Jamuan Seks Di Pedalaman Episode 9

BACK TRIP TO TRIBAL ​


Kesepakatanpun terjadi antara aku, Lusi dan Muna. Kami akan mengantarkan Muna kembali ke suku Lihito dengan segala resiko yang mungkin akan Muna atau bahkan kami bertiga terima.

Muna tak ingin kembali ke suku itu pada awalnya. Dia ingin tetap bersamaku, bukan Cuma sekedar takut untuk kembali lagi kesana karena kepergiannya tanpa sepengetahuan keluarga Tapulu tapi hanya karena tak ingin pisah dariku. Sebagai seorang laki-laki tentu aku sangat senang dan merasa bangga, betapa tidak...! seorang gadis perawan cantik (menurut ukuranku sih) rela meninggalkan keluarganya hanya karena ingin selalu di dekatku. Namun sebagai pria yang berfikir jernih tentang hari esok aku merasa was-was dengan apa yang telah Muna (lebih tepat kami) lakukan, terlebih sebagai seorang Mahasiswa aku mana mungkin bisa tinggal di pedalaman yang segalanya terisolasi dari keramaian dunia luar ?

Jauh di lubuk hatiku aku merasa layak disalahkan, dan memang aku turut bersalah atas segala yang telah terjadi ini. Rasa takut karena telah melanggar larangan Tapulu tek sediktipun kurasakan.

Kembali ke Laptop.....

Kami bertiga akhirnya kembali ke Pemukiman Suku Lihito. Kembali perjalanan yang melelahkan aku lakukan, namun kali ini aku ditemani Lusi dan Muna, tak lagi mengajak Pak Juna karena aku sudah mengenal medan jalan menuju pemukiman, lagian ada Muna.

Kami berangkat dari kosan pagi hari, dan sore hari kami sudah tiba di pemukiman.
Apa yang ditakutkan oleh Lusi ternyata tak terbukti sama sekali, dan ini cukup aneh buatku. Tak sedikitpun Tapulu mempersoalkan kepergian Muna dari pemukiman, tak marah atau minimal menegur Muna dengan keras soal kepergiannya.
Malahan ......

"Wah, Pak Anton kembali lagi. Kami sangat senang Pak Anton mau kembali lagi ke pemukiman ini..."
Tapulu menyambutku, maksudku menyambut kami dengan segala rasa sukanya.

"Pak Anton harap bersedia tinggal untuk beberapa hari lagi bersama isteri....."

"Ini namanya Lusi, Tapulu. Dia teman kuliah saya..." aku memberi penjelasan atas dugaan salah Tapulu, meskipun aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Tapulu tak faham apa itu Kuliah.

"Ya, Pak Anton..." Kata Tapulu berdehem kecil sambil melirik Lusi. "Itu isteri Pak Anton..."

Ah, mungkin disini tak ada namanya teman, saudara. Yang ada hanyalah isteri, satu untuk semua.... hehehehehehe

Kami disuguhi lagi dengan makanan dan minuman khas suku Lihito, dengan peralatan makan dan minum yang masih sama seperti dulu. Makanan dan minuman pun masih diantarkan oleh seorang pelayan yang berpakaian sama seperti dulu aku pertama kali datang. Tak ada yang berubah, kecuali cara Tapulu menatap aku..., eh maksudku menatap Lusi.
Aku pun diminta untuk tinggal di tempatku dulu. Bersama Lusi...? tidak...! Lusi tinggal dalam rumah Tapulu. Untuknya disediakan sebuah kamar bersebelahan dengan kamar Muna.


#POV LUSI#
Suasana alam yang sangat sejuk dan indah serta nyaman, juga warga yang memperlakukan kami dengan sangat hormat dan dimuliakan membuatku merasa ingin lama tinggal di pemukiman ini. Apalagi tadi kulihat ada danau dengan airnya yang segar..., wuih..., rasanya ingin mandi setiap hari di danau itu.

Sebelum kami memutuskan untuk mengantar Muna kembali ke pemukiman ini, aku agak ragu. Campur aduk, takut, ngeri dan penasaran. Takut karena aku bukanlah seorang perempuan yang memiliki jiwa petualang (kecuali petualang sex...hihihi), ngeri karena membayangkan sesuatu yang akan dilakukan oleh kaum suku ini terhadap kami yang telah menyebabkan perginya Muna dari suku itu, penasaran karena aku ingin melihat langsung peradaban suku itu seperti yang diceritakan Anton padaku.

Malam itu setelah kami menyantap hidangan khas suku Lihito, aku dipersilahkan menempati sebuah kamar bersebelahan dengan kamar Muna. Sedangkan Anton dipersilahkan menempati kembali tempat yang dia tempati dulu ketika datang ke pemukiman ini.

Muna yang sudah akrab denganku memperkenalkan seluruh penghuni rumah. Ibunya yang bernama Mbu'i, cantik dan seksi, setidaknya dalam ukuran wanita pedalaman. Lalu adiknya Muni, tak kalah cantiknya dengan Muna.
Dari pakaian dan perhiasan yang mereka pakai, hampir tak ada perbedaan, kecuali kalung yang mereka pakai. Ibu dan adik Muna dihiasi oleh semacam medali yang berbentuk bandul terbuat dari perak. Kalung ibunya digantungi dua buah medali, sedangkan Muni satu medali.

"Kakak akan mendapatkan itu juga, besok..." itu penjelasan Muna ketika aku tanyakan perihal medali itu padanya.

Kenapa aku ? lalu Muna ???

"Aku tak punya medali itu. Untuk mendapatkannya ada syaratnya. Dan kakak akan mengerti setelah kakak mendapatkan medali itu..."

Muna kembali menjelaskannya padaku.

Bingung juga..., tapi kenapa aku harus memikirkan perihal medali itu ?
Kedatanganku ke suku ini bukan demi medali kan ? tetapi untuk mengetahui dan melihat langsung semua tradisi "aneh" suku ini, menghilangkan rasa penasaran dari semua cerita Anton.
Dan.....
Tak ada yang aneh, tak ada yang janggal, dan tak ada yang istimewa seperti cerita Anton. Mungkinkah karena kami tiba disini menjelang sore sehingga segala aktivitas kaum di suku itu telah berakhir, ataukah ???

Skip..... Skip.... Skip....

Pagi harinya aku terbangun dengan suara-suara yang cukup asing di telingaku, namun seperti sangat indah dan natural. Burung-burung berkicau, ayam-ayam berkokok, semua penguni pemukiman mulai beraktivitas lagi. Semuanya membuat aku seperti hidup dalam sebuah dunia yang sangat nyaman dan indah.

Kulihat Anton sudah ada. Dia tengah duduk berbincang-bincang dengan Tapulu. Sesekali wajahnya menampakkan ketegangan, sesekali tersenyum, lalu tertawa dan seterusnya, silih berganti, aku tak tahu apa yang sedang mereka perbincangkan. Akupun berjalan mendekati mereka.

"Lusi sudah bangun ?" sapa Tapulu melihat kedatanganku.

Aku tersenyum. Lalu duduk bersimpuh disamping Anton. Tak ada Muna disitu, tak ada ibunya, hanya kami bertiga.

"Bagaimana tidurmu ? nyenyak" tanya Anton sambil menatapku menyelidik.

"Iya. Nyaman tidur disini..." jawabku. "Kalian lagi ngomongin apa tadi ? Kulihat kau sepertinya tegang ?" tanyaku pada Anton dengan berbisik pelan.

"Lagi ngomongin kamu" jawab Anton dengan berbisik pula.

Nampaknya Tapulu tengah memperhatikan kami yang saling bisik tanpa kami sadari. Suara deheman Tapulu membuatku agak sedikit merasa gugup.

"Lusi akan segera menjalani ritual penyambutan tamu pagi ini..." Tapulu berkata datar. Sangat datar hingga membuatku terkejut. Ritual di suku ini pasti aneh, seperti cerita Anton.

"Ritual ? Ritual seperti apa itu, Tapulu ?" Penasaran aku bertanya pada Tapulu

"Sama seperti yang dijalani oleh Pak Anton...." datar dan makin membuatku gugup.

"Kamu jalani saja, Lusi " bisiki Anton pelan.

"Aku tak mengerti, apa itu berhubungan sex seperti yang kau lakukan ?"

"Mungkin saja...."

"Hah ???!" tanpa sadar aku berteriak. Tapulu menatap tajam padaku.

"Saya dan Lusi harus berhubungan badan. Ini penyambutan tamu perempuan, penghormatan kami untuk Lusi, sekaligus menghindari kemarahan penguasa darat dan langit..."

Waduh ? Apa yang akan dilakukan Tapulu ? menyetubuhiku ? apa aku tak salah dengar ?

Membayangkan disetubuhi pria pedalaman yang kasar membuatku bergidik, ngeri....!

"Sejenak lagi setelah isteri saya kembali dari mengambil air suci, maka ritual akan segera kita mulai"
Tapulu berucap dengan rona tegang, Seakan ini adalah prosesi suci yang sangat penting. Ah, ini kan tradisi mereka...
"Muna bersama isteri saya sedang mengambil air suci. Setelah itu ritual suci akan segera kita laksanakan. Muna juga akan ikut dalam ritual ini. Pak Anton harap bersedia menjalani ritual kembali bersama Muna..."

Mati aku...! pasti senjata pria pedalaman ini sangat besar, lebih besar dari milik Anton yang sering "menginap" dalam vaginaku. Hah..., kenapa bukan Anton saja yang melakukannya untukku ? kenapa harus Tapulu ?
Ini kan tradisi mereka..., oh iya ya ? hihihihi... batinku berkecamuk.

Kulirik Anton yang dari tadi diam saja. Dia tersenyum padaku, sedang menertawakan aku dalam hatinya mungkin. Brengsek kau Anton ! awas kau... !

"Nah, itu mereka sudah datang..." Ucap Tapulu tiba-tiba.

Nampak Muna dan ibunya datang sambil membawa dua buah bambu berukuran sedepa. Isinya sudah bisa kutebak. Pasti air suci yang dikatakan Tapulu tadi.

"Ayo..., kita ke dalam. Tempat ritual sudah disediakan." Tapulu berdiri dari tempat duduknya lalu melangkah ke tengah ruangan rumah. Kami pun mengikuti langkahnya. Aku diam saja, namun seribu pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Apa yang akan terjadi nanti ?

"Ayo Lusi. Ikuti ritual ini " ajak Mbu'i sambil menggandeng tangaku. "Muna akan menjalani ritual bersama Anton, dan Lusi bersama Tapulu..."

Di tengah ruangan telah disediakan semacam altar. Diatasnya diletakkan dua buah wadah besar yang terbuat dari daun lebar. Mbu'i mengandeng tanganku menuju tempat itu.

"Silahkan dibuka seluruh pakaian.." ucap Mbu'i ringan

Aku menatap Mbu'i. "telanjang bulat ?"

"Ya. Seperti ini " jawab Mbu'i sambil membuka pakaiannya hingga bugil. "Lihat Tapulu. Dia sudah siap..."

jreggggg...! wowwwww..!

Tapulu berdiri ditengah wadah, bugil...., dan tongkat sakti di selangkangannya itu...... !

0 Response to "Jamuan Seks Di Pedalaman Episode 9"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel