I Love You Episode 9
Monday, May 14, 2018
Add Comment
MENGUPING
Andini terbangun di kamarnya. Mimpi buruk tentang masa lalunya kembali menghantui. Mimpi tentang Iskha, adik satu-satunya yang tewas karena kecelakaan. Sampai sekarang Arci tak mengetahui tentang hal tersebut. Andinilah yang menemuinya di hotel waktu itu dengan mengaku sebagai Iskha. Tapi ternyata Arci malah bertemu dengan Iskha yang asli. Mungkin memang sudah menjadi suratan takdir bahwa Iskha tewas dalam kecelakaan maut itu. Dan Arci juga kebetulan tak mencari tahu tentang kecelakaan yang menimpa dirinya.
Alarm di ponselnya berdering. Ia pun mengangkatnya dan melihat jadwal dia hari ini. Sebuah kalimat terukir di sana, "Presentasi Produk oleh Arcie". Andini mengangkat alisnya.
"Oh iya, hari ini," gumamnya.
Andini segera pergi ke kamar mandi. Dia sibukkan aktivitas pagi itu untuk membersihkan diri, dandan, kemudian memeriksa semua berkas-berkas yang harus ia bawa. Tak lupa ia membawa tablet dan laptopnya. Di meja makan sudah ada papa dan mamanya.
"Pa? Kapan pulang?" tanya Andini yang langsung mencium pipi papanya.
"Tadi malam. Papa sengaja nggak bangunin kamu," jawab papanya.
Andini tersenyum.
"Bagaimana kabar Arci? Kira-kira ia sudah siap menerima siapa dirinya?" tanya papanya.
"Entahlah, hari ini penentuannya. Sebab sebentar lagi ia ulang tahun ke-25," jawab Andini.
"Kamu sudah siap memberitahukan kepada dirinya siapa dirimu?" tanya papanya.
Andini menggeleng. "Nggak pa. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin Arci bisa menyukaiku dengan siapa diriku sebenarnya. Bukan sebagai Iskha. Aku tak ingin ia mencintaiku karena balas budi."
Bu Susiati tersenyum. "Ingat lho ya, dulu mama sudah kasih banyak calon pendamping tapi kamu tolak semua. Ini yang terakhir. Dan jangan kecewakan mama. Usiamu sudah nyentuh kepala tiga!"
"Ma, ketika kita dulu di hotel kenapa skenarionya jadi begini ya?"
Bu Susiati tertawa kecil. "Entahlah. Padahal kita dulu di hotel cuma kepengen ngasih kejutan ama anak itu. Toh uang itu tetap akan kita kasih dia minta atau tidak. Koq malah jadi skenario balas budi gini?"
"Tapi dari situlah aku bisa tahu siapa Arci."
"Hei, sekarang fokus saja. Sebentar lagi PT Evolus akan berhadapan dengan PT Denim. Kamu yang menjadi kepala direksi akan bertarung bersama direksi lainnya. Sebentar lagi pimpinan perusahaannya akan diambil alih oleh pendatang baru yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Tentunya para pimpinan direksi akan mencari cara untuk menjatuhkannya. Kamu sendirian di sini, papa sangat khawatir," kata papanya.
Andini menghela nafas. "Aku tahu koq pa."
"Kalau kamu butuh bantuan kakakmu, kamu bisa telpon sekarang," sambung papanya.
"Nggak pa. Aku bisa sendiri koq."
"Hei, Dini. Kamu jangan berlagak kuat. Ingat perusahaan ini kalau 50 persen sahamnya bukan milik kita kamu sudah pasti akan didepak dari jajaran direksi," ujar Bu Susiati. "Ayah dari Pak Zenedin dulu membangun perusahaan ini dari memintal benang dengan alat sederhana, hingga sekarang sebesar ini. Kita tak boleh mengecewakannya. Apalagi, dia yang selama ini membantu papamu."
"Iya ma, tapi... aku masih penasaran, kenapa keluarganya tak mau menerima Lian bahkan mengusirnya?"
"Kamu tahu sendiri apa profesi Lian. Sebenarnya waktu itu niat Pak Zenedin berniat akan mengawininya tapi ia diancam tidak akan mendapatkan sepeser pun dari perusahaan itu kalau menikahi Lian. Akhirnya ia pun mengalah. Akhirnya Pak Zenedin tak punya satu pun keturunan dari istrinya. Bahkan sampai istrinya meninggal. Sekarang satu-satunya keturunan dia adalah Arci. Ada alasan mengapa Pak Zenedin tak bisa dekat dengan anaknya selama ini karena keluarganya menyembunyikan keberadaan Arci dan membuat sengsara kehidupan Lian. Itulah mengapa Pak Zenedin mengutus papa untuk melindungi keluarga mereka.
"Setelah beliau menguasai PT Evolus dan keluarganya tak bisa berbuat apa-apa lagi kepada dirinya akhirnya dia pun membuat surat wasiat yang sekarang dipegang oleh mamamu. Hanya mamamu yang diberikan wasiat tersebut. Tak ada satu pun yang tahu hingga tanggal 31 Mei nanti. Saat itulah semuanya akan mengubah hidup Arci. Tapi itu juga tergantung kepada dirinya apakah dia akan sekuat itu untuk bisa memimpin perusahaan sebesar PT Evolus Produtama," jelas papanya panjang lebar.
Andini menyantap roti isi dan meneguk segelas jus jeruk yang ada di meja makan. Andini berdiri. Ia siap berangkat. "Baiklah Dini berangkat dulu."
"Hati-hati jangan ngebut!" kata Bu Susiati.
"Siap ma," kata Andini.
Ia mencium pipi papa dan mamanya, lalu berangkat. Ia berhenti sebentar ke sebuah foto pigura kecil di pojok ruang tamu. Foto dua cewek berkacamata dengan pipi chuby yang sedang ceria. Itu adalah foto Andini dan Iskha yang tampak gembira sampai gigi mereka kelihatan. Itu sudah lama, beberapa tahun yang lalu sebelum Andini bertekad untuk melangsingkan tubuhnya, diet dengan berbagai cara, hingga ia seperti sekarang. Ia tak ingin seperti dulu, ia ingin menjadi dirinya sendiri. Dan ia sangat berharap Arci bisa menerima dirinya sekarang. Andini mengusap pigura itu.
"Do'ain aku ya dek," kata Andini sebelum berangkat.
Presentasi Arci begitu menawan. Ia memberikan banyak solusi bagi permasalahan gudang yang ada, terutama tentang stock lama. Bahkan ketika dia memberikan solusi beberapa applause untuknya dari seluruh peserta rapat. Dalam waktu singkat dia sudah bisa menghabiskan seluruh stock dengan menjualnya ke komunitas penggemar produk PT Evolus Produtama. Membuat toko online dan juga membuat promo-promo terbaru.
Arci terlihat sangat menguasai materi bahkan ia sama sekali tak melihat papan presentasi. Ia bahkan sudah hafal apa saja yang ada di layar tersebut. Ia cukup bicara dan mengarahkan audience untuk konsentrasi terhadap kata-katanya. Para direksi yang ada di ruang rapat terkesima, bahkan beberapa kali mulut mereka menganga karena heran atau takjub lebih tepatnya. Andini cukup puas. Tak salah ia menempatkan Arci pada posisi Manajer Marketing sekarang.
"Bagaimana presentasinya tadi?" tanya Arci.
"Well, cukup memuaskan," jawab Andini. "Kamu lihat sendiri tadi bagaimana applause para direksi melihat hasil kerjamu. Posisi itu emang cukup cocok buatmu."
"Sejujurnya aku nggak terbiasa dengan cara seperti ini. Ini terlalu mengejutkan."
"No excuse. Gimana kalau kita ngerayain ini?"
Arci menggeliatkan badannya. Agaknya di dalam ruang rapat tadi cukup membuatnya lelah. Dia melihat Rahma yang membawa berkas-berkas.
"Ajak Rahma juga nggak apa-apa kan?" tanya Arci.
Andini menoleh ke arah Rahma. Rahma yang mendengar namanya disebut kaget. Hampir saja berkas-berkas yang ia bawa jatuh.
"Iya, ajak semuanya," jawab Andini. "Kamu tak apa-apakan, Rahma?"
"Eh...ngg...nnggak koq bu. Anu, maksud saya...saya ada acara. Jadi sepertinya saya nggak bisa ikut."
"Acara apaan?" tanya Arci. "Udah deh, ayo ikut!"
"Ikut yuk!?"
Rahma agak kikuk. Tapi akhirnya ia mengangguk. Tidak enak juga kalau menolak ajakan Bu Andini, juga ajakan Arci. Paling tidak dia tidak sendirian. Ternyata beberapa orang juga ikut diajak. Mereka makan-makan di sebuah tempat yang sudah dipesan. Mejanya cukup besar hingga bisa untuk menampung sepuluh orang. Berbagai makanan pesanan dihidangkan sesuai dengan pesanan masing-masing. Arci duduk diapit oleh Andini dan Rahma.
Andini agaknya agak cemburu ketika Arci lebih banyak ngobrol kepada Rahma.
"Jadi, kamu anak tunggal?" tanya Arci.
"Iya, begitulah. Kamu sendiri punya saudara?" tanya Rahma.
"Ada kakak sama adik."
"Orang tua?"
"Ibu ada, ayah udah meninggal."
"Ooo... maaf"
"Ah, nggak apa-apa. Semua orang juga pasti tanya."
"Btw, selamat yah. Atas promosinya. Jarang ada karyawan baru masuk beberapa hari sudah dapat promosi."
"Mungkin aku cuma beruntung saja."
"Kamu itu bukan beruntung, tapi berprestasi!" sela Andini.
Arci cuma nyengir dan Rahma ketawa.
"Kalau perusahaan ini punya sepuluh orang seperti kamu, aku rasa kita tak perlu karyawan lainnya," gurau Andini. Kemudian yang lainnya ketawa.
"Wah, bisa ngambil jatah kita dong bu," protes Yusuf.
Pesta yang menyenangkan. Hari itu Arci bisa membaur dengan semuanya. Setelah makan-makan mereka tutup dengan karaokean. So pasti tambah kacau tingkah polah teman-teman kantor Arci. Dia hanya melihat saja dengan diapit oleh dua orang perempuan, Andini dan Rahma. Sang Ibu Direksi ini hanya melihat tingkah polah anak buahnya saja sambil sesekali melirik ke arah Arci. Rahma malah menatap semuanya dengan tatapan kosong.
"Aku mau pulang dulu," kata Andini beranjak dari tempat duduknya. "Kalian teruskan saja!"
Arci ikut berdiri. Rahma juga. Tapi Arci memberikan isyarat agar Rahma tetap duduk. Akhirnya ia pun duduk.
"Aku tak perlu diantar," kata Andini.
"Cuma sampai tempat parkir nggak apa-apa kan?" tanya Arci.
"Terserah deh. Rahma, duluan!?" kata Andini.
"Iya bu," sahut Rahma.
Arci akhirnya mengantarkan bosnya. Mereka menyusuri lorong hingga berbelok ke arah tempat parkir. Belum sampai membuka pintu Andini langsung memeluk dan mencium Arci. Sang pemuda ini tentu saja terkejut dengan perlakuan wanita ini. Tapi dia menerima ciuman sang bidadari. Setiap lembut bibirnya ia rasakan, terlebih Andini mengecupnya dengan kuat seakan-akan tak ingin melepaskan ciuman itu. Tapi hal itu ia rasakan cukup melelahkan, karena ia harus sedikit jinjit untuk menggapai wajah sang pemuda. Ia pun mengakhiri ciuman itu.
"Maaf, aku tak bisa menahan diri. Ini hadiah dariku, semoga kamu suka," kata Andini.
Arci tak menjawabnya. Hanya sedikit shock dengan tingkah polah Andini. Tapi ia mengerti bagaimana perasaan Andini kepadanya. Hanya saja ia tak bisa memberikan jawaban.
"Dini, aku... aku tak tahu harus bilang apa."
"Kamu tak perlu bilang apa-apa. Aku hanya melakukan apa yang aku harus lakukan." Andini kemudian membalikkan badan meninggalkan Arci.
"Aku tidak menolakmu, hanya saja aku belum bisa. Aku harap kamu mengerti."
"Aku sangat mengerti. Aku sangat mengerti!"
Arci hanya bisa menatap kepergian Andini yang masuk ke dalam mobilnya.
Rahma masih berada di dalam ruangan, sementara teman-temannya yang lain sedang asyik berkaraoke ria. Entah kenapa dia tiba-tiba saja ingin ke toilet.
"Gaes, aku ke toilet dulu," kata Rahma. Dia segera beranjak.
Toilet tersebut sekalipun terpisah laki-laki dan perempuan. Tapi sebenarnya masih satu atap. Sehingga kalau ada pembicaraan yang terdengar di tempat cowok juga akan terdengar di tempat cewek. Rahma tanpa curiga masuk ke dalam toilet perempuan. Dia masuk ke WC dan buang hajat sebagaimana wanita pada umumnya. Saat itulah terdengar percakapan beberapa orang.
"Presentasinya anak baru itu cukup lumayan ya?"
"Iya, dia sangat berprestasi. Pantas saja dia langsung dapat promosi."
"Tapi bukankah itu artinya posisi Andini masih selamat?"
"Untuk saat ini iya, tapi kedepannya, dia tak akan bisa berbuat apa-apa."
"Bagaimana itu?"
"Sebentar lagi akan ada rapat di Vila Batu. Rapat rutin tahunan. Di sini nanti ia akan kita habisi. Kalau bisa dipecat, nggak cuma dihabisi saja. Selama dipimpin oleh dia perusahaan memang menguntungkan, tapi kalau dia selalu menimbun barang terus-menerus bagaimana bisa memangkas biaya produksi?"
"Setuju sekali. Memang harusnya ia dibungkus dari dulu."
"Ah, aku dapat ide. Ini sedikit nakal."
"Maksudnya?"
"Biarkan dia di sini."
"Lho, itu tidak bisa. Dia harus disingkirkan. Biar direksi dipimpin oleh orang-orang baru."
"Tidak, aku ada rencana. Kita buat dia mengemis untuk posisinya, tapi untuk itu dia harus menyerahkan tubuhnya. Hahahahaha, bagaimana?"
"Ahahaha, ide bagus itu. Gosipnya dia kan masih perawan. Udah lama nggak nyicip perawan!"
"Oke, minggu depan kita garap."
"Trus?"
"Oh ya, tentang merger Evolus dan Denim kita akan kaji ulang. Sepertinya menarik kerja samanya."
"Oke, hati-hati. Sampai nanti."
Rahma menutup mulutnya sedari tadi. Ia sangat shock. Siapa mereka? Kenapa mereka berniat jahat kepada Andini?? Arci harus tahu. Arci harus diberi tahu. Rahma segera buru-buru membersihkan dirinya, lalu bergegas keluar dari toilet. Ia ingin tahu siapa orang yang berbicara tadi. Tapi sepertinya toilet cowok sudah sepi. Ia segera mencari Arci. Diambil ponselya dan menelpon Arci.
Tapi sama sekali tak ada jawaban. Ponsel Arci tak diangkat. Rahma pun kemudian mengirimkan SMS.
"Duh, gimana ini. Gawat ini. Bisa kenapa-napa Bu Dini kalau begini," gumam Rahma cemas.
Disaat Rahma sedang berusaha menghubungi Arci itulah, sebuah tangan dengan sapu tangan berkloroform membekap Rahma. Rahma yang tak siap ia tak bisa melawan. Ia menghirup cairan Kloroform itu, hingga ia pun pusing dan pingsan.....
Andini terbangun di kamarnya. Mimpi buruk tentang masa lalunya kembali menghantui. Mimpi tentang Iskha, adik satu-satunya yang tewas karena kecelakaan. Sampai sekarang Arci tak mengetahui tentang hal tersebut. Andinilah yang menemuinya di hotel waktu itu dengan mengaku sebagai Iskha. Tapi ternyata Arci malah bertemu dengan Iskha yang asli. Mungkin memang sudah menjadi suratan takdir bahwa Iskha tewas dalam kecelakaan maut itu. Dan Arci juga kebetulan tak mencari tahu tentang kecelakaan yang menimpa dirinya.
Alarm di ponselnya berdering. Ia pun mengangkatnya dan melihat jadwal dia hari ini. Sebuah kalimat terukir di sana, "Presentasi Produk oleh Arcie". Andini mengangkat alisnya.
"Oh iya, hari ini," gumamnya.
Andini segera pergi ke kamar mandi. Dia sibukkan aktivitas pagi itu untuk membersihkan diri, dandan, kemudian memeriksa semua berkas-berkas yang harus ia bawa. Tak lupa ia membawa tablet dan laptopnya. Di meja makan sudah ada papa dan mamanya.
"Pa? Kapan pulang?" tanya Andini yang langsung mencium pipi papanya.
"Tadi malam. Papa sengaja nggak bangunin kamu," jawab papanya.
Andini tersenyum.
"Bagaimana kabar Arci? Kira-kira ia sudah siap menerima siapa dirinya?" tanya papanya.
"Entahlah, hari ini penentuannya. Sebab sebentar lagi ia ulang tahun ke-25," jawab Andini.
"Kamu sudah siap memberitahukan kepada dirinya siapa dirimu?" tanya papanya.
Andini menggeleng. "Nggak pa. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin Arci bisa menyukaiku dengan siapa diriku sebenarnya. Bukan sebagai Iskha. Aku tak ingin ia mencintaiku karena balas budi."
Bu Susiati tersenyum. "Ingat lho ya, dulu mama sudah kasih banyak calon pendamping tapi kamu tolak semua. Ini yang terakhir. Dan jangan kecewakan mama. Usiamu sudah nyentuh kepala tiga!"
"Ma, ketika kita dulu di hotel kenapa skenarionya jadi begini ya?"
Bu Susiati tertawa kecil. "Entahlah. Padahal kita dulu di hotel cuma kepengen ngasih kejutan ama anak itu. Toh uang itu tetap akan kita kasih dia minta atau tidak. Koq malah jadi skenario balas budi gini?"
"Tapi dari situlah aku bisa tahu siapa Arci."
"Hei, sekarang fokus saja. Sebentar lagi PT Evolus akan berhadapan dengan PT Denim. Kamu yang menjadi kepala direksi akan bertarung bersama direksi lainnya. Sebentar lagi pimpinan perusahaannya akan diambil alih oleh pendatang baru yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Tentunya para pimpinan direksi akan mencari cara untuk menjatuhkannya. Kamu sendirian di sini, papa sangat khawatir," kata papanya.
Andini menghela nafas. "Aku tahu koq pa."
"Kalau kamu butuh bantuan kakakmu, kamu bisa telpon sekarang," sambung papanya.
"Nggak pa. Aku bisa sendiri koq."
"Hei, Dini. Kamu jangan berlagak kuat. Ingat perusahaan ini kalau 50 persen sahamnya bukan milik kita kamu sudah pasti akan didepak dari jajaran direksi," ujar Bu Susiati. "Ayah dari Pak Zenedin dulu membangun perusahaan ini dari memintal benang dengan alat sederhana, hingga sekarang sebesar ini. Kita tak boleh mengecewakannya. Apalagi, dia yang selama ini membantu papamu."
"Iya ma, tapi... aku masih penasaran, kenapa keluarganya tak mau menerima Lian bahkan mengusirnya?"
"Kamu tahu sendiri apa profesi Lian. Sebenarnya waktu itu niat Pak Zenedin berniat akan mengawininya tapi ia diancam tidak akan mendapatkan sepeser pun dari perusahaan itu kalau menikahi Lian. Akhirnya ia pun mengalah. Akhirnya Pak Zenedin tak punya satu pun keturunan dari istrinya. Bahkan sampai istrinya meninggal. Sekarang satu-satunya keturunan dia adalah Arci. Ada alasan mengapa Pak Zenedin tak bisa dekat dengan anaknya selama ini karena keluarganya menyembunyikan keberadaan Arci dan membuat sengsara kehidupan Lian. Itulah mengapa Pak Zenedin mengutus papa untuk melindungi keluarga mereka.
"Setelah beliau menguasai PT Evolus dan keluarganya tak bisa berbuat apa-apa lagi kepada dirinya akhirnya dia pun membuat surat wasiat yang sekarang dipegang oleh mamamu. Hanya mamamu yang diberikan wasiat tersebut. Tak ada satu pun yang tahu hingga tanggal 31 Mei nanti. Saat itulah semuanya akan mengubah hidup Arci. Tapi itu juga tergantung kepada dirinya apakah dia akan sekuat itu untuk bisa memimpin perusahaan sebesar PT Evolus Produtama," jelas papanya panjang lebar.
Andini menyantap roti isi dan meneguk segelas jus jeruk yang ada di meja makan. Andini berdiri. Ia siap berangkat. "Baiklah Dini berangkat dulu."
"Hati-hati jangan ngebut!" kata Bu Susiati.
"Siap ma," kata Andini.
Ia mencium pipi papa dan mamanya, lalu berangkat. Ia berhenti sebentar ke sebuah foto pigura kecil di pojok ruang tamu. Foto dua cewek berkacamata dengan pipi chuby yang sedang ceria. Itu adalah foto Andini dan Iskha yang tampak gembira sampai gigi mereka kelihatan. Itu sudah lama, beberapa tahun yang lalu sebelum Andini bertekad untuk melangsingkan tubuhnya, diet dengan berbagai cara, hingga ia seperti sekarang. Ia tak ingin seperti dulu, ia ingin menjadi dirinya sendiri. Dan ia sangat berharap Arci bisa menerima dirinya sekarang. Andini mengusap pigura itu.
"Do'ain aku ya dek," kata Andini sebelum berangkat.
* * * * I LOVE YOU * * * *
Presentasi Arci begitu menawan. Ia memberikan banyak solusi bagi permasalahan gudang yang ada, terutama tentang stock lama. Bahkan ketika dia memberikan solusi beberapa applause untuknya dari seluruh peserta rapat. Dalam waktu singkat dia sudah bisa menghabiskan seluruh stock dengan menjualnya ke komunitas penggemar produk PT Evolus Produtama. Membuat toko online dan juga membuat promo-promo terbaru.
Arci terlihat sangat menguasai materi bahkan ia sama sekali tak melihat papan presentasi. Ia bahkan sudah hafal apa saja yang ada di layar tersebut. Ia cukup bicara dan mengarahkan audience untuk konsentrasi terhadap kata-katanya. Para direksi yang ada di ruang rapat terkesima, bahkan beberapa kali mulut mereka menganga karena heran atau takjub lebih tepatnya. Andini cukup puas. Tak salah ia menempatkan Arci pada posisi Manajer Marketing sekarang.
"Bagaimana presentasinya tadi?" tanya Arci.
"Well, cukup memuaskan," jawab Andini. "Kamu lihat sendiri tadi bagaimana applause para direksi melihat hasil kerjamu. Posisi itu emang cukup cocok buatmu."
"Sejujurnya aku nggak terbiasa dengan cara seperti ini. Ini terlalu mengejutkan."
"No excuse. Gimana kalau kita ngerayain ini?"
Arci menggeliatkan badannya. Agaknya di dalam ruang rapat tadi cukup membuatnya lelah. Dia melihat Rahma yang membawa berkas-berkas.
"Ajak Rahma juga nggak apa-apa kan?" tanya Arci.
Andini menoleh ke arah Rahma. Rahma yang mendengar namanya disebut kaget. Hampir saja berkas-berkas yang ia bawa jatuh.
"Iya, ajak semuanya," jawab Andini. "Kamu tak apa-apakan, Rahma?"
"Eh...ngg...nnggak koq bu. Anu, maksud saya...saya ada acara. Jadi sepertinya saya nggak bisa ikut."
"Acara apaan?" tanya Arci. "Udah deh, ayo ikut!"
"Ikut yuk!?"
Rahma agak kikuk. Tapi akhirnya ia mengangguk. Tidak enak juga kalau menolak ajakan Bu Andini, juga ajakan Arci. Paling tidak dia tidak sendirian. Ternyata beberapa orang juga ikut diajak. Mereka makan-makan di sebuah tempat yang sudah dipesan. Mejanya cukup besar hingga bisa untuk menampung sepuluh orang. Berbagai makanan pesanan dihidangkan sesuai dengan pesanan masing-masing. Arci duduk diapit oleh Andini dan Rahma.
Andini agaknya agak cemburu ketika Arci lebih banyak ngobrol kepada Rahma.
"Jadi, kamu anak tunggal?" tanya Arci.
"Iya, begitulah. Kamu sendiri punya saudara?" tanya Rahma.
"Ada kakak sama adik."
"Orang tua?"
"Ibu ada, ayah udah meninggal."
"Ooo... maaf"
"Ah, nggak apa-apa. Semua orang juga pasti tanya."
"Btw, selamat yah. Atas promosinya. Jarang ada karyawan baru masuk beberapa hari sudah dapat promosi."
"Mungkin aku cuma beruntung saja."
"Kamu itu bukan beruntung, tapi berprestasi!" sela Andini.
Arci cuma nyengir dan Rahma ketawa.
"Kalau perusahaan ini punya sepuluh orang seperti kamu, aku rasa kita tak perlu karyawan lainnya," gurau Andini. Kemudian yang lainnya ketawa.
"Wah, bisa ngambil jatah kita dong bu," protes Yusuf.
Pesta yang menyenangkan. Hari itu Arci bisa membaur dengan semuanya. Setelah makan-makan mereka tutup dengan karaokean. So pasti tambah kacau tingkah polah teman-teman kantor Arci. Dia hanya melihat saja dengan diapit oleh dua orang perempuan, Andini dan Rahma. Sang Ibu Direksi ini hanya melihat tingkah polah anak buahnya saja sambil sesekali melirik ke arah Arci. Rahma malah menatap semuanya dengan tatapan kosong.
"Aku mau pulang dulu," kata Andini beranjak dari tempat duduknya. "Kalian teruskan saja!"
Arci ikut berdiri. Rahma juga. Tapi Arci memberikan isyarat agar Rahma tetap duduk. Akhirnya ia pun duduk.
"Aku tak perlu diantar," kata Andini.
"Cuma sampai tempat parkir nggak apa-apa kan?" tanya Arci.
"Terserah deh. Rahma, duluan!?" kata Andini.
"Iya bu," sahut Rahma.
Arci akhirnya mengantarkan bosnya. Mereka menyusuri lorong hingga berbelok ke arah tempat parkir. Belum sampai membuka pintu Andini langsung memeluk dan mencium Arci. Sang pemuda ini tentu saja terkejut dengan perlakuan wanita ini. Tapi dia menerima ciuman sang bidadari. Setiap lembut bibirnya ia rasakan, terlebih Andini mengecupnya dengan kuat seakan-akan tak ingin melepaskan ciuman itu. Tapi hal itu ia rasakan cukup melelahkan, karena ia harus sedikit jinjit untuk menggapai wajah sang pemuda. Ia pun mengakhiri ciuman itu.
"Maaf, aku tak bisa menahan diri. Ini hadiah dariku, semoga kamu suka," kata Andini.
Arci tak menjawabnya. Hanya sedikit shock dengan tingkah polah Andini. Tapi ia mengerti bagaimana perasaan Andini kepadanya. Hanya saja ia tak bisa memberikan jawaban.
"Dini, aku... aku tak tahu harus bilang apa."
"Kamu tak perlu bilang apa-apa. Aku hanya melakukan apa yang aku harus lakukan." Andini kemudian membalikkan badan meninggalkan Arci.
"Aku tidak menolakmu, hanya saja aku belum bisa. Aku harap kamu mengerti."
"Aku sangat mengerti. Aku sangat mengerti!"
Arci hanya bisa menatap kepergian Andini yang masuk ke dalam mobilnya.
* * * * I LOVE YOU * * * *
Rahma masih berada di dalam ruangan, sementara teman-temannya yang lain sedang asyik berkaraoke ria. Entah kenapa dia tiba-tiba saja ingin ke toilet.
"Gaes, aku ke toilet dulu," kata Rahma. Dia segera beranjak.
Toilet tersebut sekalipun terpisah laki-laki dan perempuan. Tapi sebenarnya masih satu atap. Sehingga kalau ada pembicaraan yang terdengar di tempat cowok juga akan terdengar di tempat cewek. Rahma tanpa curiga masuk ke dalam toilet perempuan. Dia masuk ke WC dan buang hajat sebagaimana wanita pada umumnya. Saat itulah terdengar percakapan beberapa orang.
"Presentasinya anak baru itu cukup lumayan ya?"
"Iya, dia sangat berprestasi. Pantas saja dia langsung dapat promosi."
"Tapi bukankah itu artinya posisi Andini masih selamat?"
"Untuk saat ini iya, tapi kedepannya, dia tak akan bisa berbuat apa-apa."
"Bagaimana itu?"
"Sebentar lagi akan ada rapat di Vila Batu. Rapat rutin tahunan. Di sini nanti ia akan kita habisi. Kalau bisa dipecat, nggak cuma dihabisi saja. Selama dipimpin oleh dia perusahaan memang menguntungkan, tapi kalau dia selalu menimbun barang terus-menerus bagaimana bisa memangkas biaya produksi?"
"Setuju sekali. Memang harusnya ia dibungkus dari dulu."
"Ah, aku dapat ide. Ini sedikit nakal."
"Maksudnya?"
"Biarkan dia di sini."
"Lho, itu tidak bisa. Dia harus disingkirkan. Biar direksi dipimpin oleh orang-orang baru."
"Tidak, aku ada rencana. Kita buat dia mengemis untuk posisinya, tapi untuk itu dia harus menyerahkan tubuhnya. Hahahahaha, bagaimana?"
"Ahahaha, ide bagus itu. Gosipnya dia kan masih perawan. Udah lama nggak nyicip perawan!"
"Oke, minggu depan kita garap."
"Trus?"
"Oh ya, tentang merger Evolus dan Denim kita akan kaji ulang. Sepertinya menarik kerja samanya."
"Oke, hati-hati. Sampai nanti."
Rahma menutup mulutnya sedari tadi. Ia sangat shock. Siapa mereka? Kenapa mereka berniat jahat kepada Andini?? Arci harus tahu. Arci harus diberi tahu. Rahma segera buru-buru membersihkan dirinya, lalu bergegas keluar dari toilet. Ia ingin tahu siapa orang yang berbicara tadi. Tapi sepertinya toilet cowok sudah sepi. Ia segera mencari Arci. Diambil ponselya dan menelpon Arci.
Tapi sama sekali tak ada jawaban. Ponsel Arci tak diangkat. Rahma pun kemudian mengirimkan SMS.
SMS Rahma Savithri said:
Disaat Rahma sedang berusaha menghubungi Arci itulah, sebuah tangan dengan sapu tangan berkloroform membekap Rahma. Rahma yang tak siap ia tak bisa melawan. Ia menghirup cairan Kloroform itu, hingga ia pun pusing dan pingsan.....
0 Response to "I Love You Episode 9"
Post a Comment