Cerita Dewasa Si Rambut Merah Episode 10

Latihan

NARASI HIRO


Sudah dua minggu ini aku berlatih bersama Moon. Lari 10km, push up 100x, sit up 100x, scottjump 100x, plus sebagai menu penutup, aku disuruh memukul papan balok sebanyak 3.000 kali. Dan hampir tiap hari aku tepar. Otot-ototku serasa meledak semua. Dari kaki hingga lengan. Aku pun mulai diet dan memakan makanan berprotein. Hasilnya cukup memuaskan. Badanku sedikit lebih berisi sekarang.

"Belum ada kabar tentang Dr. Edward?" tanya Moon. 

"Belum, nanti kalau ketemu pasti beliau akan memberitahu kita," jawabku.

"Kau berubah," kata Moon. "Latihannya benar-benar ada efeknya sekarang."

"Memangnya kamu berlatih seperti ini?" tanyaku.

"Tidak, tapi dengan cara yang lain. Aku dilepas di sebuah pulau yang terpencil. Tak ada penerangan, tak ada alat komunikasi. Aku disuruh untuk bertahan selama dua bulan. Selama itulah aku bertahan dari sengatan racun kalajengking, bisa ular, survive, menaklukkan alam. Hampir tiap hari diguyur hujan. Tidur di bawah derasnya air hujan. Efeknya tidak seperti yang kamu lakukan saat ini. Kamu masih bisa makan, minum dan berteduh. Aku dulu tidak bisa," jawab Moon. Rasanya aku tak seharusnya bertanya seperti itu. Sebagai seorang agen rahasia, pasti punya metode latihan sendiri. Bodoh aku.

"Maaf, tentunya kamu latihannya lebih keras daripada aku," kataku.

"Tidak juga, aku hanya beberapa bulan saja latihan di luar. Selebihnya aku belajar yang lain," katanya. 

"Di antaranya?"

"Cara menaklukkan pria," matanya berkedip kepadaku.

"Apa itu? Bisa kau praktekkan kepadaku?" godaku.

"You wish," dia menjulurkan lidahnya. 

"Come on Moon," kataku.

"Cacth me if you can!" katanya. Dia tiba-tiba berlari. Aku pun mengejarnya. Pagi itu kami berlari-lari mengitari komplek. Kadang dash, lalu normal, dash normal. Lalu kami balap lari sampai ke sebuah tanah lapang yang biasanya dibuat main sepak bola anak-anak. Aku dan Moon langsung bergulingan di sana. Kami tertawa. 

"Gila, larimu cepet banget," katanya. 

Moon merebahkan dirinya di atas rumput. Dan aku ada di sebelahnya. Aku pun mendekat. Lebih dekat, dekat lagi. Wajahnya sekarang tepat berada di hadapanku. Aku pun menciumnya. Aku tak peduli ada orang yang melihat kami. Aku mencium Moon. Dia lalu mendorongku.

"Udah ah," katanya. Ia langsung berdiri. "Mau latihan yang lain?"

Aku setuju saja sih. 

***

Moon menghilang beberapa saat. Aku tak melihatnya setelah itu. Aku hanya harus mengerjakan menu latihanku seperti biasa. Setelah itu ia akan menghubungiku nanti. Ya sudahlah. Tepat siang hari, ia pun menghubungiku untuk pergi ke sebuah tanah lapang yang tak jauh dari rumah. 

Setelah aku tiba di tempat itu. Dia memperlihatkanku sebuah tas yang berisi banyak sekali pistol.

"Setiap senjata beratnya berbeda-beda. Tergantung dari merek dan jenisnya. Aku bawa beberapa jenis," kata Moon. "Pistol itu bermacam-macam, ini namanya Socom, ini Bereta, ini Glock, ini PPK. Kamu tentunya pernah lihat film James Bond, mereka pakai PPK, pistol ini ringan dan tidak terdeteksi. Socom biasanya digunakan oleh para tentara dan cukup powerful. Beretta termasuk pistol semi automatic. Biasanya digunakan US Armed Forces. Glock adalah kesukaanku. Dia cepat dan akurat. Kamu mau coba yang mana?" 

Aku menelan ludah. Bingung mau pilih yang mana. Kenapa nggak aku ambil acak saja sih? Tapi...aku sepertinya tertarik dengan Glock. Ku ambil pistol glock. Ternyata tak seberat yang aku kira. Tapi tetap saja terasa berat kalau tidak dengan tenaga aku membawanya. 

Moon tersenyum kepadaku. "Kau memilih pilihan yang tepat."

Aku dengan mudah bisa menggerak-gerakkan bagian slidenya. Eh, gampang banget? 

"Awas, kalau tidak kamu tahan bisa tiba-tiba menebak pelurunya," kata Moon. Ia menujuk ke pelatuknya. Aku manggut-manggut. "Ini ada tombol, kalau kamu geser ke sini maka akan mengunci, sebaliknya akan terbuka. Sekarang coba tembak sasaran di depan sana!"

Moon menunjuk ke sebuah barisan botol-botol bekas yang sudah ditatanya. 

"Sekarang?" tanyaku.

"Kapan pun kamu siap," jawabnya. 

Aku menaikkan tangan kananku yang sudah membawa glock. Tangan kiriku menahannya. Aku memicingkan mataku. 

"Tatap ujung pistolmu, di sana ada bagian untuk membidik. Terlihat sasaranmu?" tanya Moon.

"Yap," jawabku. 

"Sebagai penembak pemula. Tembak sasaran dua kali. Selalu dua kali. Agar engkau yakin sasaran yang kamu temba benar-benar telah mati," katanya.

DOR! DOR! aku telah menembaknya saudara-saudara! Tapi sama sekali tak mengenai sasaran. Aku sedikit terkejut. Tanganku sampai terangkat. 

Moon menaruh tangannya ke dadaku. Cess....aku seperti dikasih es. 

"Tenang, nggak perlu grogi!" kata Moon menghiburku. "Sudah merasakan bukan rasanya?"

Aku mengangguk.

"Lanjutkan!" kata Moon. Dia menjauh lagi. 

DOR! DOR! Aku mengikuti instruksinya dua kali menembak. PRANG! botolnya pecah. 

"Nah, bisa kan?" tanyanya.

"Ya, aku bisa!" aku sendiri tak percaya. 

"Coba latihan dengan pistol yang lain, untuk membedakan. Jangan takut, pelurunya pakai peluru karet semua," kata Moon. 

Setelah seharian berlatih menembak. Aku jalan-jalan dengan Moon. Agak aneh memang jalan-jalan sambil membawa kopor berisi pistol-pistol. Selama dua minggu di rumah, Moon lama-lama dekat dengan keluargaku. Dia numpang sebentar sampai misi dia selesai. Dia bercerita bahwa misinya dibatalkan sepihak karena kematian partner-partnernya. Dia memang memisahkan diri dan tak memberi kabar keberadaannya kepada atasannya. Sebab Moon ingin menyelesaikan misi ini sendirian tanpa bantuan siapapun. Dia sangat dendam kepada satu orang, yaitu Suni. 

Jung Ji Moon juga bisa dekat dengan Rara dan Lusi. Yah, walaupun keduanya agak takut deket-deket dengan dia. Baju-baju yang dipakai Moon kebanyakan dari Rara. Ajaibnya ukurannya pas. 

"Kamu kerasan tinggal di sini?" tanyaku.

"Lumayan," jawabnya. 

Aku berinisiatif memegang tangannya. Ia tersenyum aja. 

"Boleh tahu alasannya kenapa kamu mau jadi kekasihku?" tanyaku.

Jung Ji Moon menggeleng. "Aku mencintaimu....aku hanya ingin kamu tahu itu. Aku punya alasan untuk hidup, tapi untuk mencintai seseorang aku tak tahu. Tapi bagaimana mencintai seseorang aku tahu. Kamu mengingatkanku kepada sosok ayahku."

"Kau bercanda?"

"Tidak, beneran. Aku merasa nyaman di dekatmu. Awalnya aku merasa kamu ini bocah ingusan, culun. Tapi lambat laun aku melihat bagaimana kamu berubah. Kamu menjadi lembut terhadap perempuan, aku sendiri tidak pernah mengajarkan hal itu kepadamu. Sifat alamiahmu, semuanya mengubah penilaianku."

"Aku rasanya tak akan senang Moon," aku menghentikan langkahku. Beberapa meter lagi kita sampai di rumah.

"Maksudmu?" 

"Aku tak akan senang kalau setelah misimu selesai kamu balik ke Seoul, aku takut kehilangan kamu. Kemarin ketika di gedung M-Tech, aku sangat khawatir kepadamu. Setiap Suni menyakitimu darahku serasa mendidih. Tapi dia sangat kuat....dia kuat...tapi aku ingin lebih kuat dari dia. Aku ingin menghajarnya. Aku tak akan memaafkan orang yang telah menyakitimu," Aku mengepalkan tanganku. Benar-benar aku sangat benci kepada Suni. 

"Kita akan hajar dia bersama-sama," kata Moon. 

Kami terdiam beberapa lama. 

"Woi! Pacaran melulu! Bantu bunda nih!" terdengar suara Bunda Putri. Tampak beliau barusan dari belanja membawa banyak barang bawaan. 

Aku dan Moon tersentak. Kami tertawa bersama. Segera aku dan Moon membantu Bunda Putri. Ternyata beliau baru saja belanja di swalayan dekat rumah. Aku jadi malu sekali. 

NARASI MOON

Beginilah hari-hariku. Siang hari aku sebagai Moon. Malam hari sebagai Devita. Setiap kali aku tidur, aku tak tahu apa yang dilakukannya. Tapi kemarin dia bilang dia tidak melakukannya dengan Faiz. Syukurlah kalau begitu. 

Begitu cepat dua minggu berlalu dan aku melihat perubahan besar pada diri Hiro. Dia makin kuat. Baru tiga hari latihan menembak dia sudah ahli. Sudah seperti seorang penembak jitu. Dia tak perlu menembak dua kali. Semuanya benar-benar di luar dugaanku. Aku bahkan dengan dia berlatih bermain pisau dan pedang sekarang. Aku seperti mengajari dia untuk jadi seorang tentara. Fisik dan staminanya luar biasa. Total sudah tiga minggu kami berlatih. Badannya sudah terbentuk, dia sudah bisa menggunakan senjata. Tinggal satu. Melatih instingnya. 

"Kamu memang sudah terlatih Hiro, hanya satu saja yang belum," kataku.

"Apa itu?"

"Insting. Dan melatih insting ini berat. Aku dulu melatih insting pergi ke pulau terpencil dan survive di sana selama dua bulan. Tapi kita tak mungkin melakukan itu sekarang."

"Lalu?"

"Kamu berusahalah sendiri. Ini latihan terakhirmu. Ingat, ini berhubungan dengan bertahan hidup."

Hiro tampak berpikir keras. Aku meninggalkannya sendiri. Mungkin dia akan menemukan jawabannya nanti. 

***

Malam hari Hiro dan aku duduk-duduk di bangku pajang halaman belakang rumah. Rasanya nyaman sekali bersandar di bahunya. Aku pun dipeluknya. Dia menciumi keningku. Lalu aku menyambut bibirnya, sehingga bibir kami bertemu. Lama kami berfrench-kiss. Aku makin suka kepadanya sekarang. Tubuhnya makin kekar dan atletis. Aku membelai perutnya. Hihihi...dia udah tegang rupanya. 

Lidah kami masih saling menghisap. Aku agak takut juga sih ada yang melihat. Kami soalnya ada di halaman rumah. Mana di dalem ada keluarganya Hiro lagi. Tapi aku tak peduli, ketahuan ya nikahin aja sekalian. Aku sudah menyerahkan hidupku kepada Hiro. Kalau toh kami sampai dinikahkan sekarang nggak masalah. Aku sudah memegangi batang yang mengeras miliknya. 

"Moon, kalau ketahuan gimana?" tanya Hiro.

Aku tak peduli. Aku terus meremas-remasnya. Karena dia memakai celana training sehingga aku bisa dengan mudah menurunkannya. Langsung deh ketemu pion besar yang menyembul dan keras. Perasaanku saja atau aku merasa penisnya lebih besar ya? Masa' latihan bisa berefek ke itunya??

Tanganku memegang pionnya. Hiro memejamkan mata. Ia tidak kusentuh lagi semenjak terakhir kali kita ML. Pasti sekarang dia merasakan sesuatu yang enak. Kugeser telunjukku di leher pionnya, kuelus dengan telunjukku memutari kulit pionnya lalu menekan lubang kencingnya. 

"Aaahhh...Moon...," desahnya. 

Aku lalu mengocoknya lembut. Kepalaku kemudian turun ke bawah. Kuciumi kepala pionnya yang mengeras itu. Orang Indonesia rupanya punya tradisi memotong kulup penis mereka. Biasa disebut sunat. Hal itu malah membuat seorang wanita lebih bisa menikmati sex daripada yang ada kulupnya. Sebab kalau masuk ke vagina langsung bisa terasa kerasnya. Dan para cowok lebih cepat terangsang dalam keadaan penis yang sudah disunat.

Aku akui penis Hiro ini lebih besar dari milik Suni. Lebih panjang dan lebih gemuk. Dan...HAP! Aku sudah mengulumnya. 

"Moon...oowwhh...!" bisik Hiro. 

Aku mainkan lidahku didalam mulutku menggelitik kepala penisnya. Makin lama aku makin menggila menggelitikinya. Aku kemudian mengocoknya dengan bibirku. Kubasahi penisnya dengan ludahku, memberikan efek licin dan penisnya makin mengeras. Tangan Hiro mulai memegang kepalaku. 

Tanganku bergerak aktif meremas-remas telurnya yang setiap aku sentuh berusaha lari. Buah dzakarnya kupijat-pijat. Kuberikan efek ektasi kepadanya. Dia pasti melayang sekarang ketika aku makin memasukkan batangnya ke dalam mulutku. Kucoba terus sampai dalam. Aku melakukan deepthroat. Hampir saja aku muntah karena benda itu benar-benar masuk ke tenggorokanku. Aku lepaskan penisnya. Lendir banyak keluar dari mulutku. Kuratakan di batang miliknya.

"Moon...! Enak banget," katanya.

Aku lalu mengulumnya lagi kali ini lebih cepat. Kepalaku naik turun dengan cepat. Pantat Hiro mulai menegang. Dia makin keras memegang kepalaku menekannya ke bawah. 

"Moon, aku...keluarrrr....Ahhh...you're so goood!" katanya.

Penisnya menyembur sperma banyak sekali. Efek berminggu-minggu nggak ditumpahkan. Aku diamkan kepalaku sambil menikmati semburan air mani hangat. Kuhisap lubang kencingnya sampai tak ada lagi yang keluar. Perlahan-lahan tanpa rasa jijik walaupun rasanya sedikit asin kutelan semuanya. Suara Glup terdengar.

"Moon, kamu telan??" 

Aku mengangguk. Aku kemudian bangkit dan bersandar lagi di bahunya. 

"Aku lemes....," kata Hiro.

"Is that Good?" tanyaku.

"Yeah, that was awesome blowjob," jawabnya.

"I'm glad," kataku. 

Aku memeluk Hiro. Sebelum aku tidur dan berganti kepribadian dengan Devita, aku memeluk tubuhnya hingga terlelap. Hiro adalah orang kedua yang membuatku bisa tidur dalam pelukan seorang laki-laki.

Hyper Suit

NARASI FAIZ Jr


Aku melihat Hiro latihan keras. Dia benar-benar bertekad untuk bisa balas dendam kepada Suni. Sebenarnya aku shock. Datang dari Oxford langsung berurusan dengan hal seperti ini. Bertemu lagi dengan Dede merupakan sesuatu yang tidak pernah aku duga. Antara senang dan sedih. Itulah yang bisa aku katakan sekarang. 

Lihat saja bagaimana kesadaran Dede bisa berada di dalam diri Jung Ji Moon. Memang benar tubuh Dede ada di sana, setiap malam aku menungguinya, tapi Moon dengan kesadaran Dede menemaniku hampir tiap malam. Aku jadi bingung. Apakah ada cara lain untuk bisa menyelamatkan Dede. Kalau sampai Dede tak bisa dikembalikan, atau malah kesadarannya mati, maka musnah sudah semuanya. Kenanganku bersama dia hilang semuanya. Aku sangat mencintai Dede. 

Ketika di Oxford, aku terus menerus mengirimi dia email. Aku tak peduli ia membalasnya atau tidak. Aku juga tak peduli apakah dia membacanya atau tidak. Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku tetap setia kepadanya. Banyak sebenarnya cewek cakep di Oxford, tapi aku tetap memenuhi janjiku. Bahwa aku tak akan bersama wanita lain selain dirinya. Tapi kalau lama-kelamaan seperti ini dengan dia menemaniku tiap hari, itu sama saja dengan aku melihat Devita dalam wujud lain. Wujud seorang gadis berambut merah, berwajah oriental. Jelas berbeda dengan Devita yang berwajah manis, berambut lurus sebahu. Aku mulai tak terima ini semua. Kalau diteruskan bisa-bisa aku juga menyukai Jung Ji Moon. Bukan Devita. 

Ketika Moon dengan kepribadian Devita bersamaku, aku lihat semuanya. Semua tingkah polahnya persis seperti dia. Aku jadi ingat bagaimana ketika aku masih bersama dia dulu ketika kecil. Dia selalu menyibakkan rambutnya ditelinga. Itu selalu dilakukannya. Dan seperti malam-malam sebelumnya dia datang membawakanku makanan, menyuapiku. Dia tidak seperti Jung Ji Moon, seperti Devita. Aku harus terima kenyataan dia bukan Devita. Dede ada di tempat tidur, berbaring tanpa daya dengan selang infus yang harus aku ganti setiap waktu. 

Aku juga tak rela kalau kepribadian Devita hilang dan lebih kuat kepribadian Moon. Aku tak tahu juga sampai kapan ini terus berlanjut. Ayah masih tak bisa kuhubungi. Beliau sedang berusaha mencari keberadaan Dr. Edward.

Ngomong-ngomong Dr.Edward, aku dulu sebelum pergi ke Oxford pernah bertemu dengan dia. Hiro juga sebenarnya pernah bertemu, tapi mungkin dia tak tahu kalau itu adalah Dr. Edward. Ketika kami untuk pertama kalinya menggunakan sistem bank data paling aman di dunia dengan menggunakan DNA kami sebagai pembuka ruangannya. Dr. Edward merupakan orang kebangsaan Finlandia. Dialah yang merancang keamanan ini. 

Aku masih ingat ketika beliau mengumpulkanku dengan Hiro. Dia menscan DNA kami untuk diolah sebagai kunci. Yang bisa membuka pintu server hanya kami berdua. Sebab di dalamnya ada banyak data-data penting yang disimpan di sana. Maka dari itulah dibutuhkan tingkat keamanan tinggi untuk bisa membukanya. Ini semua adalah ide ayahku. Dia cukup pintar merancan ini semua. 

Hari ini aku menemui Profesor Andy. Dia seorang ahli senjata dari negeri ini yang mana telah mematenkan banyak sekali senjata dan dia sebenarnya bisa saja sekarang disewa oleh Jerman, Rusia atau Amerika untuk membuat senjata, tapi dia sama sekali tak tertarik. Hanya gara-gara ingin memberikan ilmu yang dia punyai untuk negeri ini. Sayangnya karena sebuah kasus korupsi proyeknya gagal. Aku sendiri tak tahu detailnya. Tapi hari ini aku menemuinya di sebuah laboratorium miliknya. Cukup jauh dari ibu kota. Total perjalanan adalah 4 jam. 

Laboratorium itu cukup besar. Ada sebuah teleskop besar di sana. Bangunan itu terbagi menjadi tiga bagian. Rumah, laboratorium dan sebuah rumah kaca. Halamannya cukup luas, tapi tidak ada aspal. Cuma tanah dan kerikil. Mobilku segera memasuki halamannya. Tempat itu tak terawat. Banyak ilalang, rerumputan dan semak-semak liar. Dari kejauhan aku bisa melihat rumah kaca itu pun tak terawat. Berdebu. Tanaman-tanaman seperti rumput dan semak belukar pun tumbuh dengan liar di tempat itu. Beberapa kacanya pun pecah. 

Aku sepertinya tak perlu mengetuk pintu karena sang Profesor sudah ada di luar sedang duduk di kursi malasnya sambil menikmati segelas Ice Lemon Tea. Orang tua itu mengerutkan dahi ketika melihatku ada di hadapannya. Sampai-sampai aku bisa melihat alisnya yang berwarna putih dan tebal itu menyatu.

"Siapa?" tanyanya.

"Faiz Hendrajaya Junior, saya ingin membicarakan masalah bisnis dengan Anda," jawabku.

"Bisnis? Aku tak punya bisnis. Aku sedang terpuruk sekarang. Uangku sudah hampir habis tapi tak ada satupun klien yang menginginkan jasaku lagi. Hak patenku dicabut gara-gara aku terlibat korupsi. Padahal itu bukan salahku. Dasar politikus keparat," ujarnya.

"Tenang, kali ini aku bisa membantu Anda. Aku ingin tahu apa saja yang Anda punyai," kataku. 

Wajahnya sedikit berubah. Dia langsung turun dari kursi malasnya dan memakai sandal jepit yang ada di lantai.

"Ikut aku," katanya. 

Aku diajak dia masuk ke rumahnya. Sangat berantakan. Mungkin dia hidup sendiri. Tapi aku melihat sebuah foto berisikan seorang wanita yang bersanding dengannya. Juga seorang gadis kecil. Di foto itu profesor kelihatan masih muda. Sang profesor melirik ke arahku. 

"Itu anak dan istriku. Aku sudah sepuluh tahun ini tidak bertemu dengan mereka. Mereka sudah punya keluarga baru mungkin. Aku masih berada di sini saja. Tidak bergerak. Masuklah!" 

Sang profesor mengajakku ke laboratoriumnya. Dia menekan saklar dan lampu seluruh ruangan pun lambat laun mulai menyala semua. Aku melihat komputer, kabel-kabel dan sebuah komputer besar dengan monitor sebesar 100 inchi di sudut ruangan. Profesor terus melangkah, kali ini ke sebuah tangga yang menuju ruang bawah tanah. 

Aku agak terkejut karena di ruangan bawah tanah ini lebih rapi dan lebih luas. Kuperkirakan luasnya seluas seluruh pekarangan rumah profesor ini. Mungkin seluas lapangan sepak bola. Dia menghampiri sebuah selongsong meriam panjang. 

"Ini buatanku, namanya Nutt Cracker," jelasnya.

"What?" 

"Ah, lupakan. Aku juga tidak suka dengan namanya. Dan ini adalah senapan sniper buatanku. Diadaptasi dari generasi terbaru Anti Material Rifle. Bisa menembus dua gedung dalam uji cobanya, tapi karena terlalu mahal maka pemerintah kita tidak jadi membelinya."

"Aku ingin project Future Soldier yang diberhentikan arena Anda kena kasus itu. Aku ingin tahu detailnya."

"Kau pasti bercanda. Tapi baiklah, mari-mari. Lihat!"

Profesor Andy mengajakku ke sebuah meja besar. Meja itu ternyata sebuah monitor Touch screen. Dia mengopreasikannya dan memperlihatkanku sebuah blueprint.

"Inilah projek manusia masa depan itu. Gara-gara politikus keparat itu kerjaku selama lima tahun sia-sia belaka. Padahal baju ini sudah 70 persen selesai. Bangsat mereka," ujarnya.

"Kau butuh biaya berapa untuk menyelesaikannya?" 

"Banyak, aku butuh 3 milyar lagi," ia mengatakan itu sambil menatap mataku. Aku mengangguk, "Dalam dollar"

"Tak masalah. Kalau misalnya aku punya uang lebih dari itu, apa kamu mau melanjutkannya?"

"Kamu...," dia menatapku dalam-dalam. "Sebentar, Faiz Hendrajaya? No Shit! No Shit! Kau putra pemilik M-Tech???"

"Kau benar," jawabku.

Dia langsung memegang kedua bahuku.

"Ya, ya, ya, aku seharusnya menyambutmu. Ehhh...gimana ya....baiklah, duduk duduk, aku ingin mempresentasikannya!" dia mendorongku ke sebuah kursi. 

Entah kenapa tiba-tiba ia sedikit berubah lagi. Lebih seperti orang yang diberi harapan. Dia lalu menampilkan ke layar monitor sebuah baju. Buka baju biasa. Aku tak mengerti isinya. Tapi dari gambarnya sepertinya itu adalah baju perang.

"Ini namanya Hyper Suit. Teknologi yang seharusnya kita punya lima tahun yang lalu. Pemerintah sudah mengeluarkan biaya 7 Triliyun hanya untuk membuat satu baju ini, tapi banyak yang dimakan oleh para politikus keparat itu."

"Kemampuannya?"

"Baju ini sebenarnya akan digunakan oleh para tentara. Sebuah senjata baru. Baju ini tahan panas 60.000 derajat kelvin. Baju ini juga tahan gores. Orang yang memakainya akan memaksimalkan kinerja otot dan membuatnya punya energi 10 kali tenaga gajah. Baju ini juga membuatnya bisa melompat sejauh 100 meter. Bisa juga bergerak 10 kali lebih cepat. Baju ini juga tak akan mudah ditembus oleh artileri manapun, kecuali bom nuklir tentuya."

"No fucking way. Kamu yang membuat ini?"

"Iya, setidaknya ini adalah karya terakhirku."

"Aku akan jujur kepadamu, aku baru saja bertemu seseorang bernama Lucifer dan dia tak bisa ditangkap, peluru tak bisa mengenainya, gerakannya sangat cepat. Apakah baju ini sama seperti apa yang dia pakai?"

"Lucifer?" Profesor Andy bergumam sendiri. Ia menggigiti kuku jari jempol tangan kanannya. 

"Profesor?" 

"Tak mungkin, tak mungkin. Dia pasti tak akan mungkin bisa membuatnya. Katakan kepadaku seperti apa wajahnya?"

"Wajahnya kurus, aku tak tahu tapi sepertinya dia menyamar."

"Itu dia orangnya. Keparat memang."

"Kenapa?"

"Dia mencuri ide Hyper Suit ini."

"Siapa?"

"Namanya Luke, dia orang yang pernah bekerja padaku tapi kemudian dia mengundurkan diri ketika aku terlibat kasus korupsi itu. Dia ...dia pasti yang membuatnya, tak salah lagi. Tapi....dia tak akan mampu mengalahkanku. Faiz!"

Aku agak terkejut ketika dia menggebrak meja dan memanggil namaku.

"Kalau memang kamu bisa mendanaiku, aku akan membuatkanmu satu. Khusus untukmu. Aku akan buktikan bahwa buatanku lebih baik dari dia," katanya penuh amarah.

"Kau yakin?"

"Aku yakin sekali."

"Baiklah, mulai sekarang aku akan mensupportmu, kamu butuh berapapun aku akan berikan. Seluruh akses di M-Tech pun sekarang boleh kau akses. Aku akan suruh orang membersihkan rumahmu kalau perlu."

"Tidak, itu tak perlu. Aku bisa melakukan sendiri."

"Baiklah, kapan baju itu selesai kira-kira?"

"Aku akan menghubungimu lagi."

"Ok, ini kartu namaku," kataku sambil menaruh kartu nama di atas meja.

***

Malam harinya aku pulang ke rumah. Di rumah agak ramai karena Bunda Iskha juga ada di sini. Juga para sepupuku yang lain. Di luar halaman aku lihat Hiro memukul-mukul balok kayu. Moon tampak berada di pintu kamarku. 

"Kamu sudah pulang?" gaya bicaranya seperti Devita. 

"Dede?" tanyaku.

Ia mengangguk.

"Iya," kataku. Aku membuka kamarku dan kudapati tubuh Devita sudah berganti baju. 

"Aku tadi yang mengganti bajunya. Maaf ya, aku jadi orang aneh yang menggantikan bajuku sendiri," katanya. 

Dede, aku akan mengembalikan dirimu seperti awal lagi. Aku memegang pipinya. Ia memejamkan matanya dan mencium tanganku. Tidak, itu wajah Moon, bukan wajah Devita. Aku pun meninggalkannya.

0 Response to "Cerita Dewasa Si Rambut Merah Episode 10"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel