Cerita Dewasa Si Rambut Merah Episode 11

NOooo!

NARASI HIRO


Aku menciumi Moon. Lebih dari itu kami french kiss. Aku berada di bawah guyuran hujan. Saling membelai saling meraba, bercumbu di sebuah atap gedung yang tak terpakai. Aku memejamkan mata menikmati setiap sentuhan. Baju Moon sudah basah, menampakkan lekuk tubuhnya yang seksi. Aku pun jadi lebih bernafsu dengan dirinya. 

"Ohh...Hiro," desahnya. 

Awalnya adalah kami mencari tempat untuk berlatih. Untunglah aku menemukan sebuah gedung tua yang tak terpakai. Kami di sini akan berlatih bertarung. Intinya jangan sampai diketahui umum. Aku diajari oleh Moon cara menggunakan pisau, juga cara menggunakan pedang. Entah benda-benda seperti itu bagaimana bisa ia mendapatkannya. 

"Fisikmu sudah terlatih Hiro, sekarang waktunya berlatih bertarung. Ayo! Serang aku!" katanya. 

Aku pun menerjangnya tapi pukulanku memang tak begitu keras karena tak tega memukulnya. Dia dengan mudah menangkap tanganku dan langsung membantingku. BRUK!

"Aawww....," sakit banget.

"Yang sungguh-sungguh, anggap aku sebagai musuhmu!" kata Moon.

"Bagaimana bisa?" tanyaku.

Tiba-tiba Moon maju dan akan menginjakku, aku segera berkelit. Kini aku sudah kembali berdiri. Dia sungguh-sungguh. Baiklah, dalam bertarung ada kuda-kuda khusus nggak sih? Aku tak pernah belajar beladiri. OK, aku tiru saja kuda-kudanya Moon. Kedua tangan berada di depan dada. Tubuh miring ke kiri. Kaki terbuka lebar. 

Moon bergerak lagi kini entah bagaimana sudah ada di bawah dan DUESSHH! AKu kena uppercut. Gigi atas dan gigi bawahku berbenturan hebat. Aku untuk sesaat pusing dan hilang keseimbangan, keras sekali pukulannya. Hampir saja aku jatuh tapi aku hentakkan kakikku kuat-kuat. Pandanganku masih berputar. Ini cewek, pukulannya sekeras ini.

Moon kembali maju. Aku mencoba memukulnya. Eh, dia bisa menangkap pukulanku, dan BUK! Ugh...kena ulu hatiku. Aku langsung ambruk, meringis. 

"Cara mukul kamu bukan begitu Hiro. Lihat aku!" Moon memperagakan cara memukul. "Ketika memukul kepalkan tangan seperti ini. Tekuk jari-jarimu! Letakkan ujung jari telapak tangan di pangkal masing-masing ruas jari, lalu kepalkan tanganmu. Inilah cara untuk mengepalkan tangan. Kedua, ketika memukul kerahkan energi dari pundakmu, selain dari tanganmu tentunya. Hal ini akan menimbulkan efek yang luar biasa. Kalau kamu ingin lebih tambahkan energi tubuhmu. Dan kakimu jadikan kakimu yang paling kuat sebagai tumpuan. Seperti ini!"

WHUZZ! Moon memperagakan cara memukul. Gila, aku bisa dengar angin berhembus dari pukulannya. 

Setelah rasa sakitku reda, aku mencoba meniru gerakan Moon. Ya, aku bisa merasakan energi dari pukulanku dengan cara seperti ini. Aku sendiri tak percaya. 

"Dalam berkelahi yang nomor satu adalah kecepatan. Seberapapun kuat dirimu, tapi kalau kamu lambat, kau hanya akan jadi bulan-bulanan saja. Kedua, pertahanan. Cara bertahan adalah dengan mengangkat kedua lenganmu sejajar dengan kepalamu. Cara ini biasanya dipakai oleh para petinju. Selain itu cara bertahan yang lain adalah dengan kaki. Kamu bisa menaikkan salah satu kakimu untuk memberikan efek pertahanan yang lebih kuat," Moon memperagakan bagaimana cara bertahan dengan tangan dan kaki. Luar biasa. Aku pun menirukan gerakannya. 

"Sekarang, coba lawan aku lagi!" kata Moon. 

Aku sekarang mencoba sungguh-sungguh untuk memukulnya. Dia menangkis. Oh iya, refleknya bagus, dia kemudian membalas, aku menangkis. Selama beberapa waktu kami saling memukul, menangkis, membalas, menendang dan lagi-lagi tanganku bisa ditankap dan dibanting. Tapi aku langsung berdiri dan menyerangnya balik. 

Selama sepuluh menit sparring, aku tak pernah menyentuh Moon. Padahal aku sudah sungguh-sungguh. Selain gerakan-gerakan di atas, aku juga diajarkan cara melemparkan pisau. Lalu cara menggunakan pedang. Ia memamerkanku cara menggunakan samurai. Aku pun belajar menggunakan pedang kayu. Dia memukulku berkali-kali dengan pedang kayunya. Akibatnya sukses tubuhku lebam-lebam. Dari perut, dadaku, lengan, sampai membekas biru di beberapa tempat. 

"Bagaimana latihannya cukup?" tanyanya. 

"Aku masih kuat," kataku. Padahal nafas sudah ngos-ngosan. 

Langit mulai gelap, hari masih sore padahal, tapi sudah seperti malam. Kemudian tiba-tiba hujan pun turun. Awalnya cuma rintik-rintik lalu deras. Bahkan sekarang disertai angin. Aku dan Moon kembali bertarung dengan pedang kayu. PLETAK! kena kepalaku. Percuma mengaduh. Aku langsung serang Moon lagi. Kali ini aku merendah, karena Moon lebih banyak mengambil sikap berdiri dengan pedang mengacung ke arahku. Dengan cara ini aku merayap dengan cepat ke sampingnya. Ia agak terkejut dengan gerakanku. Dan sebelum ia sempat bertahan, aku sudah menebas perutnya. BUK! Kibasan butiran air hujan meninggalkan jejak yang jelas seperti darah yang muncrat dari luka yang baru saja ditebas oleh pedang. 

Moon pun terjatuh sambil memegang perutnya. Aku segera melepaskan pedangku dan menolong Moon. 

"Moon! Moon! Kamu tak apa-apa?" tanyaku. 

Dia meringis tapi sambil tersenyum, "Tak apa-apa, itu tadi mengejutkanku. Aku tak pernah mengajarkan gerakan seperti itu."

"Maaf, tapi itu tadi insting saja," jawabku. "Boleh aku lihat lukanya?"

Moon mengangguk. Aku menaikkan kaosnya yang basah kuyup karena hujan itu. Ada luka memar memanjang di perutnya. Moon bangkit, aku lalu menciumi luka itu.

"Ohh...Hiro, jangan!" katanya. 

Aku tak pedulikan kuciumi lukanya, di atas luka lebam itu aku melihat sebuah lukanya yang lain. Bekas tertembus peluru. Moon menggelinjang. Ia meremas kepalaku. 

Kami kemudian berdiri berhadapan. Moon menjatuhkan pedang kayunya. Dengan guyuran hujan entah kenapa tiba-tiba saja aku benar-benar menginginkannya sekarang. Aku pun menciumnya, melumat bibirnya. Lidah kami berpanggut. Kami saling membelai meraba. Aku pun meremas dadanya yang masih terbungkus bra itu. Bra adikku itu ternyata tak cukup untuk menampung dadanya, aku menariknya ke atas. Payudaranya pun seperti kepingin lolos begitu saja. 

Aku bahkan sampai tak peduli ada geledek nyamber di dekat kami. Sensasinya dingin-dingin gimana gitu. Moon kemudian naik ke tubuhku. Aku menggendongnya hingga sampai ke sebuah tembok. Aku kemudian menghisap dadanya. Aku hisap putingnya. Dengan air hujan ditubuhnya rasanya sedikit tawar. 

"Hirooo...uhgghh...aahhh..," keluhnya. 

Aku lalu menuju ke bawah. Karena dia memakai legging ketat maka dengan satu gerakan dengan mudah aku sudah melepaskan celananya, sekaligus celana dalamnya. Rambut kemaluannya basah terkena air hujan. Kutangkap butiran-butiran air itu dengan mulutku. Dan aku ciumi kemaluannya.

"Hiroooo.....hhhhmmmmhhh," dia mendesah lagi. 

Aku kemudian menjilati kemaluannya, sensasinya unik, karena kami diguyur hujan. Bagaikan menyelam di dalam kolam. Moon mulai lemas. Terlebih aku sekarang menjilati juga pahanya, kuciumi dan kuhisap. Pinggangnya bergetar. Aku lalu berdiri menurunkan celana trainingku. Punyaku sudah tegang dan mengacung seperti senapan AK47. 

Aku lalu menciumi leher Moon, ini adalah titik sensitifnya, sebab setiap kali aku cium ia selalu menghindar dengan alasan, "Aku tak kuat kalau dicium di situ." Kali ini aku menciumnya, kujilati sampai mendekati telinganya. 

"Tidak Hirooo....aku tak tahan digituin. Please come in!" katanya sambil meremas-remas batang kemaluanku yang makin mengeras. 

Aku lalu mengangkat salah satu kakinya dan kumajukan selakanganku ke arah kemaluannya. Pionku dengan mudah masuk. SLEBBB! uuugghh....nikmat sekali. Moon memelukku. Pantatku pun bergerak maju mundur. Penisku menusuk-nusuk kemaluannya yang becek dengan campuran lendir dan air hujan. Hawa dingin sudah tak terasa lagi, yang ada adalah hawa panas dari tubuh kami berdua. 

"Ahhh...ahh...ahhh..ohhhh..oohh...Hirooo...hhhmmm, " Moon kembali melenguh. 

Geli sekali penisku dengan posisi seperti ini. Baru kali ini aku bercinta berdiri seperti ini. Kemudian Moon mendorongku dan dia berbalik. Ia menungging. Aku pun mengerti. Lalu aku menancapkan kemaluanku. SLEBB! OUuggh...kemaluan Moon seperti menjepitku. Aku seperti diremas-remas. Tidak hanya itu semakin aku goyang semakin nikmat pantatnya yang seksi itu selalu membuatku ketagihan. Aku ingin terus dan terus menggoyangnya. Ahhh...nikmat sekali.

Aku melakukannya sambil memegan toket miliknya. Putingnya kupijit-pijit. 

"Ahh..Ahh..aaahh....AAHH!" tiba-tiba Moon tersentak. "I'm cumming Hiro...Ohh...!"

Moon mengejang. Batang kemaluanku serasa dijepit. Ahh...serr...serr...ada cairan yang keluar dari kemaluannya. Kemudian ia berbalik ke aku. 

"Kamu belum ya?" tanyanya. 

"Belum," jawabku. 

Kini Moon berbaring di lantai atap gedung. Aku menciuminya. Kuposisikan diriku seperti push up. 

"Kamu mau push up?" tanyanya. 

"Aku belum pernah push-up sambil bercinta, boleh?" tanyaku.

Ia mengangguk, "Tapi aku sepertinya lemas sekali. Entah kenapa orgasmeku begitu cepat."

Kedua tangan Moon terlentang ke atas. Aku menciumi ketiaknya. Ia menjerit. "Hirooo, please don't! Kelemahanku adalah leherku dan ketiakku. Aku tak akan kuasa kalau kamu lakukan itu. Aku bisa menjerit lagi."

Aku tak tahu kalau ia bicara sejujur itu. Aku pun mencium dan menjilati ketiaknya yang putih itu. Ia menjerit. Penisku langsung masuk begitu saja ke vaginanya. Tiba-tiba Moon memelukku. Heh? Kemaluannya berkedut-kedut, ia keluar lagi???

"Hiroo! What I tell you don't do it. I'm cumming again!" katanya sambil mencubitku. 

Aku tersenyum. Aku menciuminya lagi. 

"Ahh...I'm so tired!" katanya. Ia memejamkan mata. "Do whatever you want."

Aku masih menggenjotnya. Penisku keluar masuk, naik turun. Entah kenapa makin lama kemaluannya makin seret aja rasanya. Moon masih memejamkan mata. Lalu aku hanya bisa mendengar derasan air hujan dan kecipak bunyi kemaluan kami. Beberapa saat kemudian aku ingin sekali keluar...AAHhh....

"Moon! AKu ingin sampe!" kataku. Aku percepat ritme push upku. Kali ini hanya pinggulku yang naik turun. Dan...aku pun meledak. Spermaku muncrat keluar, tapi ada yang aneh. Moon menatap aku dengan pandangan aneh.

"APA YANG KAMU LAKUKAAAAN???!" teriaknya. 

What the fuck???!

Tubuhku didorongnya. Aku tentu saja kaget. Moon segera berdiri. 

"Oh tidak, tidak, tidak, tidak!" ujarnya. 

"Moon?!" kataku.

"Aku Devita! Bukan Moon!" katanya. 

"Oh great," kataku. "Sorry, aku..aku tak..bermaksud. Tadi soalnya aku sama Moon...."

Moon sekarang sedang berpindah ke kepribadian Devita. Jadi Moon tadi tertidur? Dan sekarang jadi Devita? Langsung deh penisku menyusut. Devita pun menangis. 

"Kenapa? Kenapa?" dia menangis. Aku jadi bingung sekarang. Memang itu tubuh Moon, tapi sekarang memory Devita mengambil alihnya. OK, this is fucked up. This is a mess. 

"Maaf, aku tak tahu tadi," kataku.

Devita dengan tubuh Moon mulai memakai bajunya dan membenahi bajunya lagi. Dia mendekat kepadaku dan menamparku sekuat-kuatnya. Aku sampai terhuyung. 

"Kalau kamu cerita ini ke Faiz, aku akan membunuhmu. Aku tak peduli kamu adiknya Faiz atau bukan," katanya. Setelah itu ia pergi keluar gedung.

"Fuck! Shit!"
Crying

NARASI DEVITA


Kenapa? Kenapa aku harus sadar ketika mereka berdua sedang bercinta? Kenapa? Jung Ji Moon? Jung Ji Moon? Banguun! Banguun! Sialan kenapa dia tidak bangun? Aku langsung masuk ke kamarnya Faiz. Di sana tidak ada dirinya. Kemana dia? Aku hanya bisa memandang tubuhku sendiri, tubuhku yang koma tak bergerak. Aku bingung sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Aku telah melanggar janjiku sendiri untuk setia kepada Faiz. Tapi...kan bukan salahku juga, aku tiba-tiba tersadar saat mereka sedang bercinta. Tapi, tapi...tapi.....

Aku tak mengelak. Aku benar-benar tersadar saat Hiro memuntahkan spermanya ke dalam rahimnya Jung Ji Moon. Dan aku bisa merasakan bagaimana kerasnya kemaluan Hiro saat itu. Bagaimana juga hangatnya spermanya membasahi rahimnya Jung Ji Moon. Sama seperti ketika aku merasakan bagaimana kerasnya kemaluan Faiz ketika orgasme. 

Aku rindu sekali dengan Faiz. Tapi hanya gara-gara aku di tubuhnya Moon, dia tak mau menyentuhku. Padahal selama ini aku selalu menunggu saat-saat bersama dengan dirinya. Dan kenapa ketika aku baru saja berjumpa dengan ia harus mengalami hal seperti ini? Aku adalah seorang wanita, aku punya perasaan. Dan ketika kamu tak menyentuhku itu sakit. Aku seolah-olah kamu singkirkan. Apakah yang menghalangimu Faiz? Apakah tubuh ini? Padahal aku ada di sini. Kenapa hanya perkara tubuh ini saja kamu seperti itu? 

Aku menangis, menangis hari itu. Rasanya aku ingin tidur lagi dan terlelap, sehingga Moon saja yang bangun terus sekarang. Tapi...tidak, kalau aku lebih banyak bertemu dengan Faiz, mungkin semuanya akan berbeda. Iya, aku ingin terus bersama Faiz, aku ingin terjaga terus, aku tidak boleh tidur. Aku tidak boleh tidur. 

***

NARASI FAIZ Jr.

Aku baru saja dari Profesor Andy melihat perkembangan Hyper Suit dan ternyata hasilnya di luar dugaan. Keren sekali. Dan aku pun mencobanya. Profesor Andy mulai sedikit berubah sikapnya. Uang yang aku berikan rupanya benar-benar membuat perubahan. Rumahnya lebih rapi. Taman-tamannya mulai dibersihkan. Aku memang menyuruh orang untuk membersihkan rumahnya dan rumah kacanya. Walapun orangnya tidak suka aku berbuat seperti itu tapi ia membiarkanku. 

Profesor memberikanku 4 buah gelang. Dan satu set ikat pinggang. 

"Apa ini?" tanyaku.

"Begini, karena ini adalah baju tempur masa depan. Sengaja aku buat seperti ini. Kamu tentu pernah tahu film-film futuristik tentang Kamen Rider, Iron Man dan lain-lainnya?" 

"Iya, saya tahu."

"Jangan kau kira cerita fiksi itu bisa diterapkan di dunia nyata. Jauh! Tapi aku punya kejutan untukmu. Hyper Suit bukan sekedar baju tempur biasa. Dia kurancang dengan menggunakan teknologi Nanobot. Silakan pasangkan keempat gelang ini di pergelangan tangan dan pergelangan kakimu."

Aku menurut saja.

"Tak perlu lepas baju?"

"Tak usah. Langsung pakai saja."

Aku pun memasangnya. Ketika aku pakai langsung keempat benda itu menjepit pergelangan tangan dan kakiku. 

"Nah, ikat pinggangnya silakan dipakai di pinggang."

Aku memakainya di pinggang. Langsung saja ikat pinggang itu menjepit pinggangku kuat. 

"Di ikat pinggang itu ada tombol kecil. Itu untuk melepaskannya. Untuk menguncinya tinggal kamu putar bagian tengahnya ke kanan!"

Aku memutar bagian tengah ikat pinggang itu. Bentuknya persegi enam. Ada semacam layar LCD di tengahnya. Begitu aku putar ada bunyi KLIK!

"Scanning DNA!" suara komputer. "DNA approved."

"Scanning DNA??" gumamku.

"Iya, aku menggunakan DNAmu agar hanya kamu saja yang bisa memakainya," jawab Profesor. "Jadi tak sembarangan orang mampu menggunakannya. Kecuali aku tentunya hahahahahahah..."

Aku begidik mendengarkan gelak tawanya. 

"Lalu cara menggunakannya?" tanyaku.

"Gampang, di sabuk itu ada tombol angka satu sampai enam yang memutar di bentuk segi enamnya. Kamu bisa lihat!"

Aku melihat di bagian segi enamnya. Iya, ada angka 1 sampai enam memutar dari atas ke bawah. 

"Tekan 512. Sebenarnya ini kombinasi angka dariku sendiri sih. Kalau kamu ingin diubah aku bisa melakukannya," ujar Profesor.

"Tak apa-apa, baiklah 5...1....2," kutekan tombolnya. 

"Hyper Suit Loading!" suara komputer lagi.

Dari gelang-gelang yang ada di tangan dan kakiku tiba-tiba muncul sesuatu. Seperti sebuah air yang merambat menyelimuti tubuhku. Bukan di situ saja dari sabukku juga. Air berwarna kelabu itu menyelimuti seluruh tubuhku. Bukan, itu bukan air. Aku memicingkan mataku. Aku bisa lihat itu robot! Robot kecil! Robot-robot kecil sebesar tungau yang membentuk sesuatu seperti menyulam baju. Mereka bergerak sangat cepat. Inikah yang disebut Nanobot itu?

"Bagaimana? Impresive?" tanya profesor.

Sekarang tubuhku, kecuali kepalaku terbungkus oleh baju tempur. Aku tak bisa melihatnya penuh. Profesor Andy mengerti. Lalu dia membawakanku cermin. Aku disuruh untuk melihat penampilanku. No Shit! That was awesome!

Diriku kini terbalut sebuah baju yang bisa menampilkan seluruh ototku. Ada garis hitam vertikal dari leherku sampai ke perut. Dan dari ikat pinggangku sampai ke kaki. Di kakiku sendiri sudah terbentuk semacam sepatu boot. Tanganku pun total terbungkus seperti sarung tangan. Bentuknya sederhana, tidak seperti tokoh serangga Kamen Rider itu. Ini lebih tepatnya seperti baju full press body. Baju itu total menutupi seluruh tubuhku hingga kepala. 

"Prof, kenapa kepalaku tidak ditutupi?" tanyaku.

"Gampang, tekan saja tombol di samping ikat pinggangmu!" kata profesor.

Aku meraba di ikat pinggangku. Ada sebuah tombol lagi. Kutekan. Dan....tiba-tiba mukaku tertutup semua. Sebuah helm? Ya, aku bisa melihat diriku dengan jelas di depan cermin. Sebuah helm menutupi kepalaku. Mataku tertutup kaca berwarna merah. Tak ada celah sama sekali. Tapi, sekalipun tertutup, aku masih bisa bernafas normal. Bahkan aku masih bisa mencium bau ruangan laboratorium ini. 

"Ini luar biasa prof, aku bisa merasakan tekanannya," ujarku gembira.

"Bagus kalau begitu. Aku belum menambahkan fitur alat komunikasi. Hal ini agar kamu bisa berkomunikasi dengan orang lain, mungkin ponsel, bahkan aku bisa saja menambahkan teknologi M-Tech ke baju itu. Itu kalau kamu setuju saja," jelas Profesor.

"Sangat setuju. Lakukan saja. Berapapun aku akan membayarnya," ujarku.

"Terima kasih, tapi apa yang kamu berikan kepadaku sudah cukup. Aku senang sekali hasil karyaku dihargai semahal ini. Faiz, dengarlah!" kini profesor Andy bicara serius.

Aku membuka helmku dengan menekan lagi tombol tadi. Dalam sekejap robot-robot kecil sebesar gurem itu mengurai helm yang tadi membalut kepalaku. 

"Aku tahu siapa musuhmu. Mereka sangat berbahaya. Aku hanya berpesan kepadamu. Kalau kamu bertemu dengan Luke, hajar dia sampai tak bisa melihat hari esok. Aku akan berikan baju ini kepadamu, kupercayakan ini kepadamu," kata profesor Andy dengan mata yang menatap tajam.

"Kau bisa percayakan kepadaku prof. Aku juga punya urusan dengan dia," kataku.

Devita, sebentar lagi. Sebentar lagi aku akan menolongmu. Tunggulah. Aku sudah siap untuk menghajar Luke dan mengembalikan dirimu seperti sedia kala. 

Setelah kunjungan dengan profesor, aku pulang. Semalaman aku berada di rumah profesor sampai pagi. Ketika matahari terbit aku sudah sampai di rumah. Rumah sepi. Ke mana orang-orang? Aku tak melihat mobilnya bunda Iskha. Ibu tampak sedang menyapu halaman, mencabuti rumput.

"Udah pulang Faiz?" tanya beliau.

"Iya bu," jawabku. 

"Kemana bunda Iksha dan yang lain?" tanyaku.

"Ya mereka pulang toh? Lagian Rara dan yang lainnya kan juga harus masuk sekolah. Capek kalau bolak-balik mereka kemari. Mereka cuma nitipin Hiro saja. Hiro tadi kena jewer karena sudah dua minggu membolos," ibu tertawa geli. 

"Jadi?" 

"Jadi...hari ini dia bakal masuk sekolah. Soalnya ibunya nggak memberikan lagi ijin bagi dia untuk tidak masuk."

Aku sedikit tertawa, "Ya sudahlah. AKu mau mandi dulu."

Kulihat Hiro sedang push-up di ruang tamu. 

"Hai, Mas!" sapanya.

"Masuk sekolah?" 

"Ya mau gimana lagi."

Hiro pun berdiri. "Aku mandi dulu."

Aku sebenarnya mengantuk. Ah tapi mending bikin sarapan dulu. Habis itu tidur deh. Lagian perutku belum terisi dari kemarin. Aku pergi ke kamarku dulu melihat keadaan Devita. Oh iya, mulai kemarin aku telah meminta Susan untuk membantuku merawat Devita yang sedang koma. Susan ini anak dari tante Hani. Dia baru lulus perawat sebenarnya langsung aku todong untuk merawat Devita. Sebenarnya hubunganku dengan Tante Hani tak begitu akrab. Karena dia sendiri keluarga jauh. Tapi mau gimana lagi. Lebih baik meminta bantuan dari sanak famili daripada orang lain.

Susan sudah mulai bekerja kemarin ketika aku tinggal. Sekarang aku lihat dia berada di kamarku sambil menonton tv. Kulihat Devita masih tertidur pulas seperti biasa. 

"Hai mas?!" sapa Susan.

"Sudah sarapan?" tanyaku.

"Ah, nanti saja," jawabnya. 

Aku meletakkan jaketku ke gantungan baju. 

"Mas Faiz, mau ganti baju? Aku keluar dulu kalau gitu," katanya.

"Nggak, nggak usah. Kamu di sini saja. Tugasmu menjaga Devita. Aku ambil bajuku saja," kataku.

Aku membuka lemari bajuku dan mengambil baju untuk kupakai di rumah. Kemudian aku pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Setiap kamar di rumah ini punya kamar mandi di dalam jadi tak perlu repot antri. Setelah ganti baju sekalian mandi aku pun keluar. Kubawa bajuku untuk aku taruh di laundry. 

Setelah itu aku berniat bikin sarapan di dapur. Eh, di sana sudah ada Jung Ji Moon. Tumben dia masak. Yang kutahu agen rahasia NIS ini tak bisa masak. Begitu masuk dapur aku langsung di sapa olehnya.

"Hai sayang, baru pulang?" sapanya.

"Sayang? Kamu???"

"Ini aku Dede," katanya.

OK, ini aneh. Bagaimana mungkin dia Devita? Harusnya sekarang dia berubah jadi Jung Ji Moon. 

"Serius?" tanyaku.

"Iya. Aku bantu bikin sarapan ya?"

"OK," jawabku. 

Aku pun membantu dia membuat sarapan. Membikin omelet, Poach Egg dan Smash Potatto. Dan yang terakhir aku memasak air untuk aku buat kopi. Saat itulah sesuatu yang tak terduga terjadi. Moon dengan kepribadian Devita tiba-tiba berlutut di hadapanku. 

"Kamu ngapain?" tanyaku. 

Dia menempelkan jari telunjuknya ke bibir. "Ssshh..."

Dalam sekejap ia menurunkan celanaku, hingga melihat kemaluanku yang masih tidur. 

"Dede, jangan! Kamu gila apa? Kalau ada yang tau gimana?"

Dia tak mempedulikanku. Punyaku digenggamnya dan dikocoknya. Walaupun dia bertubuh Moon, tapi perlakuannya membuat penisku ereksi juga. Sedikit demi sedikit mulai bangun. Dan....HAP...penisku ditangkap oleh mulutnya. Ia menyedot-nyedot dan mengulumnya. OOhhhh....fuck...kalau sudah begini, mau dia Devita atau bukan tetep saja rasanya nikmat. Saat itulah Hiro tiba-tiba muncul. 

"Hai Mas?!" sapanya. "Nggak lihat Jung Ji Moon?"

Aku melirik ke bawah. Moon menggeleng. Gila apa aku bilang dia ada di bawahku sedang memberikan service?

"Oh, nggak. Aku nggak tau," jawabku.

"Oh ya sudah. Masak apa nih?" tanyanya. 

"Bikin omelet, poach...," gilaaaaakkk...punyaku digelitiki, bikin geli."...Egg, sama...smash potatto. Nih...!"

"Kenapa mas?"

"Oh, nggak apa-apa. Ambil nih semua!" kataku sambil menyerahkan piring-piring berisikan makanan ke arahnya. Hiro tentu saja tak melihat Moon karena dapurku tertutup setengah badan. Dari luar akan tampak aku saja sendirian di dapur, tapi di bawah siapa yang tahu.

Hiro menerima piring-piring itu. Setelah itu ia pergi ke meja makan. Kuluman Moon..eh..Devita mulai menggila. Kepalanya maju mundur, penisku benar-benar keras sekarang. Aku meremas rambutnya dan kuacak-acak. Enak banget. Lagian gara-gara kentang kemarin, sewaktu dia menggodaku, penisku kepingin muntah sekarang. Di mengocok dengan cepat batang kemaluanku. Pinggulku juga bergoyang hebat. Daannnn.....Aku pun sampai. Spermaku menyembur dimulutnya. Ehh...dia telan?

"Tunggu, tunggu, itu tubuh Moon. Devita kamu gila!" bisikku. Ia menyedoti dan mengisapnya sampai habis. 

"Nggak apa-apa, toh aku saja yang merasakan. Moon tak merasakan ini, tenang aja," katanya.

"Tapi meskipun begitu itu tubuh Moon!" kataku. Segera kubenahi celanaku. Devita berdiri dan berkumur-kumur di wastafel. Biar bau sperma di mulutnya tak ketahuan tentu. Setelah itu dia menciumku dan pergi. Aku masih mengatur nafasku. Hampir saja copot jantungku. Dan kulihat air yang kumasak tadi sudah habis gara-gara terlalu lama kubiarkan mendidih. Segera aku angkat dan kuisi lagi.

***

NARASI MOON

Di mana aku? Kenapa gelap? Hiro?? Hiro?? Di mana Hiro???

Aku meraba-raba dalam gelap. Tak ada yang bisa aku gapai. Kemana semua orang? Kemana? Hiro? Kamu di mana? Hiro? 

"Moon?" ada yang memanggilku.

"Moon?" aku dipanggil lagi.

"Siapa?" tanyaku.

Tiba-tiba semuanya terang. Aku melihat wajah seseorang. Ayah??? 

"Pagi ayah?!" itu suaraku? Suaraku?

"Anak ayah sudah bangun! Ayo sini!" kata ayahku. Dia lalu menggendongku. Aku diputar-putarnya di udara. "Hari ini anak ayah pertama kali berangkat sekolah, bagaimana perasaanmu?"

"Aku senang ayah," jawabku. 

"Ayah, sudah. Ayo Moon mandi," itu suara ibu. Ibuku aku bisa lihat beliau. Rambutnya merah sama seperti aku. Matanya hijau. Dia sangat cantik. Aku mewarisi kecantikan ibuku. Ayah langsung menurunkan aku. Aku dibimbing ibuku menuju ke kamar mandi.

Di kamar mandi ini, aku dimandikan ibuku. Setelah mandi lalu dikeringkan, dipakaikan baju seragam. Aku ingat memory ini. Ini adalah saat pertama kali aku berangkat sekolah. Aku rindu kepada mereka. Aku sangat merindukan ayah dan ibuku. 

Aku setelah itu berangkat sekolah di antar oleh ayah dan ibuku. Ayah masih dengan baju militernya menggandengku. Ibuku juga menggandengku. Kami berjalan menyusuri trotoar. Sekolahnya dengan rumah tak begitu jauh. Aku sangat bahagia hari itu. Ketika sudah sampai di gerbang sekolah, ayah menggendongku dan menciumi pipiku. 

"Jadi anak yang pintar ya Moon!" kata ayahku. Wajahnya sangat teduh. Aku memeluknya. "Ayah sedang ada tugas negara. Do'akan ayah bisa segera pulang ya?"

"Aku nanti kalau besar ingin seperti ayah," jawabku.

Aku menangis. Inilah alasanku menjadi seorang agen. Aku ingin seperti ayahku. Berjuang untuk negaraku. 

"Iya, ayah akan tunggu saat itu Moon. Kamu anak ayah yang paling hebat," kata ayah. Bayangan memory itu aku ingat semuanya. Aku ingat semuanya.

Ayaaaahh....aku merindukanmu. Aku menangis, menangis dalam gelap. Hiro...aku membutuhkanmu. Kamu di mana?? Kamu di mana??

0 Response to "Cerita Dewasa Si Rambut Merah Episode 11"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel