Cerita Anak Nakal Season 2 (Episode 3)

Pedekate

Aku di ruangan Bu Lina. Dia mau menerima konseling hari ini. Padahal biasanya yang ngantri banyak. 

"Nak Faiz, mau konseling apa hari ini?" wajah Bu Lina yang cantik dan alim dengan kerudungnya itu menyejukkan hatiku. Jadinya nyaman banget untuk konseling. Apa emang semua psikolog seperti ini ya?

"Gimana sih bu untuk move on?" tanyaku.

"Kamu sedang gagal move on?" tanyanya. "Diputusin pacar?"

"Nggak juga sih, tapi boleh dibilang orang yang aku suka sekarang sama orang lain. Aku masih belum bisa melupakannya," kataku.

"Hmmm...susah nih, biasanya kalau orang yang seperti ini karena ia sangat cinta ama si cewek, bener nggak?" tanyanya. 

Aku mengangguk. 

"Sebenarnya kunci biar bisa move on itu adalah berpikir positif untuk masa depanmu. Gini saja deh Faiz, berapa sih penduduk di dunia ini?" tanyanya. 

"Kurang lebih 2 milyar," jawabku.

"Ada dua milyar lebih, anggaplah presentasi cewek lebih banyak, misalnya 1,2 Milyar misalnya. Dan 100 jutanya ada di Indonesia. Masa' kamu harus menyia-nyiakan 100 juta itu hanya untuk satu orang cewek?" kata-kata Bu Lina ini langsung menusuk. 

"Benar juga sih Bu," kataku. 

"Nah, jangan sia-siakan waktumu hanya untuk satu hal yang sudah lalu," katanya. 

"Tapi masalahnya aku masih suka ama dia bu, masih cinta," kataku. 

"Kamu harus membuka diri dan jangan menutup diri seperti itu! Masa' kamu harus melakukan friendzone kepada yang lain? Kamu itu anak konglomerat, udah cakep, kaya lagi. Berapa banyak di sana cewek-cewek yang ngantri ama kamu?"

Aku mengangkat bahu, "Emang banyak?"

"Duuhh...ibu hampir pasti tiap minggu ada yang konseling ada yang naksir kamu tapi kamunya cuek," kata Bu Lina.

"Oh ya?"

"Iya, hampir tiap kelas ada yang naksir kamu. Kamu pernah buka lockermu nggak sih?"

Aku jarang membuka lokerku. Mungkin karena aku tiap hari membawa mobil sehingga rasanya nggak perlu sih untuk nyimpan sesuatu di loker. Tapi terkadang saja aku membuka lokerku kalau mau olahraga. Memang ada banyak surat-surat cinta di sana, tapi tak pernah aku baca satu pun. 

"Jarang sih, tapi memang ada banyak surat cinta. Aku tak pernah baca," kataku. 

"Nah, tuh. Masa' dari semua cewek yang kirim surat cinta itu tak ada satupun yang engkau pilih?" tanyanya. 

Aku mengangguk-angguk. Memang aku harus membuka diri. Selama ini aku terlalu fokus kepada Vira. Sadar woi, Vira itu masa lalu, kataku dalam hati

"Kira-kira kamu punya pandangan sekarang siapa yang kamu suka?" tanya Bu Lina sambil memajukan wajahnya. Matanya yang tajam itu seperti menusukku. 

Aku mengalihkan pandangan dan melihat ke luar jendela. Saat itulah dari luar aku melihat seseorang. Iskha. Ia sedang mengikuti pelajaran olahraga. Kelas X-2 sedang berlari-lari mengelilingi lapangan untuk pemanasan. Aku tersenyum, kemudian berdiri.

"Bu Lina, mungkin memang benar. Aku harus membuka diriku, terima kasih. Saya pergi dulu," kataku. 

"Naah...gitu dong," kata Bu Lina. "Silakan!"


Mulai saat itu aku mulai mendekati Iskha. Aku ingin membuka diriku untuknya. Aku pun mulai mencari tahu dia ikut ekskul apa aja sih, apa saja kegiatannya, kapan dia akan manggung, dan apa saja lagu-lagu ciptaannya. Untuk hal ini sangat mudah bagiku. Tinggal suruh anak buah ayahku untuk melakukannya selesai. Besoknya aku bisa tahu semuanya. Di sekolahan juga sangat mudah untuk mengetahuinya. Aku tinggal mengikuti dirinya saja saat jam istirahat, juga ketika dia ikut ekskul. Iskha masih sendiri. Dia tidak punya cowok, lucunya adalah setiap cowok yang mendekati dia pasti kena tonjok dan besoknya nggak berani dekat dengan dia. Wah, tipe yang sulit ditaklukkan nih, ujarku dalam hati.

Setelah beberapa hari mengikuti Iskha, aku pun mulai menyukai cewek ini. Dia itu periang. Mungkin itu alasannya dia pakai lensa kontak ketika manggung karena ia memakai kacamata minus. Jadi bukan sekedar gaya-gayaan, tapi emang sih dia selalu memakai lensa kontak berwarna merah. Sebentar lagi ada acara perkemahan, dia ikut pramuka sih. Jadi pastinya dia akan ikut acara itu. Aku pun berniat untuk bisa ikut juga. 

Aku yang sudah jarang membuka lokerku pun akhirnya kubuka. Langsung saja ratusan mungkin pucuk surat berhamburan keluar. Alamaaak,...sebanyak ini?? Aku pun memungutinya satu per satu dan memasukkannya ke ranselku. Hampir saja ranselku sendiri nggak muat.

"Ciee, yang dapet surat cinta," tiba-tiba Iskha menyeletukku

"Hai Is!" sapaku. 

"Hai mas," balasnya.

"Koq sendirian?" tanyaku. 

"Emang ngambil barang di loker harus ditemenin?" tanyanya. 

"Nggak juga sih," jawabku. 

Aku melihat lokerku dan lokernya berseberangan alias berhadap-hadapan. Ia lalu menutup lokernya dan menguncinya dengan memutar kombinasi sembarangan. Aku kemudian berlari-lari kecil mengejarnya.

"Masih naik sepeda?" tanyaku. 

"Iya, kenapa?" tanyanya. 

"Kalau boleh, kalau boleh lho. Aku ingin jemput kamu tiap hari," kataku. 

"Nggak usah deh mas, makasih," katanya. 

"Aku nggak keberatan lho," kataku.

"Aku yang keberatan. Ntar disangka yang nggak-nggak lagi sama temen-temen. Dianggap pacaran juga. Aku kan bukan siapa-siapanya mas," katanya. 

"Mau jadi temenku kalau gitu?" tanyaku. 

Ia tersenyum manis. Duh, manisnya senyuman itu. 

"Mas emangnya ngapain sih? Kalau kepengen temenan ya temenan aja gitu kan?" katanya. 

"Mau jawaban jujur apa jawaban tidak jujur?" tanyaku. 

"Ya jujurlah, masa' bohong sih?" 

"Aku jujur suka ama kamu, tapi karena aku belum mengenalmu aku paling tidak kepingin jadi temanmu. Kau bisa mengenalku aku bisa mengenalmu, terus terang selama ini aku tak pernah membuka diriku kepada orang lain," kataku. 

Dia tertawa kecil. "Oh, begitu." 

"Koq tertawa?"

"Aku ini orang kecil mas, bisa masuk ke sekola ini aja pake beasiswa. Mas enak orang kaya bisa bayar sekolah ini buat masuk. Aku nggak bisa mas. Apa mas yakin suka ama aku?" tanyanya. 

"Aku tak masalah dengan itu semua," kataku. 

"Trus, kalau misalnya mas suka sama aku nanti cewek-cewek yang lain gimana dong? Mereka patah hati semua dong? Tuh surat cintanya seabrek," katanya sambil menepuk-nepuk ranselku. 

Aku berdiri di hadapannya. Aku tatap wajahnya lekat-lekat. Entah kenapa aku berdebar-debar. Tidak, tidak, tidak. Aku belum mengenal Iskha. Nggak mungkin aku menciumnya sekarang. Ia bukan Vira. Ia orang lain. Kalau Vira sudah aku kenal cukup lama, tapi ini bukan. Dia masih bersih, polos, kalau sampai aku melakukannya bisa timbul gosip yang nggak-nggak. Sabar aja.

Aku mengangkat jari kelingkingku. "Friends?"

Ia menatap ke langit. Lalu menatap wajahku, kemudian ia menyambut jari kelingkingku dengan jarinya. "Ok."

Kami lalu berjalan beriringan lagi. 

"Kamu setelah ini konser di mana lagi?" tanyaku.

"Mungkin ngamen di kafe mas. Kafe Brontoseno," jawabnya. "Kami sering di sana sih, bawain lagu-lagu accoustik."

"Oh ya? Wah, bakal jadi tempat nongkron favoritku nih," kataku.

Iskha berhenti berjalan. Aku juga berhenti. 

"Mas Faiz serius suka ama aku?" tanyanya. 

Aku mengangguk. 

"Kenapa?"

"Kalau kau tanya kenapa, aku tak punya alaasan yang tepat untuk mencintaimu. Kalau kau tanya bagaimana, maka aku bisa jawab. Aku percaya kepada cinta pada pandangan pertama. Dan aku telah menyukaimu sejak kamu manggung itu. Bundaku berkata, kalau aku sampai berdebar-debar hingga dadaku sesak karena melihat seorang gadis, maka aku telah menemukan cinta sejatiku," jawabku.

"Biasanya kalau orang yang baru kenal bilang cinta, itu gombal dan playboy," kata Iskha. Ia lalu bergegas meninggalkanku. 

Aku membiarkannya pergi ke tempat parkir untuk mengambil sepeda kayuhnya. Benarkan apa yang aku bilang, dia sulit ditaklukkan. 

Ternyata memang benar. Selain sulit ditaklukkan ada masalah lain yang ada pada diri Iskha. Dia ini tak mempedulikan kekayaan orang ataupun kedudukan orang. Di matanya semua orang itu sama. Maka dari itulah aku baru tahu dia bisa bergaul dengan banyak orang, tidak seperti aku. Kedudukanku sebagai anak seorang konglomerat malah menjauhkanku dari teman-temanku yang kehidupan ekonominya di bawahku. AKu pun mulai dekati mereka semua.

Aku pun mulai berubah. Aku mulai menyapa mereka, becanda bersama mereka. Bahkan yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya aku pun mengajak mereka main ke rumahku. Kami belajar bersama di rumahku. Kedatangan teman-temanku tentu saja merupakan hal yang baru di rumah. Selama ini jangankan satu orang, niat mengundang mereka saja tidak pernah. 

Bundaku menyeletuk, "Faiz, tumben kamu ngajak temen-temenmu."

Aku hanya tersenyum. Perubahan kepada diriku itu pun dirasakan oleh seluruh anggota keluargaku. Aku sekarang lebih banyak membuka diri. 

Dan setiap sore hingga malam aku selalu di Kafe Brontoseno, tempat di mana Iskha ngamen di sana. Hanya saja ia agak beda. Tak pakai lensa kontak, sangat natural dengan kacamatanya. Rambutnya diikat, pakaiannya casual. Santai sekali. Ia memetik gitarnya dan bernyanyi beberapa lagu kontemporer. 

Melihatku ada di salah satu meja ia tersenyum kepadaku. Aku melambaikan tangan kepadanya. Ia pun menggeleng-geleng. 

NARASI ISKHA

Apaan sih dia itu? Pertama kali bilang cinta aku. Trus ingin lebih kenal aku dengan menjadi teman. Dan ini malam ketiga dia selalu ada di kafe ini melihatku bernyanyi. Dia selalu menyapaku. Dan pasti duduk di sebelah sana. Kata pelayan di kafe ini tipsnya pasti gedhe kalau dari dia. Aku agak nggak enak sih karena selalu diperhatikan olehnya. 

Tapi dia termasuk yang paling gigih ngejar aku. Bayangin aja nih, aku tak pernah ngasih tahu nomor ponselnya eh, tahu-tahu dia sudah SMS aku aja. Dapat dari mana pula? Dia tiap pagi sudah ada di pagar sekolah, cuma untuk say "Hai, selamat pagi?!"

Dia tahu kalau aku tiap pagi nggak pernah sarapan sehingga makan di kantin. Eh dia sudah ada di sana. Dan berusaha nemenin aku. Lama-lama hatiku lumer juga deh. Sudah hampir seminggu ini dia ada di kafe tiap malam. Memang nggak menyapaku, cuma melambaikan tangan saja. Duduk di sana sampai kafenya mau tutup. Dia berkali-kali nawari aku tumpangan, tapi selalu kutolak. 

Hari ini dia memakai kemeja putih bergaris vertikal berwarna coklat. Dia memakai jas berwarna hitam. Sejak dia duduk selalu memperhatikan aku. Aku akhirnya takluk. Mataku tak bisa pergi dari dirinya. Duh, mas Faiz...kau bikin aku deg-deg-ser. 

Hari ini selesai juga akhirnya aku ngamen di sini. Sang manajer pun memberikan kami amplop sebagai upah kami mengisi musik di kafe ini. Setelah itu di ruang belakang aku membagi uangnya bersama teman-temanku yang lain. Lumayanlah buat jajan. Tapi aku tetap akan memberikan uang ini buat ibu dan ayah. Setelah itu aku kembali ke ruang depan. Kulihat Faiz ada di luar kafe, berjalan mondar-mandir. Aku membawa gitarku di punggung. 

"Mas Faiz? Masih di sini?" tanyaku.

"Iya, nunggu kamu," jawabnya. 

"Nggak usah ditunggu mas," kataku. 

"Anak gadis jalan sendiri itu nggak aman. Aku mau nemenin kamu," katanya. 

"Aku naik sepeda lho mas, mas kan naik mobil," kataku. 

"Nggak koq. Aku juga naik sepeda tuh!" katanya sambil menunjuk ke sebuah sepeda gunung yang terparkir di sebelah sepedaku. 

Aku menggeleng-geleng. Hebat ya perjuangannya pedekate ke aku. Aku menghela nafas. 

"Oke?" tanyanya.

"Yah, baiklah," kataku. 

Kami pun mengambil sepeda kami masing-masing. Setelah itu kami mengayuhnya. Sepedaku ini satu-satunya kendaraanku untuk pergi ke mana-mana. Memangnya gimana lagi? Sepeda motor? Belum mampu kami beli. Sepeda motor itu pun dipakai ayah buat kerja. Aku jadi malu sendiri bersepeda begini ama Faiz. Agak aneh aja sih, bajunya senecis gitu, tapi naik sepeda ontel. Aduhhh...

"Kenapa?" tanyanya.

"Hah? Apa mas?" aku yang dari tadi melamun tersadar.

"Kenapa koq diem? Aneh ya melihat anak orang kaya naik sepeda?" tanyanya. 

"Iya sih, mas ini kekeuh juga ya?"

"Kamu kenapa belum punya pacar? Padahal aku yakin pasti banyak yang naksir ke kamu. Aksi kamu di panggung luar biasa, pasti salah satu fansmu bakal tertarik."

"Nggak juga mas. Lha mas sendiri? Koq masih single? Apa jangan-jangan mas sudah punya pacar?" 

"Aku ini biar pun anak orang kaya, menghargai perempuan lho. Aku ada sih dulu gebetan, tapi sudah lewat. Direbut ama Pandu."

"Oh, siapa itu Pandu?"

"Kakakku, saudaraku. Kami memang selalu banyak bersaing dalam segala hal. Bahkan sampai urusan cewek pun kami bersaing. Tapi kami bersaing secara fair, adil, nggak ada saling menjatuhkan."

Aku cukup kagum kepadanya. Dia bicara jujur apa adanya. Kemudian kami ngobrol ngalor ngidul soal sekolahan, soal temen, soal baju, sepatu, film, musik, hingga tak terasa aku sudah sampai di depan rumahku. Aku agak malu juga sih ketika Faiz melihat rumahku yang kecil. Halamannya kecil, berpagar besi yang dicat kuning. Tampak sebuah lampu neon menerangi halaman dan pagar. Pintu rumahku dicat warna coklat. Sebuah kaca besar ada di sebelahnya dan di terasnya ada kursi dan meja untuk menyambut tamu. Di halaman yang kecil itu banyak tumbuh bunga-bunga peliharaan ibu. 

Faiz turun dari sepedanya. Aku juga. 

"Makasih mas, udah nganter," kataku.

"Tidak, akulah yang berterima kasih, kau mau menunjukkan rumahmu," katanya.

"Aku sejujurnya malu. Kondisi rumahku seperti ini. Pasti rumah mas lebih gedhe dari ini kan? Lebih mewah." kataku. 

Ia tersenyum. "Nggak juga. Kalau kamu ingin main ke rumahku. Pintu rumahku akan selalu terbuka."

"Anak cewek koq pergi ke rumah anak cowok? Nggak kebalik?" 

"Yah, kalau kamu ingin main aja. Temen-temenku juga main ke rumahku koq. Nggak usah malu. Sudara-saudaraku pasti akan menerimamu nanti."

"Nggak ah mas, malu aku." 

Kami terdam sebentar. Faiz mendekat kepadaku. Eh...mau apa dia? Nggak, tunggu...jangan...! Bagai slowmotion waktu serasa melambat. Tangannya memegang pundakku. Dan perlahan-lahan aku seperti dibius olehnya. Wajahnya mendekat kepadaku, lebih dekat-lebih dekat. Oh tidak...ini first kiss...jelas ia akan menciumku. Oh Tuhan....ini first kissku dengan seorang laki-laki. Kumohon tolaklah Iskha, tolaklah dia. Kamu yakin dia cinta sejatimu? Dorong dia! Dorong!

Tapi aku tak sanggup mendorongnya. Tubuhku seperti terkena paralysis. Dadaku naik turun. Dia sudah menempelkan bibirnya ke bibirku. Bau nafasnya yang harum aku hirup. Lidah kami bertemu. Ciuman ini, luar biasa. Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Mataku terpejam. Aku resapi setiap sentuhan bibirnya di bibirku. Ia mengecupku menghisap salivaku. Lidahnya pun membasahi bibirku. Oh...tidak...Ya Tuhan, aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta ama dia. 

Sialan kamu Faiz, kau telah mencuri hatiku, telah mencuri ciuman pertamaku. Ia pun melepaskan ciumannya setelah entah berapa lama kami berciuman. Mata kami saling bertatapan. Ia mengusap pipiku, aku memejamkan mataku merasakan belaian lembut tangannya. Baiklah saudara-saudara, aku Iskha, telah takluk kepada pemuda ini.

Sudah Faiz, pergilah. Aku tak mau mati berdiri di tempat ini. Cukup ciumanmu bisa buat pingsan diriku kalau kau lakukan lagi. Ya Tuhan tolong, sudahi ini. Iya, aku mengaku kalah. Aku suka dia, aku cinta dia. Faiz, aku cinta kamu. 

"Ehm! Ehm...!" tiba-tiba sebuah deheman memecah keheningan. Arrgghh...itu ayah!!! Dia berdehem di dalam rumah dengan deheman yang keras sampai terdengar keluar.

Kami langsung salah tingkah. Faiz hampir saja menjatuhkan sepedanya, kalau ia tak cepat tanggap. 

"Sebaiknya aku segera masuk," kataku dengan salah tingkah. 

"Iya, sebaiknya aku juga pulang. Sudah malam," katanya. 

"Sampai besok," kataku.

"I..iya, sampai besok," katanya. 

Pintu terbuka tampak ayahku dengan baju kaos dan sarungnya keluar. Dia menatap Faiz dari jauh. Mungkin dalam hatinya mengumpat siapa beraninya deketin anak gue? Aku dengan wajah memerah langsung masuk ke dalam rumah. Dan karena salah tingkah gitar yang aku bawa dipunggungku pun membentur pintu sehinga menimbulkan suara gaduh. Faiz tampak mengangguk hormat kepada ayahku. Aku meletakkan gitar ke kursi sofa. 

"Siapa itu?" tanya ayah menginterogasiku. 

Aku tak menghiraukannya. Aku segera keluar lagi dan berteriak, "Mas Faiizz, AKU JUGA PADAMU!"

"YEEESSS!!!!" seru Faiz sambil melompat. 

"Heh! Ini sudah malem koq teriak-teriak? Masuk sana!" aku ditempeleng ayahku. 

"Aduh! Iya yah, iya," kataku. 

Faiz tampak kegirangan ia segera mengayuh sepedanya sambil bersiul-siul. Aku langsung masuk ke kamarku. Aku sangat malu. Malu sekali mengatakannya. Faiz...aku cinta kamu. 

Long Road for Love

Acara perkemahan Sabtu Minggu. Agak aneh saja karena entah bagaimaan Mas Faiz bisa ada di sana ikut sebagai panitia. Sebab aku tak pernah tahu kalau dia pernah ikutan ekskul pramuka. Perkemahan ini diselenggarakan di salah satu Bumi Perkemahan. Jangan harap deh seperti pegunungan atau hutan. Nggak. Ya namanya juga anak kota. Tapi memang ekskul kami setahun sekali mengadakan kemah ke salah satu pegunungan. Biasanya kemah akhir tahun. Karena ini perkemahan untuk anak kelas satu seperti aku yah, kemahnya ya di sini. 

Agak lucu juga sih melihat Mas Faiz pakai baju pramuka dan menjadi seksi sibuk. Hihihi. Tapi semenjak jadian kita di malam itu, ia perhatiaaaaan banget. Sayaaaang banget ama aku. Dia saja bantuin aku bawa barang-barangku. Aku kemari nebeng dia pakai mobilnya. Dan selama perkemahan ini dia jagain aku ohhh...sooo sweeett.

Kegiatan perkemahan ini cukup padat sebenarnya. Ada permainan, games dan macam-macam. Pada malam harinya ada pesta api unggun. Semuanya mulai dari kelas satu dan panitia memberikan pertunjukan di sana. Intinya sih, acara itu cara yang menyenangkan. Setelah acara api unggun selesai, mas Faiz menemani aku di tenda panitia. Kami makan sebungkus nasi Padang berdua di sana. 

"Cieee....makan sebungkus berdua...cieeee!" sindir beberapa orang panitia.

"Mau?" tanya Mas Faiz ke mereka.

"Oh, nikmati aja, kami tak mau merusak momen bahagia kalian," kata panitia yang lain. Tiba-tiba ada seseorang yang memotret kami, JEPRET! Lampu blitznya mengejutkan kami. Saat itu aku dan mas Faiz menoleh ke arah yang motret.

"Waduh, kita dipotret mas, malu aku," kataku. 

"Udah...nggak apa-apa, tenang aja. Toh kalau dipublish juga nggak masalah," kata mas Faiz. 

"Tapi, aku malu," kataku. 

Ia memegang pundakku. "Nggak usah malu. Kau ini cewekku, udah resmi. Nggak perlu malu."

"Udah resmi? Kaya' orang nikah aja," kataku. 

Kami tertawa. Setelah makan malam itu. Aku mengambil gitarku. Mas Faiz, memintaku untuk menghibur para panitia. Aku sih nggak keberatan. Musik memang sudah menjadi hidupku. Aku pun memetik gitar dan mulai bernyanyi salah satu dari lagu-laguku. Alunan melodi pun mengalir. Ada satu hal yang aku pasti lakukan ketika main pentas. Terlebih kalau bermain solo. Aku selalu memejamkan mataku. Menghayati setiap sya'ir yang aku mainkan. 

Malam gelap
Bintangku temani aku.....
Genggam tanganku
Ucapkan kata cintamu.....

Duhai Sang pangeran 
Mimpikan aku dalam tidurmu....
Anggap aku putri tidurmu
yang siap untuk ciumanmu
Agar bangun dari mimpiku

Setelah aku selesai lagu itu. Aku membuka mataku. Betapa terkejutnya aku melihat seluruh tenda panitia penuh orang. Nggak cuma panitia, tapi juga seluruh anak-anak kelas satu. Mereka pun bertepuk tangan kepadaku. 

"Hebaat, keren Iskha! Keren!" seru mereka semua. Aku mengangguk dan membungkukkan badan. 

Mas Faiz tersenyum dan bertepuk tangan kepadaku. Lagu ini kupersembahkan untukmu mas. Engkaulah pangeranku. Malam kian larut dan aku kembali ke tendaku setelah itu. Mas Faiz membawakan aku selimut. 

"Nih, buatmu!" katanya. 

"Mas, bagaimana?" tanyaku.

"Ah, aku gampang. Paling juga bakal tidur bergerombol ama para panitia yang lain mirip anak kucing," jawabnya. 

Aku tertawa. "Dasar, ya udah. Emang harusnya kan gitu. Cowok ngasih sesuatu agar ceweknya nyaman."

Ia mengucel rambutku. Ih...ada kebiasaan aneh sih ama Mas Faiz ini. Dia suka banget berantakin rambutku kalau sedang gemes. Selain dipeluk juga sih. Tapi terus terang ia orang yang paling honest, paling humble yang pernah aku kenal. Aku lihat teman-temanku yang udah punya cowok, biasanya si cowok grepe-grepe gitu, tapi dia nggak. Menurutku dia ini sosok cowok yang perfect. Dia memang pernah menciumku dan itu cuma sekali itu doang. Pegang tanganku juga nggak pernah lama-lama. Walaupun begitu ia pria yang paling perhatian. Aku tiap hari makin jatuh cinta kepadanya. 

Setelah aku menerima selimut itu, aku pun masuk ke tenda bersama teman-temanku yang lain. Selimut yang diberikan Mas Faiz cukup lebar sehingga banyak muat beberapa orang. 

Nailul pun berbisik kepadaku, "Duh, Iskha. Kamu ini ya, bisa merebut hati Faiz. Aduuh..iri aku."

"Iya, ceritain dong, gimana dia nembak kamu?" pinta Ratna.

"Harus cerita? Ntar kalian tambah kepengen lho?" kataku.

"Cerita aja, kami denger koq. Anggap aja kamu lagi dongengin kami!" ujar Sulis. 

Aku pun kemudian menceritakan bagaimana Mas Faiz berusaha mendekatiku dari awal. Awal pertemuan kita ketika aku manggung di parade band, kemudian juga bagaimana ia mulai mendekatiku, selalu datang di Kafe itu, kemudian menciumku malam itu sampai kepergok ayahku. 

"Aduuuuhhh....Soooo Sweeeeettt!" seru semuanya. 

"Aku jadi iri...hiks....nggak nyangka ya anak konglomerat bisa seromantis itu," kata Nailul.

"Eh, gosipnya gebetannya sekarang jalan ama saudaranya kan?" celetuk Ratna.

"Iya, Vira. Anak kelas XII itu. Denger-denger mereka dulu ngerebutin dia. Tapi kaya'nya Faiz kalah," kata Sulis. 

"Vira, anak kelas XII? Senior dong," kataku.

"Iya, dia cukup cakep lho. Primadona di sekolah ini," kata Nailul. 

Entah kenapa aku cemburu. Cemburu kepada masa lalu Faiz. Faiz juga pernah cerita tentang gebetannya yang direbut oleh Pandu. Tapi apakah memang dia sudah melupakan Vira? Apakah mendekatiku ini adalah salah satu pelarian dia? Tapi tidak. Ia sangat jujur kepadaku. Ia sangat mencintaiku. 

"Udah ah, tidur. Ngantuk!" kataku.

"Cieee...cemburu nih yee," ejek Nailul.

"Ah kalian, udah ah nggak mau denger," kataku sambil menutup telingaku. 

Semuanya ngikik. Kami pun mencoba tidur hingga pagi.

****

NARASI FAIZ

Acara perkemahan itu selesai. Kami kembali ke kehidupan normal. Cieh, normal. Apaan emangnya? Maksudnya kita masuk pagi, pulang siang, menikmati pelajaran di kelas. Hubunganku dengan Iskha mulus-mulus saja. Foto kami sedang makan di perkemahan itu jadi hot topic. Bahkan sempat masuk ke berita gosip. Aku maklum dan sadar, statusku sebagai anak orang konglomerat masih melekat, dan Iskha sebagai seorang musisi, tentunya juga dilirik.

Iskha dan aku makin dekat. Ia juga sudah tak malu-malu lagi jalan denganku. Ia tak peduli ada wartawan yang curi-curi foto saat kami bergandengan atau jalan bareng. Beritanya sih cukup heboh ketika aku dan dia bergandengan tangan di taman. Sampai di koran ada judul "ANAK KONGLOMERAT BERPACARAN DENGAN MUSISI" Aku dan Iskha tak menghiraukan tulisan tabloid remaja itu. Memang sih banyak yang patah hati pastinya. Aku juga masih ingat bagaimana itu surat-surat cinta aku baca semuanya. Yup semuanya. Total ada 345 surat yang aku baca. Semuanya menyatakan suka ama aku. Tapi maaf sekali aku sudah memilih Iskha.

Hari ini aku ingin main ke rumahnya. Tentu saja sekaligus berkenalan ama keluarganya. 

Kalau pakai mobil rasanya terlalu berlebihan. Aku pun iseng aja sih hari MInggu pergi ke rumahnya pakai sepedaku. Sekalian olahragalah. Aku melihat seorang anak kecil laki-laki berkacak pinggang di pagar. Aku turun dari sepedaku.

"Pagi, kakakmu ada?" tanyaku.

"Kak Iskha sedang nggak bisa diganggu, mau apa kamu anak muda?" kata anak kecil ini. Anjrit, sombong banget. Pake logat wayang lagi. Tapi lucu juga. 

Dari pintu muncul Iskha. Dia tampak memakai kaos dan celana legging. Dia membawa bak di pinggangnya. Oh, sedang nyuci-nyuci. 

"Udah dek, sana main sana!" perintah Iskha kepada adiknya. 

"Siap tuan putri!" kata adiknya. Ia segera berlari keluar pagar. Tampak teman-temannya yang lain sedang bermain bola. Jalanan di depan rumah Iskha memang sepi kalau hari minggu seperti ini. Melihatku yang datang Iskha langsung menyambut. 

"Masuk mas, maaf lho aku sedang nyuci-nyuci," katanya. 

"Rumahmu sepi?" tanyaku.

"Cuma ada ibu. Ayah sedang jadi masinis," katanya.

"Oh iya, ayahmu masinis ya?"

"Duduk deh, aku buatin minum dulu!"

"Ah nggak usah repot-repot!" 

"Udah, duduk aja!"

Aku kemudian masuk ke halaman rumahnya. Kuparkir sepedaku di halamannya. Iskha menaruh bak yang berisi pakaian yang sudah dicucinya itu di halaman. Dia segera masuk ke dalam rumah. Aku kemudian duduk di kursi yang ada di teras. 

Seorang ibu-ibu paruh baya muncul. 

"Ehh...ada tamu," ibu-ibu ini aku salami. "Temennya Iskha?"

"Iya, bu," kataku. Iyalah, masa' temennya adeknya yang kecil itu? Eh, beliau kan udah tahu kalau aku kemarin ke rumahnya jemput Iskha pake mobil, masa' lupa?

"Temen atau pacar?" wuih, langsung to the point.

"Dua-duanya," jawabku nyengir.

Ibunya kemudian berbisik, "Koq nggak bawa mobil nak? Kemarin kan bawa mobil sepertinya?"

"Kepengen olah raga bu, lagian ribet kalau harus bawa mobil segala," jawabku. 

Iskha pun kembali membawa nampan berisi minuman Nutrisari. Dia lalu menaruhnya di meja kecil di serambi. Iskha lalu duduk di kursi yang kosong. Sementara ibunya masih berdiri.

"Diminum mas!" kata Iskha. 

Aku kemudian meminumnya.

"Kapan ngelamar Iskha?" tanya ibunya tiba-tiba sambil nyengir entah beliau bercanda atau tidak.

Aku pun nyembur dan tersedak. Uhukk!!

"Ih, ibuuu....koq tanya gitu? Udah sana ibu kan banyak kerjaan. Ntar pelanggannya pada kabur jahitannya belum selesai," kata Iskha yang sedikit malu ibunya tanya begitu.

"Ya ya ya," ibunya pun kembali masuk ke dalam rumah.

"Mas nggak apa-apa?" tanya Iskha. "Maafin ibu ya!"

"Ah, nggak apa-apa koq, mungkin ibumu cuma bercanda," kataku.

Tiba-tiba wajah beliau muncul lagi, "Aku nggak bercanda lho, beneran."

"Ibuuuuuu!" Iskha menjerit gemas. Sang ibu balik lagi ke dalam. Aku jadi ketawa melihat hal itu. Akhirnya aku nggak jadi canggung di rumah ini. Ibunya bisa menerima baik diriku. Iskha tersenyum kepadaku. Ia sedikit malu sih. 

"Boleh aku bantu jemur pakaiannya?" tanyaku. 

"Ah, nggak usah mas, nggak usah. Aku bisa sendiri koq," katanya. 

"Udahlah, aku bantu yah?!" kataku menawarkan diri.

"Nggak usah mas beneran, nggak usah," katanya. 

Aku berdiri dan beranjak ke bak jemuran tadi. Iskha mengejarku dan memegang tanganku. Oke, ini momen yang ehm...sebenarnya, tangannya memegang tanganku dan matanya dekat banget ama mataku. Yah, anggap saja seperti di sinetron-sinetron itu. Padahal kami sudah kurang lebih dua minggu pacaran, tapi masih saja seperti baru jadian kemarin. 

"Aku bantu ya?" tanyaku lagi. 

"Nggak usah mas!" jawabnya. Tapi tak ada penolakan. Aku pun mengambil sehelai baju dan meremasnya lalu menjemurnya. Iskha pun ikut-ikutan. Ia tak bisa mencegahku. AKhirnya jadi kami berdua menjemur baju-bajunya.

Dan....., "Eit, yang itu nggak usah!" kata Iskha sambil merebut sesuatu dari tanganku. 

Wajahku memerah saat itu. Itu celana dalamnya. Hehehe. Aku mengambil lagi dari bak. 

"Itu juga nggak usah! Aku bisa sendiri!" ia kembali merebut dari tanganku. Sebuah bra. Bra miliknya?

"34 C?" gumamku. 

"Ih, dasar mata keranjang!" katanya sambil menjulurkan lidah. Ia lalu menjemur pakaian dalamnya tadi. 

Setelah selesai menjemur ia lalu menemaniku duduk di serambi. AKu masih tersenyum-senyum mengingat peristiwa tadi. 

"Ngapain ih senyum-senyum, senewen?" tanyanya. 

"Lucu aja sih mengingat yang tadi," jawabku. 

"Mas ini, udah ah. Aku malu lho," katanya. 

Aku menatapnya lagi. Aku cuma ingin menatap wajahnya. Ini saja sudah membuatku senang. Aku bisa melihat wajah Iskha yang natural tanpa make-up. Ia cantiknya alami. Tak ada bedak, tak ada lipstik. Ia membetulkan kacamatanya. 

"Apaan sih ngelihatin melulu," katanya. 

"Seneng aja ngelihatin kamu," kataku. 

"Udah ah, aku malu dilihatin terus. Aku tinggal lho," ancamnya. 

Aku kemudian mulai berbicara ke yang lain, "Adikmu lucu juga yah."

"Masih SD ya lucu-lucunya, kalau sudah SMA ya udah nggak lucu lagi mas. Kaya' kita-kita ini, hehehe."

"Biasa aja kamu. Trus, kira-kira enaknya kapan yah?"

"Apanya?"

"Ngelamar kamu."

"Idiiih, masih sekolah juga koq. Aku aja belum 17 mas. Masih 16 tahun, bulan depan baru 17 tahun," katanya. 

"Ah, I see. Kapan?" 

"Aku ultahnya 20 September."

"Catet. Mau hadiah apa?"

"Hadiah? Entahlah, aku nggak pernah ngerayain ulang tahun soalnya. Pasti Mas Faiz sering ngerayain ultah."

"Yah, cuma dirayain ama saudara-saudara aja. Paling juga nraktir mereka, trus mereka bikin sureprise gitu."

"Hihihi, pasti seru ya punya banyak saudara gitu."

"Maybe. Tapi yang paling seru mungkin kalau seluruh saudaraku ngumpul semua, bisa rame itu rumah. Kami ngumpulnya setahun sekali sih. Pas lebaran gitu."

Kami kemudian diam. Terdengar suara mesin jahit yang bekerja di dalam rumah. Ibunya Iskha mulai menjahit baju-baju pesanan. Agak lama kami diam, hingga Iskha memulai pembicaraan lagi.

"Aku kemarin iseng sih mas, nyari orang yang bernama Vira," katanya. 

Deg! Ngapain dia nyari Vira?

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Aku ingin tahu saja, seperti apa sih wanita yang mas suka sebelum aku. Ternyata kalau dilihat-lihat Vira itu cantik ya, aku aja kalah. Dia wanita yang ideal, sempurna, perfect. Aku juga tahu dia selalu dapat peringkat di kelas, cerdas dan luar biasa pokoknya. Aku jadi tahu selera mas Faiz itu tinggi banget. Aku sepertinya nggak ada apa-apa," katanya. Lho, koq dia jadi minder sih?

"Jangan gitu dong. Dia udah masa lalu, kamu sekarang masa depanku," kataku. Aku kemudian beranjak dan berlutut di depannya. "Iskha, jangan pikir yang aneh-aneh. Aku sudah memilihmu dan aku sudah jujur kepadamu tentang perasaanku."

"Iya, aku tahu. Mas baik, mas sangat pengertian, sayang, dan selalu melindungiku. Hanya saja aku takut!" Iskha menyatukan tangannya dan mendekap dadanya. "Aku takut dia akan merebut mas dari aku. Aku cemburu. Aku cemburu mas akan balik lagi ke dia suatu saat nanti."

Aku lalu mendekapnya. Kepalanya bersandar di pundakku. "Jangan begitu Iskha, kau adalah milikku sekarang. Dan akan begitu seterusnya. Kau cemburu, itu artinya kau juga sangat mencintaiku."

Iskha membalas pelukanku. Aku kemudian menempelkan dahiku ke keningnya. Dari apa yang ia utarakan, aku tahu sekarang. Bahwa perjalanan cinta kami masih panjang.
Mencari Ayah yang Hilang

NARASI HANI


Aku sudah sampai di ibukota sekarang. Sebenarnya juga aku masih bingung dengan kota ini. Angkutan umumnya banyak, Selalu tanya kiri dan kanan. Tujuanku cuma satu, yaitu bertemu dengan Doni Hendrajaya. Dia ayah biologisku. Tujuh belas tahun yang lalu ibuku selingkuh dengan seseorang. Ibuku bernama Dian. Setelah kematian ayahku dialah yang mengurusiku sendirian. Namun akhirnya ibuku pun menyusul ayahku tak berapa lama kemudian. Sebelum beliau meninggal ia berwasiat kepadaku bahwa aku bukan anak kandung ayahku. Aku adalah anak seorang konglomerat. Namanya Doni Hendrajaya. Dulu ibuku berselingkuh dengan dia sehingga lahirlah aku. Dan ini tidak diketahui oleh ayahku. Tentu saja itu pukulan terberat bagiku. Aku tak menyangka ibuku melakukan tindakan seperti itu, mengkhianati ayahku sendiri. 

Tapi aku sudah memaafkan ibu. Dan ibu menyesali semuanya. Aku sekarang hanya ingin menuntut pertanggung jawaban kepada Doni Hendrajaya.

Sudah seminggu ini aku berada di ibukota. Aku pun bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe. Gajinya sih lumayanlah buat hidup. Kafe Brontoseno namanya. Pekerjaan di sini cukup mudah, karena aku bagian kasir. Cuma ngitung uang, tapi juga kadang merangkap melayani pelanggan kalau pelayan yang lain lagi ribet. Kadang juga aku dapat tip. 

Aku suka ama salah seorang pelanggan. Dia tipnya sangat besar. Entah siapa namanya aku tak mungkin menanyakan nama ke orangnya. Dia selalu duduk di sebuah meja, sendirian sampai kafe ini hampir tutup. Kudengar sih dia pacarnya salah satu musisi yang ngisi di kafe kami. Dia tiap malam selalu ada di sini. Cakep bangetlah pokoknya. Beruntung banget itu sang vokalis jadi pacarnya. 

Ngomong-ngomong soal vokalis, aku kenal dengan vokalis The Zombie Girls ini. Namanya Iskha. Kenalnya juga ya gara-gara dia ngamen di kafe ini. Kalau nggak ya mana bakal kenal? Terkadang juga kalau libur aku diajak ke konser musiknya. Aku pun jadi akrab sama Iskha ini. Orangnya periang, supel, enak deh diajak gaul. Dia juga adalah temanku pertama kali ketika singgah di ibu kota ini. Aku dibantu mulai dari cari kos sampai ngajakin aku jalan bareng ama anggota bandnya. Mereka asyik semua. 

"Malem mbak Hani?!" sapa Iskha. 

"Malem mbak?! Apa kabar?" balasku. 

"Baik," jawabnya. 

Seperti biasa, ia membawa gitarnya dan mulai membuka pembungkusnya. Aku melihat seorang laki-laki duduk di meja yang kosong. Itu lelaki yang aku ceritakan. Iskha menatap ke dirinya penuh arti. Duh enaknya yang pacaran. 

"Wah, setia banget sih mbak cowoknya?" kataku. 

"Nggak tahu tuh, nempel terus kaya' perangko. Hihihi," jawabnya. 

"Iya, tiap malam nemenin mbak. Apa nggak ada kegiatan lain dianya?"

"Nggak tahu, tanya aja!" katanya sambil nyengir.

Malam ini pengunjung kafe tak begitu ramai, maka dari itu aku bisa sedikit santai. Aku pun coba mendekati cowok itu. Tampangnya sih bukan dari keluarga biasa. Aku lihat dia memakai syal warna ungu, jaket warna hitam, celana jeans dan sepatu warna coklat. Aku membawa menu dan menanyakan pesanannya.

"Mau pesan apa mas?" tanyaku.

"Ah, seperti biasa aja, Cappucino," jawabnya. 

"Ok," kataku. "Ada lagi?"

"Nggak tahu deh, udah aja. Nanti kalau tambah aku kasih tahu," katanya. 

Aku pun segera ke dapur memberi tahu pesanan Cappucino. Tak berapa lama kemudian pesanan sudah jadi. Aku segera menuju ke mejanya cowok tersebut. 

"Makasih," katanya. 

Aku tak segera beranjak. Aku duduk di kursi di dekatnya. 

"Mas cowoknya mbak Iskha ya?" tanyaku.

"Iya," jawabnya.

"Wah, beruntung ya mbak Iskha. Ditemenin terus kalau malem," kataku. 

"Mau gimana lagi, kalau dia pulang sendirian bahaya kan. Cewek pula," katanya. 

"Bener juga sih. Boleh tahu nama mas?"

"Aku Faiz. Kamu?"

"Aku Hani. Aku juga temennya mbak Iskha. Sering jalan bareng juga. Kami juga kadang curhat-curhatan gitu."

"Oh ya? Curhat apa saja?"

"Ada deh, itu rahasia cewek. Hehehe."

"Yaaah...oke deh."

"Aku tinggal ya mas," kataku sambil beranjak dan kembali ke tempatku. 

"Oke, silakan. Makasih ya," katanya. Sopan banget.

"Iya, sama-sama," jawabku. 

Malam itu pun berlalu dengan cepat. Bahkan tak terasa sudah selesai pertunjukannya mbak Iskha dan kawan-kawan. Mbak Iskha beres-beres alat musiknya, sama teman-temannya. 

"Ok girls, sampai besok yah?" katanya ke teman-temannya. 

"Ok, sampai besok," kata yang lain. 

Aku juga sebenarnya udah mau pulang. 

"Mau pulang juga Han?" tanyanya.

"Iya nih mbak, mau pulang juga?" tanyaku.

"Iya. Hmm...mau bareng ama aku?" 

"Lho, mbak kan bawa sepeda. Aku naik angkot saja, seperti biasa," kataku.

"Nggak ah, bahaya juga lho angkot malem-malem. Sama mas Faiz aja. Dia bawa mobil koq. Aku tadi bareng sama dia koq. Nggak keberatanlah kalau nambah satu penumpang," katanya. 

"Oke deh," kataku.

Akhirnya singkat cerita malam itu aku diantar oleh Iskha dan cowoknya. Aku duduk di belakang ditemani gitarnya. Iskha duduk di depan dong mendampingi kekasih tercinta. Selama di mobil ini entah kenapa aku nyaman ya? Apa pengaruh dari cowoknya mbak Iskha. Ah nggak mungkin. Masa' pesonanya sampai kaya' gitu. Tapi jujur aku akui cowoknya itu pesonanya luar biasa. Kalau dia punya mobil seperti ini pasti orang kaya. 

Tak berapa lama kemudian aku sudah sampai di depan kosku. Aku keluar dari mobil. 

"Hati-hati ya mbak!?" kata Iskha. 

"OK, makasih banyak," kataku. 

Setelah itu aku hanya melihatnya meninggalkan aku seorang diri di depan rumah kos. Capek rasanya. Aku masuk ke kamarku. Melepas sepatuku. Kukunci pintu kamar dan langsung merebahkan diri. Karena terlalu capek, aku pun terlelap. Tahu-tahu sudah pagi. 

***

Hari itu aku libur, karena shift kerjaku. Ada sesuatu yang nggak biasa. Aku punya tamu. Wah, itu mas Faiz, cowoknya mbak Iskha, ada apa ya?

"Eh, Mas Faiz. Ada apa ya?" tanyaku. 

"Aku mau minta bantuan nih. Bisa?" tanyanya.

"Bantuan apa ya mas?"

"Begini, sebentar lagi kan Iskha ulang tahun sweet seventeen. Aku ingin memberikan kejutan buat dia. Kira-kira tahu nggak hal yang paling disuka olehnya yang mungkin aku tidak diketahui. Atau mungkin sesuatu yang ia inginkan sejak lama tapi nggak pernah kesampaian?" tanyanya. 

"Oh...koq mas tanyanya ke aku?"

"Dia cerita kalau dekat dengan kamu, yah....siapa tahu kamu tahu gitu."

Aku pun merenung. "Kalau soal apa yang paling diinginkannya dia punya beberapa sih. Diantaranya kepengen ciuman di atas Menara Eifel."

"Kejauhan woi, yang deket-deket aja," kata Mas Faiz.

"Hihihihi....hmmm iya. Dia ingin punya piano. Sangat ingin punya piano," kataku. 

"Yang bener? Bukan yang lain? Sepeda motor atau apa gitu? Cincin mungkin? Kalung?"

Aku menggeleng. "Nggak mas. Dia ingin piano. Beneran, suwer. Soalnya dia pernah berkunjung ke mall. Kemudian ada piano di sana yang boleh dimainkan. Ia langsung maen piano di sana. Tentu saja semua orang kagum dong ama permainannya. Dan ia pun bilang kepadaku, kalau saja ia punya uang yang cukup, ia ingin sekali beli piano seperti itu."

Mas Faiz mengangguk-angguk. "Begitu yah. Oke deh. Besok ulang tahunnya. Aku ingin kalian yang ada di kafe ini kerja sama yah."

"Dua puluh september ya? Hmm....oke deh," kataku.

Setelah itu Faiz pergi. Lucu juga ya memberikan kejutan ultah kepada mbak Iskha. Aku pun jadi salah satu pemrakarsa jadinya. 

NARASI DONI 

Agak lucu ketika hari ini aku diberitahu oleh Faiz dia ingin memperkenalkanku dengan pacarnya. Tujuannya cuma satu yaitu ingin aku menyetujui dan merestui hubungan mereka. Aku berkali-kali sudah bilang, apapun pilihanmu aku ikut. Tapi ternyata Faiz ingin aku melihatnya secara langsung cewek yang menjadi pilihannya itu. Acaranya nanti malam di Kafe Brontoseno. 

Aku kenal pemilik Kafe itu, namanya Pak Liem. Salah seorang wirausaha yang terkenal dengan bisnis waralaba Kafenya. Aku memberitahunya kalau aku nanti akan datang ke kafenya untuk ikut-ikut acara sureprise anakku. Pak Liem malah ketawa. 

"Pak Doni, sepertinya itu anakmu jatuh cinta banget sama pacarnya sampai kepengen dikenalkan segala," kata Pak Liem. "Aku tadi juga ditelpon ama anakmu mau ngasih pesta kejutan katanya. Aku sih Ok, Ok saja, apalagi sudah kenal dekat dengan Pak Doni. Bukan begitu?"

"Iya sih Pak Liem. Yah, namanya juga anak-anak. Kita juga pernah muda," kataku. "Makasih kalau begitu, saya nanti akan mampir ke sana."

"Iya pak, silakan! Saya sudah menghubungi manajernya," kata Pak Liem. Pembicaraan kita pun berakhir. 

Aku masih ada di kantor sampai malam. Aku pun segera cabut untuk ke tempat kafe itu sesuai janjiku kepada Faiz. Faiz pun menelponku.

"Ayah, sudah berangkat?" tanyanya. 

"Iya, ini juga dalam perjalanan," jawabku.

"Makasih ya yah," katanya.

"Iya," kataku.

Setelah dari tempat parkir aku pun segera melajukan mobilku hingga aspal menimbulkan bunyi berdecit. Perjalanan ke kafenya cukup lama karena aku harus berjibaku dengan kemacetan yang luar biasa. Ada telepon masuk lagi. Dari istriku Laura. 

"Halo Ma? Ada apa?" tanyaku.

"Papa lembur nggak?" tanyanya. 

"Nggak, hanya saja ini si Faiz ingin aku ke pesta kejutan ceweknya. Ada apa ya?" 

"Oh, nggak apa-apa. Kalau papa nggak bisa menjemput Juni yang saat ini sedang ada di tempat latihan nggak apa, aku akan telepon dia nanti," kata Laura. 

"Oh, nggak apa-apa. Aku bisa koq. Dia ada di Dojo bukan?"

"Iya."

"Kebetulan Dojonya deket koq sama kafenya."

"Oh, syukurlah. Ya udah, hati-hati ya pa."

"Oke mah."

Aku pun mampir ke sebuah Dojo sebelum ke kafe itu. Ngajak Juni? Nggak apa-apalah. Dia juga jarang banget aku ajak keluar. Dia berlatih di Dojo beladiri Kendo. Sudah lama menggeluti olahraga ini, semenjak dia masih SMP tepatnya. Mobil aku parkir di luar Dojo. Ia ternyata belum keluar. Segera aku keluar dari mobil dan masuk ke Dojo. Eh, ternyata Juni sudah selesai. Ia berlari-lari kecil menuju ke arahku sambil membawa pedang bambunya. 

Ia langsung mencium tanganku. 

"Hai pa," sapanya.

"Hai, gimana latihannya?" tanyaku. 

"Yah, seperti biasa," jawabnya. 

Aku dan dia berjalan beriringan. 

"Bulan depan mau ada kejuaraan, aku ikut," katanya. 

"Oh ya? Wah, keren dong. Latihan yang keras kalau begitu," kataku. 

"Papa bisa datang?" tanyanya. 

Nah, ini. Susah juga jawabnya. 

"Papa usahakan yah, kalau papa nggak terlalu sibuk pasti datang," kataku. 

"Nggak bisa gitu dong pa. Sudah berkali-kali kejuaraan papa nggak dateng. Siapa yang bisa menyemangati aku? Sedangkan teman-temanku orang tuanya pasti datang," Juni ngambek.

"Kan ada kak Faiz kalau papa nggak bisa datang," kataku.

"Kak Faiz lagi, udahlah pa. Kalau emang papa nggak bisa ya bilang aja nggak bisa," ia menggerutu lalu masuk ke dalam mobil. Dilemparkan pedang bambunya ke kursi belakang. Aku menghela nafas.

"Baik deh, papa akan datang. Janji. Apapun urusan papa, papa pasti akan datang, tapi dengan satu syarat," kataku.

Tampak wajah Juni sumrigah. Ia senang sekali, "Apa pa?"

"Syaratnya kamu harus menang," kataku. 

"Pasti dong pa, aku pasti akan menang. Makasih ya pa," katanya. Ia memelukku. 

"Kamu laper kan? Aku ajak kamu ke kafe ya. Sudah lama aku nggak ngajak kamu makan malam. Kakakmu sedang ngasih kejutan buat pacarnya yang sedang ulang tahun," kataku. 

"Oh ya? Ayo pa, ayo! Kita kesana!" katanya bersemangat.

"Iya, iya. Sabar ini juga mobil belum nyala," kataku. 

Kami pun segera ke kafe yang dimaksud. Aku bisa melihat mobil milik Faiz, Honda City Type z yang ia modif terparkir di luar kafe. Aku pun memarkir mobilku di sebelahnya. 

"Ah, mobilnya kak Faiz! Aku duluan pa!" Juni segera melompat keluar dari mobil. Ia masih pakai seragam kendonya. Langsung masuk ke dalam kafe. Dasar. Aku pun keluar dari mobil dan masuk ke kafe itu. 

Di dalam kafe Faiz langsung menyambutku. Beberapa orang langsung matanya tertuju ke arahku. 

"Makasih yah, sudah datang," kata Faiz. 

NARASI HANI

Malam ini spesial tentunya. Faiz akan memberikan sureprise kepada Iskha. Mbak Iskha masih sibuk menghibur para pengunjung kafe yang cukup banyak karena kebanyakan memang undangan dari Faiz. Dia pun menyambut seseorang lelaki paruh baya. Sebelumnya ada seorang yang kira-kira masih remaja langsung masuk dan memeluk Faiz dari belakang. Ia terkejut dan langsung mencium pipi anak itu. Lalu memeluk orang tua tersebut.

"Alamaaak, mimpi apa aku semalam," kata Tanti rekan kerjaku. Dia salah satu pelayan dan baru saja mengantarkan pesanan seorang pelangan. 

"Ada apa Tan?" tanyaku.

"Itu...dia konglomerat, Pak Hendrajaya!" bisik Tanti.

"Hah? Yang bener?" aku terkejut. "Doni Hendrajaya?"

"Iya, masa' kamu nggak tahu sih?" kata Tanti heran.

Apa-apaan ini? Tak mungkin. Itu Doni Hendrajaya? Ayah biologisku????

"Lho, jadi cowoknya mbak Iskha itu...???" aku bergumam.

"Iya, cowoknya itu putranya. Masa' kamu nggak tahu sih? Kan barusan muncul di koran-koran," kata Tanti lagi.

"Yee...jarang juga aku baca koran," kataku.

Bagai tersambar petir di siang bolong. Aku bisa berhadapan dengan orang yang katanya ibuku adalah ayah biologisku. Pak Hendrajaya. Tapi...apa dia akan bisa menerimaku? Nggak mungkin. Dia begitu parlente. Aku tak mungkin langsung mengaku kalau aku sebenarnya adalah anaknya. Pantas saja kemarin aku merasa nyaman di mobilnya Mas Faiz. Karena dia adalah kakakku. Terang saja. Sekarang jelas sudah semuanya. 

Lalu apa yang harus aku lakukan?? 

Lanjut ke Episode 4

0 Response to "Cerita Anak Nakal Season 2 (Episode 3)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel