Jamuan Seks Di Pedalaman Episode 12
Saturday, March 11, 2017
Add Comment
AKHIR SEBUAH KENANGAN
Rasa takut dan merasa bersalah yang teramat sangat membuatku tak bisa berfikir dengan jernih, tak bisa lagi mencari peluang untuk membela diri...
Sungguh mudah bagiku untuk melarikan diri sebelum Tapulu tahu semua ini, tapi bagaimana dengan Lusi ?
"Pergilah kalian dari rumah ini...! sebelum Tapulu tahu ..., cepat..!" bentak Mbu'i.
Aku diam tak bergeming. Muna pun sama. Isakan yang berusaha disembunyikannya membuat tubuhnya kadang berguncang.
Hahhhh ! kenapa dengan warga suku ini ? Bukankah melakukan sex bukanlah hal yang tabu buat mereka ? kenapa juga mereka harus terikat dengan bisikan Si Penguasa darat dan langit yang entah benar keberadaannya atau tidak ? kenapa juga mereka terikat dengan Titah Tapulu, air suci, kamar cinta... dan sebagainya ? benar-benar kacau dan tak bisa diterima oleh akal dan norma yang sesungguhnya...!
"Hey..! kenapa belum pergi ? " bentak Mbu'i lagi.
Aku masih tetap diam. Ku tatap Mbu'i dengan tajam. Bagaimana mungkin aku harus pergi dan meninggalkan Lusi sendiri disini ? akan bagaimana nasibnya nanti ? Tidak ! Apapun yang terjadi aku tidak akan pergi.
"Kami tak akan pergi, Mbu'i. Kami akan tetap disini, menunggu keputusan Tapulu..!" Ucapku mantap.
"Baiklah. Itu keinginan kamu. Tunggulah, hukuman apa yang akan Tapulu berikan pada kalian berdua nanti.." ucap Mbu'i dingin.
Mbu'i melangkah pergi meninggalkan kami bertiga. Mungkin dia akan melapor kepada Tapulu tentang apa yang diketahuinya ini.
"Sudahlah, Kak Muna. Tak usah menangis lagi. Semua sudah terjadi, kalian harus siap menanti apa yang akan Bapak berikan kepada kalian sebagai hukuman.." Muni mencoba menghentikan Muna, namun dengan kalimat yang ujungnya bernada menakuti.
"Muni.." panggilku pelan pada Muni.
"Ya, Kak.."
"Kau tak menyayangi kakakmu ?"
"Aku sayang..."
"Kenapa kau buat Ibu dan Bapak tahu masalah ini jika kau sayang pada kakakmu ?"
Muni terdiam sejenak. Wajahnya menyiratkan kebingungan.
"Tapi ini semua demi kedamaian warga suku kami, Kak "
"Dengan mengorbankan kakakmu sendiri ?"
Muni semakin bingung. Antara harus membela kakaknya dan membela "kedamaian" sukunya.
"Aku seorang manusia yang hidup di alam modern, Muni. Bagi kami justeru apa yang sering kalian lakukan dengan Tradisi Bundato seperti yang pernah aku jalani serta Tradisi penyambutan tamu yang sedang dijalani temanku Lusi, itu malah akan membuat Sang Penguasa kehidupan, penguasa alam serta langit menjadi murka...." ucapku panjang tanpa mempedulikan apakah Muni dapat mengerti dengan apa yang kujelaskan.
"Tapi itu sudah menjadi tradisi kami selama bertahun-tahun. Tak ada yang bisa menentang itu " Muni masih membela tradisi sukunya.
Perdebatan pun terus terjadi antara aku dan Muni hingga pagi menjelang yang disaksikan oleh Muna dengan isakannya yang belum berhenti juga.
Perdebatan terhenti setelah Tapulu datang menghampiri kami. Nampak keletihan tersirat diwajah serta tubuhnya. Langkahnya agak gontai. Tak lama Lusi pun datang dengan pakaian yang seperti berusaha di rapikan.
'hmmmm.., mereka pasti bertempur terus sepanjang malam. Hebat juga kau Lusi' bisikku dalam hati.
Aku yang hanya memakai celana segera memperbaiki posisi dudukku. Sementara Muna masih bugil, sama seperti Muni.
Dengan dada berdebar, aku menanti apa yang akan diucapkan Tapulu. Lusi segera mendekatiku, lalu duduk disampingku. Tapulu mengambil tempat tepat dihadapan kami berempat.
Tatapan matanya yang tajam terasa menusuk relung hatiku, memecut debar dijantung, perlahan-lahan rasa takut mulai menderaku.
"Pak Anton.." Tapulu memulai pembicaraan. Suaranya terkesan sangat berwibawa. Ah, sesungguhnya biasa-biasa saja, hanya karena rasa takut dan rasa bersalah padaku hingga membuat semuanya seperti berubah.
"Saya telah memberi penyambutan pada temannya Pak Anton. Lusi..." Tapulu terdiam sejenak. "Dan Pak Anton pasti telah menjalani ritual itu bersama kedua putri saya"
Nadanya biasa-biasa saja. Nampaknya Tapulu belum diberitahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kulirik Lusi, dia tersenyum.
"Tapi, Pak Anton....." Tapulu memperbaiki posisi duduknya yang sebenarnya memang sudah seperti itu. "Ada satu hal yang perlu saya utarakan. Ini menyangkut putri saya, Muna..."
Hahhhh! Ini dia pasti.
"Saya telah mendengar apa yang terjadi antara Pak Anton dengan Putri saya, Muna"
Aku menundukkan wajah. Tak berani menatap wajah Tapulu. Andaikan ini adalah pengadilan diluar sana, bukan di suku ini, maka pasti aku tak akan pernah merasa takut. Tapi ini adalah pengadilannya Tapulu yang mengandalkan bisikan "Sang Penguasa darat dan langit"
"Kami sangat menyayangkan tentang hal itu. Dengan terpaksa kami harus menjalankan hukum adat yang berlaku disini"
Aku menelan ludah yang teramat pahit.
"Maafkan kami, Tapulu " aku mencoba memohon.
"Hukumannya sangat berat, Pak Anton...."
"Mohon ampuni kami, Tapulu..." makin gugup aku mendengar ucapan Tapulu.
"Pak Anton dan putri saya Muna akan menerima hukuman ini. Dan ini harus kami laksanakan hari ini juga..."
Muna makin terisak. Muni diam saja. Dan aku makin gugup.
"Kecuali ada satu syarat....."
Byurrrrrrrr
Ada secercah harapan pada kalimat itu. Aku menatap penuh harap pada Tapulu. Berharap syarat itu tak berat.
"Ampuni kami Bapak..." Suara Muna tiba-tiba keluar menghiba. Dengan merangkak dia berjalan lalu memeluk kaki Tapulu.
"Ampuni kami...hikk...hikk..."
"Kenapa kalian langgar pantangan itu. Kenapa kalian berani hah ??!" Suara Tapulu meninggi.
"Kami...ka..mi..., hik..hik.."
"Menjauh dariku..., sana..! duduk dekat Anton..!" bentak Tapulu. Nada suaranya penuh amarah, hingga kebiasaannya memanggilku dengan "Pak Anto N" pun hilang
Muna pun segera mundur dan duduk disampingku. Aku yang tengah diapit oleh Muna dan Lusi merasakan hal yang sangat menakutkan.
"Atas dasar apa kalian melakukan itu, hah ?!" masih dengan nada suara tinggi Tapulu menanyakan alasan kami.
Aku diam saja. Tak berani menjawab.
"Muna....Muna...., sssaa...ssaayyaang sama Kak Anton..."
Hah ?!?!
"Sayang ??!, sayang seperti apa ???" bentak Tapulu
"Seper-tiii....Muna.. ssayang Bapak......dan Ibu.."
"Baiklah kalau begitu..." Ucap Tapulu dengan suara agak mereda. "Panggil sepuluh orang warga laki-laki kemari, Muni. Cepaaaattt..!"
Aku tercekat, kaget. Mau apa Tapulu dengan sepuluh orang laki-laki ? apa maksudnya ? Kulihat Muni keluar dengan tergesa-gesa, pakaiannya dipakai sambil terus berjalan. Ingin rasanya aku mencegahnya, tapi apa kuasaku ?
"Berterima kasihlah kepada Bapak. Hanya karena memandang engkau putriku, maka Sang Penguasa darat dan langit meringankan hukuman untukmu..."
Keringanan hukuman. Keringanan macam apa ? terus ada apa dengan sepuluh lelaki yang dipanggil kemari ?
Tak lama berselang Muni kembali bersama sepuluh lelaki. Tubuh mereka hampir sama. Tegap, kekar dan berotot.
"Kemarilah" Perintah Tapulu pada kesepuluh lelaki itu. "Kalian akan mendapatkan titah untuk melaksanakan hukuman untuk putriku "
Kesepuluh lelaki itu berjalan dengan langkah penuh hormat.
Muna yang mungkin tahu apa yang akan dilaksanakan memandang Bapaknya dengan wajah memelas penuh permohonan. Namun kesan iba dari wajah Tapulu tak ada sama sekali.
Aku mengenggam erat tangan Lusi. Penuh debar aku menunggu hukuman apa yang akan dijatuhkan padaku. Lusi pun tegang. Tangannya terasa dingin dan kaku. Hanya Muni yang kelihatan tenang, tak ada kesan khawatir sama sekali.
"Bawalah Muna ke altar. Setubuhi dia hingga seluruh tulangnya tak lagi menyambung, hingga membuka matanyapun dia tak akan mampu. Lakukanlah, setubuhi putriku sesukamu...."
Kejam benar ! bapak macam apa dia ? rutukku dalam hati
Kesepuluh lelaki itu segera mengangkat tubuh Muna, lalu membawanya masuk menuju altar. Selanjutnya, aku tak tahu apa yang mereka lakukan. Hanyalah suara jeritan Muna sering terdengar, jeritan kesakitan, jeritan permohonan ampun...
"Dan Kau, Pak Anton.." Tapulu menatapku dengan tajam. "Mulai saat ini dan seterusnya, kau tak diizinkan bertemu dengan Muna. Bicara dengan dia, ataupun melihat wajahnya..."
Hukuman macam apa ini ?
"Mengingat jasamu pada warga suku ini, maka penguasa darat dan langit berkenan mengampunimu, tapi ingatlah, kau tak boleh ketemu Muna, karena jika itu terjadi, maka hukuman berat akan dijatuhkan padamu..."
hufffffffhhhhhhh
Lega rasanya. Tapi..... bagaimana dengan Muna ? juga dengan Lusi ?
"Malam ini kau harus menjalani pembersihan diri. Kau harus mengekang dirimu untuk tidak boleh makan dan minum hingga pagi"
"Lalu bagaimana dengan Lusi, Tapulu ?"
"Lusi akan bebas memilih. Mau melanjutkan bersama aku, atau bersama Pak Anton"
Maksudnya tidur bersama ?
"Tapi Pak Anton akan tidur bersama isteri saya, Muni, dan pelayan rumah ini. Itu hukuman terringan yang Pak Anton terima." Ucap Tapulu sambil berdiri dari duduknya. "Lusi akan bebas memilih"
Hukuman ? itu mah bukan hukuman..., itu jamuan kenikmatan.... hehehehehe..
"Anton..." bisik Lusi. Aku memandangnya. "Aku sama Tapulu ya ?"
Aku mengangguk. Lusi pun berjalan mengikuti langkah Tapulu yang masuk ke bagian dalam rumah.
"Ayo masuk, Kak Anton..." Muni mendekatiku lalu meraih tanganku mengajakku berdiri. Lalu masuk mengikuti Tapulu.
Nasib apalagi ini ????
Rasa takut dan merasa bersalah yang teramat sangat membuatku tak bisa berfikir dengan jernih, tak bisa lagi mencari peluang untuk membela diri...
Sungguh mudah bagiku untuk melarikan diri sebelum Tapulu tahu semua ini, tapi bagaimana dengan Lusi ?
"Pergilah kalian dari rumah ini...! sebelum Tapulu tahu ..., cepat..!" bentak Mbu'i.
Aku diam tak bergeming. Muna pun sama. Isakan yang berusaha disembunyikannya membuat tubuhnya kadang berguncang.
Hahhhh ! kenapa dengan warga suku ini ? Bukankah melakukan sex bukanlah hal yang tabu buat mereka ? kenapa juga mereka harus terikat dengan bisikan Si Penguasa darat dan langit yang entah benar keberadaannya atau tidak ? kenapa juga mereka terikat dengan Titah Tapulu, air suci, kamar cinta... dan sebagainya ? benar-benar kacau dan tak bisa diterima oleh akal dan norma yang sesungguhnya...!
"Hey..! kenapa belum pergi ? " bentak Mbu'i lagi.
Aku masih tetap diam. Ku tatap Mbu'i dengan tajam. Bagaimana mungkin aku harus pergi dan meninggalkan Lusi sendiri disini ? akan bagaimana nasibnya nanti ? Tidak ! Apapun yang terjadi aku tidak akan pergi.
"Kami tak akan pergi, Mbu'i. Kami akan tetap disini, menunggu keputusan Tapulu..!" Ucapku mantap.
"Baiklah. Itu keinginan kamu. Tunggulah, hukuman apa yang akan Tapulu berikan pada kalian berdua nanti.." ucap Mbu'i dingin.
Mbu'i melangkah pergi meninggalkan kami bertiga. Mungkin dia akan melapor kepada Tapulu tentang apa yang diketahuinya ini.
"Sudahlah, Kak Muna. Tak usah menangis lagi. Semua sudah terjadi, kalian harus siap menanti apa yang akan Bapak berikan kepada kalian sebagai hukuman.." Muni mencoba menghentikan Muna, namun dengan kalimat yang ujungnya bernada menakuti.
"Muni.." panggilku pelan pada Muni.
"Ya, Kak.."
"Kau tak menyayangi kakakmu ?"
"Aku sayang..."
"Kenapa kau buat Ibu dan Bapak tahu masalah ini jika kau sayang pada kakakmu ?"
Muni terdiam sejenak. Wajahnya menyiratkan kebingungan.
"Tapi ini semua demi kedamaian warga suku kami, Kak "
"Dengan mengorbankan kakakmu sendiri ?"
Muni semakin bingung. Antara harus membela kakaknya dan membela "kedamaian" sukunya.
"Aku seorang manusia yang hidup di alam modern, Muni. Bagi kami justeru apa yang sering kalian lakukan dengan Tradisi Bundato seperti yang pernah aku jalani serta Tradisi penyambutan tamu yang sedang dijalani temanku Lusi, itu malah akan membuat Sang Penguasa kehidupan, penguasa alam serta langit menjadi murka...." ucapku panjang tanpa mempedulikan apakah Muni dapat mengerti dengan apa yang kujelaskan.
"Tapi itu sudah menjadi tradisi kami selama bertahun-tahun. Tak ada yang bisa menentang itu " Muni masih membela tradisi sukunya.
Perdebatan pun terus terjadi antara aku dan Muni hingga pagi menjelang yang disaksikan oleh Muna dengan isakannya yang belum berhenti juga.
Perdebatan terhenti setelah Tapulu datang menghampiri kami. Nampak keletihan tersirat diwajah serta tubuhnya. Langkahnya agak gontai. Tak lama Lusi pun datang dengan pakaian yang seperti berusaha di rapikan.
'hmmmm.., mereka pasti bertempur terus sepanjang malam. Hebat juga kau Lusi' bisikku dalam hati.
Aku yang hanya memakai celana segera memperbaiki posisi dudukku. Sementara Muna masih bugil, sama seperti Muni.
Dengan dada berdebar, aku menanti apa yang akan diucapkan Tapulu. Lusi segera mendekatiku, lalu duduk disampingku. Tapulu mengambil tempat tepat dihadapan kami berempat.
Tatapan matanya yang tajam terasa menusuk relung hatiku, memecut debar dijantung, perlahan-lahan rasa takut mulai menderaku.
"Pak Anton.." Tapulu memulai pembicaraan. Suaranya terkesan sangat berwibawa. Ah, sesungguhnya biasa-biasa saja, hanya karena rasa takut dan rasa bersalah padaku hingga membuat semuanya seperti berubah.
"Saya telah memberi penyambutan pada temannya Pak Anton. Lusi..." Tapulu terdiam sejenak. "Dan Pak Anton pasti telah menjalani ritual itu bersama kedua putri saya"
Nadanya biasa-biasa saja. Nampaknya Tapulu belum diberitahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kulirik Lusi, dia tersenyum.
"Tapi, Pak Anton....." Tapulu memperbaiki posisi duduknya yang sebenarnya memang sudah seperti itu. "Ada satu hal yang perlu saya utarakan. Ini menyangkut putri saya, Muna..."
Hahhhh! Ini dia pasti.
"Saya telah mendengar apa yang terjadi antara Pak Anton dengan Putri saya, Muna"
Aku menundukkan wajah. Tak berani menatap wajah Tapulu. Andaikan ini adalah pengadilan diluar sana, bukan di suku ini, maka pasti aku tak akan pernah merasa takut. Tapi ini adalah pengadilannya Tapulu yang mengandalkan bisikan "Sang Penguasa darat dan langit"
"Kami sangat menyayangkan tentang hal itu. Dengan terpaksa kami harus menjalankan hukum adat yang berlaku disini"
Aku menelan ludah yang teramat pahit.
"Maafkan kami, Tapulu " aku mencoba memohon.
"Hukumannya sangat berat, Pak Anton...."
"Mohon ampuni kami, Tapulu..." makin gugup aku mendengar ucapan Tapulu.
"Pak Anton dan putri saya Muna akan menerima hukuman ini. Dan ini harus kami laksanakan hari ini juga..."
Muna makin terisak. Muni diam saja. Dan aku makin gugup.
"Kecuali ada satu syarat....."
Byurrrrrrrr
Ada secercah harapan pada kalimat itu. Aku menatap penuh harap pada Tapulu. Berharap syarat itu tak berat.
"Ampuni kami Bapak..." Suara Muna tiba-tiba keluar menghiba. Dengan merangkak dia berjalan lalu memeluk kaki Tapulu.
"Ampuni kami...hikk...hikk..."
"Kenapa kalian langgar pantangan itu. Kenapa kalian berani hah ??!" Suara Tapulu meninggi.
"Kami...ka..mi..., hik..hik.."
"Menjauh dariku..., sana..! duduk dekat Anton..!" bentak Tapulu. Nada suaranya penuh amarah, hingga kebiasaannya memanggilku dengan "Pak Anto N" pun hilang
Muna pun segera mundur dan duduk disampingku. Aku yang tengah diapit oleh Muna dan Lusi merasakan hal yang sangat menakutkan.
"Atas dasar apa kalian melakukan itu, hah ?!" masih dengan nada suara tinggi Tapulu menanyakan alasan kami.
Aku diam saja. Tak berani menjawab.
"Muna....Muna...., sssaa...ssaayyaang sama Kak Anton..."
Hah ?!?!
"Sayang ??!, sayang seperti apa ???" bentak Tapulu
"Seper-tiii....Muna.. ssayang Bapak......dan Ibu.."
"Baiklah kalau begitu..." Ucap Tapulu dengan suara agak mereda. "Panggil sepuluh orang warga laki-laki kemari, Muni. Cepaaaattt..!"
Aku tercekat, kaget. Mau apa Tapulu dengan sepuluh orang laki-laki ? apa maksudnya ? Kulihat Muni keluar dengan tergesa-gesa, pakaiannya dipakai sambil terus berjalan. Ingin rasanya aku mencegahnya, tapi apa kuasaku ?
"Berterima kasihlah kepada Bapak. Hanya karena memandang engkau putriku, maka Sang Penguasa darat dan langit meringankan hukuman untukmu..."
Keringanan hukuman. Keringanan macam apa ? terus ada apa dengan sepuluh lelaki yang dipanggil kemari ?
Tak lama berselang Muni kembali bersama sepuluh lelaki. Tubuh mereka hampir sama. Tegap, kekar dan berotot.
"Kemarilah" Perintah Tapulu pada kesepuluh lelaki itu. "Kalian akan mendapatkan titah untuk melaksanakan hukuman untuk putriku "
Kesepuluh lelaki itu berjalan dengan langkah penuh hormat.
Muna yang mungkin tahu apa yang akan dilaksanakan memandang Bapaknya dengan wajah memelas penuh permohonan. Namun kesan iba dari wajah Tapulu tak ada sama sekali.
Aku mengenggam erat tangan Lusi. Penuh debar aku menunggu hukuman apa yang akan dijatuhkan padaku. Lusi pun tegang. Tangannya terasa dingin dan kaku. Hanya Muni yang kelihatan tenang, tak ada kesan khawatir sama sekali.
"Bawalah Muna ke altar. Setubuhi dia hingga seluruh tulangnya tak lagi menyambung, hingga membuka matanyapun dia tak akan mampu. Lakukanlah, setubuhi putriku sesukamu...."
Kejam benar ! bapak macam apa dia ? rutukku dalam hati
Kesepuluh lelaki itu segera mengangkat tubuh Muna, lalu membawanya masuk menuju altar. Selanjutnya, aku tak tahu apa yang mereka lakukan. Hanyalah suara jeritan Muna sering terdengar, jeritan kesakitan, jeritan permohonan ampun...
"Dan Kau, Pak Anton.." Tapulu menatapku dengan tajam. "Mulai saat ini dan seterusnya, kau tak diizinkan bertemu dengan Muna. Bicara dengan dia, ataupun melihat wajahnya..."
Hukuman macam apa ini ?
"Mengingat jasamu pada warga suku ini, maka penguasa darat dan langit berkenan mengampunimu, tapi ingatlah, kau tak boleh ketemu Muna, karena jika itu terjadi, maka hukuman berat akan dijatuhkan padamu..."
hufffffffhhhhhhh
Lega rasanya. Tapi..... bagaimana dengan Muna ? juga dengan Lusi ?
"Malam ini kau harus menjalani pembersihan diri. Kau harus mengekang dirimu untuk tidak boleh makan dan minum hingga pagi"
"Lalu bagaimana dengan Lusi, Tapulu ?"
"Lusi akan bebas memilih. Mau melanjutkan bersama aku, atau bersama Pak Anton"
Maksudnya tidur bersama ?
"Tapi Pak Anton akan tidur bersama isteri saya, Muni, dan pelayan rumah ini. Itu hukuman terringan yang Pak Anton terima." Ucap Tapulu sambil berdiri dari duduknya. "Lusi akan bebas memilih"
Hukuman ? itu mah bukan hukuman..., itu jamuan kenikmatan.... hehehehehe..
"Anton..." bisik Lusi. Aku memandangnya. "Aku sama Tapulu ya ?"
Aku mengangguk. Lusi pun berjalan mengikuti langkah Tapulu yang masuk ke bagian dalam rumah.
"Ayo masuk, Kak Anton..." Muni mendekatiku lalu meraih tanganku mengajakku berdiri. Lalu masuk mengikuti Tapulu.
Nasib apalagi ini ????
0 Response to "Jamuan Seks Di Pedalaman Episode 12"
Post a Comment