Cerita Dewasa Si Rambut Merah Episode 5

Why?

"Nit, aku punya tiket buat nonton bioskop, seharusnya hari ini mau ngajak Joshua. Kamu mau? mubadzir kalau dibuang," katanya kepada Yunita.

"Oke, boleh," jawab Yunita. 

"Siipp, nanti sore? Kujemput?" tanya Hiro.

"Gak usah, kita ketemuan aja di mall," jawab Yunita. 

"Baiklah," kata Hiro.

Ya, bagus Hiro. Kamu bisa ngajak Yunita kencan sekarang. Moga saja sukses. Setelah Yunita pergi Hiro seperti anak kecil melompat-lompat sambil berposes YES. Aku yang mengamati dari jauh hanya memberikan jempol kepadanya ketika dia melihatku. Dia membungkuk kepadaku sebagai tanda terima kasih. Tapi,...dia belum aku ajarkan satu hal. Ah, kurasa tak apa-apa.

Aku hari ini mencoba mengikuti Hiro. Dan entah kenapa aku melakukannya. Dia berangkat memakai taksi untuk sampai di mall. Aku bersama Devita di mobil, mengikuti Hiro sampai di mall.

"Ok, dia sudah masuk ke mall," kata Devita.

"Aku keluar. Tetap berkomunikasi," kataku.

Aku segera berlari-lari kecil mengikuti Hiro dari belakang. Di sebuah stand aksesoris, Yunita tampak sudah menunggu. Hiro lalu menyapanya dan mereka berjalan beriringan. Hiro lalu mengambil inisiatif untuk memegang tangan Yunita. Bagus Hiro, seperti itu. Yunita tak menolak. Mereka ngobrol banyak hari itu, aku menjaga jarak paling tidak jangan sampai ketahuan. 

Namun konsentrasiku terpecah. Ada sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Ada paling tidak dua sampai lima orang mengamati Hiro dari berbagai arah. Mereka memakai kemeja hitam dan jas berwarna gelap. Semua matanya menatap Hiro. Assasins!

"Dev, we have a trouble. Assasins!" kataku.

"What?" Devita terkejut. "Are you fucking serious?"

"I'm sure of it," kataku. Aku mengambil pistol Glock dari dalam tas. 

"Moon, be sure not to kill them. You don't wanna make a mess," kata Devita. Aku tahu itu. Kalau sampai aku membunuh mereka satu mall bisa kacau. Aku cuma pakai peluru bius saja. Aku tukar magazineku dengan peluru bius. Dan aku juga memasang silencer ke pistolku agar tak bersuara.

"I know, where is the others?"

"They are on the way."

Aku sedapat mungkin jangan sampai membuat penghuni mall panik. Pertama kali yang harus aku lumpuhkan adalah yang paling dekat denganku. Aku berjalan dengan santai. Tanganku kutaruh di dalam tas untuk menyembunyikan senjataku. Sang Assasin itu tampak sedikit menggeser bahunya ke belakang. Pertanda dia membawa senjata di sana, tersembunyi di balik jas abu-abunya. Dia sendirian. Aku berjalan agak cepat dan langsung menembaknya. Dia agak terkejut. Aku seperti pengunjung mall biasa. Begitu dia akan ambruk aku langsung mengaturnya agar terlihat ia seperti tidur. Dengan begini biar nanti tim penjemput yang akan membereskan mereka. 

"One down," kataku. "Four to go."

Aku menuruni tangga berjalan. Sedapat mungkin jangan sampai Hiro melihatku. Dia dan Yunita sudah menuju ke Studio 21. Aku mengambil sebuah topi dari sebuah stand untuk menutupi wajahku. Aku kemudian mengacungkan pistolku ke ara dua orang yang berjalan di belakang Hiro. Mereka berdua sedikit terkejut tapi mereka tak sempat berbuat apa-apa ketika kedua peluruku menancap di tubuh mereka. 

Aku langsung menangkap salah satu dari mereka dan menggeretnya ke pinggir, bersandar pada sebuah pilar. Dan yang satunya kubiarkan ambruk. Aku kemudian berlari menghampiri assasin yang ambruk itu langsung berteriak, "Help! Help!"

Seketika itu orang-orang berkerumun ke arah orang itu. Ketika banyak orang sudah berkumpul mengerumuni assasin yang ambruk itu, aku lalu berlari menuju ke arah Hiro dan Yunita. 

"Dev, two to go," kataku.

"Peter dan John has came, Nikolai will get the package," kata Devita.

Aku melihat Peter dan John. Mereka berlari menuju ke arah Hiro dan Yunita. Aku kemudian berlari memutar menghindari Hiro. Dari arah depan aku lihat kedua assasin akan mengampiri mereka. Aku berpapasan dengan Peter dan John. Ku arahkan pistolku ke kedua assasin itu, dua buah peluru bius menancap di tubuh mereka. Peter dan John langsung menangkap mereka. Aku menyimpan pistolku dan bersamaan dengan itu aku menabrak Hiro. BRUK! Aku terjatuh. Hiro lalu menangkapku. Untuk sesaat mataku beradu dengan Hiro. Cara memandangku...Suni....Oh tidak.

"Moon?!" Hiro mengetahui diriku.

"Oh, hai," sapaku. Aku sedikit gugup.

"Ngapain di sini?" tanyaku. Aku melirik ke arah Peter dan John yang sudah menyeret kedua assasin itu hingga tak terlihat lagi. 

"Oh, hanya jalan-jalan saja," jawabku.

"Moon, murid baru dari Korea?" tanya Yunita.

"Hai," sapaku.

"Hai juga," kata Yunita.

"Kalian mau nonton?" tanyaku.

"Iya, aku diajak Hiro," jawab Yunita. 

"Ok, aku harus pergi," kataku.

"Hati-hati," kata Hiro.

Aku segera berlari meninggalkan mereka. Fuck, Fuck! fuck! Kenapa? Kenapa aku melihat Suni di dalam matanya. Kenapa? Kenapa?

Para assasin itu kami tangkap. Tim pembersih yang terdiri dari anggota BIN yang lain telah mengumpulkan mereka di sebuah truk trailer yang berada di luar mall. Trailer itu memang sengaja digunakan untuk keperluan seperti ini. Mungkin orang-orang tidak begitu mengurusi tentang sebuah truk trailer yang berputar-putar saja di sekitar jala raya mall. 

Mereka semua sudah sadar ketika aku menyusul ke truk trailer itu. Nikolai sudah menyetrum mereka hingga mereka sadar. 

"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Devita.

Mereka tersenyum, tak menjawab. Nikolai kembali menyetrum mereka. Percuma saja, mereka memang ingin mati. 

"Just kill them all," kataku.

"But we don't know why they're targeting Hiro," kata Devita.

"Tell us, or you will get torture from me," Nikolai.

"Just do it, even you kill me. I wont tell," kata salah seorang dari mereka. 

Aku mengambil pistol dan aku tembak kepala mereka satu per satu. Devita berusaha mencegahku. Hingga aku menyisakan satu orang. 

"Moon, what the hell are you doing?" tanya Devita.

"They are useless. They from Black Wolf Assasins," kataku.

"How do you know?" tanya Peter.

Aku kemudian menunjukkan lengan orang yang mati. Ada tanda serigala di sana. Peter lalu menghela nafas.

"Yeah, she's right. Kill him!" kata Peter.

"Why?" tanya Devita.

"Because they have a principal, get the job done or die. That's why," kataku.

"No, I'm not one of them. I'm just new," kata satu orang yang masih hidup. Mata kami menoleh ke satu orang ini.

"So, tell us. Who hired you?" tanyaku.

Satu assasin ini kemudian menceritakan bahwa dia disuruh oleh seorang yang mengaku bernama Lucifer untuk menculik Hiro. Untuk alasan apa menculiknya, dia tak tahu. Yang jelas mereka ingin menculik Hiro. Genesis, apa rencana kalian sebenarnya?

"Kalau begitu, kamu harus selalu dekat dengan Hiro sekarang. Dia satu-satunya aset kita untuk bisa masuk ke M-Tech," kata Devita.

Aku menarik nafas panjang. Masih panjang perjalananku untuk bisa menyelesaikan misi ini. Aku keluar dari trailer dan kembali mengawasi Hiro. Dia masih di sana bersama Yunita.

NARASI HIRO

Pelajaran yang diberikan Moon mulai aku terapkan semuanya. Paling tidak Yunita mau jalan denganku. Kami nikmati waktu bersama. Tadi sempat ketemuan sama Moon. Sejujurnya entah kenapa saat mataku bertemu dengan Moon ada sesuatu. Semenjak itulah aku jadi kepikiran terus dengannya. Aku bahkan sampai melamun sendiri. Tidak konsen ketika Yunita bicara denganku.

"Kamu tak apa-apa? Sakit?" tanyanya.

"Oh, tidak," kataku.

Kenapa aku malah kepikiran Moon sih? Hei, sadar kamu sedang jalan ama Yunita. Bukankah ini yang kamu harapkan? Bisa jalan bersama Yunita? Kenapa kamu sekarang malah mikirin Moon? Aku bingung. Semua ini. Cara penampilanku, sikapku semuanya dari dia.

"Kamu berubah ya," kata Yunita.

"Berubah gimana?"

"Iyalah, berubah. Sekarang lebih menarik. Berbeda pokoknya."

"Makasih."

Kami tadi pulang dengan taksi bersama-sama. Aku mengantarkannya sampai di jalan dekat dengan rumah. 

"Sudah sini aja," kata Yunita. Kami berhenti di sebuah rumah. Cukup besar rumahnya. Pagarnya dicat berwarna hitam dan rumahnya ada tiga lantai. Bangunannya artistik khas eropa. Dia keluarga kaya rupanya. 

"Rumahmu besar juga ya," kataku.

"Nggak sebesar rumahmu pasti. Keluarga orang terkaya di Indonesia masa' rumahnya seperti aku? Aku mah kecil," katanya.

"Hehehe," aku nyengir. 

"Kapan-kapan main saja ke sini. Boleh koq," katanya.

"Sungguh?" 

Ia mengangguk. "Kan emang biasanya cowok yang pergi ke rumah cewek."

Aku mengangguk. "Yah, kapan-kapan."

"Makasih ya, untuk hari ini. Sudah nraktir aku. Sampai besok."

"Iya, sampai besok."

Yunita masih berdiri untuk beberapa saat. Kemudian dia tersenyum lalu berbalik masuk ke rumahnya. Aku menghela nafas. Entah kenapa kencan yang harusnya aku nikmati tak ada rasanya sama sekali. Dan aku masih teringat dengan Moon. Dengan lesu aku pun pulang. Sengaja aku jalan kaki karena ternyata rumahnya tak begitu jauh dengan rumahku. Walaupun tetap saja lama kalau jalan. 

Aku hampir sampai rumahku, hingga kemudian aku bertemu dengan Moon. Kenapa dia ada di sini?? Moon berdiri di sana. 

"Kau bodoh! You're so stupid!" katanya.

"Kenapa?"

"Kenapa tadi kamu biarkan dia menunggu?"

Aku tak tahu apa yang dia bicarakan.

"Seharusnya ketika berpisah kamu lakukan ini!" tiba-tiba Moon menuju ke arahku. Kemudian ia memegang bahuku. Perlahan-lahan wajahnya mendekat ke wajahku. Dia mau apa? Tanpa dikomando dia sudah menciumku. Hei...whaaaatt?? Bibirnya serasa lembut. Bau nafasnya sekarang masuk ke mulutku. Ia menghisap bibirku. Moon, kamu kenapa menciumku? Kenapa kamu menciumku? Ini adalah ciuman pertamaku, kenapa aku harus memberikannya kepadamu? Aku kemudian reflek melingkarkan tanganku ke pinggangnya. 

Entah berapa lama dia menciumku. Saat dia melepaskan ciumannya. Tampak air mata mengalir di pipinya. Kenapa dia menangis? 

Dia lalu pergi sambil berlari. "Tunggu dulu Moon! Jung Ji Moon!"

NARASI MOON

Kenapa? Kenapa? Kenapa ada Suni di sana? Cara dia menciumku. Sama seperti Suni. Kenapa? Aku berlari hingga Hiro tidak melihatku lagi. Aku menangis. Aku teringat Suni. Sebuah mobil menghampiriku. Devita yang menyetir.

"Kau tak apa-apa?" tanyanya.

Aku lalu jongok dan menangis. Menutupi wajahku dengan lenganku. Devita keluar dari mobil. Dia menghampiriku. Aku lalu berdiri dan memeluknya. 

"Kenapa aku bisa melihat Suni di dirinya? Kenapa?" aku terisak dalam pelukan Devita.

Hard Feeling

NARASI MOON


Sekolah liburan natal dan tahun baru. Dan hari ini aku diundang oleh Hiro. Dia berulang tahun. Ulang tahunnya tepat tanggal 31 Desember. Hampir saja pergantian tahun. Usianya sekarang tujuh belas tahun. Anehnya ulang tahunnya tak mengundang banyak orang. Hanya teman-temannya dan keluarganya saja. Dia mentraktir seluruh teman-temannya di sebuah kafe. Aku bisa melihat seluruh saudara-saudaranya di tempat itu. 

Acaranya khas anak muda. Mungkin hanya aku sendiri yang tidak menikmatinya. Aku sudah menghabiskan dua cangkir Cappucino. Kalau aku sampai menambah satu lagi, aku bisa tidak tidur semalaman. Hiro dan Yunita tampaknya mulai dekat. Aku bisa melihat mereka duduk berdua di acara ini. Mengawasi Hiro sekarang lebih berat kerjanya. Karena selain aku harus mendapatkan cara untuk bisa mengetahui dan masuk ke gedung M-Tech. Aku juga harus melindungi dia dari para assasin yang diutus oleh Genesis. Entah tujuannya apa mereka ingin menculik Hiro.

Aku mendapatkan kabar bahwa sebentar lagi ada acara peluncuran produk terbaru dari M-Tech. Faiz Hendrajaya akan meresmikan peluncurannya tepat pada tanggal 1 Januari. Mungkin aku bisa memanfaatkan momen itu untuk masih ke gedung M-Tech. Siapa tahu dengan Hiro di sana aku lebih mudah untuk masuk.

"Kau kenapa?" tanya Hiro. Aku terkejut. 

"Nggak apa-apa," jawabku.

"Dari tadi merenung terus. Nggak berbaur," katanya. 

"Ngomong-ngomong besok M-Tech ada acara ya?" aku mengalihkan perhatian.

"Iya, mau ada peluncuran produk baru. Kamu mau ikut?" tanyanya.

"Boleh?" 

"Tentu saja. Aku akan memperkenalkanmu kepada ayah dan ibuku."

"Tak perlu repot-repot seperti itu." 

"Harus itu," kata Hiro. Dia lalu menggandeng tanganku.

"Apa? Mau kemana?"

"Ikut aku sebentar."

Aku digeret oleh Hiro keluar kafe sebentar. Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan. 

"Moon, boleh aku bicara?"

"Bicaralah!"

"Aku tak bisa mencium Yunita seperti yang kau ajarkan kemarin."

Aku agak terkejut dengan omongannya. Kenapa dia berkata seperti itu? 

"Kenapa?"

"Aku tak tahu. Rasanya Yunita bukan lagi wanita yang aku inginkan."

"So?"

"So I...I...I'm not sure. It's complicated to say."

Aku tak bisa mengetahui apa yang dia bicarakan. Dia menyentuh pipiku dan mengusapnya. Eh, kenapa dia melakukan itu?

"Maafkan aku," katanya. Dia lalu berbalik dan meninggalkanku. Apa maksudnya? "Besok datanglah ke M-Tech!"

Secara garis besar aku tak tahu apa yang dia maksudkan dengan minta maaf. Tapi besok aku sudah bisa masuk ke M-Tech.

****

NARASI HIRO

Acara ulang tahun. Yah begitu-begitu saja. Entahlah, tadi malam aku bingung. Aku kenapa mengusap pipinya Moon? Dan malam ini aku bermimpi lagi untuk ketiga kalinya. Wajah wanita berambut merah itu adalah Moon. Dan aku menggenggam erat tangannya. Aku tak tahu apakah ini mimpi buruk atau bukan. Tapi semenjak aku mengenalnya di facebook itu dia selalu hadir di dalam mimpiku. 

Apakah aku menyukai Moon? Aku sendiri sudah tak yakin lagi dengan Yunita. Aku lebih dekat dengan Moon. Di kantin, di perpustakaan, di mana-mana ada dirinya. Gadis berambut merah dari Korea. Kenapa kamu selalu hadir? Kenapa wajahmu selalu terbayang?

Hari ini aku dan kedua bundaku berada di lantai satu gedung M-Tech. Ayah menginginkanku untuk hadir juga. Pers sudah menunggu di bawah dengan lampu blitz yang menari-nari mengambil momen-momen penting. Aku pun tak luput dari blitz wartawan. Entah akan ada berita apa esok hari. Sambil menemani bundaku dan Bunda Vira aku menunggu Moon. Katanya dia akan datang hari ini.

"Kamu menunggu siapa?" tanya Bunda Vira.

"Menunggu teman," jawabku.

"Teman apa teman?" goda ibuku.

"Ah, ibu ini. Teman beneran," kataku.

"Teman yang sudah mengubah anak ibu jadi seperti ini?" lagi-lagi aku digoda ibuku.

"Oh, sama gebetannya ya dek?" Bunda Vira malah ikutan.

"Sudahlah, aku nggak mau malu di hadapan kalian ama ayah. Iya, dia yang bikin aku seperti ini sekarang. Tapi bukan pacar, OK?" kataku kepada mereka berdua.

Ibuku dan Bunda Vira tertawa. Tak berapa lama kemudian datang seorang gadis berambut hitam, berwajah oriental, memakai swaeter coklat dengan rok selutut. Moon? Rambutnya diwarna hitam?

"Moon?" sapaku.

Dia membungkukkan badan kepada ibuku dan Bunda Vira. 

"Oh, ini ya?" ibuku melirikku dengan tatapan aneh.

Aku hanya nyengir.

"Boleh juga seleranya, dek," kata bunda Vira. Aduh, mereka menggoda aku lagi.

"Nice to meet you," kata Moon.

"Bukan orang Indonesia?" tanya ibuku.

"I'm from South Korea, my name is Jung Ji Moon," jawab Moon.

"I'm his mother," kata ibuku sambil cipika-cipiki dengan Moon. 

"I'm his mother too, he called me Bunda Vira," kata Bunda Vira melakukan hal yang sama.

"You are big family I guess," kata Moon.

"Yes, we are," kataku.

Aku melihat Ayah mendatangi kami. Dia baru turun dari lift dan langsung menghampiri kami.

"Ayah!?" sapaku.

"Siapa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Moon

"Oh, kenalkan ayah, temanku Jung Ji Moon," kata Hiro. "Please interduce this is my father."

"Bukan orang Indonesia?" tanya ayah

"Bukan, dia orang Korea," jawabku

"Oh, pacar?" tanyanya lagi.

"Bbb..Bukan ayah bukan. Cuma teman. Kebetulan ia ada di Indo, jadi aku ajak dia ke sini."

"Glad to meet you, sir," kata Moon. Dia menampakkan senyumnya kepada ayahku.

Bahu ayah dipukul oleh bunda. "Nda, jangan langsung main tonjok aja ama Hiro, barangkali masih pedekate."

"Biarin dek, dia aja waktu nembak aku langsung nyosor koq," gurau bunda Vira.

Kedua bundaku tertawa bersama. Moon sepertinya tak mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka berdua.

"Yes, indeed," gumam ayah. "So Moon, take your time. Take care Hiro. He is stubborn kid."

"Oh...come on Dad," kataku.

Ayah mengedipkan matanya kepadaku. Moon membungkukkan badan. Ayah kemudian menuju ke podium untuk mempromosikan produk M-Tech terbaru dengan disambut tepukan tangan yang membahana. 

"Aku jadi penasaran seperti apa sih dalamnya M-Tech itu?" gumam Moon.

"Kamu mau lihat?" tanyaku.

"Boleh?" 

"Ayo!" ajakku. 

Di saat ayah sedang berpidato aku pun mengajak Moon untuk jalan-jalan ke dalam gedung. Aku mengambil dua buah tag-name yang isinya kartu untuk membuka beberapa pintu di gedung ini. Sebab tidak sembarangan orang bisa masuk ke tempat ini. Petugas sekuriti sudah mengenal aku tentunya. Jadi mereka memberikan aku kartu khusus juga kepada Moon. 

Aku memberitahu Moon tentang gedung ini. Berjalan-jalan dari ruang staf, ruang produksi sampai kemudian aku menunjukkan sebuah ruangan di lantai bawah tanah. Tapi aku tak masuk ke sana. Moon memang sangat tertarik. Dia bertanya banyak hal. Aku hanya bisa menjelaskan semampuku saja. 

"Ruangan apa itu?" tanyanya. 

"Ini ruangan server. Seluruh data ada di sini. Pintunya lima lapis. Tak bisa dibuka oleh sembarangan orang kecuali ayahku, aku dan Mas Faiz," kataku. 

"Mas Faiz? Kakak? Setahuku saudaramu hanya tujuh bersaudara," kata Moon. 

"Tidak, ada satu saudaraku lagi. Anak dari bunda Putri. Memang tak pernah disebut. Sebab ayah sudah pisah dengan beliau," kataku.

"Oh...I see," tampak wajah Moon sedikit kecewa.

"Kenapa?" tanyaku.

"Tak apa-apa," jawabnya.

"Kalau masuk ke sana harus pake ini?" tanyanya.

"Nggak. Ruangan ini hanya dibuka pada saat ayah membutuhkannya. Siapapun yang sudah masuk tak bisa keluar lagi. Dan untuk membukanya hanya aku dan Mas Faiz yang bisa," jelasku.

"Hanya kalian?" 

"Iya, karena hanya aku yang tahu kuncinya. Ayah menggunakan sebuah algoritma khusus untuk mengunci pintu ini. Dan hanya dengan aku dan Mas Faiz sajalah yang bisa membukanya," aku tersenyum kepada Moon. "Canggih kan?"

"Seperti kunci DNA?"

"Apa itu?"

"Oh tidak, lupakan saja."

"Iya, kalau dikatakan kunci DNA. Algoritma itu adalah DNA-ku. Jadi ketika aku ingin membuka pintu alat itu akan memeriksa DNA-ku," kataku sambil menunjuk ke sebuah benda seperti touchpad. "Setelah DNA-ku dicheck maka akan ada beberapa persoalan angka-angka. Yang harus kami kerjakan dalam waktu kurang dari dua puluh detik. Kalau aku berhasil, maka aku bisa membuka kuncinya. Hebat kan?"

"Hebat sekali. Ayahmu yang merancang ini semua?" tanya Moon.

"Bukan, dulu ada seorang yang bekerja di tempat ini. Namanya Dr. Edward, tapi beliau sudah pergi," jawabku.

"Baiklah, aku sepertinya ada keperluan setelah ini. Kalau kau tak keberatan....," kata Moon.

"Oh iya, silakan! Aku antarkan kamu ke luar," kataku.

NARASI MOON

Aku menggebrak meja. Kami berada di ruang pertemuan. Devita tampak memijat-mijat kepalanya. Peter dan John juga ikut merasa pusing. Hanya Nikolai saja yang tak merasa. 

"Aku tak tahu kalau ruangan itu punya sekuriti secanggih itu," kataku dengan bahasa Indonesia yang sudah mulai aku kuasai.

"Damn it, bagaimana kita bisa masuk ke sana?" Devita juga pusing.

"What about explosive?" tanya Nikolai.

"Do you want our country had a war?" tanya Devita.

"And not just that. We need Faiz Hendrajaya Junior to open that damn door," kataku. 

"We only work with one name, Hiro. And now it's more complicated with Faiz Junior," kata Devita.

"Do we had a picture of him?" tanyaku.

Devita mencoba mencari-cari datanya. Dia kuliah di Oxford pasti ada fotonya. Dan saat Devita melihat foto itu dia bergumam, "Oh My God."

"What?" tanyaku. Di layar monitor ada sebuah foto seorang pemuda. Cukup tampan. Atau lebih tepatnya sangat mirip dengan Faiz Hendrajaya yang aku temui kemarin.

"Tell me this is bullshit," kata Devita.

"Why?"

"I know this person," kata Devita.

"What??" semua mata menoleh ke arah Devita.

"It's a long story," katanya.

"Okay, so here is this. I got Hiro, you got him. And we met to open that door. Get the S-Formula and finish this," kataku.

"But, I never meet him," kata Devita.

"So??"

Devita tahu tak akan mungkin bisa berdebat lagi. Kalau dia memang tahu Faiz Junior, maka itu adalah bagiannya. Karena aku sudah terlalu stress hanya untuk mengurusi Hiro.

0 Response to "Cerita Dewasa Si Rambut Merah Episode 5"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel