Cerita Anak Nakal Season 2 (Episode 6)

When The Hatred Comes

NARASI PUTRI


Menang, aku menang. Puas sekali rasanya. Mengusir Iskha, dan kemarin aku memberikan obat perangsang ke Faiz. Gilaaaaa....aku sampai melayang. Faiz sampai lima kali orgasme non-stop. Gila...gila bener. Tapi dia melakukannya dengan membayangkan Iskha. Padahal aku nggak kepingin seperti itu. Ah, bodo amat. Yang penting sekarang Faiz pasti akan mencintaiku, aku akan memiliki dirinya selamanya. Dasar Iskha, ia tahu kan sekarang bagaimana kekuatan uang??

Seminggu ini aku hampir tiap hari bercinta dengannya. Entah deh, jadi hamil apa nggak. Tapi setiap sperma yang keluar darinya tak aku sia-siakan. Kalau nggak keluar dimulut, pasti nyembur di rahimku. Puas banget aku. Pacarku nggak pernah seperkasa Faiz. Kapanpun aku mau dia pasti siap. Hanya saja, berkali-kali ia selalu membayangkan bahwa aku adalah Iskha. Kenapa selalu Iskha? Kenapa selalu dia?

Sebenarnya tiap hari aku beri dia obat perangsang. Biar dia selalu bernafsu. Dan memang Faiz nafsu banget tiap hari. Seperti hari ini, aku memberikannya jus kesukaannya, kalau kemarin jus mangga, sekarang jus sirsak. Dia senang-senang aja sih tak ada curiga. Aku oral dia, ooh...aku kangen ama penisnya.

NARASI FAIZ

"Kak, sebaiknya kita nggak usah melakukannya lagi ya, aku mohon!" kataku.

Kak Putri kini ada di kamarku. Dan dia ada di atas ranjangku sedang mengoral penisku. Ia seolah-olah tak mempedulikan aku. Sudah seminggu ini dia begitu kepadaku. Ketika malam kadang dia sendiri yang masuk ke kamarku kalau aku tidak masuk ke kamarnya. Dia seperti haus sex. Apa emang nafsunya besar?

"Kenapa sih dek? Kamu katanya mau nolong kakak, nggak papa kalau kakak kepengn ama kamu?" katanya.

"Iya sih, tapi rasanya nggak enak aja. Aku sudah punya Iskha kak, aku tak ingin dia sampai ....," aku tak meneruskan.

"Sampai apa? Malu punya pacar yang ngentotin kakaknya sendiri?" sambung kakakku.

"Iya," jawabku jujur.

"Sudahlah Iz, nggak apa-apa. Toh keluarga kita juga melakukannya koq," katanya.

"Maksud kakak?"

"Oh, kamu belum tahu ya? Sayang sekali."

Aku tak mengerti apa yang dibicarakan olehnya. 

"Ada sebuah rahasia, tapi kamu harus ngeluarin ini dulu ke mulut kakak yach?" 

"Ayolah kak, bilang saja!"

"Nggak, keluarin dulu! Aku janji akan cerita tapi keluarin dulu pejuhnya di sini!"

Aku tak bisa apa-apa, akhirnya aku pun menikmati saja oralan kakakku. Dia benar-benar memaksaku untuk bisa ejakulasi. Aku pun mau tak mau harus bisa merasakan sesuatu yang membuatku bisa terangsang. Aku pun membayangkan Iskha yang melakukannya. Dan benar. Ketika membayangkan Iskha, penisku mengeras lebih dari biasanya. Kakakku makin bersemangat, dan setelah beberapa lama mem-blowjobku akhirnya keluar juga. 

Kakakku menampung spermanya lalu menelannya. Gila....semuanya ditelan habis. Ia bahkan masih menjilati penisku dan membersihkan sampai tak ada setetes pun sperma tersisa di sana. Gila banget. Aku langsung lemas setelah itu. Entah kenapa kakakku jadi binal seperti ini. 

"Nah, sudah kan? Sekarang aku tagih janji kakak. Katakan apa yang aku tidak tahu!" pintaku.

"Baiklah, sesuai janjiku. Sebenarnya bunda Vidia, Bunda Nur, Bunda Laura itu masih satu keluarga sama ayah," katanya dengan enteng. Seolah-olah hal itu bukan hal yang besar.

"Bullshit!" kataku.

"Kalau nggak percaya, tanya aja sama bunda. Bunda tahu koq. Dan Mas Pandu itu lebih pantas disebut pamanmu daripada kakak."

"What the fuck are you talking about sis?" kataku. "Ini omong kosog kan?"

"Iz, Faiz. Kamu itu tak tahu apa-apa. Ayah sengaja menyembunyikan hal ini dari kamu. Karena apa? Karena kamu pewaris tahtanya. Dia ingin terlihat semuanya tak seperti yang kau lihat. Ia ingin kamu merasa terhormat. Kamu ngerti nggak sih? Satu-satunya yang tidak ada hubungan sedarah itu ya cuma kita aja. Makanya ayah sangat menyayangi kita daripada keluarganya yang lain," jelas Kak Putri.

"Omong kosong, aku tak percaya ama kakak," kataku.

"Kau boleh tak percaya, buktinya sudah ada. Itu Pandu!"

"Kenapa dengan Pandu?"

"Kamu tahu, anak yang dihasilkan dari hubungan sedarah akan punya kelainan paling tidak satu dari enam anak akan mendapatkannya. Dan kamu mendapatinya bukan? Pandu punya kelainan otak. Ayah pasti membayar para dokter untuk tutup mulut, tapi yang jelas ibu pandu itu adalah nenekmu! Dan asal kamu tahu saja, aku sudah mengetahui semuanya. Pandu juga tahu. Hanya kamu saja yang tidak diberi tahu. Karena apa? Karena kamu kesayangan dia Faiz!"

Entah kenapa, aku tiba-tiba benci Kak Putri. Dia pasti bohong. 

"Kakak pasti bohong."

"Buat apa aku bohong? Tenang aja, toh keluarga kita melakukannya sudah lama. Kalau aku dan kamu pun melakukannya juga tak apa-apa kan?"

"Aku benci kalian semua," kataku. Aku membenarkan celanaku dan segera keluar kamar. 

"Faiz! Mau kemana?" tanya kakakku.

"Bukan urusanmu!" jawabku.

Aku segera menuju ke garasi. Di sana ada beberapa mobil. Salah satunya mobil Lotus milik Danny. Aku belum pernah sih mencobanya sejak pertama kali menang balapan itu. Aku sudah membawanya ke bengkel dan mengecek semua mesinnya. Dan sekarang aku ingin mencobanya. Tak ada salahnya kan?

Dengan mobil itu akupun pergi. Penjelasan Kak Putri tadi sungguh mengagetkanku. 

***

Entahlah, antara pusing, galau, benci semuanya jadi satu. Aku muter-muter tanpa tujuan. Hingga aku melewati perumahan tempat Bunda Vidia tinggal. Aku pun mampir ke sana. Hari masih siang dan matahari masih terik. Aku mengetuk pintu rumahnya. Tak berapa lama kemudian wajah seorang wanita muncul. Dia Bunda Vidia.

"Ehh...Faiz, masuk masuk!" katanya. 

Aku pun masuk. 

"Silakan duduk Faiz, mau minum apa? Anak-anak sedang keluar," kata bunda Vidia.

"Aku hanya ingin tanya sesuatu hal," kataku.

"Tanya apa ya?" 

"Apakah benar bunda Vidia ini saudaranya ayah? Dalam arti kalian punya hubungan sedarah?" 

Kata-kataku mungkin membuatnya terkejut. Raut wajah bunda Vidia langsung berubah. Dia yang tadinya cerita sekarang berubah drastis menjadi orang yang ketakutan, sedih, entahlah. Yang jelas wajahnya tak mengenakkan. Kelihatan seperti orang yang sangat menyesal.

"Dari mana kamu punya pemikiran itu?" tanya Bunda Vidia.

"Jujur saja, katanya keluarga ini adalah tempatnya kejujuran. Sekarang aku ingin kejujuran dari Bunda Vidia," kataku.

Bunda Vidia tak langsung menjawab. Ia memejamkan matanya dan mengusap wajahnya. Sepertinya ia menyimpan sebuah jawaban yang berat.

"Kenapa kalian menyembunyikan ini semua dari aku? Kenapa? Kenapa hanya aku yang tidak tahu???" 

"Itu...itu memang tak bisa kami lakukan!" 

"Kenapa?"

"Karena ayahmu yang melarang. Ia tak ingin kamu jadi orang yang sama seperti dirinya Faiz..." jelas Bunda Vidia.

Dan tiba-tiba otakku pun serasa dipenuhi dengan seluruh kegelapan. Aku tak percaya keluargaku sendiri serusak ini. Aku marah, emosi, frustasi, depresi. Aku sudah kehilangan Vira, kehilangan Iskha. Kakakku sendiri jadi cewek binal. Pandu sakit. Persetan kalian, brengsek kalian. Kalau kalian memang sudah rusak kenapa tidak mengajak aku rusak sekalian. Kenapa kalian tak ingin aku menjadi ayahku sendiri? Arrgghh...

"Bunda jujur? SUngguh?" tanyaku. Nada suaraku berubah.

"Iya, maafkan kami nak, maafkan!"

Entah setan mana yang merasukiku sekarang ini. Aku benar-benar jijik terhadap keluarga ini. Jijik sekali. Orang yang ada di hadapanku ini sudah tidak aku anggap lagi sebagai seorang ibu. Tapi seorang pelacur. 

"Bunda!?" panggilku.

"Iya?"

Aku langsung maju ke dirinya kulumat bibirnya. Bunda Vidia meronta. 

"Nak Faiz, jangaaannn!"

"Kenapa? Kalau bunda dengan adik sendiri bisa ngentot, maka aku juga bisa kan? Aku sudah ngentot ama Kak Putri, kenapa tidak dengan bunda sendiri? Yang sebenarnya adalah bibiku? Hah?"

"Jangan Faiz, justru kami tak ingin ini terjadi ama kamu,"

"Terlambat, semuanya terlambat. Aku sudah kehilangan semuanya. Demi Pandu aku mengalah sehingga Vira pergi dariku, lalu Iskha pun pergi, dan kemudian aku punya kakak seorang wanita yang binal. Rasanya sudah klop. Kalian sama saja semuanya. Pelacur!"

Bunda Vidia menangis dalam pelukanku. Ia ketakutan melihat mataku. Entah bagaimana raut mukaku saat itu. Yang jelas aku sangat marah sekarang. Bunda Vidia terus meronta, ia pun berhasil mendorongku. Aku mundur beberapa langkah. Ia segera berlari ke kamarnya. Oh tidak semudah itu. Sebelum ia menutup pintunya aku menendang pintu itu sehingga ia terpental ke lantai. Aku sudah masuk sekarang.

"Faiz, jangaaan! AKu mohon! Aku bundamu!" katanya.

"Apakah ayah ketika melakukan ini juga seperti ini? Atau bagaimana?" tanyaku. "Apa bedanya aku dengan ayah? Toh kalian sudah melewati batas. Kalian melanggar hal-hal yang tabu, apa masalahnya denganku!"

"Hentikaaaaannn!" jeritnya. 

Aku lalu merobek baju gamisnya. Tubuh bagian atasnya terekspos. Sebuah bra berwarna hitam yang menampung sebuah payudara besar mungkin seukuran ama bundaku terpampang di sana. Sudah turun sih. Tapi aku tak peduli, aku pun menariknya. Dan tiba-tiba payudara itu seperti melompat keluar. Ia mencoba menutupi miliknya itu. Sial, sok suci banget sih. Aku pun menampar bunda Vidia. Ia langsung tergeletak di lantai. Mungkin ia pusing sekarang.

Aku lalu melucuti baju bawahnya. Kutarik celana dalamnya sehingga aku bisa melihat kemaluan seorang wanita yang tercukur rapi. Aku entah kenapa tiba-tiba nafsuku sudah naik. Kepengen banget rasanya ngentot. Tiba-tiba terdengar suara hatiku.

"Jangan Faiz, jangaaaan!" suara itu menjerit di hatiku. Aku tak peduli, aku sudah terangsang sekali sekarang. 

"Faiz, kalau kamu ingin lakukan ini sama bunda, silakan! Bunda pasrah. Ini memang salah bunda, lakukan sekarang Faiz!" bunda Vidia menangis. Tubuhnya sudah melemah.

Bagai kesetanan aku pun melepas seluruh pakaianku. AKu sudah telanjang. Melihat pemandangan seorang wanita paruh baya, masih memakai kerudung dengan baju gamis robek dan tubuh sudah terekspos membuatku makin terangsang. Aku menelan ludah berkali-kali. Tubuhnya pun aku angkat dan kubaringkan di atas ranjang. Bunda Vidia memejamkan mata. Ohh..kenapa aku bisa senafsu ini? Kenapa?

Brengsek ah! persetan. Pergi kau dari pikiranku. Jangan coba halangi aku.

Aku mengulum puting bundaku ini. Warnanya coklat cerah. Aku yakin ketika muda pasti warnanya pink. Kulumat puting itu. Bunda Vidia mendesah. Ia meremas sprei ranjang. Aku meremas dada sebelahya. Nikmat banget, aku rasanya ingin terus berlama-lama menikmati payudara itu. 

"Faiizz...terus nak, lakukan saja pada bundamu ini. Bunda memang salah, bunda memang pelacur. Aku sudah janji kepada ayahmu, tak akan menyakitimu. Terus Faiz!" perintah Bunda Vidia.

"Tentu saja," kataku.

Aku menjilati ketiaknya yang terbuka. Bunda Vidia menggeliat kegelian. Tangan kananku lalu menuju ke memeknya. Kugesek-gesek dengan tanganku dan kubelai. Dia menggeliat lagi. Tapi dia masih memejamkan matanya. Tak berani menatapku. Persetan amat. Dasar pelacur. Aku nikmati seluruh lekuk tubuhnya. Harum sekali. Pantas ayah tergila-gila kepadanya. Kulitnya putih. Ohh...Bunda Vidia. 

Dan hari itu pun menyetubuhi istri ayahku sendiri. Entah kenapa aku jadi sangat bernafsu seperti ini. Seolah-olah aku baru saja minum obat kuat atau obat perangsang. Aku gagahi bunda Vidia. Oh...nikmat sekali. Tubuhnya masih seksi walau usianya sudah 40 tahun. Aku terus menggoyang penisku keluar masuk memeknya yang sekarang sudah berlendir. Ini lebih tepatnya aku memperkosa. Aku menikmati tubuhnya yang masih berbalut kerudung. Aku menciumnya saat aku akan keluar. Dan...aku pun meledak hebat di rahimnya. Menumpahkan seluruh pejuhku di sana hingga benar-benar aku yakin penisku sudah kering aku baru mencabutnya. 

"Kumohon Faiz, sudah. Keluar dari sini. Kumohon, Faiz!" rintih Bunda Vidia. 

Aku belum puas sebenarnya. Tapi melihat dia menangis aku pun jadi iba. Bunda Vidia pun aku tinggalkan dengan tubuh telanjang dan spermaku meleleh di belahan memeknya. Aku memakai bajuku lagi lalu keluar dari rumahnya. 

Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku? Aku tak bisa mengendalikan diriku. Aku seperti terhipnotis, ataukah aku sedang kesurupan? Yang jelas aku sudah berada di jalan raya lagi. Dan aku ingin menemui Bunda Nuraini. 

Entah kenapa aku tiba-tiba teringat Bunda Nur. Dia juga termasuk istri ayah yang seksi. Entah kenapa aku nafsu sekali kepadanya. Jam segini, pasti ada di rumah. Aku sampai di rumahnya. Rumahnya sepi. Aku langsung masuk begitu saja, tanpa permisi. Rumahku juga kan?

Ternyata Bunda Nur ada di halaman sedang berkebun. Begitu melihatku masuk ia agak terkejut.

"Lho, Faiz? Nggak tahu tadi Bunda. Masuk aja deh, maaf ya tangan buda kotor," katanya. "Ada apa?"

"Kepengen ngobrol empat mata ama Bunda Nur," kataku.

"Oh begitu. Sebentar ya," katanya. 

Dia mencuci tangannya di kran yang ada di halaman lalu mengusapkannya ke dasternya. Di rumah sepertinya tak ada orang. Sepi sekali.

"Kemana Laila dan yang lain Bunda?" tanyaku.

"Oh, yang lain sedang keluar. Bunda sendirian di rumah. Pembantu juga lagi mudik," ujarnya. "Aku ambilin minum ya?"

Bunda Nur beranjak ke dapur. Dan kembali lagi setan itu menguasaiku. Ketika Bunda Nur sedang berjalan lenggak-lenggok meninggalkanku segera saja aku dekap dia.

"Faiz??!" dia kaget tentu saja. 

Bunda Nur meronta dengan perlakuanku ini. 

"APa yang kamu lakukan? Faiz, lepaskan!" katanya. 

"Kalau ayah bisa mendapatkan adiknya sendiri, kenapa aku tak bisa mendapatkan bibiku sendiri kalau begitu?" tanyaku.

"Faiz...kumohon jangan lakukan ini," dia memohon.

"Sudah terlambat, aku sudah melakukannya kepada Bunda Vidia. Dan aku inginkan Bunda Nur sekarang!" kataku.

"Faizzhhhhhmmmm...," mulutnya sudah aku cium. Aku memeluk erat tubuh Bunda Nur. Dia meronta kuat. Aku merobek dasternya dengan kasar. Dia meronta, terus meronta. Mendorongku, lagi dan lagi. Tapi tenagaku terlalu kuat. "Faiz, setan apa yang merasuki kamu?"

Aku menamparnya. Bunda Nur terhuyung dan ambruk. Mungkin terlalu keras tamparanku. Pipinya memerah. Dasternya yang robek membuatku makin bernafsu, segera ia aku angkat dan kuletakkan di sofa ruang tamu. Aku tak peduli dengan pintu rumah yang masih terbuka. Aku juga tak peduli kalau ada orang yang akan melihat kami nantinya, bahkan kalau Laila datang pun aku tak peduli. Aku lucuti seluruh pakaiannya hingga kini Bunda Nur telanjang. Tubuhnya nggak jauh beda ama Bunda Vidia. Bedanya mungkin Bunda Nur lebih kurus daripada Bunda Vidia yang montok. 

Aku pelorotkan celanaku. Penisku yang sudah tegang sekarang mengarah ke mulutnya.

"Sepongin Faiz, ayo! Sepongin Faiz sebagaimana Bunda nyepongin ayah!" perintahku.

Bunda Nur masih pusing mungkin karena tamparanku. Ia membuka mulutnya perlahan dan membiarkan penisku masuk ke mulutnya. Ia tak menghisapnya, apalagi menjilatinya. Ia pasif. Aku pun menampar dia lagi. 

"Dasar pelacur! Ayo sepong!" teriakku. 

Dia sekarnag mengangguk-angguk memblowjobku. Ohhh..nikmat sekali. Aku tambah dengan mencubit puting susunya kuat-kuat. Nafas Bunda Nur memburu. Ia mencoba menampik tanganku. Aku lalu merebahkan diri dengan posisi terbalik. Aku buka selakangannya dan kuciumi memeknya. Karena tubuhnya pendek membuatku agak membungkuk. 

"Faizz...jangan Faizzz...kumohon!" katanya memintaku.

"Kamu sepongin aku aja nggak usah banyak bacot. Aku ingin merasakan memekmu ini!" kataku.

Dia pun menurut. Aku kini menikmati memeknya yang berasa asin itu. Gurih juga sih. Kusapu bibir memeknya yang berwarna pink itu. Sudah turun onderdil dua tapi masih enak juga sepertinya. Legit. Lidahku sudah menari-nari di sana. Membuat Bunda dan sekaligus bibiku ini menjerit. Berkali-kali pantatnya terkejang-kejang. Aku menekan lidahku sampai masuk ke dalam memeknya. Bunda Nur tak kuasa lagi ia sudah tak menyepongku lagi tapi meremas rambutku. Lalu klitorisnya aku hisap dengan kuat. 

"Bunda keluar Faaiiizz....aaaahhkk...!" keluhnya sambil mengangkat pahanya. Cairan ejakulasinya pun keluar. Bahkan ia squirt beberapa kali sampai membasahi wajahku. 

"Dasar pelacur, sama ponakan sendiri doyan kan? Sama anak sendiri juga," kataku.

Aku lalu berbalik dan sudah siap menindihnya. Aku peluk Bunda Nur. Kuciumi bibirnya. Kuarahkan penisku ke sarangnya. Ia sudah pasrah. Kemudian sekali hentak penisku sudah tertelan oleh memeknya. Kulit kemaluanku merasakan kehangatan yang berbeda. Berbeda dari milik Kak Putri, berbeda dari milik Bunda Vidia, dan milik Bunda Nur juga berbeda. Hahahaha...entah kegilaan apa ini. 

Aku menyetubuhi Bunda Nur seperti orang gila, aku bahkan tertawa penuh kemenangan ketika aku menyemburkan spermaku di dalam rahimnya. Tak puas satu ronde, Bunda Nur aku setubuhi sampai tiga kali dengan tanpa jeda. Dan produksi spermaku sudah mau habis ketika wajahnya aku semburkan sperma terakhirku. Kusuruh ia membersihkan penisku dengan mulutnya. 

Aku lalu lemas dan ambruk di sofa. Aneh memang. Sekarang aku sudah merasa plong. Plong sekali. Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?? Seperti baru saja minum obat perangsang....

Apa??? Viagra...fuck! aku ingat sekarang. Aku dulu pernah mencoba obat perangsang. Coba-coba saja sih, perasaan seperti ini. Apa yang terjadi kepadaku, libido ini. Dari obat perangsang. Dulu aku melakukannya sekedar ingin tahu rasanya dan aku seharian coli melulu sampai kering. Ini...ini dia, tapi siapa yang melakukannya? Satu-satunya tersangka hanya satu Kak Putri. 

Ketika aku melihat Bunda Nur menangis di atas sofa aku pun menyesal. Menyesal sekali. What the fuck????

"Bunda Nur, apa yang aku lakukan? Apa yang aku lakukan?" kataku gemetar. 

"Faiz...pergilah, pulanglah! Aku tak ingin ayahmu tahu tentang hal ini!" kata Bunda Nur. 

"Maafkan aku bunda, maafkan aku! Aku tak sadar melakukannya. Aku seperti dipengaruhi oleh sesuatu," kataku.

Dengan langkah gontai aku meninggalkan Bunda Nur yang tanpa sehelai benangpun terbaring di atas sofa.



Pasrah

Aku dalam perjalanan pulang. Hari sudah gelap. Perbuatan Kak Putri ini pasti memberikaku obat perangsang. Hingga aku tak bisa mengendalikan diriku. Keluarga yang sudah rusak. Aku pun tambah rusak. Seharusnya hal itu tak boleh aku lakukan. Terdengar panggilan ponselku saat itu aku menepi sebentar ke SPBU karena bensinku sudah mau habis. Kuangkat.

"Halo Rik, ada apa?" tanyaku.

"Bro, kabar baik," katanya. 

"Apa?"

"Iskha, ketemu," katanya.

Aku yang tadinya lesu, suntuk, bete, emosi sekarang tiba-tiba semuanya hilang. Aku sangat senang sekali, "Oh ya? Trus?"

"Aku akan BBM alamatnya, hanya saja ada satu hal yang sebenarnya aku tak mau mengatakannya kepadamu. Kuharap kamu jangan shock," kata Erik. 

"Ada apa?"

"Dia diusir ke luar kota oleh kakakmu. Kakakmu mengancam akan menyakiti keluarganya kalau dia masih ada di kota ini. Dia juga yang memindahkan sekolahnya ke sana. Semua orang dibungkam, termasuk pihak sekolah. Bro, sepertinya kamu punya musuh dalam selimut."

Bagai tersambar geledek, aku tak kuasa lagi kali ini. Kemarahanku sudah pada puncaknya. 

"Terima kasih Rik. Terima kasih banyak. Aku memang harus menyelesaikan ini semua. Kamu temanku yang paling baik," kataku.

"Sama-sama. Kuharap kau bisa bersama lagi dengan Iskha," katanya. 

"Tentu saja," kataku.

Setelah mengisi bensin dengan pertamax tentunya, aku pun kembali ke rumah. Kemarahanku benar-benar meledak. Aku benar-benar tak menyangka kenapa Kak Putri melakukannya? Kenapa? Kakakku yang aku hormati, yang aku sayangi malah melakukannya. Persetan dengan keluarga ini. Persetan dengan kalian semua.

Aku sudah sampai di rumahku. Satpam yang menjaga gerbang buru-buru membuka pagar. Aku sedikit ngebut dan parkir sembarangan di sana, langsung aku menyerbu masuk. Di dalam rumah, aku melihat Pandu sedang di atas kursi rodanya sedang membaca buku. Dia ada tidak sendiri di ruang keluarga. Ada Bunda, ada Kak Putri, juga ada Bunda Laura ternyata sama si Juni kecil. 

"Faiz, dari mana saja kamu?" tanya Bunda.

"Dengarkan baik-baik aku tak akan mengulanginya lagi," kataku.

Semuanya menoleh kepadaku. 

"Mas Pandu, bawa Juni ke kamar dan usahakan jangan sampai mendengar apa yang aku ucapkan," kataku.

"Kenapa Iz?" tanyanya.

"LAKUKAN CEPAT!" bentakku. 

Seketika itu ruangan itu jadi tegang. Juni kecil tampak ketakutan kepadaku. Pandu hanya bisa menurutiku. Dia tahu aku kalau marah tak ada yang bisa menghentikannya. 

"Dia marah sekarang. Hati-hati kamu Put!" kata Pandu kepada Kak Putri. 

Wajah Kak PUtri yang tadi cerah menyambutku datang sekarang berubah. Ia ketakutan. Juni dan Pandu masuk ke kamar. Setelah aku yakin mereka sudah masuk kamar dan Juni kecil tak akan mengintip keluar aku baru meledak.

"Aku benci kepada kalian," kataku. 

"Ada apa FAiz?"

"Tanya kepada kak Putri apa yang dia katakan kepadaku tadi pagi!" kataku.

"Ada apa Put?" tanya bunda.

"I...itu...," dia tak melanjutkan.

"Aku tahu semuanya tentang keluarga ini. Aku tahu semuanya. Siapa istri-istri ayah itu. Kau Bunda Laura aku tahu hubunganmu dengan ayah. Aku tahu siapa Bunda Vidia, aku juga tahu siapa Bunda Nur. Aku tahu kenapa Pandu bisa sakit seperti itu. Keluarga yang luar biasa 'terhormat'," kataku. 

Seketika itu wajah bunda berubah takut. Bunda Laura pun terlihat begitu. Yang lebih takut adalah Kak Putri.

"Faiz, kami sebenarnya tak ingin membicarakan hal ini denganmu agar kamu tak mengikuti jejak ayahmu," kata Bunda Laura.

"Terlambat, apa bunda tahu aku sudah tidur sama Kak Putri? APa bunda juga tahu kalau aku sudah tidur ama Bunda Vidia dan Bunda Nur?" 

Mata bunda berkaca-kaca. Ia menutup mulutnya terlihat wajah sedihnya. 

"Faiz?! Apa yang kamu lakukan?" bentak Bunda Laura. "Kau sadar apa yang kamu lakukan?"

"Ini semua gara-gara dia!" aku menunjuk Kak Putri. 

Bunda dan Bunda Laura pun menoleh ke arah Kak Putri. Kak Putri menunduk dan tiba-tiba terisak.

"Ada apa ini Put?" tanya Bunda.

"Kak Putri, tak kuduga kau sejahat itu. Kau jahat, sangat jahat!" kataku. "Kenapa kau taruh obat perangsang ke minumanku?"

"Karena aku tak mau kamu pergi dariku Faiz, aku ingin kamu mencintaiku," kata Kak Putri.

"Putri, kamu sadarkah? Dia ini adikmu!" kata Bunda.

"Aku sadar. Justru itulah aku mencintainya. Aku ingin menjadi istrinya. Aku ingin hidup bersama Faiz bunda. Kalau ayah bisa hidup bersama kakak dan adiknya kenapa aku tidak?" kak Putri berdiri dan hampir saja memelukku. Tapi aku mendorongnya hingga ia jatuh.

"Aku tak butuh dirimu!" kataku.

Kak Putri terbelalak. Ia tak menyangka aku akan mengatakannya. 

"Katakan kak, kau sayang kepadaku?" tanyaku

"Tentu saja, aku sayang kepadamu," jawabnya. 

"Kalau kau sayang kepadaku, kalau kau cinta kepadaku, kenapa kau membunuhku?"

"Membunuhmu?"

"Kamu tahu, Iskha adalah nyawaku. Dia adalah hidupku, setiap detak jantungku ada dirinya. Setiap nafasku ada namanya. Jiwaku dan jiwanya sudah terikat satu dengan yang lain. Kenapa kau rusak? Kenapa kau menjauhkan aku dengan dia? Kenapa kau melakukan hal sejahat itu? Kau ini katanya kakak yang menyayangiku, tapi nyatanya kau malah menghancurkan hidupku. Aku tak akan memaafkanm seumur hidupku," kataku.

"Tidak, Faiz...jangan lakukan itu!" kata kak Putri mengiba.

"Aku akan menjemput Iskha dan satu hal lagi. Aku akan pergi dari rumah ini! AKu muak dengan keluarga Hendrajaya. Aku akan menyendiri, tanpa bantuan kalian aku bisa mandiri," kataku. 

"Faiz, ini gila!" kata bunda. 

Aku tak menghiraukannya. Aku segera masuk ke kamarku. Aku persiapkan koporku. Kumasukkan seluruh baju-bajuku, buku-bukuku. Paling tidak yang aku butuhkan saja. Sedangkan yang tidak aku butuhkan aku tinggalkan. Tekadku sudah bulat. Aku akan pergi dari rumah ini. Aku akan menjemput Iskha. Aku akan kembali kepadanya. Setelah mengepak barang-barang. Aku melihat kamarku sebentar. Aku akan merindukan ruangan ini. Tapi aku tak butuh melankolis seperti ini. Sudah semestinya aku pergi dari dulu. 

Aku keluar kamar di ruang keluarga. Aku mendapati Kak Putri menangis tersedu-sedu di hadapan Bunda dan Bunda Laura. Mereka semua menoleh ke arahku ketika mendapati aku membawa kopor besar. 

"Faiz...?? Tenang nak, bunda sudah tahu, Putri sudah cerita semuanya. Kumohon jangan lakukan ini!" pinta Bunda. Ia juga bersedih, matanya berurai air mata.

"Aku sudah katakan. Aku tak akan memaafkannya!" kataku.

"Faiz, aku akan menjemput Iskha, aku akan mengembalikan dia kepadamu tapi kau jangan pergi, aku mohon. Maafkan aku, maafkan aku Faiz!" Kak Putri menjerit sambil menangis.

"Aku sudah bilang aku tak akan memaafkanmu! Jangan pernah mengharapkan aku kembali lagi ke sini. Soal warisan, biar ayah berikan saja ke anaknya yang lain. Aku tak berminat, sejak dari dulu aku tak berminat. Kak Putri, aku muak melihatmu!" kataku. 

Setelah itu aku melangkah pergi. Kak Putri menahan kakiku. Bunda juga menarik tanganku.

"Faiz, kumohon jangan pergi! Kumohon!" kak Putri dan Bunda melarangku.

Aku terus melangkah sambil menyeret mereka. Mereka berusaha mencegahku untuk pergi. Sudah cukup aku tak memaafkan mereka lagi. 

"Demi Bunda Faiz, tolong jangan pergi! Aku akan menghukum kak Putri, tapi kau jangan pergi! Kumohon! Bunda akan bantu mencari Iskha, tapi jangan pergi! Apa yang harus bunda bilang ke ayahmu? Bunda tak tahu apa yang akan bunda katakan kepada ayahmu!" kata bunda.

"Faiz, tolonglah kasihanilah Bundamu. Bundamu tidak bersalah, jangan begini Faiz!" kata Bunda Laura. 

Aku meronta sehingga tangan bunda terlepas dariku. Aku lalu menarik kakiku dengan kasar sehingga terlepas dari tangan Kak Putri. Aku lalu berjongkok di depan Kak Putri Wajahku mendekat ke wajahnya.

"Kak PUtri sekarang menangis? Kehilangan orang yang dicintai kan? Kehilangan orang yang disayangi kan? Kakak sekarang tahu bukan rasanya? Rasakan itu. Meneror Iskha, membuat dia takut, mengusir dia. Aku sama sekali tak memaafkan hal ini. Jangan pernah memaksaku lagi untuk pulang. Mau kakak mati kek, mau hidup, mau sakit, aku tak akan lagi peduli ama kakak. Sejak kecil aku melindungi kakak, selalu membela kakak, menyayangi kakak sekarang inikah balasannya?"

Setelah itu aku beranjak meninggalkan rumah ini. Rumah yang sudah aku tempati selama lebih dari sepuluh tahun. Aku ke mobil Lotusku hasil dari menang balap liar. Aku memilih mobil ini karena mobil ini aku dapatkan dengan perjuanganku. Sedangkan mobil Honda City itu adalah dari uang ayahku. Aku sudah bertekad tak ingin menerima uang dari ayahku lagi. Aku sengaja tak membawa ATM dan kartu kredit dari ayahku. Aku hanya membawa ATM dari uang tabunganku sendiri. Yang aku dapat dari hasil balap liarku. Entah nanti aku akan kerja apa di luar sana.

Aku membuang ponselku agar mereka tak menghubungi aku lagi. Aku mengambil uang yang ada di dompetku lalu aku sebar di halaman. Itu uang yang diberikan oleh ayahku. Aku buang semuanya. 

Kak Putri masih menangis dan memanggil-manggil namaku. Aku pun pergi. Selamat tinggal keluarga Hendrajaya. Selamat tinggal Mas Pandu. Selamat tinggal masa kecilku. 

NARASI PUTRI

"Faizzz...maafkan kakak, maafkan kakak!" aku menjerit sejadi-jadinya.

"Putri, sudah put!" Bunda mencoba menghiburku.

"Bunda, Faiz bunda. Maafkan Putri bunda, maafkan Putri...Faiz....!" aku hanya bisa memelas melihat Faiz pergi dengan mobilnya. Ia tak akan kembali lagi. Aku baru kali ini melihat kemarahan Faiz. Aku memang bersalah. Entah kenapa aku bisa melakukan itu. AKibat hal ini aku kehilangan Faiz untuk selamanya. Aku sudah merampas hidupnya. Aku menyesal. Menyesal sekali. Kini dia membenciku, pergi dari rumah.

Bunda lalu memapahku ke kamar. Kami berdua sama-sama bersedih. Aku masih menangis sambil memeluk bantal. Aku berbaring di kamarku. Bunda mencoba menenangkanku. Bunda Laura juga demikian. Kulihat Pandu dan Juni melongok dari pintu. Mereka keluar ketika Faiz pergi. 

"Sudah kubilang, Faiz akan marah," kata Pandu. 

"Kamu tahu ini semua kenapa tak bilang ke Bunda?" tanya Bunda.

"Itu dosanya Kak Putri, bukan dosaku," jawab Pandu. "Kalau aku di posisi Faiz, aku akan melakukan hal yang sama."

Pandu lalu pergi bersama Juni. Aku menangi lagi. 

"Sudah put, sudah. Ibu juga bersedih," kata Bunda.

"Bunda, ...bunda jangan marahi Faiz ya, kumohon. Ini salahku, semua salahku," kataku.

"Iya, bunda tak akan memarahi Faiz. Bunda janji," kata Bunda.

"Satu lagi bunda...aku...sedang mengandung anaknya," kataku.

"Apa??!" Bunda dan Bunda Laura terkejut.

"Kamu yakin itu anaknya?" tanya Bunda Laura.

"Iya..., ini anaknya. Sebulan ini aku hanya melakukan dengan dia saja," jawabku.

"Lalu kenapa kau tak bilang ke Faiz biar dia tidak pergi. Mungkin dia bisa memaafkanmu!" kata bunda.

"Dia tak akan memaafkanku bunda. Bagaimana mungkin ia akan terpengaruh kepada anak ini? Bunda lihat sendiri bagaimana dia marah bahkan aku mati pun dia tak akan peduli."

"Trus bagaimana sekarang?" tanya bunda.

"Aku tak tahu bunda. Yang jelas, aku tak ingin menggugurkannya. Aku ingin merawatnya sebagai kenang-kenangan dari Faiz. Aku akan menyayanginya Bunda. Bantulah Putri melahirkan anak ini bunda. Bunda bisa kan?" tanyaku.

Bunda lalu memelukku. "Putri...kamu adalah anak bunda. Bunda pasti akan meyayangimu, bunda akan lakukan apa saja untukmu."

Perasaanku sedikit tenang sekarang. Aku mengusap-usap perutku. Anakku...maafkan ibu ya nak. Seharusnya semuanya tidak seperti ini. Tapi kalau kamu lahir nanti jangan marah sama ayahmu ya, marahlah sama ibumu nak. Ibumu yang salah.

0 Response to "Cerita Anak Nakal Season 2 (Episode 6)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel