Cerita Dewasa Si Rambut Merah Bonus Chapter

NARASI MOON

Aku meninggalkan Hiro di hotel. Mungkin bukan keputusan yang tepat. Tapi inilah yang harus aku lakukan. Negaraku membutuhkan aku. Hanya secarik kertas dan sebuah pesan yang aku sampaikan ke Hiro. Kuharap ia mengerti. Aku akan mencarinya lagi suatu saat nanti.

24 jam kemudian, aku sudah berada di markas NIS. Komandan sedang membriefingku. 
“Misi kali ini agak sulit, kamu single fighter di misi ini. Karena dari semua agen, hanya engkau yang bisa melakukan hal seperti ini,” ujar komandan. 

“Siapa targetnya sekarang?” tanyaku.

“Tugasmu, cukup mudah sebenarnya. Habisi White Wolf. Tapi yang sulit adalah kamu harus masuk ke daerah musuh. Dan itu tidak baik, karena posisinya ada di Syberia,” kata komandan.

Aku melihat sebuah gambar wajah seseorang. 

“Habisi dia dan cepat kembali. Ini lokasinya dan ini lokasi penjemputan,” kata komandan sambil menunjukkan peta.

Aku mengeluarkan GPS-ku dan mencatat koordinatnya. Paling tidak aku sudah tahu harus kemana. Siap atau tidak, inilah yang harus aku lakukan di bagian ujung negeri Rusia itu.
Setelah menyelamatkan dunia barusan, aku tak ada waktu istirahat ternyata. Sebelum komandan pergi aku meminta sesuatu.

“Komandan, aku ingin minta sesuatu,” kataku. 

“Silakan!” katanya.

“Aku ingin ini adalah misiku yang terakhir. Sebab, aku ingin berhenti setelah ini,” kataku.
Komandan tak bicara. Dia hanya menghela nafas. 

“Moon, di NIS ini hanya engkaulah yang sekarang ini menjadi Top agent. Siapa yang bisa menggantikanmu?”

“Pasti ada. Aku sudah tidak ingin lagi menembakkan senjataku. Dendam NIS sudah aku balaskan. Suni sudah tewas. Aku tak mau membebani diriku dengan jauh dari orang-orang yang aku cintai,” kataku dengan nada gemetar.

“Kamu teringat Hiro?” 

Aku mengangguk.

“Sebenarnya aku sayang sekali melepasmu. Selesaikan saja misinya, setelah itu kita akan pikirkan ke depannya nanti seperti apa,” ujar Komandan.

Aku pun membungkuk. “Terima kasih komandan”

***

Syberia kali ini sedang dilanda badai salju. Aku kali ini menggunakan kereta api untuk sampai ke sana. Kereta api ini khusus, bahkan memang disediakan oleh orang-orang yang punya “kepentingan”. Selama kurang lebih dua jam kemudian aku sampai di sebuah stasiun kecil. 

Untuk sampai ke target sasaran, aku harus membelah hutan. Titik penjemputan adalah di pantai yang terdapat banyak batu karangnya. Aku sendiri tak mengerti kenapa titik penjemputannya ada di sana. 
Lebih lanjut, aku pun kemudian harus survive di sini. Perbekalanku hanya membawa tiga ration. 

Paling tidak, makanan tentara ini cukup untuk tiga hari survive di tempat ini. Begitu sampai di stasiun kecil, aku sudah harus mempersiapkan segalanya. Sniper rifle, pistol glock, pisau dan beberapa hal kecil lainnya. Aku harus menunggu sampai badai saljunya reda dulu sepertinya. Karena jarak pandang sangat pendek. 

Dan tepat pukul sebelas malam, badai berhenti. Aku segera memakai mantel dan pergi dari stasiun kecil tak berpenghuni itu. Malam benar-benar gelap. Aku hanya mengandalkan NVG yang terus aku pakai selama berjalan di kegelapan malam.

Aku sudah menyadari sejak masuk hutan gerombolan serigala sudah mengikutiku. Aku tak peduli. Aku tak takut kepada mereka. Seekor panther saja bisa aku bunuh, kenapa seekor serigala saja tak bisa aku bunuh?

Beberapa menit lagi aku sampai. GPS trackerku sudah berkedip-kedip. Aku mencoba mengontak An Li.
“Aku sebentar lagi sampai. An Li kamu dengar?” tanyaku.

“Aku bisa lihat itu,” kata An Li. “Ceritakan keadaanmu sekarang!”

“Aku baru saja berlindung dari badai. Suhu minus lima belas derajat. Salah sedikit saja aku bisa kena hypothermia.”

“Bukannya suit itu melindungimu dari dingin?” 

“Sementara An Li, sementara.”

Aku memakai kostum yang biasa aku pakai ketika misi. Baju buatan NIS ini cukup lumayan untuk mengusir hawa dingin dan menipu sensor panas. Tapi tidak oleh serigala, karena mereka bisa mencium darahku.

Aku pun semakin masuk ke dalam hutan. Hingga kemudian kurang lebih 1,5 km aku melihat sebuah bangunan di sana. Bangunan seperti bungker yang terletak jauh dari pemukiman dan berada di tengah hutan? Mencurigakan.

Dengan langkah berhati-hati, aku mulai membidik bangunan itu dengan menggunakan teropong yang ada di sniper rifleku. Ternyata benar itu adalah bungker, tapi bagaimana aku bisa menemukan White Wolf? Tak ada cara lain, aku harus mendekat.

“An Li, kira-kira berapa orang yang ada di bungker?” tanyaku.

“Dari Thermal View ada kurang lebih lima,” jawab An Li. “Kamu sudah dekat, mestinya bisa melihat mereka.”

“Sebenarnya apa yang dilakukan oleh White Wolf kalau aku boleh tahu. Bukankah dia tidak melakukan kejahatan?” tanyaku. “Dan kalau alasannya hanya dia pernah melakukan pemalsuan identitas dan membunuh salah seorang agen kita, maka harusnya ditangkap saja kan?”

“Aku akan bilang kepadamu, tapi ini off record ya...sebentar...,” aku menunggu An Li agak lama. “OK, saluran ini aman. Dia ini perancang bom yang meledakkan gedung NIS. Sekaligus juga guru dan saudaranya Suni. Mendapatkan julukan White Wolf, karena dia terkenal sebagai assasins White wolf. Sebenarnya ia sudah pensiun lama. Hanya saja, pihak NIS tak ingin satupun anggota keluarga dari Suni hidup.”

“What?”

“Iya, beberapa waktu lalu, keluarga Suni dihabisi semuanya oleh agen-agen lain. Dan kamu mendapatkan tugas terberat. Membunuh boleh dibilang gurunya Suni. Dari data yang aku terima, Suni sebelum masuk NIS dilatih oleh dia.”

“Tapi ini harusnya menjadi misi yang mudah bukan?”

“Ada sebuah alasan kenapa dia disebut White Wolf.”

“Apa?”

“Dia bisa memerintahkan serigala, dan mampu berkomunikasi dengan serigala dengan cara yang aneh. Aku juga tak tahu bagaimana.”

Aku melihat ke teropong lagi. Oh shit, aku lihat White wolf, dia berdiri di antara kerumunan Serigala di depan bungker. Dia duduk dan sepertinya berbicara dengan salah satu serigala. Apa yang dia lakukan? Celaka dia melihat ke arahku. 

“Moon, habisi dia sekarang. Waktumu tak banyak. Serigala-serigala itu memberitahukan keberadaanmu!” kata AN Li.

Aku membidik White Wolf dan DOR! Kepala langsung tertembus peluru dan ambruk. Tiba-tiba para serigala itu mengaung panjang. Kemudian disusul oleh yang lainnya. Aku menembak dua orang yang bersama White wolf. DOR! DOR! Setelah itu terjadilah sesuatu yang aneh. Semua serigala yang ada di dekat White wolf tadi berlarian menuju ke arahku. 

“Moon, lari!” seru An Li.

“Fuck!” aku mengumpat dan segera berlari. 

Agak susah karena aku juga menggendong senapan sniper. Aku juga belum memeriksa mayat White wolf, apakah dia sudah mati ataukah masih hidup. Yang jelas sekarang ini aku harus berlari dari kejaran serigala-serigala itu. 

“An Li, bagaimana wolf? Apakah sudah mati?” tanyaku.

“Dari jejak panasnya, sepertinya sudah. Berangsur-angsur hilang,” kata An Li.

Aku terus berlari, mendaki lalu menurun. Para serigala itu terus mengejarku. Dan, aku bodoh. Aku melihat ke GPS-ku, aku terlalu jauh dari tempat penjemputan. Akhirnya aku berlari menelusuri bibir sungai. Saat itulah aku melihat serigala hitam, sangat besar badannya. Berlari di seberang sungai.

Apa-apaan ini? Mereka mengikutiku? Aku masih mendengar serigala-serigala itu melolong bersahut-sahutan, seolah-olah seluruh hutan ini sudah menjadi musuhku. 

Serigala hitam dengan mata berwarna kuning itu melompat di atas gleiser. Ia tergelincir, tapi masih bisa berdiri. Aku mengambil pistolku dan menembaknya. DOR! DOR! Tidak kena. Tapi ia mulai menjaga jarak. Dan bodohnya aku, sekarang aku terantuk batu dan berguling ke tepi sungai lalu BYUR! Aku terjerembab dan masuk ke sungai. Aku mencoba menggapai permukaan. Celaka tertutup balok es! Di mana tempat aku jatuh tadi? Belum sempat aku berpikir arus sungai itu terlalu kuat hingga aku terdorong. Nafas....nafas...aku butuh oksigen sekarang. 

Hingga kemudian aku melihat ada batu di depanku. Aku arahkan kakiku ke depan agar tidak menabrak batu itu secara frontal. Berhasil. Aku tak menabraknya, tapi aku masih terseret arus hingga aku tak melihat lagi ada sesuatu di depan sana. Tunggu dulu, kalau tidak ada sesuatu artinya itu air terjun. Ohhhh.....tidaaaakk!

Aku terdorong hingga meluncur bebas dari puncak air terjun dan BYUR! Ternyata air terjunnya tidak tinggi. Tapi aku selamat. Aku bisa mendapatkan oksigen lagi. Tapi tubuhku menggigil sekarang. Aku harus keluar dari dalam sungai. Aku pun melemparkan sniper rifleku. Karena benda itu hanya akan menghambatku. 

Dengan susah payah akhirnya aku menepi. Suara lolongan serigala itu masih terdengar. Aku melihat lagi GPS trackerku. Sedikit lagi sampai. Walaupun aku harus memutar sepertinya. Dan aku terkejut karena dari atas air terjun, aku melihat serigala hitam tadi. Aneh, seharusnya serigala-serigala di Syberia ini berwarna putih dan agak abu-abu. Ini tidak. Dia benar-benar hitam sepenuhnya, hanya terlihat matanya yang kuning.

Kulepas mantel yang menutupi tubuhku kemudian aku berlari lagi. Dari depan ternyata sudah ada kawanan serigala. Aku pun berbelok ke kiri, ternyata ada lagi. Aku lalu ke kanan. Tunggu dulu. Ini tidak salah lagi. Mereka sedang mengarahkanku. Tapi kemana? 

Aku masih terus berlari. Kalau aku tidak berlari suhu tubuhku akan menurun dan aku bisa kena Hypothermia. Dan aku pun terantuk. Tidak, tidak, aku terlalu jauh. Terlalu jauh. Aku berguling dan mencoba bangkit. Nafasku terengah-engah, kepulan uap air keluar dari mulutku. Dan benar. Aku sekarang dikepung oleh kawanan serigala di mana-mana. Aku melihat sekelilingku. Tengkorak? Tulang belulang? Jangan-jangan....iya, ini sarang mereka. 

Segera saja aku mencabut kedua pistolku. Minggir kalian!

Aku menembakkan senjataku, mengenai beberapa ekor serigala. Dan mereka pun mulai menyerbu ke arahku. Semua peluru aku tembakkan hingga habis. Seekor serigala berhasil menggigit kaki kananku. Aku langsung mengganti magazineku dan menembak kepala serigala itu hingga dia terkapar. Aku harus lari dari sini. Itulah yang ada di benakku sekarang. Aku tak mau jadi santapan serigala-serigala ini. 

Dengan luka di kaki, aku terus berlari menuju ke tempat penjemputan. Aku terus berlari tanpa mempedulikan darah yang mengucur dari luka gigitan tadi. Serigala-serigala tadi masih melolong. Kurang lebih selama setengah jam aku berlari.

“An Li?! An Li?! Kamu dengar aku?” tanyaku. Tak ada jawaban. Sepertinya codec-nya rusak karena aku terjatuh ke sungai tadi. Aku melihat GPS trackernya. Seratus meter ke depan....dan...langkahku terhenti. 

Di depan ternyata sudah menunggu serigala hitam tadi. Serigala ini cukup besar. Kemungkinan lebih besar lagi dari manusia. Cakarnya saja sebesar lenganku. Sialan, tak ada yang bisa kulakukan. Lolongan serigala-serigala itu berhenti. Kini hanya geraman “Si Hitam” saja yang aku dengar.

Aku tak tahu apa yang dia inginkan. Tapi entah bagaimana aku melihat sniper rifleku ada di bawahnya. Dia tadi membawa sniper rifleku yang aku lemparkan di tepi sungai? Si Hitam menggigit sniper rifleku dan dengan mudah mengangkatnya lalu melemparkannya ke arah lain. Lalu dia menggeram lagi. Apa maksudnya aku harus membuang senjataku? Oh tidak, aku tidak mau. Aku todong dia. Dia makin menggeram. Mau apa dia?

Aku tak peduli, aku pun menembak Si Hitam, tapi dia mengelak dan pergi menjauh. DOR! DOR! Dua tembakanku meleset. Lalu dari arah lain muncul serigala lain yang langsung mencakar lenganku, senjataku terjatuh sebelum aku menembak dengan tangan kiri ada serigala lain yang menggigit pistolku sehingga terlepas dari tanganku. 

Mereka melucutiku. Tapi entah kenapa, mereka tak menyerangku lagi. Dan sepertinya membuka jalanku agar maju ke depan. Benar saja. Mereka mempersilakanku maju ke depan. Dan ternyata setelah aku maju ke depan 100 meter ada sebuah tanah lapang. Tak salah lagi, ini adalah tempat penjemputan. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Tunggu dulu.....kenapa Si Hitam itu ada di depanku?

Oh, aku mengerti sekarang. Ia ibarat last man standing. Baiklah. Kamu ingin memakanku? Fine. Aku juga pernah melawan hewan seperti kamu. Kuambil pisauku. Ternyata hewan ini benar-benar ingin aku bertarung dengannya. 

Bertarung dengan dua pisau. Boleh juga. Aku pun mengikat tangan kananku yang menggenggam gagang pisau dengan ikat pinggangku. Dan tangan kiriku menggenggam pisau satu lagi dengan bebas.
Tanpa aba-aba Si Hitam langsung menerkamku. Setelah itu terjadilah pertarungan antara aku dan Si Hitam. Tenaga Si Hitam ini berbeda ketika aku bertarung dengan Panther hitam dulu itu. Tenaga Si Hitam lebih kuat, mungkin karena tubuhnya yang lebih besar. Dia menerkamku dan aku menahannya dengan pisauku. Dia menggigit pisauku kuat-kuat. Gila, tenaganya. Dia pun menghantam tubuhku dengan kakinya yang kuat. Buk! Aku terpelanting ke samping. Aku berguling-guling, tapi segera bersiaga. 

Si Hitam ini kembali menerjangku. Kali ini dia dengan cakarnya. Aku gores lehernya. Dia mengkaing. Aku berkelit, berlari, berkelit menghindar serangannya yang terus-terusan itu. Tapi bukan berarti ia berhenti dia makin membuatku kelelahan dengan serangan-serangannya. 

Saat itulah aku lengah. Entah kenapa aku pusing sekali. Kenapa? Aku melihat di atas tanah yang penuh salju itu. Darah....Darah siapa? Hampir saja aku lupa kalau aku tadi terluka. Jadi...aku mulai banyak kehilangan darah. Dan aku mulai merasakan tubuhku menggigil. Oh tidak, Hypothermia mulai menyerangku. 

Aku tetap harus hidup. Aku harus menghabisi Si Hitam. 

Baiklah serangan terakhir. Aku menunggu Si Hitam maju. Dan sekarang serigala raksasa itu pun melesat ke arahku, tapi dia melakukan gerakan yang aneh, yaitu seperti meluncur ke bawah, apa yang ia lakukan? Biasanya kalau binatang buas akan melakukan gerakan melompat, tapi ini tidak. Ia tertarik dengan kakiku yang terluka. Ia tertarik dengan darah. Dan....CRAK! Aku digigitnya. 
“AAAAAAAAARRGGHHHHH!” aku menjerit. Dia menerkam kakiku. Mengunyahnya. Aku lalu menusuk-nusuk kepala Si Hitam. Lagi, lagi, lagi, lagi, lagi. Entah berapa banyak darah binatang itu yang keluar. Aku pun akhirnya dilemparkan olehnya hingga terhempas beberapa meter. 

Dari mulutku keluar darah. Ughh...benturannya sangat keras. Aku harus berdiri, Si Hitam itu kelihatannya masih hidup. Tapi ada yang aneh....iya, dia masih hidup dan berdiri tapi sambil mengigit sesuatu dengan darah di mulutnya. Kepala srigala raksasa itu penuh darah. Itu kakiku! Aku melihat kakiku sudah tidak ada. Kaki kananku sudah tak ada lagi.....

Dan saat itulah dari udara aku melihat sesuatu, helikopter! Suara baling-balingnya langsung membuat serigala raksasa itu takut dan lari menuju ke dalam hutan. Aku lalu terkapar tak sadarkan diri.

Ketika tak sadarkan diri itulah aku sayup-sayup mendengar orang-orang memanggilku. “Moon! Moon?! Bertahanlah!”

***

Itulah ceritaku ketika misi terakhirku. Dan yang paling mengejutkanku adalah ketika dokter memberitahuku kalau aku hamil. Hamil seorang calon bayi. Tidak salah lagi. Itu adalah anakku dengan Hiro. Ketika di rumah sakit itu, entah sedih atau bahagia aku mengelus-elus perutku. 
Sang komandan pun masuk ke kamarku. Dia pun berkata telah memenuhi permintaanku untuk pensiun. Yah, bagaimanapun juga, aku tak akan mungkin untuk kembali ke misi dengan kondisi satu kaki seperti ini. 

Hari-hari yang kulalui adalah merawat kandunganku. Hingga kemudian Han-Jeong lahir. Aku ditolong oleh salah satu temanku yang bernama Bae Yun-Ah. Dia bekerja di Kane Bean Cafe sebagai pengisi lagu-lagu. 

Aku juga hidup bersama ibuku setelah itu sampai akhirnya beliaupun menyusul ayah. Tapi paling tidak beliau sangat senang sekali sudah punya cucu. 

Bae aku beritahukan sebuah lagu dari ibunya Hiro. Dan ternyata ia suka sekali dengan lagu itu. Aku harap, Hiro akan datang mencariku. Sebab, aku sudah tak bisa lagi mencarinya. Setahun, dua tahun, tiga tahun, tak ada kabar, bahkan sekarang Han-Jeong sudah mulai besar. Harapanku pun pupus. Aku kini hidup sendiri bersama Han-Jeong. 

***

Suatu ketika, Bae memintaku untuk datang pagi hari. Karena mau memperkenalkanku dengan seseorang. Aku pun bilang, “Apaan sih? Nggak usah jodoh-jodohin aku.”

“Nggak koq, mungkin kamu akan suka ama dia nanti. Coba saja! Melihatmu sendirian aku juga kasihan!” kata Bae. 

Akhirnya pagi itu aku mengajak jalan-jalan juga Han-Jeong ke kafe. Tak ada firasat saat itu, kalau aku akan ketemu lagi dengan Hiro. Bagaimana aku bisa ingat Hiro? Terlebih dia sangat berubah. Dulu dia agak culun, tapi sekarang ia sangat tampan. Jelas saja, sekarang ia telah dewasa, sudah diberi jabatan oleh ayahnya. Dan dia mau menerimaku apa adanya. Juga Han-Jeong.
NARASI MOON

Setelah kejadian di Kafe itu, Hiro memberitahukan keluarganya bahwa ia telah bertemu denganku. Hiro pun menikah denganku di Seoul. Aku sebenarnya sangat malu dengan keterabatasan yang aku punya ini. Dan sebenarnya aku pun tak berharap Hiro melihatku dengan tubuh seperti ini. Tapi dia selalu meyakinkanku, "Aku mencintaimu apa adanya." Itulah yang selalu aku dengar dari mulutnya. 

Seminggu setelah pernikahan kami aku dan Jung Han-Jeong dibawa ke Indonesia. Han-Jeong senang akhirnya dia punya ayah. Mereka berdua pun sudah akrab seolah-olah sudah mengenal satu sama lain dalam waktu yang lama. Aku sendiri bahagia dengan hal ini. Dari pancaran mata Hiro, aku bisa melihat kebahagiaan darinya. 

Di Indonesia, aku berdebar-debar bagaimana mereka akan menyambutku. Bagaimana Tuan Hendrajaya akan menyambutku? Aku pun jadi galau. Turun dari pesawat pribadi milik keluarga Hendrajaya, aku pun mendapati sebuah karpet merah. Aduh, ini sih berlebihan. Yang menyambutku adalah kedua mertuaku, kakak ipar dan adik-adik iparku. Entah kenapa aku berkaca-kaca hari itu, aku pun terharu.

"Jung Ji Moon, welcome again," kata Tuan Hendrajaya. 

"Moon? Selamat datang di keluarga kami," kata Nyonya Hendrajaya. Keningku dicium olehnya. Aku pun menangis. "Kenapa menangis?"

"Aku baru saja kehilangan ibuku, dan sekarang aku punya ibu lagi," kataku. 

Aku dipeluk oleh ibunya Hiro ini, "Sudah, sudah, sudah, iya. Aku akan jadi ibumu setelah ini. Kamu akan aku anggap sebagai anakku sendiri."

Setelah itu saudara-saudaranya Hiro menyambutku. Aku sedikit tersenyum dengan kehadiran keponakanku Hana yang masih kecil. Dia selalu tersenyum ketika melihatku. 

Han-Jeong digendong oleh Hiro. 

"Mas, nih! Anakku nih!" kata Hiro.

"Hah? Sudah punya anak kalian?" tanya Faiz jr. "Hmm...nakal juga ya kalian ternyata."

Aku dan Hiro tertawa. 

"Han-Jeong, sapa dong," kata Hiro.

"Heokseo," kata Han-Jeong. "Apa kabar?"

"Baik, iihhh...imutnya sini, sini aku gendong," tampak Devita berusaha merebut Han-Jeong dari Hiro. Tapi Han-Jeong tak mau. 

"Hihihi, nggak mau lepas dari papanya," kata Hiro.

"Yuk, ke rumah," ajak Tuan Hendrajaya. 

Kami pun keluar dari Bandara Halim menuju ke rumah Hiro. Selama perjalanan tampak Han-Jeong sangat bersemangat. Ia tak sabar melihat rumah barunya. Ketika kami melewati sebuah hotel yang pernah kami buat check-in, Hiro kemudian berbisik, "Disitu ya tempat kita buat Han-Jeong?" katanya sambil menjulurkan lidah.

"Kenapa? Kepingin lagi?" tanyaku.

"Kalau kamu nggak keberatan," katanya. 

"Aku sih nggak," kataku. 

"Ngomong-ngomong, semenjak menikah aku belum pernah...," Hiro tak melanjutkan.

"Belum apa?" tanyaku pura-pura tak tahu.

"Kamu masih belum siap?" tanya Hiro balik. 

Aku tak menjawab. Aku takut. Aku masih belum siap disentuh Hiro. Aku takut ia tak suka melihatku yang hanya punya sebelah kaki. Dia lalu memelukku. 

"Kalau kamu belum siap tak apa-apa," katanya. 

"Maafkan aku Hiro," bisiknya. "Aku belum bisa jadi wanita yang sempurna untukmu."

"Eomma, wae sogsag-ineun? (Ibu, kenapa kalian berbisik-bisik)" tanya Han-Jeong.

"Gwaenjana (Tidak mengapa)," kataku. 

Hiro memelukku erat dan mencium keningku. 

Tak berapa lama kemudian kami sudah sampai di rumah Hiro. Hmm...rumahnya beda. Tentu saja dulu kan aku nginapnya di rumahnya Faiz junior. Ini adalah rumah Hiro yang sebenarnya. Besar sekali. Aku bahkan mengira ini itu puri bukan rumah. Halamannya luas melingkar. Tapi bentuknya mirip dengan rumahnya Faiz junior. Ada kolam ikan di halaman depan. 

"Kak Moon, selamat datang di rumahku," kata Rara.

"Turun bentar yuk, habis itu kita pulang," kata Hiro.

"Lho, kita ndak tinggal di sini?" tanyaku.

"Nggak dong, inikan rumahnya ayah, aku sudah beli rumah khusus untuk kita berdua," kata Hiro. 

Mungkin karena hidup dengan kesederhanaan selama ini, aku menganggap rumah Hiro ini terlalu besar untuk aku tinggali. Tapi kalau dia mengatakan punya rumah untuk kita berdua, aku semakin penasaran. Setelah turun dari mobil, maka kami pun masuk ke rumah itu. Benar sekali sangat besar. Aku tak menyangka Hiro tinggal lama di sini. Dari kecil sampai dewasa. 

Hari itu aku dijamu seperti putri raja. Aku senang sekali mengetahui bahwa ternyata mereka menyambutku hangat. Setelah ramah tamah dan makan siang, akhirnya aku dan Hiro serta Han-Jeong pun pergi dengan diantar sopir ke rumah kami yang baru. Dan....aku terkejut. Benar-benar tak menyangka. Rumah Hiro lebih kecil daripada yang aku sangka. 

"Kamu tak salah?" tanyaku.

"Kenapa?" tanyanya.

"Beda jauh sekali dengan rumah orang tuamu," jawabku.

"Aku memang mampunya segini koq. Ini aku beli dengan kerja kerasku. Selama kuliah aku juga mengumpulkan uang. Sebab keluargaku tak pernah memberikan uang yang lebih, untuk makan aku harus cari sendiri. Kecuali keperluan lain yang berhubungan dengan kuliah maka ayahku memang akan memberikanku uang. Dan aku juga tak menyangka bisa punya rumah ini dengan hasil kerja kerasku sendiri. Ah, dibandingin gajimu sebagai agen, pasti ini tak seberapa," kata Hiro.

"Sejujurnya uang pensiunnya aku gunakan untuk merawat Han-Jeong. Aku sudah bekerja juga sebagai penjual bunga di tempatnya Bae," kataku.

"Oh iya, kamu sudah cerita, maaf," kata Hiro. 

"Nggak apa-apa, Han-Jeong gaja!" aku ajak Han-Jeong. Dia lalu keluar dulu. Hiro membantuku memakai kursi roda. Kulihat sebuah mobil di garasi. Mobilnya MPV. 

"Mobilmu?" tanyaku. 

"Iya," jawabnya.

"MPV? Aneh deh, biasanya kamu seneng banget naik sedan. Kenapa beli MPV?" tanyaku.

"Kan kita nanti mau punya banyak anak, ya wajar dong gedhe mobilnya," kata Hiro nyengir. 

Aku menggeleng-geleng. 

"Oh iya, langsung kembali saja pak, sampai sini aja," ujar Hiro ke sopir yang mengantarnya tadi setelah barang-barangku dikeluarkan. 

Iya, rumahnya kecil, tapi tidak kecil banget sih. Tipenya mungkin tipe 54. Ada empat kamar, ruang keluarga, ruang tamu tak ada lantai dua, semuanya satu lantai. Halamannya juga luas. Terlihat masih belum ditanami apapun. 

Inilah tempat tinggalku sekarang. Suka atau tidak, aku akan tinggal di tempat ini.

****

Malam pun berlalu. Han-Jeong sudah tidur di kamarnya. Sepertinya ia kecapekan. Aku berdiri satu kaki dengan bantuan tongkat. Aku melihat diriku dicermin. Tubuhku terlihat kurus ya ternyata. Aku hampir tak pernah melihat diriku sendiri di cermin. Hiro masuk ke kamar. Dia memakai kaos dan celana pendek. Oh iya, aku lupa kalau kami akan tidur satu ranjang malam ini. Aku masih malu dengan tubuhku. Hiro berdiri di belakangku. 

Ia menarik pelan tongkatku. 

"Jangan Hiro!" kataku.

Aku ditangkapnya. "Sudah aku bilang, kalau kamu tak punya kaki aku akan jadi kakimu."

"Tapi....," bibirku sudah dikecupnya. Diletakkannya tongkat itu bersandar di lemari. Aku lalu digendongnya dan dibaringkan di atas ranjang. Aku memejamkan mataku menikmati setiap cumbuan bibirnya. Aku sudah lama tak mencium pangeranku ini. Kemudian dia lepaskan. Dia mengusap-usap rambutku. Aku waktu itu memakai piyama tidur yang tipis. Bahkan aku tak memakai bra. Hiro bahkan bisa melihat putingku yang menonjol. 

"Kamu sudah siap?" tanyanya. 

"Hiro, jangan marah kepadaku ya," kataku.

"Aku tak marah koq," katanya. 

"Maafkan aku, aku masih tegang. Aku belum siap," kataku.

"Baiklah tak apa-apa," katanya. 

Kami berpandangan lama sekali dan saling membelai wajah kami. Lama-lama bibir kami bertemu lagi, kali ini ciumannya sedikit lama. Dan Hiro meremas payudaraku. Jemarinya itu menggelitiki putingku. Dan birahiku pun naik. Hiro paling tahu cara menaikkan birahiku.

"Hiro....," keluhku. "Aku malu Hiro."

"Tak perlu malu, please biarkan aku memberikan cintaku kepadamu malam ini," kata Hiro. 

Oh, aku tak bisa menolaknya. Aku hanya memejamkan mataku. Hiro sudah melepaskan kancing piyamaku satu persatu. Dan dia langsung mengenyot payudaraku. Ohh...Payudaraku dipilinnya dengan bibir. Lebih lagi ia menghisap-isap. Ohh...aku sudah lama ingin merasakannya. Hiro mulai melepaskan piyama atasku. Lalu turun dia mulai mengelamuti perutku bagian bawah. Ahh...lidahnya mulai menarinari di sana. celana piyamaku pun dilepasnya. Tidaaaaaakk.....Hiro aku malu kamu melihat kakiku. 

Aku lalu membuka mataku. Hiro ternyata sudah telanjang. Dan...dia mengangkat paha kananku. Dia melihat kaki kananku yang terpotong itu. Sebuah kerutan-kerutan di bekas potongannya. Ia amati seksama kerutan-kerutan itu. Aku meneteskan air mata, tapi...dia....menciumnya. Ohhh...Hiro...jangan...

"Jangan Hiro!..." pintaku.

"Tak apa-apa, aku mencintainya. Mencintai sepenuhnya apa yang ada pada dirimu," kata Hiro. 

Entah kenapa kata-katanya itu merangsangku. Aku pun basah. Hiro terus menciumi bagian kakiku yang terpotong itu. Hiro, tahukah kamu. Aku saat ini sangat gembira? Gembira sekali bahwa kamu mau menerimaku apa adanya? Aku bisa melihatnya kamu sangat mencintaiku. Mau menerimaku. 

"Hiro, aku siap, masukkan! masukkan!" pintaku. 

Ia mengerti. 

Ia angat kedua paha kakiku ke atas. Penisnya sudah ditempatkan tepat di bibir kemaluanku. Aku bisa melihat semuanya. Aku tak akan malu lagi kepada Hiro. Sebab dia mencintaiku, sangat mencintaiku.

"Kamu basah sekali Moon," katanya. 

"Iya," kataku.

Perlahan-lahan Hiro mulai masuk. Kemaluanku pun rasanya geli dan nikmat. Oh tidak, aku serasa ditusuk oleh sesuatu yang lembut dan nikmat sekaligus. Hiro pun bergoyang sambil menindihku. Mata kami saling berpandangan. Lalu berciuman. Aku kembali merasakan ditusuk lagi oleh daging keras miliknya. Urat-uratnya masih seperti dulu, menggelitik rongga kemaluanku. Dan di dalam rahimku kurasakan kepala penisnya menggelitik, memberikan efek yang luar biasa. Sukar kuungkapkan dengan kata-kata. 

Hiro pandai memberlakukan aku. Ia tak terburu-buru. Digoyangnya pantatnya dengan lembut. Kami saling menikmati bercinta seperti ini. Saling melumat, dan saling menekan selakangan kami. Punyaku sangat becek. Dan Hiro mulai nakal. Dia menghisap leherku. Ahhh.....reflek kemaluanku menjepit penisnya.

"Aahhh...Mooon!" keluhnya. Dia tak menghentikannya malah mengulanginya lagi. Dan kini ia hisap yang lama leherku. Membuat aku menggoyang-goyangkan pantatku dan kemaluanku makin menjepit penisnya. Ia pasti merasakan ngilu-ngilu nikmat. 

Ia lalu menyudahinya. "Aku tahu semua titik sensitifmu. Kamu hampir ya?"

Aku mengangguk dan tiba-tiba ia bergoyang agak cepat. Aaaahhkkk...Dan jebollah pertahananku. Kutekan pantatku ke atas. Aku menggeliat ingin kemaluannya terus masuk ke dalam. Lalu aku lemas sambil terus memeluknya. Ternyata Hiro tak merubah posisinya. 

"Aku lebih suka dengan posisi ini sebenarnya. Karena aku bisa melihat wajahmu," kata Hiro. "Aku ingin melihat wajah bidadariku terus."

"Ohh...Hiro..," keluhku. Kuciumi wajahnya. Ia menggoyang lagi.

Hiro menggenjot dengan irama pelan, tapi ia sengaja menyentuhkan pangkal kemaluannya hingga bergesekan dengan klitorisku. Aku pun ingin melayang rasanya. Penuh sekali penisnya masuk. Aku mencoba untuk rileks, ya sangat rileks. Dan...hanya dengan beberapa kali genjotan kembali pantatku bergetar orgasme.

"Hirooo...aku keluar terus," kataku mengeluh. "Sudah Hiro, aku capek."

Tapi Hiro tak mempedulikanku, kali ini dengan jurusnya menjilati dan menghisap ketiakku. "AAAAAARRHHHH!" aku menjerit. keluar lagi deh...aku makin malu. ia pasti melihat wajahku memerah. 

"Banjir banget kamu," katanya. 

"Kamu nakal," kataku. "Aku capek Hiro, terserah deh kamu mau ngapain."

Dengan tiba-tiba Hiro menggenjotku cepat sekali. Aku pun mulai keenakan lagi. Padahal baru saja aku tiga kali orgasme. Kami berciuman hangat, Hiro nafasnya mulai memburu. Kemaluannya makin keras dan ia pun keluar. Kulihat ke bawah. Kemaluannya ia benamkan sedalam-dalamnya. CROOOTTT! CROOTTT! CROOOTT! Spermanya memancar berkali-kali. Banyak dan panas. Rahimku serasa hangat disiram olehnya. 

Ia lalu bergeser ke samping setelah tak ada lagi yang ia keluarkan. Ketika dicabut muncul bunyi CPLUK! Kulihat kemaluannya mengkilat terkena campuran lendir kami berdua. Aku sungguh beruntung punya suami yang tak malu dengan cacatnya sang istri. Aku lalu memeluknya. Kali ini aku tidur tanpa busana lagi setelah terakhir kali melakukannya beberapa tahun yang lalu. Hiro you are my Hero.

****

Dan frekuensi sex kami meningkat. Hampir tiap hari Hiro menggarap aku. Setiap malam dan setiap tidak diketahui oleh Han-Jeong. Dan akhirnya jadi lagi deh. Sebulan aku tak haidh dan mual-mual. Itu pertandanya. Hiro bahagia banget. Dia selalu pulang cepat tak pernah kerja lama-lama di kantor. Han-Jeong juga bahagia punya ayah. Dia mulai menyesuaikan diri dengan bahasa Indonesia. Tapi ia bisa belajar cepat koq. 

Hiro, terima kasih atas semuanya. Engkau memberikanku kehidupan. Memberikanku cinta yang aku tak mungkin bisa membalasnya.

Suatu waktu, setelah Hiro berangkat kerja dan Han-Jeong pergi sekolah. Ada tamu. Aku memperkerjakan seorang pembantu sekarang. Orangnya termasuk ornag yang tekun bekerja dan aku suka. Dia membuka pintu dan langsung menemuiku yang saat itu sedang meninabobokan anak keduaku Ivan. 

"Maaf nyonya, ada tamu," kata pembantuku.

"Siapa ya?" tanyaku.

"Namanya Yunita," jawab pembantuku. Aku kemudian dengan memakai tongkat berjalan ke ruang tamu. Dan di pintu sudah ada seorang gadis cantik, rambutnya agak berombak. Dia melihatku. Sebuah senyum tersungging di bibirnya. 

"Hai, Moon?" sapanya.

"Yunita...?? Yunita siapa ya?" tanyaku.

"Aku dulu temannya Hiro, masih ingat?" tanyanya.

"Astaga iya, aku ingat," kataku. Tentu saja aku ingat. Dia alasan Hiro berubah. Dan alasan aku mengajarkan bagaimana menjadi lelaki sejati kepada Hiro. Dia orang yang dulu disukai Hiro. "Ayo, Masuk!"

Yunita pun masuk. Melihatku memakai tongkat ia sedikit terkejut. 

"Kamu kenapa?" tanyanya. 

"Ah, nggak apa-apa, kecelakaan," jawabku.

Yunita tiba-tiba memelukku. 

"Kenapa?" tanyaku.

"Maafin aku ya Moon, maaaaaf banget," katanya. Ia lalu menciumi pipiku dan keningku. 

"Ada apa sih?" tanyaku.

Kami lalu duduk bersebelahan. 

"Selama ini aku sudah jahat ama kamu. Berusaha merebut Hiro darimu. Bahkan seberapapun aku mencoba agar Hiro tertarik kepadaku tak ada hasilnya. Di dalam hatinya ada kamu, selalu ada kamu," kata Yunita. Tapi ia bicara dengan wajah yang cerah. Seolah-olah apa yang dibicarakannya itu sangat tulus. "Hiro mengajariku untuk mencari cinta yang sejati. Sekarang aku tahu, kenapa Hiro sangat mencintaimu. Dan aku harus mengalah sekarang. Akhirnya alasan itu sudah aku dapatkan, kenapa ia tak pernah bisa melupakanmu. Itu semua karena ini Moon." Yunita menunjuk ke dadaku. 

"Maksudnya bagaimana?" tanyaku.

"Engkau telah mencuri hatinya sejak lama, karena itulah ia tak bisa melupakanmu," katanya. "Dan ini, aku berikan kamu undangan pernikahanku."

Aku mengangkat alis sambil menerima sebuah undangan. Ada nama Yunita dan nama Rosi. "Waaah...selamat ya!"

Yunita mengangguk. "Datang ya Moon. Semoga kalian hidup bahagia. Dan aku tak menyesal menyuruh Hiro untuk ke Seoul mencarimu."

Aku tersenyum. Iya, aku berterima kasih kepadamu Nit. Terima kasih.
NARASI MOON

Aku melihat suamiku di depan tv sambil melihat sebuah berita. Berita tentang Black Knight. Tentu tahulah siapa itu Black Knight. Pahlawan super heroes yang baru. Sebenarnya dia adalah Faiz jr. dengan memakai baju buatan Profesor Andy. Dia menjadi trending topic dimana-mana di Twitter, di Facebook. Bahkan action figured-nya dijual di pasaran dan disukai anak-anak. Anak-anak pun mengidolakan super heroes ini.

Sejak kejadian di KTT G-20 dunia berterima kasih kepada Black Knight. Dan Faiz jr masih menyembunyikan identitas sejati dari Black Knight. Hanya keluarga Hendrajaya saja yang tahu siapa Black Knight itu. 

"Mas Faiz terkenal sekarang, sibuk banget dia pasti," kata Hiro.

Aku menyuapi Ivan. Ia makannya lahap sekali. 

"Kamu kepengen seperti kakakmu?" tanyaku.

"Ogah ah. Lagian dia buat baju itu dengan menjual seperempat perusahaan ayah. Gila banget. Jadi superheroes bukan pilihanku yah, walaupun aku akui Hyper Suit itu keren. Tapi kalau musuhnya masih nggak ada yang seimbang maka Mas Faiz itu tetap orang yang invicible. Nggak terkalahkan."

"Ivan...enak ya? sampai habis ini." aku memberikan suapan terakhir. Kemudian kuberikan botol susu kepadanya. 

Aku menoleh kepada Hiro. Ia memperhatikanku sekarang sambil tersenyum.

"Kenapa senyam-senyum?" tanyaku.

"Hihihi...nggak apa-apa. Hanya takjub aja. Dari agen rahasia tiba-tiba bisa ngurus anak," katanya. 

Aku menjulurkan lidah. "Emangnya mentang-mentang aku jadi agen rahasia nggak bisa ngurus anak gitu? Aku pernah lho, ada misi yang menyamar jadi ibu-ibu. Dan itu pake anak beneran."

Hiro menaikkan alisnya. Ia mungkin terkejut, karena aku tak pernah cerita. Tiba-tiba wajahnya berubah. Ia sepertinya baru saja menemukan sesuatu hal.

"Aha! Itu dia!" tiba-tiba ia beranjak dan langsung memelukku. "Makasih Moon. Mmmmuuuaaccch!" ia mencium keningku lalu pergi.

"Eh, kemana?" tanyaku.

"Ada urusan, oh ya mungkin minggu-minggu ini aku akan lembur," katanya. ANeh. Dia lalu pergi keluar dan menyetir mobil. Dia tak memberitahu mau kemana. 

Beginilah hari-hariku sekarang mengurusi dua orang anak di rumah. Aku jarang keluar. Paling juga kalau keluar pasti ditemani Hiro. Setiap hari hanya berada di halaman menanam bunga, merawat tanaman-tanaman. Dan pembantuku tugasnya membantuku mengurusi rumah, menyapu, mengepel dan membantu mengurusi Ivan. Han-Jeong sudah bisa mengurusi dirinya sendiri. Aku cukup lega. Ia juga tak rewel. Mendapatkan teman-teman baru di Indonesia membuatnya sangat semangat pergi ke sekolah. Terkadang juga beberapa temannya mampir.

Esoknya Hiro bertingkah lebih aneh, "Sayang, ukuran sepatumu berapa ya?"

"Buat apa?"

"Tanya aja sih."

Aku mulai curiga.

"35," jawabku singkat.

"Ukuran celana?" 

"Lihat aja sendiri sana!" 

Suamiku lalu masuk ke kamar. Tak berapa lama kemudian dia keluar. 

"Oh iya, karena aku lembur aku suruh Rara untuk menemanimu. Toh dia habis kuliah belum kerja masih jomblo pula. Biar belajar ngurus anak. Hehehehe," katanya.

Tingkahnya sangat aneh. Apa dia punya selingkuhan? Nggak-nggak. Nggak mungkin. Tapi....aku tak akan heran kalau dia punya selingkuhan. Lelaki mana yang mau beristri dengan orang cacat seperti aku. Hiro, please ya. Jangan tinggalin aku. 

Hari itu Rara datang. Aku agak terkejut juga sih melihat dia. Lama nggak ketemu. 

"Hai Kak Moon?!" sapanya. "Kak Hiro nyuruh aku nemenin kakak nih. Nggak apa-apa kan?"

Aku mengangguk, "Nggak apa-apa koq. Malah aku senang kamu ada."

"Aaaakkk...ini Ivan ya? Aduuuhhh gemeeeess!" Rara mencubiti pipi Ivan. 

Mereka pun kemudian bermain akrab sekali. 

Sehari, dua hari, tiga hari, hampir tiap hari Hiro pulang malam. Aku jadi penasaran. Masa' lembur terus sih. Akhirnya aku iseng saja. Kutelepon kantornya. 

"Halo?!" sapaku.

"Halo? Dengan M-Tech Building ada yang bisa dibantu?" tanya bagian front desk.

"Maaf, bisa disambungkan dengan Hiro Hendrajaya. Saya istrinya," kataku.

"Oh, maaf. Pak Hironya sedang tidak ada bu. Tadi sudah pulang duluan," jawabnya.

"Bukannya lembur?" tanyaku.

"Nggak bu. Pak Hiro selalu pulang tepat waktu, tak pernah lembur," katanya. DEG! Benar kan? Hiro menyembunyikan sesuatu. Aku langsung menutup telepon itu dan menangis. Hiro....kenapa kamu berbohong?? Kamu tak pernah lembur, selalu pulang tepat waktu. Aku mendorong kursi rodaku masuk ke kamar. Aku kemudian beranjak ke tempat tidur. Aku menangis. Siapa wanita itu? Siapa wanita yang sudah merebut hati Hiro??

Hari ini Hiro tidak pulang. Sampai pagi menjelang aku baru mendengar suara mobil terparkir di luar. 

Dia lalu masuk ke kamar. Dia melihatku sudah berada di kursi roda. Aku pasti terlihat buruk. Masih ada air mataku di pipi. Semalaman aku tak tidur karena menangis memikirkan Hiro. Kini dia ada di hadapanku. Aku menatapnya.

"Kenapa kamu menangis?" tanyanya. 

"Aku tahu kamu tak lembur di kantor. Aku tanya di sana, kamu tak pernah lembur, selalu pulang tepat waktu. Apakah ada wanita lain Hiro? Katakan dengan jujur!" kataku.

Hiro lalu menghampiriku dan dia berada di depanku lalu berlutut. Dia tersenyum. Aku melihat kantung matanya. Ia seperti orang yang tidak tidur semalaman. Matanya juga memerah.

"Kamu cemburu?" tanyanya.

"Ya iyalah, aku kan istrimu. Jelas aku cemburu," jawabku. 

"Tak perlu, sebab hanya kamu satu-satunya wanita dalam hidupku. Aku selalu pergi malam karena ini," katanya. Ia menunjukkanku sebuah gelang. "Aku memang tak bisa mempunyai Hyper Suit seperti Mas Faiz. Tapi aku bisa membuat sesuatu yang lain. Ini untukmu. Aku membujuk Profesor Andy untuk membuat ini. Maka dari itulah aku ingin tahu ukuran sepatumu, juga ukuran celanamu."

Apa itu? Sebuah gelang? Hiro lalu memasangkannya tepat di pahaku. 

"Bersiaplah!" kata Hiro. Ia menekan sesuatu di gelang itu. 

Tiba-tiba aku bisa melihat sesuatu yang merambat dari gelang itu. Bentuknya kecil tapi mereka bergerak. Lambat laun mereka membentuk sesuatu, menyulam, membangun dan akhirnya aku tak percaya. Mereka membentuk sebuah kaki. Lalu perlahan-lahan warnanya disesuaikan dengan warna kulitku. Hiro....inikah alasanmu pulang malam??

Aku menggerakkan kaki kananku. Hei..aku bisa menggerakkan jari kakiku. Ini Artificial Leg! Hiro memberikanku artificial leg! Dan aku bisa merasakan semuanya. Seolah-olah ini benar-benar kakiku. 

"Bagaimana, coba kamu berdiri!" kata Hiro. 

Dia berdiri dan mengulurkan tangannya. Aku bingung, takut dan bahagia. Aku pun memegang tangannya. Perlahan-lahan aku pun berdiri. Aku bisa berdiri. Aku bisa berdiri dengan kedua kakiku. 

"Yeeeaaaahhh! Berhasil!" Hiro melompat-lompat. "YES!"

Aku langsung memeluknya, "Suamiku, maafkan aku. Maafkan aku yang sudah salah sangka kepadamu. Sekali lagi maafkan aku."

"Sudah, nggak apa-apa. Aku tahu koq kalau kamu cemburu. Untung saja di rumah ini nggak ada pistol. Kalau ada aku sudah ditembak ama kamu," kata Hiro sambil ngikik. Aku cubit dia. "Aduh!"

Ya, aku punya kaki baru sekarang walaupun dari artificial leg. Ternyata Hiro menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk membuat ini. Sepertinya sudah klop semua hidupku. Memang aku tidak sempurna tapi Hiro menyempurnakanku. Teknologi Nanobot buatan Profesor Andy luar biasa. Aku yakin beliau setelah ini bakal menjadi orang terkenal, apalagi telah menolongku. 

"Oh iya, kamu jangan menendang pake kaki kananmu nanti ya," kata Hiro.

"Kenapa?" tanyaku.

"Sebab, biarpun ini artificial leg, kekuatannya sama seperti Hyper Suit," katanya.

"Ya, aku mengerti. Aku hanya akan menggunakannya ke dirimu kalau nanti kamu selingkuh," kataku sebel. Aku tak menyangka ia memberiku kejutan ini. 

Ia lalu memegang wajahku dan menciumku. Well, paling tidak ciuman dari orang yang dicintai di pagi hari ini adalah salah satu berkah. Matahari pun mulai masuk melalui celah-celah jendela kamar kami. Memberikan bayangan dua orang yang sedang dimabuk cinta berciuman dengan mesranya. Thanks Hiro, Thanks for everything.

NARASI HAN-JEONG

"Han-Jeong!" panggil ibuku.

"Ada apa ma?" seruku dari luar rumah. 

Ibu keluar sambil memberikan uang. "Ini belikan telur organik kalau pulang nanti! Awas kalau sampai lupa!"

"Oke ma, berangkat dulu," kataku. 

Segera aku berangkat. 

"Hati-hati!" kata ibuku. Dia terlalu khawatir denganku. Aku sudah terbiasa pergi ke sekolah dengan sepeda, kenapa juga disuruh hati-hati? Bawel ah.

Semenjak SMA aku sudah tak mau diantar oleh ayah. Beliau sudah berangkat duluan pagi ini bersama Ivan dan Cecilia. Aku enjoy aja dengan sepeda. Bisa menikmati udara pagi yang sejuuuk. 

Butuh waktu kurang lebih lima belas menit hingga aku sampai di sekolah. 

"Hai Han Jeong!" sapa teman-temanku.

"Hai, selamat pagi," kataku.

Akhirnya aku sekolah lagi. Teman sebangkuku menyenggolku. 

"Han Jeong, nanti pulang sekolah ikut yuk!" kata Rita. 

"Kemana?"

"Nonton pertandingan klub basket kita. Jordan main lho," kata Rita.

"Aaaaakkk...Jordan??!" aku sangat gembira. Jordan memang sudah jadi incaran cewek-cewek di sekolah. Dia udah cakep, berbakat lagi. "Mau dong! Mau mau mau!"

Akhirnya singkat cerita kami pun pulang sekolah langsung ke tempat Gelora Sasana Krida. Sebuah tempat di mana di sini diselenggarakan pertandingan basket antar sekolah. Aku dan Rita langsung masuk dan menonton paling depan dong menyemangati sekolah kami. 

"Ayo Jordaaaan! Kamu bisaaaa!" seru teman-teman yang lain yang juga menonton. 

Tampak cheerleaders juga terus menyemangati. Skornya masih imbang 20-20. Disaat enak-enak menonton tiba-tiba M-Tech Phone portableku berbunyi. Segera aku angkat.

"Halo?" sapaku.

"Han-Jeong, di jalan kebangsaan perampok baru saja membobol Bank. Sekarang menuju ke sana!" kata Hana. 

"Hana, aku sedang nonton pertandingan basket niiiih," gerutuku.

"Ayolah Han-Jeong!? Siapa lagi coba yang pake Hyper Suit selain dirimu?" tanya Hana. "Ayahku udah nggak bisa lagi pake itu karena badannya sudah lemah."

"Aaarrrggh..! Baiklah, lagi pula ini sudah nasib jadi super heroes," gerutuku. 

"Han-Jeong mau kemana?" tanya Rita.

"Duty call," kataku.

"Hah?" Rita tak tahu maksudnya. Tentu saja aku tak pernah cerita kalau aku adalah generasi baru Black Knight.

Segera aku keluar dari gedung itu. Kupasang gelang di pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Lalu kupasang belt. Yak aku berubah! 

"SCANNING DNA! DNA Approved!"

"Ya ya ya, DNA Approved. Apa nggak ada cara yang lebih praktis sih?" kataku. Kutekan angka 512. Aku berubah sekarang. Para nanobot membantuku menyulam baju tempur Black Knight. Tadaa! Saatnya bergerak. WUZZZZ! Dalam sekejap aku sudah pergi. 

Aku berlari secepat mungkin hingga eiittt....oh iya, aku lupa belum beli telur organik. Beli dulu ah.

"Han-Jeong?! Kamu ngapain berhenti?" tanya Hana.

"Tenang ajalah ibuku tadi nyuruh aku beli telur!" jawabku enteng. "Toh bentar lagi mereka lewat jalan sini."

"Han-Jeoooonnngg! Serius dong! Darurat ini emergency!" kata Hana.

Aku cuek. Aku masuk ke toko swalayan. Orang-orang terbelalak melihatku masuk toko. Sebagian di antara mereka mulutnya terbuka seperti baru saja melihat setan. Aku mengambil telur dan pergi ke kasir. 

"Berapa?" tanyaku. 

Kasir juga sepertinya melongo tak percaya. "Gratis aja deh mbak."

"Makasih," jawabku. Wah, pake Hyper Suit beli telur gratis. Besok beli pake Hyper Suit lagi ah...

"Han-Jeong, perampoknya!" seru Hana di alat komunikasi.

"Aku tahu!" kataku.

Perampok itu memakai mobil. Dan ia ada di jalan di depan toko swalayan itu. Aku langsung berlari menghadang mobil itu dengan satu tangan BRUAAK! CKIIITTTT! Mobil pun berhenti. Dan orang-orang yang ada di dalamnya terkejut. 

"Kejahatan kalian tidak bisa diampuni. Menyerah!" kataku.

"Kami menyerah!" seru mereka yang ada di dalam mobil serempak.

Aku melihat tanganku yang menahan mobil itu. AAAAAAAARRGHH! Tangan itu kan membawa telur! Hancur semua deh. GOBLOOOK! Aku goblok. 

"Kalian jangan lari kalau lari aku akan potong-potong kalian!" kataku kepada keempat perampok itu.

"I..IYAA!" seru mereka.

Aku pun kembali masuk ke swalayan. "Maaf, telurnya saya boleh ambil lagi?"

Sang kasir menjawab, "I..iya, silakan!"

Para pembeli lainnya cuma melongo melihatku. Aku mengambil telur lalu permisi. Aku melihat polisi pun datang dan meringkus para perampok itu. 

"Terima kasih Black Knight!" seru pak polisi.

"Sama-sama pak!" seruku balik. Aku lalu pergi dengan cepat.

"Han-Jeong, Good work!" kata Hana.

"Yeah," kataku. 

Aku pun pulang ke rumah. Ibu sudah menyambutku. "Mana telurnya?"

"Ini ma," kataku. 

"Bagus," kata ibuku. Kemudian beliau melanjutkan pergi ke dapur. Fiyuuh...untung selamat. "Sepedamu kemana? rusak?"

"Oh iyaaa, lupa," kataku. Aku kan tadi langsung pulang nggak kembali ke Gedung olahraga. Gimana sih? Sepedaku ada di sana.

"Lho, Han-Jeong ibu bilang telur organik! Kamu koq beli telur asin siih??!" gerutu ibuku. Oh tidak. Ia akan marah besar. Aku pun segera berlari keluar rumah.

"Iya ma, aku akan beli lagi telurnya!" kataku. 

"Han-Jeooonngg!"

Aku pun lari membeli telur lagi dan mengambil sepedaku. Paling tidak jangan sampai ibu marah lagi. Arghh...bodohnya aku.


End of Story

0 Response to "Cerita Dewasa Si Rambut Merah Bonus Chapter"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel