I Love You Episode 10

I Love My Brother

Sehari sebelumnya......

Safira mengamati Arci. Pergi pagi-pagi sekali, rapi. Pulang malam dan kucel. Hampir semua tugas rumah Arci yang melakukannya. Dan sudah sebulan ia tak "kerja". Ia memang tak mencari pelanggan lagi, terlebih setelah kemarahan Arci beberapa waktu lalu. Lucu juga, sebagai seorang kakak harusnya dia yang bisa marahi adiknya ini, tapi ternyata tidak. Dia mungkin terlalu sayang ama adiknya, atau bisa jadi ia sudah terlanjur cinta.

Hari Minggu, Arci tak pergi ke kantor. Di rumah ia sibuk mencuci dan bersih-bersih. Bahkan urusan memasak Arci pun jagonya. Hampir semua tugas rumah dia yang melakukan dibantu dengan sang adik yang masih SD. Terkadang sang ibu ikut membantu Arci dalam urusan dapur. Ibunya pernah bercerita kepada Safira tentang siapa ayahnya. Ayah Safira adalah seorang berondong yang menyewa jasa Lian waktu itu. Antara percaya dan tidak, Safira hanya bisa menerimanya. Dia bahkan pernah melihat siapa sang ayah. Hanya saja tak berani untuk menyapanya. Lian sendiri mengatakannya setelah dipaksa olehnya. Dan sebenarnya ginjal dia diberikan kepada ayahnya. Sekalipun dengan upah, hal itu semata-mata dilakukan Safira karena ingin menolong ayah biologisnya, sekalipun sang ayah tak mengakuinya. Pahit memang. Tapi hal itu tak pernah diketahui oleh Lian ataupun Arci. Mereka hanya tahu Safira menjual organ ginjalnya.

Lalu ayah Putri? Ayahnya adalah seorang tentara yang tewas beberapa waktu lalu ketika ditugaskan ke sebuah daerah konflik. Nahas memang. Disaat Lian mulai serius dengan seseorang, selalu saja sang lelakinya bernasib sial. Akhirnya Lian pun hanya bisa pasrah.

Dan entah kenapa sampai sekarang Lian tak pernah menceritakan kepada siapapun tentang siapa ayah Arci. Pasti ada sesuatu. Lian mengunci rapat-rapat identitas ayah Arci. Dia hanya bisa mengatakan bahwa ayah Arci sudah meninggal. Tapi itu tak cukup. Pastinya.

Safira hanya memakai kemeja putih lengan panjang. Tanpa bra, tanpa CD. Ia keluar dari kamarnya dan langsung nonton tv. Pagi itu ia melihat bagaimana Arci mondar-mandir kesana-kemari hingga akhirnya selesai masak di dapur bersama ibunya. Setelah itu ia duduk di sofa, bersebelahan dengan Safira. Direbutnya remote tv itu.

"Eh, rese'. Ngerebut remote sembarangan!" kata Safira yang berusaha merebut remote tv.

"Makanya jadi cewek itu belajar masak sonoh, nyuci kek, bersih-bersih kek, nggak di kamar aja. Trus bangun lihat tv," kata Arci.

Safira berusah merebut remote tv. Tapi tak sanggup. Akhirnya ia nyerah. Arci pun memindah-mindah saluran untuk mencari acara yang menurutnya bagus. Tiba-tiba Safira memeluk pinggangnya dan merapat ke adiknya itu.

Kini posisi tubuh Arci seperti di peluk oleh Safira. Ada perasaan nyaman pada diri Safira saat dia memeluk Arci seperti itu. Perasaan nyaman yang aneh.

"Ngapain sih kak? Lagi pengen?" pancing Arci.

"Jangan mancing, aku cuma kepengen meluk kamu aja. Masa' nggak boleh?"

"Yaaa...boleh aja sih. Tapi biasanya kalau manja begini Kakak lagi kepengen."

Arci dipukul dengan bantal. "Huuu dasar...kamu ngeres mulu pikirannya. Mentang-mentang ....."

"Mentang-mentang apaan?"

"Ah... nggak ah."

Arci dan Safira kembali membisu. Arci diam-diam mengamati kakaknya yang kini menindih tubuhnya. Arci mulai berbaring, Safira beringsut menempelkan dadanya di dada Arci.

"Kamu sudah punya pacar, dek?" tanya Safira.

Arci menggeleng. Ia menelan ludah saat tahu kakaknya tak memakai dalaman sama sekali. Diperhatikannya paha mulus Safira yang kini sudah menindih kemaluannya yang sudah menegang karena singgungan kontak yang tak bisa ditolak itu.

"Kenapa kak?" tanya Arci.

"Pengen tanya aja, Kakak bakal cemburu sepertinya kalau kamu nanti punya pacar."

"Kenapa bisa begitu?"

Saat itu Arci yang hanya memakai training pun diturunkan oleh kedua tangan Safira hingga celana dalamnya pun melorot sekalian. Safira mendekatkan bibirnya ke buah zakar Arci dan menciumnya. Batang Arci mulai mengeras. Arci tak heran. Ketika Safira sudah bernafsu biasanya dia lebih agresif.

"Telanjang aja yuk?!" ajak Safira.

Arci hanya menurut saja. Dalam hitungan detik, keduanya sudah tak memakai apa-apa lagi. Arci kemudian menarik tubuh Safira hingga sang kakak pun duduk di atas pangkuannya. Kembali hubungan sedarah terjadi lagi. Buah dada Safira mulai dikulum oleh sang adik.

"Ahhh....," desah Safira.

"Katanya nggak mau?" bisik Arci.

"Entalah, mungkin...karena aku selalu ingin kalau dekat ama kamu dek," jawab Safira.

Tubuh Safira sebenarnya mulus, tanpa cacat. Ia tak pernah madat, tak pernah mengukir tato. Dan ia selalu merawat tubuhnya ke spa. Hanya satu yang kurang. Di pinggang sebelah kanannya ada luka bekas operasi. Ya, operasi pengambilan ginjal beberapa tahun yang lalu.

"Dek, kalau kakak cinta beneran ama kamu gimana?" tanya Safira.

"Maksud kakak?"

"Cinta sebagai seorang kekasih?"

Safira mengecup bibir Arci.

"Kakak tahu bukan itu tak mungkin?" tanya Arci sambil memeluk Safira erat.

"Tapi kakak mulai menyukaimu, mulai mencintaimu. Aku tak mau pisah ama kamu dek."

"Kenapa?"

"Karena kamu terlalu banyak berkorban buat keluarga ini. Kamu rela jadi anak seorang PSK. Punya saudara juga PSK. Kamu mengurusi segala pekerjaan rumah, aku terlalu baik. Aku yakin ayah kamu pasti orang baik pula. Ahhh...Adekku."

"Kalau kakak mau, silakan saja. Aku akan melakukan apapun buat kakak, tapi....kalau suatu saat aku punya istri bagaimana? Bagaimana juga kalau misalnya aku punya anak, mereka akan manggil kamu apa? Apa yang harus aku katakan kepada istriku kelak?"

"Aku tak peduli. Aku akan menghormati istrimu, tapi aku ingin jadi istrimu dek. Aku tak sanggup lagi membendung perasaanku ini. Ketahuilah, sejak aku kecil aku sudah menyukaimu."

"Oh ya?"

Safira mengangguk. Ia mencari-cari batang penis adiknya, lalu menempatkannya di liang senggama miliknya. Mereka biasa bercinta tanpa kondom maupun dengan kondom. Mereka bisa menjaga diri, Safira sudah piawai agar penis pasangannya tak membuahi rahimnya. Tapi entah mengapa kali ini ia ingin hal yang lain. Kenikmatan mulai menjalar ketika batang itu melesak masuk ke dalam liang senggamanya, hingga mentok menyentuh rahimnya.

"Uuuhhhhh...," keluhnya.

Arci juga merasakan sensasi yang luar biasa saat penisnya masuk dengan sempurna.

"Dek, kamu mau kan mencintaiku?"

"Iya, aku bisa."

"Sungguh?"

"Iya. Apapun buat kakak."

"Aku tak akan mencampuri urusan cintamu. Tapi tolong berikan satu ruang di hatimu buat kakakmu ini ya? Kamu bisa?"

"Aku akan berusaha."

"Hari ini, tolong lakukan dengan sungguh-sungguh!"

"Maksudnya?"

"Anggap aku orang yang kamu cintai. Bukan orang yang kamu anggap sebagai kakakmu."

"Tapi engkau memang kakakku dan aku mencintaimu."

"Lebih dari itu. Pliisss... ohh..dek...aku sangat mencintaimu."

"Kaakk...aahhh!"

Sementara itu Lian yang tadinya berada di dapur dan akan ke ruang tengah terpaksa kembali lagi ke dapur karena melihat adegan persetubuhan Arci dan Safira. Lian tak ingin Putri melihat mereka berdua, walaupun Putri terkadang memergoki mereka, hanya saja Lian masih waras. Ia tak mau anak kecil ini bisa lebih dulu dewasa dengan menonton apa yang terjadi dengan Safira dan Arci. Dalam hati Lian, ia hanya bisa menerima kenyataan bahwa Safira terlanjur mencintai adiknya sendiri. Dan dia tahu sifat Safira, sekali ia mencintai seseorang ia tak akan pernah bisa melepaskannya begitu saja. Terlebih sekarang yang dicintainya adalah adiknya sendiri.

"Kenapa sih ma koq keluar lewat pintu belakang?" tanya Putri polos.

"Udah, mau ikut apa nggak?" tanya Lian.

"Ya udah deh."

Dalam hati Lian pun berkata, "Arci, Safira, berbahagialah kalian."

Di dalam rumah desahan demi desahan terus keluar dari kedua mulut kakak beradik ini. Arci dan Safira tak henti-hentinya berpagutan. Mereka sebenarnya sudah biasa bercinta tapi tak seperti ini. Ini lebih bergairah dari biasanya. Arci juga merasa demikian penisnya lebih keras daripada biasanya. Ia sekarang lebih melihat tubuh kakaknya ini sebagai seorang kekasih. Kalau biasanya ia bercinta hanya untuk mengimbangi Safira, kini ia juga ingin merasakan bercinta dengan orang yang dicintainya.

Dalam bercinta Arci mungkin merasakan tabularasa-nya hubungan sedarah. Tapi agaknya untuk hari ini tidak. Terbukti ia bisa bermanja-manjaan dengan Safira kalau sebelumnya ia dingin. Ia belai seluruh lekuk tubuh kakaknya. Mungkin kalau ada orang yang punya kakak seperti Safira hanya bisa bengong dan membayangkan Arci tidak. Ia sekarang secara nyata telah menyentuh Safira, kakaknya yang seksi.

Pantat Safira di remas-remas. Arci berusaha lebih dalam lagi untuk menusukkan kemaluannya, walaupun sebenarnya sudah mentok. Safira menggit bibir bawahnya saat Arci menghentak-hentakkan tubuhnya. Lama sekali keduanya saling menekan selakangan. Desisan dan desahan silih berganti bersahutan.

"Ci...sodok kakak dari belakang dong!" pinta Safira.

Arci tak menolak. Ia bangkit, kemudian berdiri di pinggir sofa. Safira menunggingkan pantatnya. Kepala penis Arci di arahkan ke liang surgawinya. Tak butuh waktu lama keduanya bergoyang lagi. Kini dengan gaya doggie style mereka mulai memacu birahi lagi. Dua buah payudara bergantungan seirama goyangan tubuh Safira. Arci berusaha menggapainya dan meremas-remasnya.

"Kamu suka toketku ya dek?" tanya Safira.

"He-eh," jawab Arci.

"OOhhh....sodok yang kenceng ya dek, jebolin memek kakakmu ini," kata Safira.

Arci makin menyodok sekencang-kencangnya seolah-olah memek Safira benar-benar muat untuk ditusuk sekencang itu. Hingga akhirnya sang kakak pun mengejang, pertanda orgasme pertamanya sampai. Arci masih belum puas, Safira tahu itu. Ia pun langsung berbalik dan mengulum penis adiknya yang sudah mengacung sempurna. Tak tahan rasanya ingin digigit saja benda bulat lonjong besar berotot itu oleh Safira. Ia sangat gemes dan berkali-kali menghisapnya dengan gemas. Arci hanya bisa menikmati perlakukan kakaknya itu.

Safira meludahi kepala penis adiknya. Dia lalu mengocok lembut sambil mengisap buah zakarnya. Arci terus bertahan atas perlakuan saudarinya itu.

"Dek, semprotin di dalem ya," kata Safira.

"Nggak apa-apa?" tanya Arci.

"Nggak apa-apa, kakak lagi kosong koq."

Arci lalu mulai menindih Safira. Safira kemudian membuka kedua pahanya lebar-lebar. Mempersilakan rudal berotot masuk ke dalam liang senggamanya. Dan dengan mudahnya Arci memasuki gua kenikmatan itu. Arci membuka mulutnya dan menghisap tetek Safira.

"Ahhh...aku yakin kalau adekku ini suka ama tetek kakaknya," kata Safira.

"Biarin," kata Arci sambil terus meremas dan mengisap dua bukit kembar itu bergantian.

"Ayo dek, memek kakak kepengen digesekin lagi nih," kata Safira.

"Kak, aku tak pernah tahu. Tapi...kalau kakak ingin kita hanya hidup bertiga saja aku rela koq," ujar Arci.

"Hush, nggak boleh begitu. Kita sebenarnya juga nggak boleh seperti ini," kata Safira.

"Kalau misalnya nanti kakak aku hamili bagaimana? Bisa repot kan nanti masyarakat, bahkan kita bisa diarak keliling kampung," kata Arci.

"Lihat ibu, ketika semua orang tahu ibu PSK dan hamil di luar nikah. Masyarakat sudah maklum, kenapa kamu tidak?"

"Kak, aaahhh...!" sesekali Arci mendesah keenakan saat menggenjot Safira. ".... tapi ini kita...ahhh...kalau...uhhh... kita ketahuan....aahh...bagaimanaaahhh...?"

"Aahh...aahh...aahh..uuhhh... nggak usah dipikirkan dek. Kakak ...ahh..uhhh.. udah rusak....biarin rusak sek...aahhh...kalian....uhhhh!"

"Aku tak mau begitu kak. Aku akan ahhh....cari cara untuk membahagiakan kakak...uhhh. Itu sudah tugasku, itu cita-citaku sejak dulu. Ahhh....Aku juga ingin membahagiakan ibu."

"Deekk...keras banget, mau nyampe?"

Arci mengangguk. Goyangannya makin cepat. "Sampe kak, sampe....aku tak ingin seperti itu kak. Kalau kakak mencintaiku, maka kakak pun harus diperlakukan dengan terhorrrmmmmmmaaaaaattttt!"

Arci dan Safira menjerit bersamaan saat mereka sampai kepada orgasme secara bersamaan. Arci memeluk Safira seolah-olah tak ingin melepaskannya lagi. Dekapan Arci erat sekali, ia menghentak beberapa kali ketika spermanya keluar, hal itu membuat Safira melayang. Ia juga memeluk adiknya dengan erat.

"Banyak banget kamu keluarnya," kata Safira.

"Aku tumpahin semuanya," ujar Arci.

"Emangnya udah berapa lama nggak gituan?" tanya Safira.

"Semenjak terakhir ama ibu, dua mingguan," jawab Arci.

"Aahhh...pantes, hihihihi," kata Safira sambil menunjukkan senyum manisnya.

"Kak, serius mau jadi kekasihku?" tanya Arci.

"Masih tanya aja, aku serius. Dan untuk keseriusanku, aku nggak akan jadi PSK lagi. Aku pensiun. Aku akan cari kerja yang halal," jawab Safira.

"Beneran?" Arci tampak senang sekali. Terlihat dari raut wajahnya berseri-seri.

"Serius, hari ini demi adikku dan juga kekasihku. Aku pensiun."

"I love you kak"

"I love you too"

Sebuah kisah cinta yang kompleks. Arci yang ingin kakaknya berhenti jadi pelacur pun bisa teratasi. Tapi imbasnya sang kakak jadi mencintai dia seperti seorang kekasih. Siapa yang patut disalahkan dalam hal ini? Yang benar atau salah pun terkadang samar untuk bisa dimengerti.


* * *

Safira hari itu bercinta dan bercinta bersama adiknya sampai malam. Bahkan kali ini ia tak malu-malu untuk tidur di kamar adiknya. Ada perasaan menyesal mencintai adiknya, namun perasaan itu pun akhirnya luluh dengan sendirinya. Ia berada di dalam persimpangan jalan sekarang. Tadi malam lagi dan lagi adiknya membuahi dia, ia merasa pasti bakal jadi. Apalagi Arci bercinta dengannya penuh perasaan. Setiap ciuman, setiap belaian, setiap hentakan adiknya ke dalam dirinya ia sangat menyukainya. Ia biarkan Arci membolak-balikkan tubuhnya, menikmati setiap jengkal tubuhnya. Ia sudah pasrahkan tubuhnya untuk sang adik.

Pagi sudah menjelang. Arci sudah memakai handuk dengan tubuh basah. Badan tegapnya membentuk sebuah siluet di tirai kamarnya ketika tirai jendela dibuka. Safira terbangun.

"Hari ini aku presentasi di kantor. Promosi," kata Arci.

Safira menggeliat. "Pagi sayang."

Arci tersenyum. Menghampiri Safira. "Kakak serius?"

"Serius apa?"

"Serius dengan hubungan ini?"

Safira mengangguk. "Aku sudah memutuskannya. Mulai hari ini dan seterusnya aku adalah kekasihmu."

"Tahu kamu kan kita tak bisa ....," jari telunjuk Safira menempel di bibir Arci.

"It's OK. Dek, you're my everything. I can't stop fallin love with you. I know it's wrong. Kalau nanti kamu bertemu dengan pujaan hatimu, aku tak akan cemburu. Memang sudah seharusnya seperti ini, asal jangan pergi dariku. I can't live without you," kata Safira.

Bibir mereka pun berdekatan. Kemudian menempel lagi. Wajah Safira yang cantik dengan mata sayunya benar-benar akan membius siapa saja. Tapi Arci tak bisa berlama-lama di kamarnya. Ia harus pergi ke kantor. Segera saja diambil baju-bajunya dan berdandan.

Saat membenarkan dasinya Safira melompat dari tempat tidur, ia membantu Arci. Dibantu pemuda itu membenarkan dasinya, lalu merapikan rambutnya. Arci melihat kakaknya tanpa baju sehelai pun. Kulit yang mulus tanpa cacat. Mungkin kalau nyamuk berjalan di atasnya pasti terpeleset. Sebuah kecupan hangat di pagi hari meninggalkan Safira seorang diri di kamar.

Di luar Arci langsung disambut ibunya.

"Jangan kecewakan Safira. Aku tahu ini salah, tapi....jangan pernah buat kakakmu bersedih!" kata Lian.

"Aku tidak akan. Kalian adalah orang-orang yang paling berharga buatku. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri," kata Arci.

Lian lalu memeluk anaknya. "Arci, maafin ibu ya."

"Kenapa?"

"Seharusnya tidak seperti ini. Pulanglah cepat hari ini, ibu ingin bicarakan sesuatu tentang ayahmu. Asal cepatlah pulang!"

Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Arci penasaran. Dia menatap mata Lian. Terdapat raut kesungguhan di sana.

"Cepatlah pulang!" kata Lian.

"Baiklah, hari ini aku ada promosi. Mungkin agak lebih malem pulangnya," kata Arci.

"Lekas saja pulang," kata Lian.

* * * * I LOVE YOU * * * *​

"Bego, kenapa dia kita sekap?"

"Heh, dia sudah mendengar apa yang kita bicarakan."

"Trus, kenapa nggak dihabisi saja?"

"Dihabisi? Aku tak mau jadi pembunuh, dodol!"

"Lha trus?"

"Kita tahan aja dulu dia, sampai target kita Si Andini takluk. Kita lalu kumpulin dia sama-sama. Lalu kita garap bareng. Kalau ia macam-macam kita sikat."

"Sikat gimana?"

"Ancam saja, kalau macam-macam kita perkosa rame-rame."

"Sekarang, dia kita sekap di mana?"

"Gampang, aku ada tempat. Nggak bakalan ada orang yang tahu."

"Oke, awas kalau sampai dia lolos dan ngebocorin rahasia kita."

"Tenang aja."

"Tapi kira-kira akan ada orang yang curiga nggak kalau dia hilang?"

"Ya jelas curiga, namanya juga orang hilang. Tapi hilang kenapa nggak bakal ada yang tahu. Itu sudah cukup."

"Oke. Sip!"

"Jangan lupa buang ponselnya!"

"Beres, sudah koq."

0 Response to "I Love You Episode 10"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel