pertama kali kami bertemu di konser itu. Entah kenapa setelah itu aku jadi terbayang dia.
Do you Need Love?

Narasi Faiz


Hari ini aku bersama ayahku berada di kantornya. Ia mengajariku tentang masalah logistik. Sebab dalam perusahaan ayah juga yang terpenting adalah logistik. Itulah kenapa ia bisa mensupplay banyak produk ke seluruh toko-toko waralabanya. Bahkan untuk mensuplaynya beliau mendirikan gudang-gudang di tiap-tiap kota. Sepertinya ayah benar-benar serius untuk menjadikanku sebagai putra mahkotanya. Aku pun diperkenalkan ke para direksi. Setidaknya setelah nanti lulus sekolah, aku tak bingung untuk cari pekerjaan.

Setelah seharian di kantor ayah, aku pun pulang. Capek juga yah belajar bisnis seperti ini. Dan ketika aku sampai di rumah aku disambut oleh saudaraku yang lain, Zahir dan Risma. Mereka adalah anak dari Bunda Vidia. Istri pertama ayahku. Aku juga melihat Bunda Vidia di ruang keluarga sedang ngobrol dengan bundaku.

"Eh, ini dia Faiz datang," kata bunda.

"Faiz, apa kabar?" sapa Bunda Vidia. Bunda Vidia ini cukup cantik. Wajahnya masih mulus dan kencang walaupun anaknya sudah sebaya denganku. Jilbabnya panjang. Walaupun sudah berumur dia masih kelihatan seksi.

"Halo sayangku, Dinda!?" ayah langsung mendatangi dan menyapa Bunda Vidia. Dia mencium kening istrinya itu. Sang istri lalu mencium tangan ayahku, begitu juga bunda. Zahir dan Risma mencium tangan ayah.

Aku langsung berjalan menuju kamarku. Aku tak melihat Pandu.

"Faiz? Lho, koq langsung ke kamar?" tanya bundaku.

"Mungkin capek dia mah, soalnya cukup melalahkan tadi dia belajarnya. Moga aja otaknya nggak meledak," canda ayahku.

Aku segera berganti pakaian. Setelah itu aku keluar kamar. Eh, di luar kamar aku bertemu dengan Pandu. Ia sepertinya mau keluar. Pakaiannya adalah kaos, jaket kulit dan jeans. Mau kemana si Pandu?

"Mau kemana, Pan?" tanyaku.

"Kencan dong, ini malem minggu!" jawabnya.

"Oh iya, ya sudah deh," kataku.

"Cabut dulu!" katanya.

Aku mengangguk. Sambil melihatnya pergi keluar dari rumah aku duduk di ruang keluarga di sebelah Zahir yang sibuk mainin game di ponsel smartphonenya.

"Ada acara apa nih?" tanyaku.

"Mau ada acara kondangan, kebetulan aja tempatnya dekat ama sini, jadi sekalian mampir," jawab Zahir.

"Eh, kak Faiz! Nggak malem mingguan?" tanya Risma.

"Ini ngeledek apa ngeledek?" tanyaku.

"Ya ngeledek, emangnya muji? hahaha," Risma ketawa.

"Dia barusan patah hati, jangan diejek. Ntar bisa gantung diri!" tiba-tiba Kak Putri datang langsung duduk bersandar ke diriku.

"Nah, kan. Ini penghinaan namanya. Perlu lapor KOMNAS HAM aku dibully ama semua saudara-saudaraku," gerutuku.

"Beneran? Kasihan dong," ujar Risma.

"Udah ah, ngeledek melulu," kataku.

Aku melirik ke arah Bunda VIdia yang masih ngobrol ama bunda. Mereka tampak santai ngobrolnya, entah apa yang mereka omongkan, seputar arisan atau baju. Kadang juga ngobrolin soal sekolah anak-anak.

Zahir menggerutu, "Ahh...susah banget ini."

Aku melirik ke ponselnya. Ia sedang main game Anggry Birds dan kalah. Ia pun menutup aplikasi game itu.

"Kamu rencana kuliah di mana?" tanyaku ke Zahir.

"Nggak tahu, biar saja nanti waktu yang memutuskan," kata Zahir.

"Ah, Kak Zahir mah, emang malas. Seharian maen game melulu di rumah," kata Risma.

"Biarin," kata Zahir.

"Nggak boleh gitu dong, maen game juga ada waktunya," kataku.

"Cieeh...sok bijak lu!" kak Putri memukulku pakai bantal.

Aku lalu beranjak.

"Eh, marah ya?" tanya Kak Putri.

"Nggak. Main tenis meja yuk?!" ajakku.

Kak Putri menyenggol Zahir. "Diajak tuh!"

"Aku kan mau pergi kondangan, nggak lucu kalau keringetan!" kata Zahir. "Mbak aja sanah!"

"Dasar, ya udah deh!" kak Putri pun menyusulku ke samping rumah. Di sana ada meja tenis yang biasanya kami gunakan untuk main tenis meja.

"Baiklah, berangkat sekarang?" tanya ayah.

"Ya sudah, aku pergi dulu ya dik," kata Bunda Vidia. Ia cipika-cipiki dengan ibuku. Mereka sekeluarga kemudian pamit.

Mumpung sore belum mandi juga, nggak ada salahnya kalau keringetan dikit. Aku dan Kak Putri pun main tenis meja. Seru juga mainnya. Kami sampai ribut sendiri di tempat itu. Icha dan Rendi pun ikut nonton pertandingan ini. Bahkan mereka pun akhirnya menggantikan kami ketika skor sudah game over.

"Sinih gantian, Icha kepengen maen ama Rendi," kata Icha.

Dan akhirnya aku menghabiskan sore itu bersama saudara-saudaraku main tenis meja sampai kami berkeringat semuanya. Cukup menyenangkan. Hingga bunda menyuruh kami untuk mandi semuanya. Icha dan Rendi tentu saja langsung berhamburan ke kamar mandi. Aku dan Kak Putri masih duduk-duduk di bangku yang ada di halaman samping rumah.

"Gimana? Sudah move on?" tanya Kak Putri.

"Entahlah kak, aku masih belum bisa melupakan Vira," kataku.

"Uuhh..kamu itu dasar," kak Putri tampaknya tak suka dengan kata-kataku. Ia segera beranjak pergi meninggalkanku dengan penuh emosi. Aku lal menyusulnya.

"Kak, Kak Putri?!" panggilku. "Koq kakak marah sih?"

Ia berbalik, "Iya jelas marah, kamu itu sudah kubilang suruh move on, kakakmu ini sangat sayang ama kamu, peduli ama kamu. Bahkan..." kak Putri mendekat ke arah telingaku dan berbisik. "....aku rela menyerahkan tubuhku untuk kamu!"

Kak Putri berbalik dan langsung menuju ke kamarnya. Aku menyusulnya. Begitu aku mau masuk kamarnya pintu langsung ditutup dan dikunci.

"Kak? Kak Putri??" panggilku. "Maafkan aku kak."

"Pergi sana!" katanya.

"Kaak? udah dong. Ntar bunda bingung lho," kataku.

"Peduli amat!"

"Oke kak, aku sorry. Tapi aku juga tak bisa mengendalikan ini. Aku sangat mencintai Vira. Ia cinta pertamaku. Kakak juga ngerti dong. Aku masih bau kencur soal cinta, nggak seperti kakak. Untuk move on itu susah!" kataku.

Pintu tiba-tiba terbuka dan aku ditarik masuk ke kamarnya. Kak Putri lalu menutup pintu kamarnya lagi. Aku pun didorong hingga bersandar di pintu.

"Faiz,...!" kata Kak Putri. Matanya berkaca-kaca, sekelebat kemudian ia memelukku.

"Kak, maafkan aku. Aku janji nggak bakal buat kakak menangis lagi. Aku janji. Sudah dong!" kataku.

"Lo mau kan jadi pacar kakak? Pliiss, kakak sudah nggak percaya lagi sama laki-laki. Kalau kamu mau jadi pacar kakak, kakak akan maafin kamu."

Aku terdiam sejenak. Kupeluk dia. Entahlah, kenapa aku punya masalah sister complex seperti ini. Kemudian wajahnya berhadap-hadapan denganku. Aku saat itu masih bersandar di pintu, jadi dia menahanku agar tidak bisa beranjak. Bibirnya pun kembali memanggutku. Kami berciuman lagi. Satu hal yang baru kusadari, ternyata Kak Putri tak memakai bra. Putingnya mengeras menempel di dadaku.

Aku menurunkan tanganku ke pinggangnya, kudorong hingga kedua kemaluan kami bergesekan di balik baju. Tangan Kak Putri mengusap dadaku. Ia menciumi dadaku. Padahal aku sedang berkeringat sekarang ini. Dia juga sih. Tapi aku suka bau keringat kakakku ini.

"Kakak sudah kepengen?" tanyaku.

Ia mengangguk. "Berjanjilah, kamu harus move on! Kakak di sini siap untuk menjadi kekasihmu."

"Kenapa kakak mencintaiku?" tanyaku.

"Bukan kenapa, tapi bagaimana," jawabnya.

"Bagaimana?"

"Karena aku sudah mencintaimu sejak dulu Iz, sejak kecil kamu selalu melindungiku. Kamu selalu peduli kepadaku. Kita selalu bermain bersama. Aku sudah katakan kepadamu, aku ingin menghilangkan perasaan ini bahkan pacaran dengan lelaki lain, tapi mereka semua brengsek. Aku dikhianati berkali-kali, aku tak percaya lagi kepada lelaki lain. Aku cuma percaya kepadamu Iz."

"Kenapa percaya kepadaku?"

"Sama satu cewek saja kamu seperti ini setianya, bagaimana kalau kamu jadi pacarku pasti kamu akan setia selamanya."

Naif sekali pemikiran kakakku ini. Sebenarnya mungkin ia ingin kenyamanan. Ia ingin diperhatikan. Aku bisa merasakan itu. Ayah jarang menemuinya, iya. Bisa jadi. Banyak masalah yang menimpa kakakku ini sejak dari kecil. Ia ditinggalkan oleh ayah kandungnya. Ia anak tiri dari ayahku, bunda sebelumnya menikah dengan orang lain lalu ditinggal pergi begitu saja, hingga bertemu dengan ayah. Dia kesepian. Bodohnya aku. Aku seharusnya memperhatikan ini. Ayah memang lebih sayang aku dan Pandu, dan ia lupa kalau Kak Putri juga butuh perhatian.

Dia jujur bahwa telah dikhianati oleh sang pacar. Ia jujur telah melepaskan keperawanannya setahun yang lalu. Dan memang sakit rasanya dikhianati. Kak Putri kemudian menarikku, ia ambruk di ranjang dan aku menindihnya. Kami berciuman lagi dan kali ini lebih panas dari sebelumnya.

Aku mengangkat kaosnya. Payudaranya yang tak berbalut bra itu terpampang. Aku segera mengisap putingnya. Kak Putri melenguh keras. Ia mencopot kaosnya sekarang hingga bagian atas tubuhnya telanjang. Ia menarik kaosku juga. Bagian tubuh atas kami pun bersatu sekarang. Aku mencupangi kedua payudaranya, sebab aku sangat gemas sekali dengan dadanya yang sekal itu.

"Faiz, masukin langsung Faiz. Aku inginkan dirimu," katanya.

Aku lalu melepaskan celanaku dan ia sudah melepaskan hotpantsnya. Aku segera menggesek-gesekkan ujung kontiku di lubang memeknya. Perlahan-lahan kemudian aku dorong hingga masuk penuh. Kak Putri emang sudah horni. Keringat kami pun bercampur baur jadi satu. Bau memeknya yang semerbak pun menambah nafsu gairah.

Aku lalu menggoyangnya maju mundur perlahan. Kak Putri mengunci pinggangku dengan kedua kakinya. Ia menarik-nariknya seolah-olah ingin memasukkan penisku lebih dalam lagi. Aku tarik maju mundur, hingga kemudian makin lama makin cepat. Aku peluk tubuh Kak Putri.

"Faiizzz...oohhhh...entotin kakak ya," katanya.

"Iya kak, ini juga udah entotin kakak koq," katakku.

"Yang keras Faiz, yang keras! Jebolin memek kakak kalau perlu!" katanya.

Kak Putri makin binal. Lagi-lagi ia memutar-mutar pinggulnya dan aku makin cepat menggerakkan pantatku. Rasanya penisku sudah ingin keluar lagi kali ini. Ngilu sekali rasanya. Rasa gatal yang tak tertahankan itu pun mengumpul di ujung penisku.

"Kaaak..aku keluaarr...!!" kataku.

"Ohhh...kakak juga Izzzzz.....aaaaakhhhhhh!!" kak Putri mendekapku. Kami berpelukan erat ketika kemaluan kami sama-sama menyemprotkan cairan ejakulasi. Nikmat sekali,....nikmaaaattt.....Aku tak bisa melukiskan dengan kata-kata. Orgasme itu rasanya sangat lama.

Nafas kami terengah-engah dan Kak Putri lemas. Kakinya diturunkan dan aku pun mencabut penisku. Memek Kak Putri melelehkan air mani yang tadi aku keluarkan.

"Kak, kakak kosong nggak nih? Bisa berabe kalau nanti aku hamili," kataku.

"Oh iya, kakak nggak kosong. Masa subur!" Kak putri menepok jidatnya.

"Waduh, gimana dong?" tanyaku.

Kami berdua panik. Kak Putri langsung bergegas ke kamar mandi dan membersihkan miss v-nya. Aku panik sekali. Aku lalu menyusul ke kamar mandinya dan melihat ia kemudian kencing di closet. Ia memejamkan mata dan meringis.

"Kenapa kak?" tanyaku.

"Rasanya geli waktu kencing, tuh spermamu banyak banget nyemprotnya," katanya sambil memperlihatkan air kencingnya yang bercampur dengan lendir berwarna putih milikku.

Ia kemudian membersihkan kemaluannya. Aku pun berdoa, moga-moga nggak hamil, moga-moga nggak hamil.

"Udah, kamu nggak usah khawatir gitu dong," katanya.

"Ya jelas khawatirlah, apa kata bunda nanti? Apa kata ayah nanti?" tanyaku.

Kak Putri tersenyum, "Ya ngomong yang sesungguhnya dong."

Aku agak terkejut dengan perkataannya. Apa Kak Putri tak merasa khawatir?

"Kak, apa beneran kakak mencintaiku?" tanyaku.

"Iya, kenapa?" tanyanya.

"Kalau kakak mencintaiku apakah kakak membutuhkan cintaku?"

Kak Putri diam. Ia tahu itu pertanyaan yang sangat berat. Ia memang mencintaiku, tapi apakah ia butuh cintaku. Diamnya kak Putri itu membuatku sadar, cinta kami bertepuk sebelah tangan. Cinta kami hanya satu arah.

"Aku mencintai kakak sebagai saudaraku dan akan seperti itu selamanya," kataku.

Kak Putri lalu berdiri. Ia memelukku. "Maafkan aku ya Faiz,...maafkan aku."

"Aku sudah bilang, kalau kakak butuh apapun, minta apapun aku aka berikan. Karena aku sayang ama kakak," kataku.

Aku lalu melepaskan pelukannya, memakai pakaianku lagi dan keluar dari kamarnya. Kak Putri sedang dalam depresi kukira akibat dikhianati pacarnya. Ia hanya inginkan pelampiasan. Itulah yang aku simpulkan sekarang.

Episode 3

0 Response to "Cerita Anak Nakal Season 2 (Episode 2)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel