Cerita Dewasa Cinta Sayur Asem Episode 26

Hai Cita-citaku

Selamat Datang Masa Depan

#Pov Anik

Aku akhirnya bekerja di sebuah stasiun tv swasta (maaf ye, nggak bisa disebut;penulis). Aku nikmati hari-hariku menjadi reporter, lari ke sana-kemari buat nyari berita. Mewawancarai nara sumber, sampai berdesak-desakan untuk memasangkan mic di depan nara sumbernya. Capek memang, tapi aku suka. Terlebih wajahku sudah nampang di layar kaca. Awalnya grogi, tapi akhirnya terbiasa. Hehehe. 

Saat itu menjelang lebaran. Kami ditugaskan untuk meliput arus mudik. Aku termasuk yang mendapatkan tugas tim di daerah Jawa Timur. Hehehehe, kebetulan sekali ya sampai ditempatkan di sini. Mungkin mereka juga faham kalau aku kan rumahku di Jawa Timur, jadi dianggap aku paling tahu daerah ini. Aku berangkat dengan mobil van yang biasanya digunakan untuk meliput. 

"Eh, Nik. Nanti mampir rumah lo yah kalau kerjaan beres, hehehe," kata Ferdi. Dia kameramenku.

"Boleh aja Fer, tapi bayar!" kataku sambil nyengir.

"Yaaahh...pelit!" kata Ferdi.

"Eh, rumah lo Kediri kan? Jauh beud!" kata Rudi yang sedang menyopiri mobil. 

"Iya kita kan kerjanya di jalur pantura masuk area Jawa Timur. Belum masuk Kediri, masih jauh, empat jam perjalan," kataku.

"Yah, nggak apa-apa toh, sekalian deh ntar pas lebaran sungkem sekalian ama orang tuamu," kata Leli dia juga reporter sama kaya' aku. Cuma Budi yang diem aja, sibuk mantau berita dari internet. Ada empat orang di dalam mobil box ini. Mereka adalah timku. 

Setelah perjalanan panjang kami pun sampai di Tuban. Gile bener ini macetnya, nggak tanggung-tanggung. Panjang banget. Ternyata setelah diselidiki ada perbaikan jalan yang menyebabkan kemacetan luar biasa. Koq bisa sih memperbaiki jalan pas ada arus mudik seperti ini?

Ponselku berdering. Dari ibu.

"Assalaamu alaikum bu?" sapaku.

"Wa alaikumsalam. Nik? Kamu masih tugas?" tanya beliau.

"Nggih bu, masih tugas. Niki kula wonten Tuban (Iya, bu. Masih tugas. Ini saya ada di Tuban)," jawabku.

"Koq kebetulan. Itu Si Rahma mau ke Tuban juga ama Rian, mau jenguk Mbah Yayat. Orangnya kan sakit, yah siapa tahu Rahma bisa ngasih obat gitu sakitnya bagaimana."

"Oh, Mbak Rahma ke Tubah? Ya udah nanti aku hubungi kalau ada kesempatan. Tapi nggak janji lho bu. Tahu sendiri kan kerjaanku."

"Iya, ibu ngerti. Ya udah, jaga diri ya?"

"Inggih bu," setelah itu telepon ditutup.

"Dari siapa Nik?" tanya Leli. 

"Dari nyokap. Katanya mbakku ada di Tuban jenguk salah satu sanak famili yang sakit," jawabku.

"Hei, mau live nih! Nik!?" panggil Ferdi.

"Aku datang!" kataku.

Aku mempersiapkan semuanya. Dandan rapi. mic sudah siap. Budi membantuku untuk memasang backdrop sponsor pendukung. Ferdi siap dengan kameranya. Di depanku ada layar tv di mana dua orang penyiar sedang menyampaikan berita. Aku sudah siap. Sudah terbiasa koq aku melakukannya. Jadi tak ada masalah mestinya. 

"Oke, dalam waktu lima, empat, tiga, dua, satu, rolling!" kata Ferdi. 

Tampak aku liha di layar tv dua penyiar sudah langsung berhubungan denganku. Dari earphone aku bisa dengar percakapan mereka.

"Kita sudah terhubung dengan rekan kita di Tuban, Anik? Bisa dilaporkan bagaimana kondisi arus lalu lintas di sana?" tanya penyiar itu.

"Ya, terima kasih rekan Rizal di Jakarta. Saudara, arus mudik kali ini dari Pantura yang seperti Anda saksikan di layar kaca tampak dipenuhi dengan antrean kendaraan. Antrean ini akan terus mengular sampai kurang lebih sepuluh kilometer. Bagi Anda yang melewati jalur Pantura harap mempersiapkan diri dan kondisi karena arus mudiknya benar-benar macet luar biasa," kataku.

"Bisa dijelaskan Anik, kenapa kemacetan bisa terjadi?" tanya rekanku.

"Ada perbaikan jalan yang seharusnya sudah selesai tapi belum selesai sampai sekarang. Begitu rekan Rizal," kataku. "Saya tambahkan dari pantauan helikopter juga kami mendapatkan visual bahwa antrian ini belum terurai kalau sampai dua belas jam belum terurai maka akan berdampak jalur pantura bakal macet parah."

Begitulah pekerjaanku. Jadi reporter. Akhirnya cita-citaku kesampaian juga. Hampir tiap hari aku melaporkan keadaan jalan. Setelah aku melaporkan itu perasaanku tiba-tiba nggak enak. Nggak enak sekali. Kenapa ini?

Karena khawatir maka orang yang aku telepon pertama kali adalah Mbak Rahma. 

"Assalaamu alaikum, mbak?"

"Wa alaikum salam, Nik? Apa kabar?"

"Baik mbak. Mbak nggak kenapa-napa kan?"

"Heh, ada apa? Koq tanya gitu?"

"Perasaanku saja mbak, nggak enak."

"Ah, kamu ini. Mbak ada di rumah Mbah Yayat sekarang ini. Beliau ternyata kena hepatitis."

"Innalillahi, koq bisa mbak?"

"Mbak juga baru tahu koq. Ini barusan dari rumah sakit."

"Hmm...ngomong-ngomong gimana kandungannya mbak. Mau lahir toh?"

"Iya, ini kan udah masuk bulan sembilan. Paling juga habis lebaran lahirnya."

"Nggak capek ta jalan-jalan gitu wong hamil juga?"

"Kan ada suami, jadi enak aja."

"Ihhh...bikin ngiri."

"Hehehehe...kamu di mana?"

"Di Tuban juga, ini lagi ngeliput."

"Oh, ya udah deh. Mampir aja ntar ke Mbah Yayat. Kasihan beliau."

"Iya, mbak."

Setelah menelpon Mbak Rahma, aku menelpon Zain. Dia sekarang masih ada di Jakarta. Dia juga bekerja sebagai reporter, sama juga sih di stasiun tv swasta, tapi beda ama aku. 

"Halo, Beib? kamu nggak apa-apa?" tanyaku.

"Ya? Nggak apa-apa. Aku sehat koq. Kenapa?" tanyanya.

"Perasaanku nggak enak nih. Seperti bakal terjadi sesuatu gitu."

"Ah, cuma perasaanmu aja kali."

"Nggak ini beneran, duh kenapa ini aku."

"Mungkin kamu lelah, coba deh kamu istirahat gitu, kamu puasa kan?"

"Iya dong, apa aku PMS ya?"

"Bisa jadi. Istirahat dulu lah kalau capek say. Aku juga khawatir kalau kamu nanti sakit."

"Iya deh, aku sepertinya terlalu capek."

Setelah menelpon Zain, perasaanku masih belum tenang. Kumohon ya tuhan, moga nggak terjadi apa-apa. 

"Eh, Nik, jalan-jalan dulu yuk! Kan kita nanti masih lama nanti live-nya," ajak Ferdi.

"Lo enak nggak puasa, aku puasa tauk!" kataku.

"Yah, maklumlah beda keyakinan. Hehehehe," Ferdi meringis. "Setidaknya kita nggak di sini melulu. Ntar kita kembali lagi ke sini deh," 

"Ayo Nik, bentar aja!" ajak Leli.

Akhirnya kami pun jalan-jalan, menelusuri jalanan kampung. Bukan hanya jalan-jalan kami juga sambil nyari-nyari berita sebenarnya. Kalau ada sesuatu yang unik, kami pasti liput. Aku cukup jeli melihat keadaan sebenarnya melihat-lihat sesuatu yang bisa diambil objeknya. Ferdi cukup tangkas ketika harus menyorot pemandangan di sekitar jalan. Juga ketika mobil berjalan dia menyorot pinggir jalan dan beberapa pegunungan yang terlihat dari jauh. 

Kami melewati jalanan tembus, hingga tak terasa sampai juga di arah pantura dari sisi lain. 

"Wah, koq kita tembusnya di sini ya? Padahal tadi muter-muter nggak karuan," ujar Rudi.

"Eh, tuh-tuh ada warung buka. Aku laper nih, tak makan dulu ya," kata Ferdi. 

"Huuu...dasar, ya udah deh, toh kita muter jalan juga balik lagi ke sini. Aneh sih," kata Rudi. Aku juga keluar dari mobil van. Capek di dalam. 

Dari arah barat muncul mobil ambulance meraung-raung. Heh? Koq ada mobil ambulance segala?

"Fer, Ferdi! BALIK! ADA BERITA!" seruku.

Ferdi yang mau masuk warung langsung melompat. Aku kembali masuk ke dalam mobil.

"Rud! Rud kejar mobil ambulancenya Rud!" seruku.

Ferdi langsung masuk ke dalam mobil. Mobil langsung memutar mengejar mobil putih yang berjalan cepat di sisi kanan jalan. Kami mengikuti mobil itu seperti kejar-kejaran di film Fast & Furious. Oke, mungkin terlalu berlebihan. Tapi ketrampilan Rudi dalam mengemudi ini tak bisa diremehkan. Dalam sekejap mobil ambulance sudah dia kuntit. Kami terus berjalan hingga berhenti sampai di sebuah kerumunan. Aku melihat ada sebuah truk tronton yang baru saja menghantam sebuah mobil. Kecelakaan!

Aku dan Ferdi segera keluar. Kuambil mic dan kabelnya. Kami berjibaku untuk bisa menyiarkan ini secara live. Budi sudah bersiap untuk menyiarkannya. Aku pun memasang tampang yang cerah. Ya, bagaimana pun beritanya sang reporter harus bisa membawakan berita dengan wajah yang fresh.

"Oke, siap, tiga, dua, satu, rolling!" kata Ferdi.

"Saudara-saudara kami baru saja melihat ada kecelakaan di jalur pantura. Seperti yang Anda lihat di belakang saya, baru saja ada mobil ambulance datang. Tampaknya ada sebuah mobil yang ringsek, jenis sedan ditabrak oleh Truk tronton. Kita tidak tahu apakah ada korban yang selamat ataukah tidak. Beberapa krumunan orang tampak sedang berusaha menolong korban. Mari kita lihat lebih dekat..."

Aku berlari mendekat ke arah kecelakaan itu. Ferdi menyorot orang-orang yang bahu-membahu mengeluarkan korban. Mereka memecahkan kaca mobilnya. Kemudian seorang bisa dikeluarkan. 

"Eh, itu wanita hamil keluarkan itu!" kata orang-orang.

"Saudara tampaknya korban adalah sepasang suami istri. Dan diketahui sang wanita sedang hamil. Oh tidak...!" aku menjatuhkan mic. 

Ferdi kebingungan, "Kenapa Nik?"

Tidak! Tidak! Tidak! Aku melihat mereka, aku kenal mereka. Rahmaa! RIAAN!

"Mbak Rahma! RIAAAANN!"

***

#Pov Rian#

"Mas, Mbah Yayat sakit," kata Rahma. 

"Mbah Yayat?" tanyaku.

"Iya, mbahku. Orangnya tinggal di Tuban. Ibu nyuruh aku untuk ngecek beliau sakit apa. Kalau dilihat dari tanda-tandanya sih Hepatitis. Tapi buat mastikan aja aku kepengen tahu."

"Hmm...mau ke sana?" tanyaku.

"Iya deh, bentar aja ya, habis itu pulang," jawabnya.

"Ya udah, berangkat kapan? Sekarang?" tanyaku.

"Ya sekarang dong. Yuk?! Dari pada ntar kena arus mudik." 

Aku tak begitu mengenal keluarga Rahma yang jauh-jauh. Mungkin yang aku tahu sik Pak Dhe-nya, Yuli, trus Pak Liknya sama beberapa sepupu. Tapi soal mbah, aku tak begitu tahu. Rahma baru bilang kepadaku kalau ia punya dua mbah. Satunya udah meninggal Mbah Yayat ini boleh dibilang mbahnya yang terakhir. 

Aku akhirnya bersiap. Kupanasi mobilku. Kami nggak bawa barang-barang. Lha wong cuman jenguk orang sakit koq. Mau bawa barang apaan? Tapi hari itu istriku agak aneh. Ia bingung seperti mau nyari sesuatu.

"Kenapa yang?" tanyaku.

"Koq seperti ada yang ketinggalan ya? Bentar aku ingat-ingat dulu," jawabnya.

Aku cuma nunggu aja sambil bersandar di mobil. Ia lalu ingat. "Ah, iya!"

Setelah itu buru-buru masuk ke rumah. Baru kemudian balik. Ia bawa peralatan dokternya. 

"Masa' mau jenguk orang sakit koq nggak bawa ini. Gimana seh," kata Rahma. "Yuk berangkat!"

Aku kemudian mengunci rumah. Rahma udah masuk mobil terlebih dahulu. Setelah yakin semua udah dikunci, aku masukkan kuncinya di bawah pot. Hahaha, kebiasaan dari dulu. Kunci dimasukkan di bawah pot. Setelah itu aku masuk ke mobil dan melajukan kendaraan meninggalkan perumahan Semolowaru, tempatku tinggal di Surabaya.

Mobil yang keluar dari Surabaya cukup padat. Kami menuju ke barat melewati tol kemudian menghindari jalan-jalan utama yang emang bikin macet. Jam sepuluh kami sudah masuk Tuban. Rumahnya Mbah Yayat ternyata dekat ama Jalur Pantura. Kalau Jalur Panturan ini dari arah keluar Surabaya macet, tapi sebaliknya cukup lancar. Rupanya Rahma ini hafal jalan juga. Aku cukup senang ditunjukin rutenya, belok mana harus kemana, sehingga nggak lama kami pun sampai.

Kami sempat melewati sebuah mobil box sebuah stasiun tv yang terparkir di pinggir jalan. Kalau lihat stasiun tv itu jadi inget kalau Anik kerja di sana sekarang. Mungkin itu rekannya Anik yang sedang meliput. Mereka sepertinya mau siaran meliput arus mudik ini. Aku tak begitu menghiraukannya. 

Rumah Mbah Yayat ini cukup sederhana. Begitu kami tiba kami langsung disambut. Mbah Yayat orangnya udah sepuh ya emang wajar kalau misalnya sakit-sakitan. Aku kenalan dengan beberapa anggota keluarga yang memang belum aku kenal. Kami cukup beramah tamah. Yang cukup cerewet itu Rahma, ketika ada yang ngerokok seperti Mas Gito, anaknya si Mbah ini dia marah-marah. 

"Mas, aku hamil lho, masa' ada orang hamil ngerokok?" kata Rahma.

"Oh iya dik, maaf." kata mas Gito.

"Nggak baik rokok itu bla bla bla..." yah, dicerahamin deh. Rahma kalau udah ceramah soal kesehatan bisa panjang lebar. Dan beneran. Aku cuma bisa senyam-senyum aja. Pas meriksa keadaan Mbah Yayat ia kaget.

"Lho, Mbah, panjenengan harus dibawa ke rumah sakit ini. Ini kena liver!" kata Rahma.

"Waduh? Beneran ta mbak?" tanya Mas Gito

"Iya beneran ini. Segera bawa ke rumah sakit!" kata Rahma.

"Tapi biaya rumah sakitnya gimana?" tanya Mas Gito.

"Nggak apa-apa bawa aja, ntar kami bantu deh," kataku.

Akhirnya dengan mobilku Mbah Yayat pun dibawa ke rumah sakit. Matanya sudah menguning dan dia merasa sakit di mana-mana. Rahma mengatakan Si Mbah ini kena komplikasi. Setelah lima belas menit mobilku melaju. Kami pun sampai di rumah sakit dan langsung mendaftar di sana. Rahma yang cukup telaten ini pun langsung minta kepada pihak Rumah sakit agar segera diopname, harus gini, harus gitu. Aku sendiri nggak tahu. Yang jelas dia cekatan banget. Maklumlah dokter. 

Cukup cepat, baru beberapa saat saja Mbah Yayat sudah masuk kamar dan dirawat di sana. Tapi menurut dokter spesialisnya ternyata beliau kena komplikasi juga, masalah di ginjal, hipertensi dan liver. Waduh. Kasihan beliau. Kata Rahma sih beliau kayaknya nggak tertolong lagi karena sepertinya sudah terlambat bawa ke rumah sakitnya. Tapi kata dokter yang merawatnya akan diusahakan yang terbaik. Apalagi mendapatkan laporan kalau semua yang dimakan kembali lagi, kayaknya udah parah banget.

Maklum keluarga Rahma yang ini takut dengan yang namanya rumah sakit. Biasanya rumah sakit itu hanya buat orang-orang kaya saja. Yang miskin dipinggirkan. Aku kemudian kembali lagi setelah Rahma selesai mengurus soal administrasi Mbah Yayat. Setelah itu kami undur diri mau pulang balik ke Surabaya. Karena memang nggak ada rencana buat nginep. Keluarga Mbah Yayat berterima kasih atas bantuan Rahma.

Di mobil dia pun banyak bicara tentang alasan dia jadi dokter.

"Yang, tahu nggak kenapa aku kepingin jadi dokter?" tanyanya. 

"Kenapa?" 

"Karena aku kepengen menolong orang-orang seperti Mbah Yayat itu. Aku tahu sebagian keluargaku masih kolot seperti itu, takut ama jarum suntik, takut ama obat-obatan. Mahalnya biaya rumah sakit, itu semua karena mereka kurang pendidikan. Nasib mereka mungkin akan sedikit baik kalau saja mereka punya pendidikan yang lebih baik. Aku ingin bisa menolong orang-orang seperti itu. Karena itulah aku jadi dokter. Kamu tahu, terkadang juga aku nggak ngambil imbalan lho pas meriksa orang."

Aku makin kagum ama istriku ini. Hatinya mulia sekali. Aku makin cinta ama dia.

"Yang, aku punya permintaan. Menepi dulu dong!" aneh dia bilang begitu. Aku kemudian menepi. 

"Ya? Sudah menepi ini. Permintaan apa?" tanyaku. 

"Kalau misalnya aku nanti nggak ada, kamu jagain Anik ya?"

"Ah, apaan sih kamu ini. Bicaranya ngaco."

"Ehh...dengerin dulu!"

Aku menghela nafas. 

"Aku sekarang udah bahagia ama kamu. Kamu berikan segalanya buatku Yan. Aku bahagia banget, apalagi sekarang udah mengandung anakmu. Kamu orangnya setia, kamu juga suami yang bertanggung jawab. Tak ada satupun bagian dari dirimu yang membuatku tidak mencintaimu, Yan. Tapi ada satu yang kurang."

"Apa?"

"Hatimu bukan milikku."

"Nah, kaan? Udah deh Ma, aku nggak mau bahas itu. Aku ama Anik udah berakhir, Ma."

"Belum Yan, belum berakhir. Aku melihatnya, kamu masih suka ama dia. Dan aku ikhlas koq....."

BRAAAAAK! Tiba-tiba ada sebuah mobil yang menabrak kami dari belakang, kemudian mendorong kami hingga ke tengah jalan. Karena kaget Rahma sampai nggak siap. Kepalanya menghantam dashboard. Aku juga menghantam setir. Aku melihat ke belakang. Ada sebuah mobil SUV warna merah menghantamku. Karena aku tadi nggak pake rem tangan akhirnya mobilku jalan sendiri ke tengah jalan raya. Siapa juga yang nabrak ini? 

Belum selesai kagetku tiba-tiba dari arah kiri, aku melihat sebuah truk tronton mengklakson. 

DIIIIINNN! BRAAAAAK! 

Mobilku terseret beberapa meter. Kepalaku terbentur kaca mobil, aku pakai sabuk pengaman jadinya nggak ikut terombang-ambing. Rahma tidak. Aku melihat dari kain kerudungnya darah merembes. Tidak....Tidak! Jangan! TIDAK! Aku pun tak sadarkan diri. Gelap.

Aku hanya bisa dengar orang-orang teriak-teriak.

"Eh, itu wanita hamil keluarkan itu!" kata orang-orang.

Aku digotong oleh orang-orang. Aku masih bisa melihat, masih bisa berbisik. "Rahma...Rahmaa...Rahmaa..."

"Riaan! Rian! RIAAAN!" aku dengar sebuah suara. Suara itu??? Anik?? Anik kaukah itu? Dan aku tak sadarkan diri. 

0 Response to "Cerita Dewasa Cinta Sayur Asem Episode 26"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel