Cerita Dewasa Cinta Sayur Asem Episode 25

Kenapa Masih Ingat?


Cinta Pertama 
cinta yang tak akan pernah mati 
dan akan kamu ingat selamanya

#Pov Anik#

Zain benar-benar membuktikan bahwa dia memang pantas disebut lelaki sejati. Dan iya, aku sudah move on. Dan aku sudah pacaran ama dia. Dia benar-benar peduli kepadaku dan melindungiku. Aku sangat bersyukur ia jadi pacarku. Apalagi sebenarnya Zain itu orangnya romantis. Hari-hari kami lalui dengan jalan bersama, mengerjakan skripsi bersama dan tibalah aku akan lulus. Fiuh...mau ujian skripsi saja bingungnya setengah mati, berdebar-debar. 

Dan ucapan terima kasih yang aku bingung mau nulis apa. Akhirnya entah bagaimana aku menulis sesuatu yang tidak aku duga. Tiba di hari ujian skripsi. Aku membacakan skripsiku terutama ucapan terima kasih. Inilah yang tidak aku duga.

"Ucapan Terima kasih ditujukan kepada
1. Kepada Tuhan YME yang telah memberikanku hidup 
2. Kepada kedua orang tuaku yang telah merawatku, terutama ayah yang selalu memanjakanku.
3. Kepada Mbak Rahma yang aku kagumi sehingga menjadi penyemangatku agar terus berjuang.
4. Kepada Rian yang tak akan aku lupakan......."

Semuanya hening. Mungkin mereka bingung, siapa Rian? 

Hah? Aku nggak salah tulis? aku mengucek-ucek mataku. Nomor 4 beneran itu Rian. Kapan aku nulisnya? Perasaan aku nggak nulis ini deh. Aku melihat para peserta seminar menantiku untuk membacakan skripsiku. Aku bingung kenapa nama Rian ada di sana??? Aku sendiri yang mengetiknya, akulah yang membacanya, tapi kenapa nomor 4 itu ada di sana? Siapa yang menambahkan? Aku sendirikah yang menulis tanpa sadar?

Aku pun melanjutkan membaca nomor 5 dan seterusnya. Nomor 5 baru nama Zain di sana. Koq aneh ya? Aku melihat ke arah peserta, aku tak melihat Zain. Untung dia tak ada, kalau ada bisa geger. Ujian skripsi berlangsung tegang. Iya dong. Tapi aku bisa melewatinya. Walaupun nilaiku tak mendapat A, cuma B. Aku sudah senang. Paling tidak aku lulus. Tinggal wisuda. Legaaaaaaaaaa.....

"Selamat ya," kata Zain.

"Makasih," kataku. 

"Besok aku ujian, kamu datang ya," katanya.

"Huuu...ceweknya ujian kamu nggak datang, giliran kamu ujian aku suruh datang," gerutuku.

"Maaf deh, aku soalnya ada keperluan. Bapak ibu jenguk aku kepengen tahu lansung aku ujian skripsi," kataku.

"Wah, hebat dong. Ibuku seh nggak bakal datang."

"Iya, aku ngerti. Oh iya, katanya kamu akan direkrut ya ama stasiun tv. Beneran itu?"

"Aku sudah ngajuin sih, mereka tertarik emang jadiin aku reporter. Wuihh...seneng deh pokoknya. Tinggal nunggu skripsiku selesai aku bisa langsung join."

"Koq bisa sih? Enak banget kamu."

"Kebetulan pas waktu career day aku ikut seleksi mereka. Mereka tertarik ama aku akhirnya jadi deh."

"Keren keren," kata Zain. "Ya udah, besok datang ya."

Aku pulang hari itu setelah mendapatkan nilai skripsi. Dan juga tentunya temen-temen ngucapin selamat. Ahh...selesai deh akhirnya. Pulang aku sudah disambut oleh Pak Dhe dan Bu Dhe. Mereka senang mendengarkan kabar skripsiku dapat nilai B. Yah, lumayan daripada C. Hehehehe.

Malamnya aku kembali buka skype. Udah janjian ama Mbak Rahma. 

"Assalaamualaikum, bu dokter," sapaku.

"Wa alaikumsalam, gimana dek skripsinya?" aku melihat dari video chat wajah Mbak Rahma ini sekilas beneran mirip aku. Pake kacamata sekarang. Pake kemeja putih. 

"Lumayan mbak, dapat B," kataku. 

"Wah, bagus itu."

"Bagusan mbak dong, dapat A."

Rahma tampak sedang memberi isyarat kepada seseorang. Lagi ngomong ama siapa dia? Spekaernya dimatiin. Aku kemudian melihat seseorang yang asing di layar video chat, nggak kenal aku ama dia. Dia lalu pasang speakernya lagi.

"Siapa barusan mbak?" tanyaku.

"Asisten," jawabnya.

"Asisten?"

"Aku sekarang kerja di Dokter Bersama Di Surabaya," jelasnya.

"Ooo...pantes pake baju putih. Lho, Sampeyan di Surabaya? Sama Mas Rian berarti?" Koq aku manggil Rian Mas ya? Mungkin ngikutin aja karena diakan jadi kakak iparku.

"Iya dampingi suamiku di sini, tambah gerah aku di Surabaya ini. Padahal dulu pas kuliah nggak segerah ini."

"Mas Rian masih di percetakan?"

"He-eh, dia naik pangkat sekarang jadi Manager, sibuk dari pagi sampai maghrib baru pulang. Tiap hari ya ngurusin buku melulu. Kadang kerjaannya sampai di bawa pulang."

"Waah...sukses ya."

"Sebentar ya Nik, ada pasien. Tunggu bentaaarr aja...nggak lama koq."

Aku mengangguk. Kulihat Mbak Rahma berdiri. Eh...? Perutnya buncit? Lho, Mbak Rahma udah hamil ya? Koq dia nggak bilang-bilang kalau hamil? Aku tersenyum melihatnya turut senang pastinya dan penasaran. Mbak Rahma pasti bahagia dapat suami seperti Rian. Sekarang kebahagiaannya bertambah dengan calon si buah hati. Duh, jadi iri aku kepengen juga. Hihihihi. Aku menunggu mbak Rahma lumayanlah semenit dua menit gitu, setelah itu dia duduk lagi di depan komputernya. 

"Mbak, sampeyan hamil ya?" tanyaku

"Iyolah, hampir tiap hari digarap ama Suamiku, jadi deh. Hehehehe," katanya.

"Hehehehe, maklum dong penganten baru masa' didiemin aja," aku menjulurkan lidahku sambil ketawa. "Cowok apa cewek?"

"Belum aku USG sih, ibu malah nebak-nebak berhadiah gitu. Ah pasti ini cewek bentuknya bulet, padahal kan ya nggak mesti begitu. Kamu gimana di Jakarta? Udah punya cowok belum?"

"Udah sih, sama Zain."

"Siapa nih? Salah satu korbanmu?"

"Hehehehe, tahu aja nih mbak."

"Tahu dong, sepak terjangmu seperti apa aku tahu."

"Hehehehe...aku kemarin itu ada kejadian yang menyedihkan mbak. Hampir saja aku diperkosa."

"Hah?? Yang bener dek? Gimana kejadiannya?"

Aku kemudian menceritakan panjang lebar kejadian yang menimpaku. Sampai kemudian Zain menolongku. 

"Syukurlah kamu nggak apa-apa," katanya. Tapi raut wajah Mbak Rahma nggak senang. Aku bisa perhatikan dari matanya. Seperti menyiratkan sesuatu.

"Kenapa mbak? Ada apa?" tanyaku.

"Aku nggak mau nyembunyiin ini dari kamu. Beberapa waktu yang lalu Rian ngigau manggil-manggil namamu. Ketika aku bangunin ia mimpi buruk, ia mimpi kalau kamu tenggelam gitu. Aku cuma bilang ah itu bunga tidur aja, nggak usah dipikirkan. Dia akhirnya tenang. Tapi aku salah. Dia terus nggak tenang, kerjaannya nggak beres, semuanya salah. Dia bahkan masak air saja sampai pancinya kering. Dia lalu bilang kepadaku, kalau dia punya firasat buruk, akhirnya ia menghubungi Yuli katanya mencegah agar kamu jangan keluar rumah atau apa gitu. Ternyata itu ya?"

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang saat itu, entah kenapa. Sesak sekali. Nggak, nggak mungkin. Sudah cukup. Jangan sampai aku ada rasa lagi sama Rian. Aku udah punya cowok. Tapi itulah yang terjadi. Mendengar penjelasan kakakku ini, aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang beberapa saat lalu hilang. Ibarat bensin, sekarang terkena percikan api, timbullah api. Ya Ampun...nggak mungkin aku merasakan ini lagi. 

"Nik, aku tak bisa mencegah Rian dengan perasaannya. Tapi selama ini ia sudah baik sebagai suami, mencintaiku sepenuhnya, memberikan nafkah lahir batin dengan sempurna. Terus terang aku cemburu ama kamu. Walaupun Rian tak pernah bilang tapi, aku tahu di alam bawah sadarnya dia masih menginginkanmu. Tapi, kenapa juga aku harus cemburu ama adikku sendiri?" aku lihat wajah Mbak Rahma sedih. 

"Mbak, jangan gitu dong. Kisahku ama Rian udah berakhir."

"Iya aku tahu itu, aku juga tahu. Rian sudah berusaha sekuat tenaga untuk melupakanmu. Dia bahkan sampai ingin menghapus semua kenangan tentangmu. Itulah sebabnya kenapa ia tetap tinggal di Surabaya, pindah ke sini. Sebab kalau dia kembali ke Kediri ia takut kenangan akan dirimu kembali lagi. Dia nggak mau itu. Aku hargai semua jerih payahnya. Dan dia selalu memberikanku kejutan tiap hari. Sampai buat gambar dari kertas bertuliskan 'I Love U My Wife'. Tiap malam juga dia menciumi perutku, seneng banget ama calon bayinya. Tapi bagaimana kalau tiap tidur dia terus manggil namamu? Dan semua firasatnya tentang dirimu benar semua. Kamu bisa lulus skripsi juga dia udah bisa menebak. Pagi tadi dia ngomong 'Tadi malem aku mimpi, aneh. Adikmu naik pesawat. Kayaknya bakal sukses nih skripsinya'. Nah, ternyata bener kan? Kamu kasih kabar aku. Nik, kayaknya aku salah selama ini merebut Rian dari kamu."

"Mbak, koq gitu sih mbak? Mbak nggak merebut Rian koq. Kan dia sendiri yang nembak mbak."

"Bukan, dia nembak aku karena aku lebih mirip kamu, bukan diriku sendiri," Mbak Rahma koq malah nangis sih.

"Mbak udah dong. Jangan ungkit-ungkit itu lagi. Itu udah masa lalu. Aku udah punya Zain sekarang."

"Iya, harusnya aku nggak ungkit-ungkit lagi, tapi beneran aku merasa bersalah, Nik. Harusnya pas hari pernikahan itu aku mengalah saja. Rian buatmu. Aku bisa ikhlas dan rela. Hidup tiap hari seperti ini juga aku nggak sanggup Nik. Dia tiap hari ya memang begitu. Memanjakan aku persis seperti bapak. Tapi bagaimana kalau di bawah alam sadarnya masih suka ama kamu? Aku tidak marah ama Rian, tapi aku marah kepada diriku sendiri. Aku memang terlihat pintar tapi sebenarnya aku bodoh. Bagaimana mungkin aku sebodoh ini memisahkan kalian? Kalian seharusnya bisa bersama, aku menyesal Nik menikah ama Rian."

"Mbak sudah mbak, nggak boleh Mbak bilang begitu. Rian pasti mencintai mbak."

"Iya, dia mencintaiku. Tapi dia melihat dirimu dalam diriku Nik. Bukan aku yang seutuhnya."

Aku menarik nafas panjang. Selama semenit kami diam. Aku hanya melihat Mbak Rahma menangis. Ia melepaskan kacamatanya, kemudian mengusap air matanya. Mbak, kenapa jadi begini?

"Maaf ya, Nik. Lupakan saja apa yang barusan kita omongkan. Aku turut senang kamu sudah ada Zain. Moga langgeng ya. Maaf, aku ada pasien, sampai nanti ya. Assalaamu alaikum."

"Wa alaikumsalam." 

Skype terputus. Aku menutup laptopku. Aku langsung merebahkan diri ke kasur. Jadi, yang kemarin itu kenapa Yuli melarangku keluar karena Rian. Karena firasatnya. Kenapa Rian masih ingat ama aku? Jadi harapan-harapanku ketika memanggil nama Rian waktu itu adalah ini. Dia yang sejatinya menolongku, bukan Zain. Kenapa, kenapa air mataku sampai mengalir?

Nggak, udah. Aku nggak mau mikirin dia lagi. Sekarang sudah ada Zain. Aku harus menatap masa depanku. Aku hapus air mataku. Dan aku benar-benar tak ingin mengingat video chat barusan. Sudah cukup. Mbak Rahma sudah kuberitahukan tentang skripsiku. Selesai. Aku nggak mau lagi ngungkit-ngungkit hubunganku ama Rian. 

****

Hari-hari berlalu, aku pun wisuda. Ibuku datang jauh-jauh dari Kediri ke Jakarta. Kali ini naik pesawat ditemani oleh Mbak Rahma dan.........Rian. Kenapa dia ada di saat wisudaku? Dia memakai baju kemeja warna biru, tampak rapi sekali. Mbak Rahma pakai baju hamil warna putih jilbabnya lebar. Mereka berdua memang pasangan serasi. Mereka pun bertemu ama Zain. Rian tentu saja kenal ama Zain mereka pun bercanda berdua. Aku, ibu dan Rahma 

#Pov Rian#

"Kenapa yang?" tanyaku ke Rahma. 

"Nggak ada apa-apa koq," jawabnya.

"Nggak mungkin, orang matanya sembab gitu koq," kataku.

"Nggak ada apa-apa, terharu aja tadi chat ama Anik. Udah lulus dia," katanya.

"Oh..syukurlah kalau begitu."

Aku kembali mengakses file Excelku. Semua data buku-buku ini harus segera diselesaikan malam ini soalnya. Aku sempat heran melihat Rahma yang pulang dalam keadaan matanya sembab. Ternyata kangen ama Anik. Rahma segera pergi dan tak mau menggangguku yang sedang bekerja. Setelah berjibaku dengan kerjaan, akhirnya aku selesai. Tampak istriku sedang menata meja makan.

"Makan dulu mas, yuk!" ajaknya.

Aku menghampirinya aku cium bibir Rahma dengan mesra. Kami saling memagut. Ia mencubitku.

"Aduh!"

"Makan dulu, koq sukanya makan telat?"

"Hehehe, iya sayangku," kataku. Aku mencium perutnya setelah itu. "Kamu sehat-sehat aja ya dedek kecil. Mmmuachh."

"Aduh...dudududuh...!" Rahma merintih.

"Hah? Kenapa?"

"Gerak-gerak. Tiap kali dicium papanya koq geraknya aktif ya?"

"Hehehehe, kepengen ketemu papanya ini," kataku sambil mengusap perutnya. Rahma tersenyum, kebahagiaan jelas terlintas di wajahnya. 

Kami pun menghabiskan waktu dengan makan malam. Aku banyak ngobrol tentang kerjaanku, tentang karyawan-karyawan baru dan disiplinnya mereka. Rahma memang suka orang yang disiplin. Aku banyak berubah setelah menikahi dirinya. Dia mengajariku disiplin, perfeksionis. Pakaian kalau ke kantor harus rapi. Cucian nggak boleh sampai menumpuk, dapur harus bersih, lantai rumah harus bersih, steril. Hihihi, dasar bu dokter. 

Dengan pekerjaanku sekarang aku bersyukur bisa beli mobil. Walaupun kredit. Jadi dengan keadaan Rahma yang sekarang aku nggak mungkin bonceng dia pake sepeda motorku. Kuanter kemana-mana ya pake mobil. Dia akhir-akhir ini ngeluh gerah, bawaan orok kali. Dan katanya bayinya makin aktif di dalam perut. 

"Oh iya mas, Anik kan mau wisuda. Dateng ya ke Jakarta nanti," katanya.

"Beres, bisa diatur itu, tapi jangan naik kereta lagi. Naik pesawat aja," usulku.

"Iya deh, sekalian ngajak ibu," katanya.

"Yup."

Setelah makan malam selesai. Kami habiskan waktu untuk bercumbu. Aku memang tiap malam bercumbu dengan istriku ini. Kami bercumbu di ruang keluarga sambil nonton tv. Biasaya kalau sudah panas, kami bakal teruskan di dalam kamar. Rahma selalu melayaniku apapun kebutuhanku. Dan selalu mengerti kapan aku butuh. Aku mencium bibirnya. Kami bermain lidah. Aku remas buah dadanya yang makin besar itu. 

Karena Rahma pakai baju hamil jadi gampang banget buat buka baju atasnya yang cuma pake resleting itu. Begitu aku turunkan resletingnya terpampanglah buah dadanya yang montok. 

"Makin besar aja punyamu," kataku.

"Ya wajar dong, lagi hamil. Nanti juga penuh ama susu."

Kepalaku kubenamkan di sana. Kuhirup aroma buah dadanya. Luar biasa nikmat. Aku pun kembali mencupangi kulit buah dadanya itu. 

"Kamu suka sekali bikin cupangan disitu say? Gimana sih rasanya?" tanyanya.

"Mirip nyedotin balon, tapi ini lebih lembut. Duh, aku koq jadi kepingin ya?" 

"Kalau mau aku siap koq. Mau diisep apa masuk?"

"Emang nggak apa-apa masuk?"

"Kalau sudah lima bulan kandungan itu akan kuat. Masukin aja nggak apa-apa."

"Ke kamar yuk?!" ajakku. 

Rahma pun menurut. Kami bergandengan tangan, layaknya seperti penganten baru. Begitu masuk kamar aku langsung membuka bajunya, branya dan celana dalamnya. Tapi nggak cepet-cepet, pelan-pelan sambil kunikmati lekuk tubuh istriku yang hamil ini. Mulai ada sedikit lemak di lengan dan pahanya. Tapi menurutku itu wajar sebagai wanita hamil. Kutelusuri dan kubelai tubuhnya seperti biasa bagaimana aku melakukannya kepada istriku. Ia memasrahkan lehernya untuk aku ciumi. 

"Aahh...beib," desahnya.

Aku meremasi buah dadanya yang mulai membesar itu seiring dengan pertumbuhan kehamilannya. Perutnya bersentuhan dengan perutku. Hihihi, geli juga. Tangan Rahma mengusap dadaku dan menggelitiki putingku. Punyaku udah on aja, perlahan-lahan aku loloskan celanaku, hingga aku tak tertutup apapun. 

Rahma lalu berbalik, ia berpegangan kepada ranjang. Ia menungging memperlihatkan belahan memeknya yang sudah becek.

"Masukkan sayang, aku ingin disodok!" katanya. 

Aku mempersiapkan batangku, kocolok-colok dan kugesek-gesek belahan memeknya. Kemudian dengan perlahan aku masuk. Otongku benar-benar tegang maksimal ketika benar-benar masuk sepenuhnya. Hangat dan becek. Rahma ini termasuk wanita yang mudah banjir kalau sudah horni. Jadi setiap kali bercinta ia benar-benar bisa dipuaskan. Aku memejamkan mataku merasakan sensasi remasan yang aku rasakan di senjataku.

Rahma menggerakkan pinggulnya sendiri depan belakang. Ahh...boleh juga nih. Gini aja udah nikmat.

"Enak sayangku?" tanyanya.

"Iya, beib. Kamu selalu tahu cara memuaskanku."

"Syukurlah. Pelan-pelan yah, biar nggak keganggu oroknya."

"Iyahh...aaahhhh....uhhh...," aku keenakan diperlakukan seperti ini. Benar-benar tegang maksimal. Walaupun pelan tapi remasannya benar-benar kerasa. Kupegang pantatnya dan kuremas-remas. Enak sekali. 

Aku pelankan goyanganku. Sekalipun pelan aku saja sudah merasakan nikmat. Buah dadanya itu ahhh...aku ingin meremasnya. Kujulurkan tanganku untuk menggapainya walaupun agak susah karena ia harus menjaga perutnya. Aku bisa menggapainya. Kuremas-remas buah dadanya. Rahma makin mendesah. 

"Ahhh...Beib, enak beib. Aku mau keluar beib," katanya. Koq cepet ya? Aku belum apa-apa ini. 

Dan Rahma menghentikan gerakan pinggulnya. Kemaluannya seperti menggerus batangku. Serrr....serr...tampak cairan kewanitaannya mengalir membasahi penisku. Ia lalu mencabut punyaku dan tidur miring. 

"Kamu belum puas ya beib? Maaf ya, aku nggak kuat kalau terus nungging. Berat nyangga perut," kata Rahma. 

"Aku tahu koq," kataku. 

Aku berbaring dan memeluknya dari belakang. Kumasukkan lagi batang kemaluan ke liang senggamanya. Kali ini kaki Rahma sedikit diangkat untuk biar leluasa aku bergerak. SLEEBB...ahhh...aku merasa enak lagi. Dengan gaya miring gini tubuh Rahma yang lelah akan tidak terlalu banyak gerak. Jadi aku bisa menggenjotnya lebih cepat. Aku pun mulai bergoyang menggesek-gesek rongga kemaluannya. Tanganku sudah meremas toketnya yang mulai besar itu. Putingnya pun aku pijit-pijit. 

"Sayangku...ohh...teruss...terusss....enak banget!...Ahhh..ahhh..!" rancaunya. 

"Iya sayang, enak banget. Pantatmu makin gedhe aja nih, enak banget nyentuh selakangku," kataku.

"Iya ta? Sodokanmu juga lebih bergairah beib," katanya.

Aku terus menggoyang-goyangkan makin cepat, makin cepat. Ahh...aku nggak kuat lagi. Kepengen ngecret rasanya. 

"Mau keluar say?" tanyanya.

"Iya, udah mentok!" kataku.

"Iya, semprotin aja!" kata Rahma.

Ahhhh...aku hujamkan sedalam-dalamnya sampai kepala pionku menyentuh rahimnya. Muncrat deh semuanya. Banyak karena seminggu ini aku nggak ML ama dia. Akibatnya produksi spermaku lumayan. Aku tak mencabut batangku. Kubiarkan ada di dalam sana. 

"Ahh...nikmat banget beib," kataku.

"Syukurlah kalau kamu merasa nikmat. Peluk aku dong yang," katanya. Kupeluk Rahma. Dia emang suka dipeluk sehabis ML. Hal itu membuat dia nyaman. Aku pun tertidur sambil memeluknya. Ahh..Rahma...

***

Aku menjemput Bu Ika mertuaku di Kediri. Kemudian menginap selama semalam di Surabaya. Lalu Setelah itu kami berangkat ke Jakarta melewati Bandar Udara Juanda. Perjalanan Surabaya jakarta cukup cepat. Hanya setengah jam. Setelah tiba di Bandara Soekarno Hatta kami langsung naik taksi menuju Kampus UI. Untung saja Rahma baru hamil 6 bulan. Sebab aturan pesawat nggak boleh penumpang pesawat hamil di atas 7 bulan.

Di sana aku ketemu lagi dengan Anik. Anik mencium tangan ibunya dan memeluk Rahma serta cipika-cipiki. Dan lagi-lagi ia tak menyalamiku. Anik ini sangat cantik. Aku tak pernah melihat dia dandan seperti ini. Mata kami masih menyiratkan sesuatu pancaran yang hanya kami sendiri yang mengerti itu apa. Anik tampak senang sekali dengan kehamilan istriku. Berkali-kali ia memegang perutnya. 

"Wah, Rian tok cer nih udah hamil aja," katanya.

"Yah wajar dong, lemes tiap hari digarap terus," kata Rahma. Disusul tawa ibu mertuaku dan Anik. 

"Syukurlah, eh Rian! Masih inget dia?" Anik menunjuk ke seorang laki-laki. Aku kenal dia. Zain. 

"Zain ya?" tanyaku.

"Iya. Zaaaainn! Sini!" Anik memanggil cowok itu.

Zain dengan baju toganya langsung menuju ke arah kami. Ia agak kaget melihatku.

"Rian??! Ahh apa kabar?" katanya kami langsung berpelukan sebagaimana teman yang sudah lama nggak ketemu. 

Yah, setidaknya kami ada reuni lagi.

0 Response to "Cerita Dewasa Cinta Sayur Asem Episode 25"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel