Cerita Dewasa Cinta Sayur Asem Episode 9

Nikmati Saja Part III
Kentang itu makanan yang enak kalau tahu cara mengolahnya
Tapi kentang juga jadi sesuatu yang nggak enak kalau dimasukkan ke makanan lain
Misalnya memasukkan kentang goreng ke dalam segelas susu

#Pov Rian#

Urghhh....soal Kimia ini berat banget. Mana habis ini mau UTS lagi. Mau nggak mau hari itu aku ke rumahnya Anik. Dia kan anaknya pinter. Pasti bisa deh nyelesaikan soal ini. Ku BBM dulu deh, biar tahu dia di rumah apa nggak.

Me: ping! 
Kamu di rumah?

Anik: Iya, kenapa?

Me: Aku kesulitan soal kimia nih, minta tolong dong.

Anik: Kemari aja.

Me: Ok, aku ke sana ya.


Aku sudah siapin ranselku dan buku-buku catetan. Kuambil kunci sepeda motor dan segera aku starter.

"Cieeehhh...yang mau kencan," ejek Mas Yogi.

"Mau belajar kelompok koq," kataku.

"Iya, belajar kelompok tapi modus. Hehehehe."

Aku tak menghiraukannya dan segera meninggalkan rumah dengan motor maticku. Padahal ya jarak rumah kami bisa ditempuh dengan jalan kaki apalagi masih satu jalur angkot. Tapi aku pake sepeda motor. Yah, siapa tahu habis belajar mau aku ajak keluar. Hihihihi.

Nggak sampe lama kurang dari semenit aku sudah sampai. Di luar rumah ada Rahma yang sedang ngangkatin jemuran. 

"Mbak?" sapaku.

"Eh, Rian. Mau belajar kelompok? Masuk gih!" katanya.

Aku lalu masuk ke dalam rumah. Di sana sudah ada Anik yang menungguku. 

"Soal apa yang susah?" tanya Anik.

"Yang kemarin sama Bu Ana diterangin soal ngitung moralitas itu lho, susah banget," jawabku. 

"Oh, yang itu. Mana, mana?" 

Aku mengeluarkan buku catetanku. Kami pun belajar bersama. Soal demi soal aku selesaikan. Anik tampak menuntunku untuk memahami soal demi soal. Sekilas Rahma melintas dan melirik ke arah kami yang sedang belajar. Ia tersenyum aja, lalu masuk ke belakang. Tak berapa lama kemudian di saat kami sedang asyik belajar, Rahma datang sambil bawa minuman dan cemilan.

"Niih...belajar kalau nggak ada cemilannya pasti nggak enak," kata Rahma.

"Waah...makasih lho mbak. Ngerepotin banget," kataku. 

"Hihihi, biasa aja. Ada kesulitan?" tanyanya.

"Sementara ini sih nggak. Anik udah cukup sepertinya, ntar aja kalau Anik mentok biar aku tanya ama mbak," kataku.

"Ya udah, mbak tinggal dulu ya," katanya. Ia lalu bergegas masuk ke dalam kamar.

Anik lalu berbisik, "Rian, aku minta satu hal ya."

"Apaan?"

"Rahasiakan hubungan kita ke Mbak Rahma," bisiknya lagi.

"Kenapa?" bisikku.

"Soalnya Mbak Rahma itu kayaknya suka ama kamu."

"Hah? Yang bener? Dari mana kamu tahu?"

"Aduuuhh....susah jelasinnya. Instingku aja. Aku takut kalau dia tahu hubungan kita, dia jadi benci ama aku, ama kamu. Yah, yah?"

"Hmm...yaa baiklah."

"Beneran lho."

"Iya, iya."

Nggak masalah sih buatku. Anik tersenyum sambil memegang tanganku. Aku membalas senyumannya. Kami lanjut lagi ngerjain soal kimia ini. Memang agak mengejutkan juga sih kalau Mbak Rahma suka juga kepadaku. Aku tak pernah melihatnya demikian. Aku hanya tahu orangnya baik. Itu aja. Selalu berbuat baik kepadaku, selalu perhatian. Memang tak ada salahnya kalau seseorang perhatian kepada orang lain. Tapi kalau sudah ada rasa suka, naah...itu yang lain jadinya. 

Ah, sekarang kan sudah ada Anik. Nggak perlulah aku mikirin Mbak Rahma. Toh dia lebih tua dariku. Apalagi aku takut menjalin hubungan dengan orang yang lebih tua dariku. 

Tak terasa kami sudah selesai. 

"Ahh...selesai juga," kataku sambil melakukan peregangan otot.

"Diminum tuh!" kata Anik.

"Oh iya, sampe lupa kalau ada cemilan," kataku.

Aku minum jus jeruk yang disuguhkan oleh Rahma tadi, juga menikmati pisang goreng yang sudah dingin. Sambil membereskan buku-buku catatanku tentunya. 

"Keluar sebentar yuk?!" ajakku.

"Kemana?" tanya Anik.

"Ke mana aja kek," jawabku.

"Ogah ah, di rumah aja," katanya. "Lagian kamu tahu kalau aku keluar malem bisa-bisa asmaku kambuh."

"Oh iya, aku lupa."

Anik tiba-tiba menggandengku. Aku ditariknya keluar rumah. Mau kemana? Kami lalu menyelinap ke samping rumahnya. Ada sebuah anak tangga. Kemudian aku naik ke atas. Di sini lantai dua. Ada sebuah kamar. Sekarang digunakan gudang dan atapnya digunakan oleh bapak mereka untuk memelihara beberapa tanaman. Tampak pot-pot tanaman hias ditaruh di atas sini. Ada anggrek dan juga beberapa tanaman hias yang aku tak tahu namanya. 

Anik menggeretku sampai ke pojok bangunan. Ia menundukkan wajahnya. 

"Aku tahu kamu ingin ini kan?" tanyanya sambil menunjuk ke bibirnya. 

Aku mengangguk. 

Dan tiba-tiba dia langsung memelukku dan menciumku. Kami berciuman lagi, kali ini lebih hot dari sebelumnya. Kami berciuman dengan nafsu, nafas kami sampai memburu. Lidah kami bertemu dan saling bertukar ludah. Saling mengisap. Sampai-sampai Anik gelagapan. Selesai berciuman nafas kami seperti orang yang baru saja dikejar anjing.

"Aku kangen ama kamu Nik," kataku.

"Aku juga, sehari aku nggak nyium kamu rasanya ada yang aneh ama diriku," katanya

Aku membelai kerudungnya yang berwarna pink itu. Aku beranikan diri untuk memepet dia sampai bersandar ke tembok. Nafas Anik mulai memburu. Dia menyentuh wajahku. Kami berciuman lagi. Kali ini tak senafsu tadi, tapi cukup untuk mengobati dahaga hati kami yang kehausan. Aku mulai beranikan diri menyentuh buah dadanya, perlahan-lahan tanganku mulai menyentuhnya. Saat telapak tanganku menyentuhnya, dia sedikit terkejut. 

"Boleh?" tanyaku.

Ia mengangguk. Mendapat lampu hijau, aku pegang sepenuhnya buah dadanya itu. Dari kaosnya aku bisa merasakan branya menutup dengan pas buah dadanya yang sekal. Agaknya mimpiku kemarin terlalu berlebihan. Buah dada Anik tak begitu besar. Tapi cukup untuk dipegang. Aku tak berpengalaman dengan ukuran buah dada cewek, yang jelas aku bisa merasakannya. Empuk, mirip bakpao yang terbuat dari balon. Gimana itu penggambarannya? Entahlah, pokoknya enak megang dada cewek. Apalagi dia cewek seperti Anik. Berkerudung, manis, dan ia menatapku dengan tatapan sayu. Ia membetulkan kacamatanya. Ia mengusap-usap dadaku juga. 

Aku merasakan sesuatu tonjolan di dadanya. Putingnya mengeras. 

"Aku horni, Yan," bisiknya. 

"Udahan?" tanyaku.

Ia menggeleng. "Nggak apa-apa. Terusin! Aku suka sentuhanmu."

Aku ciumi bibirnya lagi. Duh selangit rasanya. Nyium cewek berjilbab, sambil meremas dadanya, kiri kanan. Ciumanku penuh perasaan. Kuhayati setiap sudut bibirnya. Kurasakan setiap lekukan lidahnya. Kemudian kami akhiri dengan saling memeluk. 

"Punyamu keras, Yan," bisiknya.

"Ya jelaslah, aku cowok normal. Kegiatan seperti ini nggak bikin horni ya aneh," bisikku.

"Aku janji ama kamu, Yan," katanya.

"Janji apa?"

"Aku nggak akan ngasih hatiku ke orang lain. Hatiku hanya ada dirimu."

"Lah? Kenapa begitu?"

"Karena aku sudah yakin kamu jodohku."

"Beneran?"

Ia mengangguk. 

"Kalau misalnya, ini misalnya nih ya. Aku ninggalin kamu gimana?"

"Ih, jahat. Mikirnya koq gitu?"

"Yah, semisalnya aja."

"Hatiku nggak akan berubah."

"Nggak, akan berubah?"

"Sampai kapan pun. Ini janjiku."

"Aku terharu Nik."

Kami berpelukan lagi. 

"Sebentar, Yan. Aku mau ngasih ini ke kamu. Tapi...jangan cerita ke siapa-siapa ya."

"Apaan?"

Anik melepaskan sesuatu di punggungnya, kemudian dia menaikkan kaosnya. Dan, sodara-sodara dia memperlihatkan boobsnya kepadaku. Aduh...Dadaku langsung berdebar-debar. Alamaaak, ane liat boobs. Duh, putihnya, putingnya...aku tak bisa lihat warnanya wong gelap. Tapi...aku lihat bentuknya sempurna walaupun tak besar. 

"Nik, kamu?"

"Udah, masa' dilihat aja? Diapain kek," katanya. 

Ini sesuatu yang sangat berharga tentu saja. Aku perlahan-lahan sentuhkan tanganku ke boobsnya. Empuk, tanpa penghalang apapun. Kulit dengan kulit. Anik memejamkan mata. 

"Aku malu, Yan."

"Payudaramu indah Nik. Indah sekali. Aku jadi tak tega buat megang." 

"Jangan bego ah, udah dikasih liat koq. Cium aja nggak apa-apa."

"Nik, aku...aku nggak tega buat nyium. Ini terlalu sempurna," aku tarik tanganku. 

"Nggak apa-apa Yan. Aku ikhlas koq. Cium aja! Ini juga pertama kalinya cowok megang. Kamu dapat kesempatan perdana."

Aku agak ragu. Tapi kapanlagi aku bisa merasakannya? Akhirnya bibirku sudah menciumi buah dadanya. Ia merangkulku. 

"Rian...cintailah aku ya, cintai aku," katanya.

"Iya Nik, aku akan mencintaimu seumur hidupku," kataku.

"Ohh...Rian."

Ini adalah momen yang tak terlupakan bagiku. Mendapatkan dua buah susu. Aku hisap putingnya. Manis. Lidahku menari-nari di sana. 

"Rian...geli..," bisiknya.

"Niik?? Riaaan?? Kalian di mana?" terdengar suara Rahma.

Segera saja aku dan Anik kaget. Kami menghentikan aktivitas ini. Anik membetulkan pakaiannya yang berantakan. Membetulkan kembali branya. Aku juga segera pura-pura sedang melihat-lihat tanaman yang ada di atas ini.

"Ya mbak, di sini," kata Anik. 

"Oh, di sana. Kukira di mana. Ngapain di atas itu?" tanya Rahma.

"Nggak apa-apa, cuman ngobrol aja ama Rian di sini," kata Anik. 

"Oh ya udah. Kukira tadi Rian udah pulang. Udah belajarnya?" tanya Rahma. 

"Udah mbak. Ini juga mau pamit," kataku. "Sampai besok ya Nik."

"Iya," kata Anik.

Aku pun menuruni anak tangga. Kemudian masuk ke dalam mengambil barang-barangku, ponsel, ranselku dan kunci motor. Setelah itu keluar. Aku sudah melihat Rahma dan Anik sedang ngobrol. Entah apa yang mereka obrolkan. 

"Udah ya, makasih Nik kentangnya," kataku.

Anik ketawa.

"Hah? Kentang?" tanya Rahma. "Emang kamu ngasih kentang?"

"Ada deh," kata Anik.

Aku menstarter sepeda matic-ku dan meninggalkan rumah mereka. Bener-bener kentang. 

#Pov Rahma#

Ada yang aneh. Kemana mereka berdua pergi? Koq ranselnya Rian masih di ruang tamu? Aku lihat ponselnya Rian juga masih ada di meja. Ponselnya Anik juga. Berarti mereka tak keluar jauh. Aku kemudian ke teras. Lho, sepi. Karena penasaran aku pun panggil saja mereka.

"Niik?? Riaaan?? Kalian di mana?" panggilku.

"Ya mbak, di sini," kata Anik. 

"Oh, di sana. Kukira di mana. Ngapain di atas itu?" tanyaku.

"Nggak apa-apa, cuman ngobrol aja ama Rian di sini," kata Anik. 

"Oh ya udah. Kukira tadi Rian udah pulang. Udah belajarnya?" tanyaku. 

"Udah mbak. Ini juga mau pamit," kataku. "Sampai besok ya Nik."

"Iya," kata Anik.

Aneh. Ngapain mereka ada di atas. Mana tempatnya agak gelap juga. Rian buru-buru masuk mengambil barang-barangnya yang ada di dalam rumah.

"Kamu ngapain di atas sama Rian?" tanyaku.

"Nggak ada apa-apa mbak, cuman ngobrol. Salah ya?" 

"Ngobrol kan bisa di dalem."

"Ngobrol rahasia, curhat ama Rian. Nggak boleh?"

"Tapi koq di tempat gelap. Ntar ada setan lewat lho."

"Tenang aja deh mbak, nggak terjadi apa-apa koq."

"Kamu pacaran ama Rian?"

"Nggak, nggak koq. Nggak, kita kan sahabatan Mbak. Gimana sih?"

"Mbak curiga aja sih ama kelakuan kalian."

"Mbak suka ama Rian?"

"Nggak ah, koq kamu punya pikiran begitu?"

"Habis, mbak itu paling sering nanyain dia. Tadi Rian di sekolah gimana? Koq Rian nggak main lagi ya? Kamu sama Rian kemarin ke mana? Nah lho, mbak kan sering nanya gitu."

"Nggak boleh tanya gitu?"

"Yaa...boleh aja sih."

Rian kemudian muncul lagi. Ia naik ke sepeda matic barunya. 

"Udah ya, makasih Nik kentangnya," kata Rian.

Adikku itu ketawa. Ada apa sih? Aneh deh. Kentang? Suguhannya kan pisang goreng.

"Hah? Kentang?" tanyaku. "Emang kamu ngasih kentang?"

"Ada deh," kata Anik.

Rian menstarter sepeda motornya dan pergi. Rian ada hubungan ama Anik? Aduh. Apa aku salah kalau berharap banyak ama Rian? Apa dia pernah nganggap aku?

0 Response to "Cerita Dewasa Cinta Sayur Asem Episode 9"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel