Cerita Anak Nakal Season 2 (Episode 7)

Kembalilah Kepadaku

NARASI ISKHA


Mas Faiz, aku tak bisa melupakanmu mas. Sudah sebulan ini aku berada di kota Malang. Malang dan Jakarta. Jauh sekali. Walaupun aku ada rekomendasi pindah ke sekolah yang baru, tapi aku tak masuk ke sana. Aku masih shock. Aku lebih banyak mengurung diri di kamar. Keluar rumah pun jarang. Ibu dan ayah dengan sangat terpaksa mencari penghasilan baru. Ibu masih bisa menjahit sedangkan ayah, tiba-tiba saja mendapatkan surat PHK. Itu sungguh menyakitkan. Ayah sekarang membenci keluarga Hendrajaya. Tapi satu yang beda adalah ayah tak membenci Mas Faiz. Sebab ayah tahu Mas Faiz tak salah.

Faiz. Nama itu terus ada di dalam hatiku. Demi melindungi keluargaku sekarang aku berada di sini. Semua kontak dengan teman-temanku pun hilang. Aku minta maaf kepada mereka. Tapi rasanya tidak cukup. 

"Iskha, udah nak. Kamu nggak boleh terus-terusan seperti ini," kata ibu. "Tuh lihat, matamu sembab. Kamu sedih koq tiap hari sih? Keluar yuk? bantu ibu belanja."

Aku hanya mengangguk pelan. 

"Ibu tahu perasaan kamu kepada Faiz. Dia emang cowok yang baik, tapi keluarganya tak setuju. Ya mau gimana lagi? Ayo dong jangan sedih," kata ibu.

"Mas Faiz sudah jadi hidupku ibu. Aku tak bisa melupakannya, sakit rasanya rindu ini," kataku.

"Ibu tahu perasaanmu, ibu juga pernah muda," kata ibu. "Ibu juga kangen ketika ayahmu pergi jadi masinis. Apalagi keretanya jarak jauh semua. Lebaran tambah dia nggak pulang. Kangen dong pasti."

Aku tersenyum. 

"Nah, begitu tersenyum. Ibu suka kalau kamu tersenyum gitu. Anak ibu yang paling cantik ini," ibu memelukku. Emang pelukan ibu itu menentramkan. 

"Ayo bu, Iskha bantu berbelanja," kataku. Sambil menggandeng ibu. 

Setelah itu aku berbelanja dengan ibuku di pasar untuk kebutuhan sehari-hari. Uang yang diberikan oleh Kak Putri itu lebih dari cukup. Gila apa 700 juta. Tapi ini terlalu banyak. Kami malah berminat untuk mengembalikannya setelah ayah punya pekerjaan baru nantinya. Sebab kami tak punya penghasilan apa-apa dan tiba-tiba sudah tinggal di rumah baru. 

Tiap hari aku memainkan piano pemberian Mas Faiz. Benda inilah yang bisa mengingatkanku kepada Mas Faiz. Aku bermain piano sampai terkadang aku menangis. Aku hancur rasanya, tak adakah yang bisa mengerti betapa aku sangat merindukannya? Mas Faiz, apakah engkau dengar kata hatiku? Aku mencintaimu Mas, aku tak akan bisa melupakanmu. Selamanya. 

Malam hari ada yang lain hari itu. Saat aku memainkan piano tiba-tiba pintu diketuk.

"Ibu, ada tamu tuh!" kataku.

Tapi ibu tak muncul juga, mungkin sedang sibuk di dapur. 

"Bayu!?" panggilku.

"Aku sedang main game nih, ganggu aja!" kata adikku.

Aku pun bete. Aku beranjak dari kursiku. Melodi-melodiku tadi langsung buyar semua meninggalkan suara fals yang aku tekan di tuts piano. Aku heran juga jam sudah menunjukkan pukul 20.00 tapi koq ada ya yang bertamu malam-malam begini. Siapa sih? Padahal kami juga belum lama pindah, mungkin Pak RT atau tetangga sebelah.

Aku pun membuka pintu. 

"Ya??..", mulutku tercekat seketika itu juga saat aku melihat siapa yang ada di depan pintu. 

"Siapa Iskha?" suara ibuku datang dari dapur. Ia membawa spatula dan ketika tahu siapa yang ada di depan pintu ia menjatuhkan spatulanya. 

"Iskha, kembalilah kepadaku!" kata orang itu. Itu...Mas Faiz. Mas Faiz?? Aku tak bermimpi kan?

"Mas Faiz?" kataku dengan bibir gemetar. 

"TIdak mas, kenapa? Kenapa? Kenapa mas ke sini?"

"Aku sudah tahu semuanya. Aku sudah pergi dari rumah, aku tak akan menempati lagi rumah keluarga Hendrajaya. Rumah petaka itu sudah aku tinggalkan. Aku ingin bersamamu. Kembalilah kepadaku Iskha, engkau adalah nyawaku. Engkau adalah hidupku. Setiap detak jantungku, setiap tarikan nafasku ada dirimu. Iskha...," kata-kata Mas Faiz itu sangat manis. 

Mas Faiz kau pernah membuatku klepek-klepek. Tapi kenapa hari ini kau buat aku klepek-klepek lagi? Aku tak tahu bagaimana wajahku saat itu, senang, gembira, ingin histeris. Tapi, bagaimana dengan keluarganya kalau tahu dia ada di sini? Bagaimana dengan kak Putri?

"Kamu tak usah memikirkan Kak Putri. Ia tak akan berani lagi menyentuh kalian. Aku janjikan itu kepadamu," kata Mas Faiz.

"Mas Faiz,...aa...aku..," aku tiba-tiba tak tahu harus berkata apa-apa.

Mas Faiz segera memelukku, tak cuma itu ia langsung menciumku begitu saja. Seketika itu aku seperti seorang yang kehausan di padang Pasir tiba-tiba saja menemukan sebuah oase. Aku memang ingin dicium olehmu Mas. Ciumlah aku, ciumlah aku, lumat bibirku. Peluklah aku karena engkaulah obat ini, engkaulah pelepas dahaga ini. Mas Faiz. Ohhh...aku rindu...

Mas Faiz melepaskan ciumannya dan berkata, "Jangan pergi lagi dariku."

"Aku tak akan pergi lagi mas. Oh...Mas Faizku," aku memeluknya lagi.

****

NARASI FAIZ

Setelah menjemput dia dari Malang, Iskha kembali ke rumahnya yang dulu dan kembali sekolah ke sekolahnya yang dulu. Semuanya kembali seperti semula. Aku sudah tak peduli lagi kepada keluargaku. Aku benar-benar mengancam pihak sekolah kalau tidak menerima Iskha lagi sekolah di sana maka akan berurusan dengan diriku. Mereka pun akhirnya mengijinkannya. Iskha tentu saja gembira. Ia bisa berkumpul lagi dengan teman-temannya. Dengan Nailul, dengan Hani, dengan anggota bandnya lagi dengan semuanya.

Hubunganku dengan Iskha kembali lagi. Ia kembali lagi kepadaku. Sesuatu yang tak akan bisa dibeli dengan apapun. Hubunganku dengan Iskha tamba erat kali ini. Aku bahkan tak malu-malu lagi menunjukkan kemesraanku bersamanya dimanapun. Mencium pipinya sekarang sudah tak semalu dulu lagi. 

Aku tinggal di sebuah rumah kost. Lagi-lagi Eriklah yang membantuku. Ia memang temanku yang setia kawan. Ia juga membantuku untuk menjual mobil Lotusku di internet. Dan hasil uangnya aku belikan sepeda motor, sebagian lagi aku tabung. Mobil Lotus termasuk mobil sport, jadi harga cukup mahal, apalagi setelah dimodif. Aku menjualnya seharga 800jt. Lumayan juga sih. Ada anak seorang konglomerat yang memang kepingin mobil itu. Okelah.

Tak hanya itu. Untuk mandiri aku bersedia bekerja di Kafe Brontoseno. Hal ini aku lakukan agar aku dan Iskha selalu bersama kemana-mana. Dan tentu saja Iskha sangat menyukainya. Dari anak seorang milyarder menjadi seorang pelayan. Rasanya tak begitu jelek, toh ini juga keinginanku. Semenjak aku kenal Iskha, aku lebih menyukai kesederhanaan. Bagiku bekerja seperti ini bisa melatihku lebih lagi untuk menjadi orang besar suatu saat nanti. 

Malam itu aku bekerja seperti biasa. Aku mencatat pesanan pelanggan. Semenjak aku bekerja di sini pengunjungnya lumayan ramai. Terutama cewek-cewek. Aku tahu sih sebagian mereka ingin tahu bagaiman putra Hendrajaya bisa kerja di kafe ini. Terkadang mereka pun menggoda aku. 

"Ada lagi yang dipesan?" tanyaku.

"Cukup saja mas," katanya. 

Aku segera meninggalkan meja itu dan ke dapur. Teman-teman yang lain segera membuat pesanan itu. Iskha tampak bernyanyi seperti biasanya. Sambil sesekali melihatku yang bekerja keras. Aku sudah mulai terbiasa kerja seperti ini, nggak jelek juga sih. Walaupun gajinya tak seberapa, paling tidak itu bisa membantuku survive.

Seorang lelaki dengan setelah hitam dan jas masuk ke kafe. Seketika aku kenal siapa dia. Dia ayahku. Aku tahu kenapa ia ada di sini. Ia ingin menemuiku. Ayahku menatapku dari jauh. Dia melambai ke arahku. Aku segera datang kepadanya. Semua orang melirik ke arahku, karena tahu ada Doni Hendrajaya di kafe ini.

"Duduklah!" perintah ayahku.

"Mau pesan apa?" tanyaku.

"Seperti itukah kamu bicara dengan ayahmu, duduklah!" katanya.

"Kalau kau mengambil jam kerjaku maka aku tak bisa melakukannya. Kalau kau ingin bicara maka tunggu aku selesai bekerja," jawabku.

"Kubilang duduk!" kata ayahku dengan suara datar dan sedikit meninggi.

Aku pun duduk.

Ayah menghela nafas. Ia mengambil rokok disakunya dan mulai menyalakannya. Dia tak bicara hanya menatapku. 

"Ayolah, aku tak ada waktu untuk menemani ayah di sini," kataku.

"Aku kecewa, tapi juga menyesal," kata ayah. "Kau tak perlu memikirkan tentang pekerjaanmu. AKu bisa saja kataka kepada Pak Liem agar memecatmu, tapi aku tak melakukannya. Aku kecewa karena kau membuat ibumu bersedih. Juga membuat Putri bersedih. Aku sudah tahu semuanya. Dan aku menyesal, menyesal tak memberitahukan hal ini kepadamu."

"Ayah ingin apa sekarang?" tanyaku.

"Aku ingin kau kembali," jawabnya.

"Aku sudah bilang tidak mau," kataku.

"Faiz, dari semua anak-anakku kaulah yang paling aku sayangi. Ketahuilah itu," jelasnya. "Dan aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu kembali."

"Ayah tak akan bisa, tekadku sudah bulat. Aku sudah tak akan kembali ke keluarga Hendrajaya dan jangan memaksaku."

"Lalu apa yang akan kau lakukan? Bekerja seperti ini? Sedangkan masa depanmu cerah ketika di keluarga ini? Mendapatkan harta, kedudukan semuanya??"

"Aku sudah membulatkan tekad. Ayah tak akan bisa memaksaku."

Ayah menghisap rokoknya dalam-dalam. Setelah itu ia matikan di asbak yang tersedia di meja. "Tak ada kandidat yang pantas menggantikanku kecuali kau. Aku yakin kau akan kembali. Kalau kamu pulang dan benci dengan putri, tak usah khawatir. Putri sudah pergi dari rumah atas inisiatifnya sendiri. Dia sangat menyesal, mungkin seumur hidupnya akan penuh dengan penyesalan. Perusahaan ini adalah milikmu. Kalau aku tiada nanti, engkaulah yang akan menjalankannya. Kau cerdas, kau sangat berbakat dalam bidang bisnis. Dan keputusanku tidak bisa diubah."

Ayah berdiri. Aku juga. Tinggi kami sama, menurut orang di antara anak-anaknya akulah yang paling mirip. Dia menepuk pundakku. Sebelum pergi. 

"Hari ini aku sudah memaafkanmu terhadap apa yang kau lakukan kepada bunda-bundamu. Mereka juga sudah memaafkanmu. Aku sudah tahu semuanya. Kalau kamu kembali, kami akan dengan senang hati menyambutmu," kata ayahku. Di pergi begitu saja. Meninggalkan aku sendiri. 

Aku menoleh ke arah Iskha. Aku tak tahu kalau semua orang melihatku sekarang ini. Aku kembali ke tempatku dan melanjutkan pekerjaanku. Biarpun ayah berkata demikian. Aku tetap pada pendirianku, tak akan kembali ke sana.

Enough

NARASI VIRA


Aku sudah lulus sekarang. Dan aku kuliah ngambil jurusan D2 sekretaris. Memang aku ingin cepat kerja. Nggak mau lama-lama kuliah. Aku sudah mulai sedikit demi sedikit melupakan Faiz. Walaupun begitu, kalau saja ia saat ini ada di depanku aku pasti akan memeluknya, karena rasa cintaku kepadanya masih besar. Dan memory tentang dirinya akan tetap ada pada diriku. 

Permasalahannya sekarang ada Pandu. Dia tetap menganggapku sebagai kekasihnya. Aku kasihan juga melihat dirinya mendapatkan senyuman palsuku, cinta palsu. Semuanya palsu. Mungkin dari semua orang dialah yang paling harus dikasihani. Aku yang tidak mencintainya, sakit yang dideritanya, semuanya tak mengenakkan bagi dia. Hari ini seperti biasanya, aku mendorong kursi rodanya semenjak ia tak bisa berjalan kurang lebih setahun lalu. Setiap sore aku mendorongnya, mengajaknya jalan-jalan. Hal itu bisa membuat Pandu sedikit terobati. Benar kata orang-orang aku adalah nyawa Pandu. Karena itu aku tak bisa meninggalkannya.

"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyaku sambil mendorongnya.

"Suntuk. Faiz sudah nggak ada di rumah lagi," jawab Pandu.

"Lho? Kenapa? Kemana?" aku baru tahu ini.

"Ceritanya panjang, tapi sebaiknya tak kuceritakan. Ia terlibat cekcok dengan keluarga kami. Dan, ia sudah tak mau lagi tinggal di rumah."

"Trus?"

"Ya begitulah, aku sendirian bersama ayah, Bunda, Icha dan Rendi. Bonus para pembantu dan sekuriti."

"Kemana Faiz sekarang?"

"Nggak tahu, dia nggak ngasih kabar. Ponselnya dibuang. Ia sudah ganti nomor, jadi aku tak bisa menghubunginya."

Aku merenung. Kenapa sampai Faiz seperti itu? Apa yang membuat ia seperti itu? Aku tak pernah melihat Faiz semarah ini kepada keluarganya.

"Nggak usah mengkhawatirkan Faiz, dia bisa menjaga dirinya. Sudah ada Iskha. Kamu nggak perlu khawatir."

Justru aku khawatir Pandu. Dia bersama Iskha. Dia pasti sudah melupakanku sekarang. Faiz, apakah dia melupakanku? Aku masih ingat bagaimana rasa bibirnya. First kiss itu tak akan pernah aku lupakan. Ah, lagi-lagi aku teringat dia. Aku hanya tersenyum saja biar Pandu tak bisa membaca pikiranku. 

"Berhenti sebentar Vir, aku mau ngomong sesuatu," kata Pandu.

"Iya?" aku pun menghentikan mendorong kursi rodanya. 

"Aku hari ini ingin mencukupkan diriku," katanya.

"Maksudnya?"

"Sebenarnya aku sangat bersalah kepadamu, kepada Faiz, kepada kalian berdua."

Apa sih maksud Pandu?

"Tapi aku ingin kamu jangan pergi dariku. Kumohon, sekalipun kamu tak mencintaiku tapi jangan pergi dariku."

"Apa sih? Aku akan tetap di sini aku mencin...."

"Sudah! Jangan ucapkan kata cinta kepadaku. Cukup! Aku tahu semuanya. Sebenarnya apa yang kalian bicarakan di luar ruang UKS aku mendengar semuanya. Semua sentuhan ini, semua perhatianmu, ini semua bukan cinta. Tapi rasa kasihan. Aku tak butuh perasaan itu Vir, aku tak butuh dikasihani. Kalau kamu cinta ama Faiz, bilang saja. Aku tak akan marah karena memang itu adalah pilihanmu. Aku tahu Faiz mengalah agar kau bisa bersamaku. Tapi itu sama saja membohongi perasaanmu. Aku tak bisa Vira, aku tak bisa menerima rasa iba dan kasihanmu itu."

Aku kaget karena Pandu tahu semuanya. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku membuang mukaku ke arah lain. Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. 

"Aku tahu perasaanmu, aku minta maaf. Tak perlu lagi kau tunjukkan cintamu kepadamu. Karena aku tahu itu semua palsu. Tapi berjanjilah dampingilah aku sampai akhir hidupku. Aku tak tahu kapan penyakit ini akan menggerogotiku. Aku sudah pasrah Vir. Aku pasrah akan kehidupanku. Tak ada lagi Faiz di rumah. Kami selalu bermain bersama, saling menyayangi tapi sekarang sudah tak ada lagi. Kaulah satu-satunya yang membuatku hidup. Vira..."

Aku langsung berada di depan Pandu. Aku pun mencium bibirnya. Aku tak sanggup lagi mendengarnya bicara. Itu semua adalah perasaannya selama ini. Ia kasihan kepadaku, ia minta maaf kepadaku. Kalau dia jujur dari dulu mungkin aku dan Faiz akan tetap bersama sampai sekarang. Aku berikan ciumanku kepadanya sekarang. Setelah memberikannya aku menunduk.

"Buat apa itu tadi?" tanya Pandu.

"Anggap itu hadiah dari aku," jawabku. "Aku memang mencintai Faiz sejak dulu. Tapi, aku sudah berjanji untuk menjagamu. Aku akan menjagamu karena ini janjiku kepada Faiz."

"Vira....hikss...!" Pandu tiba-tiba menangis. "Maafkan aku, seharusnya aku tak melakukan ini. Seharusnya aku tak mengambil kesempatan ini. Seharusnya kau dan Faiz bisa bersama. Kalau saja ini aku lakukan, dia tak akan pergi sekarang."

Pandu menangis dan memelukku. Ada sebuah rasa penyesalan yang mendalam padanya. Pandu, aku berjanji akan menjagamu sampai akhir nanti. Demi janjiku kepada Faiz. Demi janjiku kepada orang yang aku cintai.

****

NARASI ISKHA

Aku tak sengaja berada di taman ini. Dan aku tak sengaja bertemu dengan Vira dan Pandu. Kata-kata mereka, pembicaraan mereka. Langsung menyentuhku. Mereka tak tahu kalau aku sedari tadi berada di balik pohon. Dekat sekali dengan mereka. Mbak Vira masih mencintai Faiz sampai sekarang. Tidak, aku tak boleh mengalah. Aku akan memperjuangkan Mas Faiz. Dia milikku sekarang. Mbak Vira nggak boleh merebutnya dariku. Tapi...apakah Mas Faiz akan bertahan denganku, sedangkan mbak Vira adalah cinta pertamanya?

Setelah mereka pergi, aku pun segera pulang. 

Hari-hariku berikutnya sungguh sedikit murung. Tentu saja percakapan Mbak Vira dan Mas Pandu kemarin itu membuatku galau. Benar sekali kalau misalnya mas Faiz tak mengalah, ia tak akan bertemu denganku. Ia tak akan mungkin pergi dari rumah. Dan semua ini tak perlu terjadi. 

Aku sebenarnya akan berangkat ke Kafe sore itu. Tapi dijemput oleh Mas Faiz. Aku menunggu di luar. Hujan turun. Wah, alamat kehujanan nih, pikirku. Aku pun mempersiapkan mantel hujan, sebentar lagi pasti Mas Faiz akan datang. Tapi ada mobil sedan berwarna hitam yang baru saja berhenti dan terparkir di luar sana. Aku mengerutkan dahi. Siapa dia?

Sang Sopir keluar dari mobil sambil membawa payung besar berwarna hitam. Kemudian dia membuka pintu bagian belakang mobil sedan itu. Aku terkejut. Orang ini pak Hendrajaya. Dia memakai kacamata hitam memakai kemeja biru, dasi abu-abu dan jas berwarna hitam. Dia berjalan ke arah rumah kami. Melihatku ada di serambi dia pun segera masuk. Dibukanya pagar dan anak buahnya kerepotan berusaha agar bosnya tidak terkena hujan dengan payungnya. 

"Sore?!" sapanya.

Aku terbata-bata, "Sss..sore...pak."

Kenapa ayahnya Mas Faiz sampai menemuiku? Dia segera berteduh di dalam teras. 

"Sss..silakan duduk...pp..pak!" kataku.

"Terima kasih," kataya. Ia segera mengambil tempat duduk.

"Mau mm...minum apa?" tanyaku.

"Tak perlu repot-repot, aku hanya ingin ngobrol saja," jawabnya.

Aku pun ikut duduk. Sementara itu aku mengamati anak buahnya masih berdiri saja sambil stand by membawa payung. Aku jadi canggung sendiri, padahal ini rumahku. Nggak biasanya orang sekaya beliau datang ke rumahku seperti ini. 

"Aku minta maaf dengan sangat, kepadamu dan juga kepada seluruh keluargamu. Yang dilakukan oleh putriku memang hal yang bodoh. Maafkan kami!" pak Hendrajaya menunduk hormat.

"Saya sudah memaafkan koq pak. Sungguh, saya sudah memaafkan," kataku.

"Saya yakin kamu orang yang baik. Faiz memilihmu bukan tanpa sebab. Dia sudah dewasa dan dia tahu siapa wanita yang pantas untuknya. Aku tak bisa membujuknya untuk pulang, aku mohon kepadamu agar bisa membujuknya untuk pulang. Ibunya, Pandu, dan adik-adiknya membutuhkan dia sekarang. Rumah kami terasa sepi tanpa kehadirannya. Aku akan berikan apapun untuk itu," katanya. 

"Tapi Pak, saya juga tak bisa melakukannya," kataku.

"Aku tahu, ini sangat sulit. Faiz memang begitu kalau sedang marah. Dia tak bisa berfikir jernih. Tapi aku selalu berfikir positif, dia bisa jadi anak yang baik dengan mengenalmu. Aku bisa melihatnya sekarang. Tapi tolonglah bujuk dia untuk bisa pulang," ujarnya. 

Aku termenung sekarang. Aku tak tahu harus bicara apa. Membujuk Mas Faiz untuk pulang itu berat.

"Iskha, kalau misalnya kamu tidak keberatan lakukanlah. Aku Doni Hendrajaya tak pernah memohon kepada orang lain. Baru kali ini aku memohon."

"Aku akan berusaha sebaik-baiknya Pak, tapi aku tak bisa janji."

Pak Hendrajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia menutup mukanya, mengusap wajahnya. Beliau kemudian berdiri lagi. 

"Sampaikan permintaan maafku kepada kedua orang tuamu. Aku sebagai orang tua juga malu, terima kasih dan...jagalah Faiz, kalau kamu sampai menyakitinya aku tak akan memaafkanmu," katanya sambil tersenyum.

Entah kenapa aku juga tersenyum. Senyumannya sangat tulus. "Iya, Pak. Terima kasih. Aku akan berusaha membujuk Mas Faiz agar pulang."

Lagi-lagi Pak Hendrajaya tersenyum. Dia kemudian berjalan lagi meninggalkan rumah kami. Hujan masih mengguyurnya dan anak buahnya lagi-lagi disibukkan melindungi sang majikan dari hujan. Aku hanya bisa melihat mereka pergi dengan mobilnya setelah itu. Pak Hendrajaya menyerahkan Faiz kepadaku. Ohh..aku bahagia sekali. Tak berapa lama kemudian Faiz datang dengan motornya. Tampak ia memakai mantel hujan. 

Mas Faiz memberi aba-aba kepadaku. Aku melambaikan tangan. Segera aku memakai mantel hujanku, gitarku pun aku lindungi pakai plastik agar tak basah. Ada pelindung khusus sih, seperti sebuah mantel hujan gitu. Setelah itu aku segera naik ke sadel belakang. Kami pun melaju kencang di atas aspal setelah itu.

***

NARASI VIRA

Faiz katanya kerja di Kafe Brontoseno. Aku penasaran, bagaimana keadaan dia sekarang. Malam itu pun aku beranikan diri untuk bisa menemuinya. Hujan makin deras saja saat mobil taksi berhenti di depan kafe itu. Kulihat pengunjungnya juga nggak begitu banyak, mungkin karena hujan. Berita-berita di tabloid sendiri agaknya lebay memberitakan anak keluarga Hendrajaya jadi pelayan kafe dengan judul "PUTRA MAHKOTA HENDRAJAYA MEMISAHKAN DIRI DARI KERAJAAN: Kemungkinan besar cintanya tak direstui sang ayah". Padahal aku yakin dia tak pernah diwawancarai. 

Aku keluar dengan berhujan-hujan dan segera masuk ke sana. Ruangan kafe lumayan besar. Aku pun mengambil tempat duduk di dekat kaca biar bisa menikmati pemandangan hujan dari jauh. Lantunan musik mengalun dari musisi lokal. Oh, itu Iskha dia sedang bernyanyi dan memainkan gitarnya bersama teman-temannya. Pintar main musik, aku jadi iri. Ia all out. Seperti seorang musisi ternama.

Seorang pelayan menghampiriku. Dia ...Faiz???

"Sendirian?" tanyanya. 

"I..iya," jawabku.

"Mau minum apa?" tanyanya.

"Yang anget-anget aja deh."

"Hmm..pilih dong ini ada daftar menunya kan?" 

"Cappucino boleh."

"Oke, ada lagi?"

"Itu aja dulu."

"Segera hadir."

Faiz berjalan ke dapur. Ada yang beda dari dia. Dia lebih bersemangat. Lebih apa ya....hmmm...lebih seperti seorang laki-laki. Ah dia kan emang laki-laki. Beda pokoknya. Kalau dulu mungkin dia dimanja oleh keluarganya, tapi sekarang ia berusaha untuk bisa mandiri. Aku tak pernah dilayani oleh Faiz seperti ini. Hihihi. 

Sambil menikmati musik. Aku menatap Iskha. Dia selesai satu lagu. Ketika mata kami beradu. Dia mengangguk kepadaku. Aku membalas senyumannya. Aku jarang bicara dengan dia. Tak pernah mungkin. Tapi kami mencintai orang yang sama. Apakah aku sudah terlambat untuk mencintai Faiz sekarang? Pasti sudah terlambat. 

Faiz pun datang dengan nampan berisi secangkir Cappucino. "Ini dia pesanannya."

"Makasih," kataku. "Bisa temenin aku sebentar?"

Faiz lalu duduk di depanku. "Yap? Ada apa?"

"Kamu sudah banyak berubah ya?"

"Ah, biasa saja deh. Ada sesuatu yang penting kah?"

Aku mengangguk. 

"Katakan saja!" katanya.

"Aku masih mencintaimu, Faiz," bisikku. Aku tak ingin kata-kataku didengar oleh Iskha dan orang lain.

Wajah Faiz berubah. Yang tadinya tersenyum sekarang datar. 

"Maafkan aku, tapi aku tak bisa menyimpan ini. Pandu juga sudah tahu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" 

"Bagaimana dia bisa tahu?"

"Dia...dia sebenarnya mendengar semuanya di UKS itu...dia dengar semuanya...hiks," aku tiba-tiba saja menangis. "Faiz.... aku masih mencintaimu. Dia bahkan tak ingin aku menunjukkan cinta palsuku kepadanya. Faiz...apa yang harus aku lakukan?"

Aku tak mampu membendung air mataku. Air mata itu pun turun menetes di punggung tanganku. Faiz terdiam. Aku tahu ia sekarang sedang galau mendengar curhatku. Apakah ia masih mencintaiku?

"Kau masih mencintaiku? Kamu masih mencintaiku bukan?" tanyaku. 

Dia tak menjawab. Aku tak sanggup lagi. Aku pun segera beranjak. Aku menaruh uang lima puluh ribu rupiah di atas meja kemudian segera keluar dari kafe itu. Aku tak sanggup lagi menahan kesedihan ini. 

"Vir, Vira tunggu!" panggil Faiz. Aku tak peduli aku keluar dari Kafe. Hujan langsung mengguyurku. 

Faiz mengejarku. Ia ada di belakangku berusaha meraihku dan aku berbalik. 

"Kenapa mengejarku? Kau sudah punya Iskha. Memang nasibku sudah seperti ini. Aku harusnya yang mencintaimu bukan dia. Aku yang harunya bersama denganmu bukan dia. Aku hanya ingin kau bersamaku Faiz. Lihatlah, aku sampai sekarang masih memenuhi janjiku untuk merawat Pandu. Itu semua karena engkau. Pergilah Faiz, temani Iskha. Dia orang yang tepat untukmu. Maafkan aku yang hanya menjadi fatamorgana bagimu," kataku.

Dari belakangnya tampak Iskha menyusul Faiz. Ia seakan tak mau kehilangan Faiz. Tapi langkahnya terhenti ketika melihatku. Aku berbalik dan menangis dengan guyuran air hujan di malam ini aku pun berjalan pulang ke rumah. Faiz....aku mencintaimu.....

0 Response to "Cerita Anak Nakal Season 2 (Episode 7)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel