Cerita Dewasa Si Rambut Merah Episode 3

Don't be Sad

"Siapa kamu?" tanyaku sambil membidiknya. 

"Tentu saja kamu tak pernah mengenalku, jadi tak tahu siapa aku. Perkenalkan namaku Lucifer," jawabnya. Lucifer? Orang yang ingin membeli dokumen rahasia negara dari Roger?

"Kamu...., apa yang telah kamu lakukan kepada Suni?" tanyaku.

"Ahh...iya, aku minta maaf. Karena dia tadi sedikit mengecewakanku. Seluruh anak buahku dibunuhnya. Kasihan sekali mereka," katanya.

Aku menembakkan pistolku, dengan mudah ia bisa mengelak, bahkan tanpa bergerak dari tempat duduknya. Apa-apaan ini? Aku coba menembaknya lagi, tapi lagi-lagi ia cukup kuat. Dia bisa menghindari seluruh peluruku. 

"Tidak, tidak, tidak, aku tidak ingin kamu membunuhku secepat ini Moon, aku tahu siapa kamu. Aku tahu siapa ayahmu. Aku tahu siapa ibumu. Aku tahu misi apa saja yang kamu selesaikan," kata Lucifer. "Aku juga tahu apa hubunganmu dengan orang ini."

Aku mendekat, kulihat Suni di dalam mobil ambulance tak sadarkan diri. Lucifer lalu melompat turun dari mobil putih itu. Ia tak membawa senjata padahal, tapi kenapa aku takut? Ada rasa yang sangat tajam menusukku ketika dia mata kami beradu. Mata seorang pembunuh. Ya, mata seorang pembunuh. Aku tak akan pernah melupakan mata itu.

"Suni! Suni! Kau tak apa-apa?" panggilku.

"Suni! Bangun! kekasihmu memanggilmu!" kata Lucifer. Lucifer melangkah mendekati Suni dan menampar-nampar pipinya. Suni menggeliat. Ia kaget ketika melihat wajah nyaris mirip tengkorak itu di hadapannya. Ia ingin bergerak tapi tak bisa karena tubuhny terikat di kursi. Dia pun melihatku juga.

"Moon?!" katanya.

"Syukurlah kamu selamat," kataku lega.

Suni melihat tubuhnya yang terlilit kabel dan sebuah lampu merah berkedip-kedip di dadanya. Lucifer lalu mengambil sebuah penutup di rompi yang dikenakan Suni. Di sana terlihat timer berwarna merah. Aku terbelalak menyaksikan waktunya kurang dari 30 menit. Dan terus berjalan.

"Sekarang situasinya berubah," kata Lucifer. "Bom ini terhubung langsung ke pacarmu. Bom ini bisa dijinakkan hanya dengan satu cara, yaitu berhentinya detak jantung pacarmu. Atau kalau kamu bisa, suruh aku untuk menjinakkannya!"

"Jinakkan bom itu!" perintahku.

"Coba saja, aku mati bom itu meledak. Pacarmu meledak, booom. Hahahahahaha!" suara tawa Lucifer jelek sekali.

"Bangsat! Lepaskan aku dan kita duel!" kata Suni.

"No no no no, tidak semudah itu. NIS adalah peringatan bagi dunia, bahwa kami kuat. Kami bisa berbuat apa saja, dan kalian jangan khawatir ini baru permulaan," kata Lucifer. 

"Lepaskan Suni! Lepaskan!" kataku.

"Ups! Waktuku habis, sampai nanti Moon and Suni. Rembulan dan matahari, Hahahahahahahahaha!" Lucifer tiba-tiba menghilang seperti kabut. Aku tak tahu bagaimana dia melakukan itu. Aku pun menghabiskan seluruh peluruku menembak di tempat ia tadi berdiri. Aku kemudian melemparkan pistolku.

"AAAARGGGHH!" aku menjerit dengan penuh emosi.

"Moon, tenang Moon!" kata Suni. "Coba jelaskan apa yang ada padaku!"

Aku berjalan ke depan Suni, "Kamu terikat. Di tubuhmu ada bom. Sepertinya apapun yang aku lakukan akan memicu ledakan bom ini. Bom ini bisa dijinakkan dengan membuat jantungmu berhenti alias mati. Di belakangmu adalah puluhan kilo TNT. Bom ini sanggup meruntuhkan satu gedung."

"Oh tidak," kata Suni. Ia sepertinya pasrah.

"Tenanglah, An Li akan datang membawa tim penjinak bom," kataku menghibur Suni. "An Li! Mana tim penjinak bomnya???"

"Dengan gedung kita diserang seperti ini? Mustahil mereka bisa mendekat!" kata An Li.

"Persetan! Cepat datangkan mereka atau kita semua akan mati!" kataku.

"Hei, hei! Easy girl, baik aku akan mencoba. Di sini kita juga ada ahli bom. Aku akan coba hubungi dia," kata An Li.

"Terima kasih," kataku.

"Well, setidaknya ini adalah pertama kalinya kamu bilang terima kasih," kata An Li.

Aku langsung memeluk Suni. Kening kami saling menyentuh. Aku tak bisa berbuat apa-apa dan aku sangat marah. Kenapa kau tak bisa berbuat apa-apa untuk orang yang aku sayangi? Kenapa? Tidak ayah, tidak juga dia. Oh tidak, jangan sampai aku kehilangan dia. Aku tak mau. Aku telah menemukan sosok ayahku pada diri Suni, jangan sampai dia pergi juga. Tidak, tidak akan aku biarkan itu terjadi.

"Hei, kamu bersedih?" tanya Suni.

Aku menggeleng.

"Tenang, semua akan baik-baik saja," katanya. Kata-katanya itu sedikit memberikanku harapan. 

Lima menit kemudian tempat parkir langsung dipenuhi oleh orang-orang. Tampak An Li dan komandan pun berada di sana. Pertempuran telah selesai sepertinya. Aku tak mendengar lagi kegaduhan di luar gedung, tak ada ledakan, tak ada suara tembakan, tak ada suara jet tempur. Ada apa sebenarnya?

"Moon, mundurlah! Aku mau memeriksanya," kata salah seorang agen. Aku segera melepaskan pelukanku dari Suni.

Sang agen boleh dibilang ahli dalam bom. Komandan melihat Suni, tampak ia semakin kacau. Melihat jumlah TNT sebanyak itu, ia benar-benar tak habis pikir harus bagaimana. An Li juga menampakkan raut wajah sedih. Ia sendiri tak bisa apa-apa untuk menolong Suni.

"Ini mustahil," kata agen tadi. 

"Kenapa?" tanya komandan.

"Sang pembuat bom ini sangat cerdik. Dia menginginkan bom ini berhenti berfungsi ketika jantung Suni berhenti berfungsi. Selain itu dalam dua puluh menit, bom ini meledak," ujarnya.

"What?" komandan serasa tak percaya. "Tak bisa dijinakkan?"

"Aku tak yakin, semua kabel ini, salah potong saja...boom!" kata sang agen sambil tangannya memperagakan seperti bom meledak.

"Kalian, sudahlah. Evakuasi saja gedung ini. Sebelum terlambat," kata Suni.

"Kenapa tidak dikeluarkan saja mobilnya?" tanyaku.

"Moon, kamu ingin bom ini menghancurkan Seoul?" tanya Suni.

Aku menunduk ku pukulkan tanganku ke sebuah kaca mobil hingga hancur. Tanganku sampai berdarah karenanya. 

"Moon, tahan emosimu!" kata Suni.

"Aku tak bisa melakukan apa-apa, aku tak bisa melakukan apa-apa kepadamu Suni!" kataku.

"Komandan, segera evakuasi gedung. Aku tak apa-apa," kata Suni. "Ini sudah jadi tugasku."

An Li dan komandan berpandangan. Aku menangis, tolong jangan lakukan ini Suni.

"Baiklah, semuanya evakuasi gedung!" kata komandan. 

Segera setelah itu orang-orang mulai meninggalkan gedung. Mereka berhamburan keluar gedung. Baru kali ini dalam sejarah gedung NIS diserang, dihancurkan, dan dalam sekejap akan musnah dari muka bumi. Hanya aku dan Suni saja yang berada di dalam gedung sekarang ini. Suasana hening. Aku tahu semua orang sedang berkumpul di luar sana. Harap-harap cemas menantiku keluar.

"Moon, keluarlah!" bujuk Suni.

"Aku tak mau keluar, aku ingin bersamamamu," kataku. 

"Moon, jangan bodoh! Kau harus keluar, bom ini akan meledak."

"AKu tahu, tapi aku tak mau. Aku tak mau meninggalkanmu Suni, aku tak mau. Kamu tahu kenapa aku menerima cintamu? Karena kamu seperti ayahku. Aku nyaman bersamamu, aku sangat senang bersamamu Suni. Tolonglah aku tak mau kehilangan dirimu," kataku. 

"Tapi segala yang hidup pasti ada akhirnya," katanya.

"Tidak! Aku akan mencoba menjinakkannya, aku akan coba," kataku.

"Sudahlah! Moon! Relakanlah aku! Pergilah!" katanya. 

"Aku tak bisa!" kataku.

"Moon! Kamu harus keluar dari sana," kata An Li dari codec.

"Moon? Kamu mencintaiku?" tanya Suni.

"Iya, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.....," aku memeluk Suni dengan erat. Tak ingin kehilangan dia. Aku mencium bibirnya. Aku ingin selalu bersamanya. 

"Sudah Moon, sudah! Jangan seperti ini. Ingat, kita berjuang untuk negeri ini. Aku punya puisi untukmu," katanya.

"Puisi apa?" tanyaku

Dia pun kemudian berkata:

"Berjalan menembus batas
Cahaya rembulan kian membias
Andai aku punya sayap
Aku akan terbang ke sang rembulan

Kami generasi terbaru
Kami mengubah dunia
Berjuang untuk keadilan
We born for nothing
we live for nothing
but we die for something"


Puisi itu adalah puisi yang akan aku ingat selamanya. Suni mengingatkanku lagi akan alasan kenapa aku berada di agensi ini. Dia juga yang mengingatkanku bahwa aku harus kuat. Aku harus kuat, lebih kuat lagi. Aku jadi teringat tentang ayahku. Ayahku akan kecewa kepadaku kalau aku tidak sekuat yang dia kira. 

"Pergilah Moon, pergilah!" kata Suni. "Aku akan terus berbicara kepadamu melalui codec."

"Suni...!" aku terisak. Kubalikkan badanku dan meninggalkan Suni. 

"Hai Moon, kamu masih ingat ketika kita pertama kali kencan? Itu adalah kenangan terindah dalam hidupku. Aku tak akan melupakannya. Engkau adalah malaikatku, engkau adalah bidadariku. Mungkin memang kita tidak ditakdirkan bersama. Tapi aku tak akan pernah kecewa dalam hidup ini karena telah mengenalmu. Aku suka ketika kamu tidur, kamu mendengkur halus. Wajahmu adalah wajah paling cantik ketika kamu tertidur," Suni terus berbicara melalui codec. 

Komandan dan yang lain sudah menungguku di luar. Aku melihat serpihan-serpihan pesawat,tank-tank serta mobil-mobil berserakan di jalan raya. Aku tak tahu berapa lama lagi bom itu akan meledak. Suni terus mengoceh. Ia terus berbicara bahwa ia sangat mencintaiku. Aku bisa merasakan di saat-saat terakhir dalam hidupnya ia sama sekali tak bersedih. Dan kata-kata terakhirnya sebelum bom itu meledak menghancurkan gedung NIS hingga rata dengan tanah adalah..."Moon, kamu harus kuat!"

The Prince

Kembali ke masa sekarang. Itulah ceritaku dengan Suni. Cinta pertamaku. Setelah itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan lelaki seperti Suni. Sama sekali tidak pernah ada. Sekarang aku berada di Indonesia. Dan aku punya misi penting untuk mendapatkan S-Formula. Sayangnya jejak terakhir adalah benda itu berada di M-Tech Building. Besoknya setelah aku istirahat, aku bertemu dengan keempat agen lainnya. Kami semua melakukan rapat.

"Ini tidak mungkin, bagaimana bisa benda sepenting S-Formula itu ada di dalam M-Tech Building?? Ini sama sekali tidak masuk akal," kata Peter.

"Bisa saja bukan?" kata John. "Terlebih gedung ini diklaim punya sekuriti yang paling sulit ditembus. Di dalamnya terdapat penyimpanan data. Mulai Inggris, Amerika, Rusia, China semuanya menyimpan data penting mereka di sini. Dengan alasan, siapapun yang sudah masuk ke sana tak ada yang bisa keluar."

"Untuk bisa mendapatkan S-Formula, kita harus tahu bagaimana bentuknya. Sebab selama ini hanya para petinggi M-Tech saja yang tahu bagaimana tempat penyimpanannya. Setiap ilmuwan dan pekerja yang ada di sana tidak pernah menceritakan atau tutup mulut," kata Devita. 

"Apa perlu kita terobos?" tanya Nikolai.

"Itu bisa mengakibatkan perang dunia Nik!" kata John.

"Jadi?" tanya Peter.

"Kita pakai cara halus," kata Devita sambil menoleh ke arahku.

"Aku lagi?" tanyaku.

"Kau sangat ahli dalam hal ini bukan Moon? Tenang saja aku akan membantumu," kata Devita. "Aku yang lebih tahu tentang Indonesia."

"Sebentar, lalu siapa target kita?" tanya Nikolai.

"Kalau bisa, kita jangan membunuhnya. Tentunya kita harus mendekati seorang pangeran dari kerajaan Hendrajaya Group. Namanya Hiro Hendrajaya," kata Devita.

"Kenapa tak boleh membunuhnya?" tanyaku.

"Sabar Moon, dia ini orang baik-baik. Aku yakin bahkan dia tidak tahu kalau di dalam M-Tech ada sesuatu yang bisa menghancurkan dunia," kata Devita menenangkanku. 

Aku pun sedikit tenang. Aku memang berprinsip selama dia orang baik aku tak akan membunuhnya. Devita kemudian menampilkan sesuatu di layar meja. Sebuah wajah terpampang di sana. Dialah wajah yang akan mengisi hari-hariku. Seseorang yang akan menjadi pangeranku, yang akan mendampingiku untuk selama-lamanya. Yang akan mengubahku cara memandang dunia. Hiro Hendrajaya.

NARASI HIRO

"Aaachuuuuu!" aku bersin. Apa ini efek musim penghujan??

Namaku Hiro Hendrajaya. Aku anak dari konglomerat Indonesia sekaligus orang terkaya se-Asia Faiz Hendrajaya. Aku anak pertama dan ngomong-ngomong soal anak pertama, aku bukan anak pertama sih sebenarnya. Tapi kalau dikatakan anak pertama dari istri yang sah, maka itu aku. Ayahku seorang pekerja keras. Beliau menciptakan banyak paten terhadap peralatan elektronik, semisal ponsel, ataupun software dan aplikasi mobile.

Dia pernah mendapat predikat Man of The Year dari majalah TIMES. Dan tak hanya itu saja, sejak dulu beliau sudah terkenal, sejak muda tentunya. Aku pernah iseng mencari-cari berita tentang ayah di internet. Ternyata beliau cukup terkenal. Bersamaan juga dengan ibuku Iskha Kusumaningrum. Beliau dulunya adalah seorang musisi ternama. Bahkan sampai sekarang namanya masih diingat orang. Lagu-lagunya banyak orang yang suka dan hafal. Dia menjadi legenda. 

Ayahku punya dua orang istri. Yang pertama adalah ibuku. Yang kedua adalah bunda Vira. Aku mempunyai tujuh saudara. Dari ibuku aku punya adik Rara, Mark dan Lusi. Dari bunda Vira aku punya adik Joshua, Mike dan Cici. Well, satu lagi yang belum aku sebut. Yaitu Faiz junior. Dia anak dari hubungan ayah dengan bunda Putri. Tapi mereka tak menikah walaupun masih kerabat dekat. Aku tak tahu alasannya kenapa. Keluargaku juga tak pernah cerita. Tapi sepertinya hubungan ayah dan Bunda Putri sangat dekat. Kadan mereka berjumpa ngobrol lama sekali. Aneh juga sih bunda-bundaku tak cemburu ketika mereka bertemu. Entah apa yang terjadi pada masa lalu mereka, tapi sepertinya kehidupan mereka sekarang sangat damai.

Aku sendiri berperawakan sedang. Rambutku dipotong cepak, walaupun ibuku tak suka dengan penampilanku, tapi aku suka koq. Ibuku selalu memanjakan aku. Walaupun aku sudah segedhe ini selalu beliau bertanya kepadaku, sudah makan? Sudah belajar? Ada yang ketinggalan? Hhh....rasanya kalau sudah ditanyain begitu serasa masih kecil.

Aku sebenarnya ingin seperti Mas Faiz, dia mandiri. Berbeda denganku. Sekarang kuliah di Oxford. Sebentar lagi ulang tahunku ke-17. Aku tak tahu apakah dia akan datang atau tidak. Tahu tak mungkinlah dia datang, kuliahnya sendiri di Oxford gitu loh. 

Sebagai anak orang terkaya, urusan antar jemput yaahh....tahu sendiri. Bunda selalu memanjakan aku, pakai sopir. Ketika orang-orang ribut dengan tiga pedal atau dua pedal, aku tak perlu meributkannya, cukup sopirku saja yang ribut. Gila apa? Aku jarang sekali pergi keluar sendirian dengan mobil pribadi. Selalu dilarang sama ayah dan ibu. Dan mungkin karena inilah untuk urusan cewek, aku tidak beruntung. 

Di sekolah misalnya. Memang aku anak orang kaya, tapi masih jomblo. Nggak ada yang suka atau mereka takut? Padahal aku ya nggak neko-neko sih. Mungkin karena aku jarang bergaul. Mungkin juga. Aku lebih sering bergaul di internet. Di sosial media. WhatsApp, LINE dan lain-lain. Mungkin dengan sebab inilah aku tak bisa banyak bergaul ama teman-teman, bahkan cewek-cewek pun terkesan menjaga jarak denganku. 

Aku saat itu sedang browsing di Google Plus, saat itulah Mas Faiz nyeletukku. 

Faiz: "Hai Hiro?! W's up?"

Me: "Oh, Mas Faiz? Baik mas, gimana kuliahnya?"

Faiz: "London dingin! Aku sampai membeku. Gimana sekolahnya? Bisa nyusul aku ke London nggak nih?"

Me: "Wah, berat mas bro."

Faiz: ":v kenapa berat? kalau berat ya ditaroh."

Me: "Haiyah. Mas Faiz ini ada-ada aja. Beneran nih. Agak berat deh kayaknya."

Faiz: "Kamu ini, sebagai anak Faiz Hendrajaya gunakan kesempatan itu. Kamu bisa punya banyak resource. Internet, buku, perpustakaan, server kamu punya semuanya. Gunain itu!"

Me: "Iya sih mas. Tapi entah kenapa males banget."

Faiz: "Kamu itu sebenarnya pinter. Terbukti kamu selalu jadi juara tiga dari sejak SD, SMP sampai SMA juara tigaaaa melulu. Kan ya aneh. Kamu sepertinya sengaja ya?"

Me: "Dikit sih."

Faiz: "Tapi aku yakin koq, kamu nanti bakal bisa seperti ayah."

Me: "Ah, mas Faiz ini bercanda aja. Yang bakal seperti ayah ya cuman Mas Faiz."

Faiz: "Nggak juga bro, ayah kan lebih suka sama dunia mobile, aku sendiri lebih suka matematika."

Aku tak heran sih, Mas Faiz orangnya cerdas. Dia dua kali juara olimpiade matematika. Maka dari itulah dia bisa kuliah di Oxford dapat beasiswa di sana. Dan sampai sekarang aku tak habis pikir, orang jurusan matematika nanti kerjanya di mana ya? Apa jadi ilmuwan terus? Tapi tipe orang seperti Mas Faiz ini emang cocok. Lagipula dia ini cool, tampangnya paling keren deh pokoknya. Mirip banget wajahnya ama ayah ketika masih muda dulu.

Me: "Mas, kapan lulus?" tanyaku.

Faiz: "Ini hampir saja lulus. Aku seminggu lagi maju buat tugas akhir. Moga aja selesai."

Me: "Wah, keren. OK, semangat deh."

Faiz: "Gimana kabar yang lain? Ayah, bunda Iskha, Bunda Vira?"

Me: "Mereka baik-baik saja koq. Sering nanyain kamu juga. Kan aku yang sering ngobrol sama Mas Faiz."

Faiz: "Oh iya. Aku belum nelpon ibuku. Pernah jenguk?"

Me: "Seminggu sekali kami main di sana. Beliau kan di rumah sendirian. Kasihan kalau tak dijenguk. Makanya Mas Faiz cepetan pulang biar bisa nemenin Bunda Putri."

Faiz: "Iya, iya. Sampaikan salamku yah."

Me: "Koq nggak Mas Faiz sendiri?"

Faiz: "Ibuku pasti nangis kalau aku telpon, jadinya nggak enak. Plis ya, titip salam aja."

Me: "Oke deh."

Faiz: "Aku mau hibernasi dulu, salju di luar brrr..."

Me: "Oke mas."

Begitulah Mas Faiz. Kami masih sering chatting pas malam hari. Pasti orangnya nanyain kabar semuanya. Padahal bisa saja ia tanya sendiri. Tapi ya memang seperti itu wataknya. Dia terkesan low profile. Bahkan orang-orang lebih tahu aku daripada Mas Faiz. Ya jelas saja. Aku lebih sering tampil di depan umum. Dan ayah sering mengajakku ke tempat-tempat klien. Jadi orang-orang lebih tahu aku.

Aku melihat notification di facebook. Ada request pertemanan. Apa ini? Moon? Orang Korea? Eh, ngapain juga orang Korea nge-add aku. Aku lihat profilenya. Hmm...dia cakep juga. Rambutnya merah gitu. Cakep gilak. Eh, tanggal lahirnya, mirip-mirip ama aku. Lahirnya juga sama. Wogh......ini akun palsu apa akun spam nih? Koq friendnya cuma beberapa? Ah, bodo amat. Paling ya barusan bikin trus disuggest ama facebook ke diriku. Hihihihi.

Coba aja ahh...aku pun klik Accept.

Facebook memberitahukan bahwa dia sudah jadi temanku. Aku tunggu beberapa saat. Eh...dia nulis di wall-ku. 

"Thank you for accepting me as your friend," katanya. 

"Are you really from Korea?" tanyaku di bawahnya. 

Tiba-tiba "TUING!" muncul facebook messenger. Dia menjawab, "Yes I am."

Me: "Moon, how do you know me?"

Moon: "I don't know you. I'm just new using facebook. If you don't mind."

Me: "No, no, off course not." (bego juga sih, kenapa aku tanya gitu).

Moon: "Where do you live?"

Me: "I'm from Indonesia. Have you visited my country?"

Moon: "Yes, once."

Me: "So, which place?"

Moon: "Just Jakarta. And only a few days."

Me: "Oh... I see. Btw, I saw your hair is red. That was awesome."

Moon: "Yeah, do you like it?"

Me: "Well, off course."

Moon: "Thanks."

Aku lihat jam, buset, udah malem aja nih. Mana besok sekolah. Aku pun pamitan.

Me: "Moon, I've go to sleep. Cacth you later."

Moon: "Ok, good night."

Aku segera menutup laptopku dan tidur. Moga besok nggak kesiangan. Nah, ini yang lucu. Malam itu aku bermimpi. Aku bertemu dengan seorang wanita berambut merah. Aku memegang tangannya. 

"Jangan lepaskan! Jangan lepaskan!" kataku. 

RIIIIIIIIIINGGGGG! Aku tiba-tiba tersentak. Terbangun. Mimpi apaan itu? AKu melihat jam sudah menunjukkan jam 6.00. Oh, this is not good. Aku segera ke kamar mandi dan siap berangkat sekolah. 

Hari ini seperti biasa aku berangkat ke sekolah. Rumahku ini perabotannya tak banyak. Ayah orang yang tak suka banyak perabot. Semuanya tampak sederhana. Kami cuma punya satu meja di ruang tamu. Di bawahnya ada karpet yang lebar. Biasa kami buat lesehan di sana. Jadi para tamu harus duduk semuanya. Nggak ada sofa. Lucu ya. Di pojok ruangan ada lampu, ada juga rak yang berjejer buku-buku. Macam-macam sih. Aku termasuk orang yang gemar baca buku. Hampir semua buku aku lahap. 

Di meja makan aku sudah mendapati Rara, Mark dan Lusi. Aku lihat ibuku sedang mempersiapkan semuanya. Kulihat ayah sedang menikmati salad di atas piringnya. Dari semua anggota keluarga hanya ayah yang paling sehat menunya setiap sarapan. Beliau bukan vegetarian, tapi lebih menjaga pola makan. Aku saja eneg melihat menu sayurannya. Apalagi dia juga minum Klorofil. Phew. Serba hijau. Mungkin kalau ada darah monster, atau darah alien, dia juga bakal minum. Ewww...

"Kesiangan lagi Hiro?" sapa ayah.

"Sorry, tadi malam chatting sama Mas Junior," kataku. Aku selalu manggil Mas Faiz dengan sebutan Mas Junior di hadapan semuanya.

"Wow, oya?" tanya ayahku excited.

"Bagaimana kabarnya?" tanya ibu.

"Baik, dia mau lulus kan? Dia juga nanyain kabar semuanya," jawabku. 

"Ayo Mas, bisa nyusul Mas Junior nggak?" tanya Rara.

"Belum ada rencana kesana," kataku. 

Aku menerima omelet buatan ibu. Sejujurnya ayah itu orang yang paling bisa masak di rumah. Omelet buatan ibu itu sedikit asin. Tapi kami tak pernah protes. Yang paling pas bikin itu cuma ayah. Aku heran saja, ayah bisa masak, kenapa nggak diserahkan ke ayah saja urusan masak memasaknya??

Aku tersenyum kecut melihat omelet itu. Rasanya ayah melihatnya. 

"Makan yang cepet, ntar telat!" celetuk ayah. 

Aku cuma meringis. Mark menyenggol kakiku. Aku langsung menoleh ke arahnya dan menampakkan ekspresi tanda tanya. Mark melirik ke arah bunda yang melihatku.

"Eh, bunda, heheheh," kataku.

"Masakan bunda nggak enak lagi?" tanyanya.

"Enak koq, enak!" kataku. Aku langsung mengambil semuanya. Dan kumasukkan ke mulut. Asiiinn... Melihat itu bunda tersenyum. 

"Lusi, jangan main ponsel waktu di meja makan!" kata ibu. 

Sebenarnya Lusi juga nggak mau sarapan. 

"Nda, tolong ambilin jus sirsak di dapur!" kata ayah.

Bunda lalu berdiri berjalan ke dapur meninggalkan kami.

"Makan saja sepotong dan senyum. Kalian tak mau kan lihat bunda kalian ngambek gara-gara kalian nggak sarapan?" tanya ayah. Ia tahu. 

Kami semua mengangguk. Rara, Mark dan Lusi langsung memotong omeletnya dan memasukkan ke mulut mereka. Lalu mereka minum air yang ada di gelas masing-masing. 

"Udah sana berangkat! Telat lho!" kata ayah dengan lembut. Waaah...ayah memang mengerti kami. 

Satu persatu kami mencium tangan ayah. Saat itu ibu datang dengan membawa jus sirsak. 

"Berangkat?" tanyanya.

"Iya bunda, udah telat," kataku. 

Kami segera mencium tangan beliau. Lalu berhamburan pergi. Sementara itu ayah tersenyum penuh arti kepada kami. Itulah yang selalu ayah ajarkan. Jangan mencela makanan orang lain. Sedapat mungkin kalau memang tak suka dan tak mau jangan disentuh, tapi agar hati orang yang memasaknya tak disakiti makanlah sedikit. Filosofinya itu sungguh mengena. Dan kami pun merasakan imbasnya sekarang. 

Seperti biasa, aku diantar dengan sopir. Mulanya menurunkan Mark, lalu Lusi. Mereka di SMP yang sama. Kemudian aku dan Rara. Kebetulan kami di sekolah SMA yang sama. Masa putih abu-abu. Aku sudah kelas XI. 

"Hai Hiro!" sapa seseorang. Dia Joshua. Dia Oh iya anak ayahku juga dari istrinya, bunda Vira. 

"Hai bro, w'sup!?" aku tos dengan dia dan menepuk pundaknya. Kami beda kelas sih, walaupun sama-sama kelas XI.

"Aku duluan!" kata Rara.

"OK Sis!" kata Joshua.

Setelah Rara pergi ada seseorang yang datang melintas. Eh...itu Yunita. Awwww...ok siapa sih Yunita itu? Dia itu gebetanku. 

"Hai Nit?" sapaku.

"Hai, aku duluan ya," katanya. Hari ini rambutnya dikuncir dua. So cuuuuutttteeeee...

"Lo sudah nembak belum?" tanya Joshua.

AKu menggeleng. 

"Jiah, pangeran kerajaan Hendrajaya nggak berani nembak cewek, cemen lu!" kata Joshua. Emang sih. Aku kagok kalau nembak cewek. Beda ama Joshua dia sudah punya pacar sekarang. Namanya Niken sekelas ama aku. Nah, sedangkan si Yunita, dia sekelas ama Joshua. Kami seperti kelas yang tertukar gitu.

"Ah, lu tahu sendiri aku gimana gitu ama cewek," kataku.

"Moga aja lu nggak jadi gay," katanya.

"Ah, sompret lu!" aku langsung merangkul lehernya. Dia berkelit dan kami saling memukul sambil tertawa.

0 Response to "Cerita Dewasa Si Rambut Merah Episode 3"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel