I Love You Episode 23
Saturday, May 26, 2018
Add Comment
PURIFIER
DOR! DOR! DOR!
Arci menembak tiga target dan semuanya kena. Sudah hampir satu bulan Arci berlatih. Kini dia sudah mulai bisa menggunakan pisau, pistol dan beberapa gerakan kravmaga. Hampir tiap hari dia berlatih dengan Ghea. Sekalipun tubuhnya sakit semua, tapi Arci memaksa untuk berlatih. Pagi hari turun gunung, kemudian naik lagi lagi. Begitu terus hampir tiap hari. Kini otot-ototnya sudah terbentuk. Refleknya pun sudah terbentuk. Di bulan kedua Arci mulai mahir, menggunakan semua senjata yang ia punya, bahkan menggunakan apapun sebagai senjata. Ghea benar-benar keras melatihnya.
Mungkin karena sering bersama Arci, melihat tingkah Arci, mempelajari sifatnya, Ghea makin terusik hatinya. Dia tak tahu apa maknanya. Hatinya merasa kehilangan ketika Arci belum naik gunung sampai hari hampir siang. Tapi perasaannya lega ketika melihat Arci tiba. Ketika Arci membuka perbannya ia sangat kesakitan dan entah mengapa Ghea reflek langsung menolongnya. Awalnya mereka diam-diam saja, tak bicara satu sama lain. Kemudian seminggu setelahnya mereka mulai bicara satu sama lain walaupun masih canggung. Minggu kedua, barulah mereka bisa bicara akrab satu sama lain.
Awalnya Ghea tertutup. Tapi dia kemudian mulai bicara. Dia menceritakan masa lalunya, dia menceritakan bagaimana dia berlatih militer, dididik keras oleh ayahnya hingga seperti sekarang. Arci pun mulai menyadari Ghea tak pernah diajarkan tentang cinta.
"Kamu pernah tahu ayahku bukan? Ceritakan tentangnya! Orangnya seperti apa?" tanya Arci.
"Ah, paman Archer. Dari seluruh keluarga Zenedine. Kukira dia yang paling baik. Dia sangat lembut kepadaku, berbeda dengan ayahku. Aku suka setiap dia memperlakukanku. Aku rindu saat dia menganggapku sebagai orang yang paling dia sayangi. Aku tak pernah mendapatkan perlakuan sayang dari seorang lelaki manapun kecuali dari dia. Sebagai keponakannya ia sangat memanjakanku, ayahku sempat marah ketika aku bermain boneka hadiah ulang tahunku yang diberikan oleh paman Archer. Ayahku marah dan merusak boneka itu."
"Itu kejam sekali!"
Ghea tersenyum. "Apa yang bisa kamu harapkan dari ayahku?"
"Ah, aku kira dia orang yang baik."
"Dia sangat baik sebenarnya, hanya saja ia menempatkanku kepada fungsinya."
"Fungsi?"
"Fungsiku di keluarga ini adalah sebagai tangan kanan ayahku. Dia adalah anjing penjaga Zenedine, aku harus mensupport dia. Agaknya setelah ayahku tidak ada semua sekutu-sekutunya pun tidak punya kekuatan untuk mengalahkan Tommy."
Malam mulai larut. Mereka berdua duduk di dekat perapian. Sementara itu hawa dingin mulai datang, kabut sudah menyapa menyelimuti sekeliling rumah. Ada rasa debar tak menentu di dalam diri Ghea. Baru kali ini dia bertemu dengan lelaki seperti Arci, biasanya kalau seorang lelaki di dekatnya bakal langsung menggoda dirinya. Tapi Arci tidak. Karena itulah ia merasa nyaman dekat dengan Arci, tak hanya itu, ada sesuatu yang lain.
"Kamu pernah jatuh cinta sebelumnya?" tanya Arci.
Ghea bingung menjawabnya, "Aku...jujur tak tahu apa itu cinta."
"Sungguhkah?"
"Iya."
"Ah, I see."
"Anehkah orang yang belum mengenal cinta?"
"Tidak juga, hanya saja. Seseorang paling tidak harus mengenal cinta sekalipun sekali. Ketahuilah, kamu pernah mengenalnya."
"Kamu sok tahu."
"Ketika ayahku memperlakukanmu, itu adalah cinta."
"Cinta?"
"Ya, cinta seorang paman kepada keponakannya."
"Ayahku juga mencintaiku, dia senang ketika aku menyelesaikan tugas yang diberikan olehnya."
"Bukan seperti itu. Cinta itu tak butuh balasan. Cinta tak membutuhkan imbalan. Ketika seseorang mencintai orang lain, maka yang ia lakukan adalah memberikan cinta itu tanpa mengharapkan balasan."
"Apakah orang sepertiku bisa memberikan cinta kepada orang lain?"
"Bisa, tentu saja bisa."
"Bagaimana caranya?"
Arci juga bingung menjawabnya. "Ah, soal itu. Banyak cara sih. Seperti memberikan kecupan, atau memberikan hadiah seperti yang ayahku lakukan. Atau mungkin selalu memperlakukan dia dengan baik."
"Kamu mencintai kakakmu?"
"Ya, sangat mencintainya."
"Apakah bercinta dengannya juga salah satu wujud cinta?"
"Ah, soal itu....beda."
"Beda? Kenapa beda? Bukankah kalian saling mencintai?"
"Iya, tapi seharusnya itu tak terjadi."
"Kenapa?"
"Ah, aku tak tahu. Ada hal-hal kompleks yang tak bisa aku jelaskan dengan bahasaku sendiri."
Ghea merangkak mendekat ke Arci. "Aku tak tahu apa itu cinta, tapi... saat ini dadaku berdebar-debar ketika bersamamu."
"Hah?"
Ghea mengangguk. "Dan semenjak aku melakukan ini...". Ghea tiba-tiba mencium bibir Arci. Arci kaget. Wajah Ghea makin tersipu-sipu, "Rasanya aneh, perasaan itu makin kuat."
Arci tak menyangka Ghea menyukai dia.
"Apakah itu cinta?"
"M-mungkin."
"Tak mungkin, aku jatuh cinta kepadamu? Tapi, saat aku mengatakannya aku menjadi lega. Ya, lega. Arci, aku sepertinya jatuh cinta kepadamu."
Arci mengerutkan dahi. Ia tak tahu harus bilang apa. Ghea makin mendekat kepadanya. Bibir mereka bertemu lagi. Ingat Arci lelaki normal. Berduaan dengan wanita seksi, berambut merah, cantik dan kulitnya mulus, siapa yang tak tergoda, tapi, dia tahu diri. Apakah kalau dia melakukannya dengan Ghea berarti ia telah mengkhianati Andini? Ia pun bingung, haruskah ini terjadi lagi?
"Ghea, kamu tahu aku sudah beristri," kata Arci.
"Ya, aku tahu. Apa salahnya? Bukankah kamu juga melakukan hal itu kepada kakakmu? Bukankah papaku dan ibu tirimu juga melakukannya? Salahkah hal itu?"
"Itu...," Arci tak bisa menjawabnya.
Ghea yang hanya memakai kaos dan celana pendek itu mulai menggoda Arci dengan menempelkan tubuhnya ke tubuh Arci. Kini kedua selakangan mereka bertemu lagi. Ghea teringat akan peristiwa memalukan antara dirinya dan Arci saat itu. Posisi kemaluan mereka bertemu seperti sekarang. Perlahan-lahan Arci menerima tubuh Ghea yang bersandar di tubuhnya.
Arci tahu ini salah. Tapi mungkin karena situasi dan kondisi, godaan ini terlalu kuat. Dia juga manusia biasa, tak mungkin ia bisa menolak ini. Apalagi Ghea masih polos, kalau ia menolaknya takut Ghea salah mempresepsikan tentang arti cinta yang sebenarnya. Mungkin dengan perlahan ia akan mencoba untuk mengajarinya. Arci agak ragu ketika ingin menjamah rambut Ghea yang tergerai panjang. Akhirnya dia pun memeluknya.
"Andini, maafkan aku," rutuknya pada dirinya sendiri. Mungkin pria manapun tak akan sanggup menerima cobaan berat seperti ini. Seorang cewek, cantik, dan sedang ingin dibelai berada di depannya menggoda dirinya. Siapapun lelaki itu pasti akan takluk. Sebenarnya bisa saja Arci saat itu mendorong Ghea dan Ghea tak akan marah, tapi perasaannya melampaui itu semua. Terlebih Arci juga sudah lama tak bercinta, rasa itu pun datang, sebuah rasa yang disebut sebagai nafsu. Ya, nafsunya sudah melebihi apapun.
"Kamu mau bercinta denganku?" tanya Arci.
"Sejujurnya berhubungan badan aku hanya sekali, dan itu pun ketika aku diperkosa dulu," jawab Ghea.
"Kamu mau merasakan make love yang sesungguhnya?"
Ghea mengangguk.
"Tapi aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, cinta itu tak bisa dipaksa. Dan aku sudah mencintai wanita lain. Kamu tahu?"
Ghea mengangguk. Ia memalingkan wajahnya, "Maafkan aku..." Ghea meneteskan air mata. Baru kali ini Arci melihat gadis ini meneteskan air mata. Baru kali ini. Ghea yang terkenal keras, kejam, beringas, bisa melow seperti ini. Arci memegang wajahnya agar menatap dirinya. Mata Ghea masih berkaca-kaca. Arci tak tega dan kemudian menciumnya. Mereka pun berpagutan. Arci bernafsu menciumnya. Tak ada yang bisa mencegah mereka berdua bercinta malam itu. Di depan perapian, dengan hawa dingin yang makin menusuk, serta birahi yang telah memuncak. Akhirnya Arci harus melakukannya. Ia akan melakukannya dengan lembut.
Perlahan-lahan Ghea menarik kaos Arci, kini tubuh Arci bagian atas terbuka. Ada perban di bagian luka tempat dia dijahit. Sementara bekas luka tembak yang ada di tubuhnya sudah mengering. Ada enam, Ghea berkaca-kaca melihat luka itu. Baginya itu luka terindah yang pernah ada pada seorang cowok, luka yang macho menurut Ghea. Dia pun menciumi luka itu. Setelah satu per satu luka itu dicium, barulah Arci melepaskan baju Ghea. Kini mereka berdua sama-sama atasannya tanpa baju alias topless.
Buah dada Ghea tak terlalu besar. Mungkin cukup di tangan Arci, dia pun mencoba untuk memegangnya. Ghea menangkap tangannya dan menuntun tangan Arci untuk meremasnya.
"Aaahhkk..!" erang Ghea. "Arci...remas yach?!"
Arci meremasnya, terus dan terus. Ia memberikan rangsangan di buah dada Ghea yang putingnya terlihat kemerahan itu. Mata Ghea menatapnya sayu. Sementara itu pinggul Ghea terus bergerak-gerak, belahan vaginanya menggesek kemaluan Arci membuatnya sedikit ngilu dan sakit.
Ghea sepertinya tahu Arci kesakitan, dia pun melepaskan celana pendeknya. Kini tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Dia beringsut melepaskan celana lawan mainnya. Arci membantu Ghea melepaskan semua baju yang melekat di tubuhnya, kini keduanya tanpa busana, Ghea langsung memeluk Arci. Kedua tubuh mereka bertemu memberikan kehangatan satu sama lainnya.
"Arci, aku ingin jadi kekasihmu," kata Ghea.
"Kamu tahu, cinta tak bisa dipaksa," kata Arci.
"Jadilah kekasihku hanya untuk malam ini, please!"
"I can't"
"Ohhh... please suck my nipple!"
Arci menurut, ia pun langsung menghisap puting susu Ghea. Ghea menggelinjang hebat. Dia meremas kepala Arci kuat-kuat, mengacak-acak rambutnya, baru kali ini ia merasakan geli seperti ini. Geli dan nikmat yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Dia baru sadar, tak pernah ada lelaki yang menghisap putingnya seperti ini. Tidak juga wanita-wanita yang pernah memuaskan dirinya. Arci menghisapnya dengan penuh perasaan. Arci menghirup aroma tubuhnya. Ghea merasa malu. Dia khawatir bau tubuhnya menyengat, tidak enak. Tapi Arci terus menghirupnya. Bahkan setelah puas menghisap pentil susunya, Arci menuju ke ketiaknya. Ketiaknya memang ada bulu-bulu halus, tidak panjang, sangat pendek, bukan tidak berbulu. Bahkan memang mungkin terlihat tidak berbulu, tapi bulu-bulu halus itu akan terlihat kalau mata mendekat seperti Arci sekarang yang mengunyah ketiaknya. Ghea makin menggelinjang. Kemaluannya makin banjir.
"Tidaaakk....Arrgghh...! Arci...aku...tak tahan lagi!"
Arci tak menghiraukannya, ia terus menikmati ketiak gadis blesteran ini. Dia meronta, tapi rasanya tak ingin Arci mengakhirinya. Arci menjilatnya, menghirupnya, menghisapnya. Ghea pun mengejang. Memeluk Arci erat-erat.
"Akh...aku nyampee....!" keluhnya.
Arci menyudahi aksinya. Ghea duduk di pangkuannya sekarang sambil nafasnya terengah-engah. Arci membelai rambut gadis ini. Gadis yang belum pernah merasakan nikmatnya bercinta. Mereka berpandangan, kemudian berpagutan lagi. Kini Ghea, menjilati tubuh Arci. Dia terus mengelamuti tubuh pemuda ini hingga Ghea turun dari pangkuan Arci. Kemudian dia mulai menciumi perut Arci dan sebuah tongkat tegang mulai menyentuh dagunya. Ghea memegang batang Arci yang sudah keras. Membelainya, lalu bibirnya mengecup topi bajanya.
Arci merinding. Lidah Ghea meliuk-liuk, menjilati batangnya, lalu menyapu kedua telurnya. Ghea agaknya berlama-lama di sana sambil menghirup aroma yang keluar dari tubuh Arci. Dia suka. Dia suka aroma penisnya. Dia mengemut dua bola yang lari-lari itu. Arci lemas, ia tak berdaya dengan perlakuan Ghea itu. Ghea mengocok lembut batang itu sambil ia hisap pangkalnya. Telurnya lagi-lagi dijilati, hingga hampir menyentuh anusnya. Ghea teruskan dengan mengulum batang penis Arci yang makin mengeras. Setetes lendir bening mulai keluar sedikit di lubang kencingnya. Ghea tak sia-siakan dihisapnya lendir itu. Kini penisnya benar-benar basah oleh air liur gadis ini.
"Gheaa...aahhkk!" Arci tak tahan.
"Bercintalah denganku Ci!?" katanya.
Arci tak tahan lagi. Ia pun segera menubruk Ghea. Ia memeluk Ghea sekarang, mereka berpagutan. Arci meremas buah dada Ghea lagi, Ghea menggelinjang hingga tak sengaja kepala penis Arci menyentuh bibir kemaluannya yang berbulu.
"Ufffhh!" keluh Ghea.
Dan Arci pun mulai mendorongnya. SLEEBB...karena becek mudah sekali untuk bisa masuk. Dan tak disangka kemaluannya dicengkram kuat oleh liang senggama Ghea. Ghea mendongak dan menatap Arci lekat-lekat.
"Inikah rasanya?" tanya Ghea. "Aku tak pernah bercinta seperti ini."
Wajar bagi Ghea baru merasakannya. Selama ini ia hanya merasakan lewat perkosaan. Dia dipaksa waktu itu, juga disiksa. Tapi kali ini Arci melakukannya dengan kasih sayang, dengan perasaan yang kuat. Membuat Ghea merasakan hubungan intim ini melebihi apapun yang diinginkannya.
Arci mendiamkan penisnya tertanam di dalam. Ia juga menikmati bagaimana liang senggama Ghea mencengkeram kuat. Kedutan demi kedutan, makin lama membuat ia keenakan. Ghea terus memandang Arci. Pemuda ini merasa ditantang oleh Ghea, "Ayo goyang!"
Arci pun mulai menarik dan memajukan pinggulnya. Maju mundur, maju mundur. Gesekan demi gesekan kini membuat rangsangan demi rangsangan menjalar ke seluruh tubuh Ghea. Rasanya sangat nikmat, geli, nikmat, entahlah ia tak bisa menjelaskannya. Dia menggigit bibir bawahnya dan matanya mulai terpejam.
"Arci...nikmat sekali, aku tak pernah merasakan senikmat ini," kata Ghea.
Arci tak bicara, hanya terus bekerja, memompa penisnya keluar masuk liang senggama Ghea yang sudah banjir. Rasanya nikmat sekali. Dia makin erat memeluk Ghea dan tubuh Ghea makin melengkung merasakan gesekan demi gesekan. Setelah beberapa menit Arci kemudian menghentikan gerakannya. Ghea sedikit terkejut. Arci mencabutnya perlahan. Ghea penasaran ketika Arci membalikkan tubuhnya. Ternyata dia disuruh untuk menungging. Ghea tak tahu gaya ini, tapi ketika Arci melesakkan lagi rudalnya ke dalam kemaluannya ia merasakan nikmat yang tak terkira.
Arci mulai menusuk-nusuk liang senggama Ghea dari belakang. Ghea baru kali ini merasakan gaya seperti ini yang rasanya tak kalah nikmat. Buah dadanya jadi terjuntai bebas. Sementara tangannya menekuk, dan kepalanya bersandar di karpet. Arci melihat pantat Ghea yang bahenol, sesekali ia meremasnya, membuat penisnya seperti diremas-rema. Arci kemudian menggapai buah dada Ghea dan mengajak Ghea untuk mendudukinya sementara Arci kemudian berbaring telentang. Ghea yang mengerti keinginan Arci pun mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun, sambil sesekali memutar-mutarnya. Tapi makin lama goyangan Ghea makin cepat, ternyata ia ingi orgasme lagi.
Dan ambruklah Ghea ke atas tubuh Arci ketika orgasme yang panjang. Ghea mencari-cari bibir Arci keduanya berciuman lagi. Arci membalikkan tubuh Ghea kini kembali dalam posisi misionari. Arci sepertinya sudah tak tahan lagi ingin menyemburkan spermanya. Dia pun menggoyang pinggulnya menyodok selakangan Ghea bertubi-tubi sambil melihat wajah Ghea yang kini keenakan sambil memejamkan mata. Ia tak pernah mengira putri Pieter ini sekarang jadi feminim, manja dan menggairahkan. Arci makin cepat menggoyang, kepala Ghea menoleh kiri dan kanan. Ia tak kuasa lagi menahan ledakan orgasme dahsyat yang ketiga kalinya.
"Aku keluarrr....ohhh...Gheaaa...aaakhhh!"
Spermanya sangat banyak. Berkali-kali Arci menyemprot ke dalam kemaluan Ghea. Ghea baru kali ini merasakan nikmat yang luar biasa. Ledakan demi ledakan sperma menyiram rahimnya. Hangat, puas...
Keduanya berciuman lagi. Menikmati momen-momen yang tak akan mereka lupakan seumur hidup. Ghea menatap mata Arci dengan sayu. Arci membelai rambut Ghea, menciumnya lagi.
"Aku tak pernah merasakan bercinta seperti ini. Kamu luar biasa," kata Ghea.
Arci kemudian perlahan-lahan mencabut kemaluannya. Liang senggama Ghea becek sekali, bercampur sperma dan cairan lendirnya. Rasanya baru kali ini Ghea merasa kelelahan seperti ini. Ia cukup puas. Arci pun memeluknya dan mereka berdua mengambil sebuah selimut di dekat mereka. Arci mendekapnya kemudian keduanya terlelap. Wajah Ghea tampak menunjukkan kepuasan.
Pagi datang. Ghea terbangun dalam pelukan Arci. Ia bingung sekarang. Apa yang harus dia lakukan dalam keadaan seperti ini. Ia merasa dirinya hina. Takluk kepada seorang lelaki, terlebih, lelaki ini sudah beristri. Bahkan lelaki ini saja belum merasakan malam pengantinnya. Ia merasa bersalah. Namun ketika mengingat kembali malam sebelumnya ia tak menyesal. Ada sebuah perasaan aneh, yang kemudian ia pun mengetahui ini namanya cinta.
Arci terbangun. Ketika menyadari dia mendekap Ghea, ia segera melepaskannya. Ghea tahu Arci teringat dengan Andini, maka dari itu ia memakluminya. Sebenarnya Ghea terbangun beberapa kali ketika Arci memanggil-manggil nama istrinya. Ironis memang, orang yang dipeluknya ini bukanlah istrinya. Ghea pun menyadari siapa dirinya. Ada rasa sakit, sakit sekali di dadanya.
Arci berdiri memakai celananya lagi. Pemuda ini melangkah menuju kaca jendela dan melihat matahari terbit. Ghea baru menyadari bahwa pemuda ini sangat gagah. Bahunya mulai kekar, lengannya mulai berotot, hasil latihan yang dia tempa selama ini.
"Ini adalah pertama dan terakhir aku melakukannya denganmu. Kuharap kamu mengerti," kata Arci.
"Aku mengerti, cinta tak bisa dipaksa," kata Ghea.
"Tapi, apakah aku bisa merasakan cinta darimu Arci?" kata Ghea dalam hati. "Entah kenapa dadaku rasanya sakit sekali. Apakah ini namanya cemburu?"
Inilah untuk pertama kalinya Ghea merasakan cemburu. Rasanya sakit, bukan sakit secara fisik, tapi secara batin hatinya serasa dicabik-cabik. Dia baru kali ini mengenal cinta, ia juga baru kali ini mengenal sakit karena mengenal cinta. Tapi ia tahu, Arci bukan miliknya. Dia tak bisa memaksa Arci untuk menjadi miliknya, Arci milik Andini dan ia harus menerimanya walaupun rasanya sakit. Entah kenapa ia sangat menyesal bercinta dengan Arci tadi malam. Ia sangat menyesal. Ia menyadari seandainya ia berada di posisi Andini, ia akan sangat marah kepada apa yang telah dia lakukan. Dia menggoda Arci, dia sudah menjadi wanita jalang yang menggoda seorang lelaki yang sudah beristri. Apalagi ia belum pernah menyentuh istrinya sama sekali. Betapa rendahnya dia. Ingin sekali saat itu Ghea menarik pelatuknya dan menembakkan saja dikepalanya. Tapi hal itu akan menyakiti hati Arci, ia tak ingin seperti itu. Gadis ini terlalu cinta kepada Arci, mungkin sekarang cintanya sangat dalam.
Arci menoleh kepada Ghea. Arci baru sadar Ghea menangis. Pemuda ini pun berbalik dan menghampirinya. Setelah itu Arci menelukupkan selimut yang tadi ia pakai ke Ghea seluruhnya hingga gadis yang sedang menangis ini badannya tertutupi selimut dengan sempurna.
"Aku yakin suatu saat nanti kamu akan bertemu dengan lelaki yang tepat, yang penting kamu sudah mengerti bukan apa arti cinta?"
Ghea mengangguk, "Tapi rasanya sakit."
Arci mengusap-usap kepala Ghea. "Aku tahu rasanya, aku juga pernah merasakannya. Tapi jangan jadikan rasa cinta itu berubah jadi kebencian, jadikan itu sebagai semangat untuk hidupmu"
Kata-kata Arci itu seperti sebuah embun yang membasahi hatinya yang gersang. Ghea baru sadar, selama ini ia tak pernah punya alasan membenci sesuatu. Ia juga tak pernah punya alasan menyukai sesuatu. Apapun itu asalkan sesuai yang diinginkan ayahnya maka itulah dirinya. Bersama dengan Arci mengubah dia, dari singa betina menjadi seekor kucing yang lucu, mungkin. Tapi itu sekarang dirasakannya. Ia telah takluk kepada pemuda ini tanpa dia sadari.
Agus Trunojoyo menggebrak meja. "Apa??!"
Pengacaranya mengangguk. "Benar, ini yang terjadi."
"Maksudnya? Tanda tangannya tidak sah?" tanya Agus.
"Iya, tanda tangan Arci tidak sah, karena itu bukan tanda tangannya. Berdasarkan tanda tangan yang pernah ia lakukan pada beberapa berkas dan surat-menyurat tanda tangannya tidak seperti itu," kata sang pengacara.
"Apa tidak bisa dipalsu?" tanya Agus.
"Tidak mungkin, tanda tanganya terlalu rumit. Kalau pun kita menirunya butuh orang yang benar-benar ahli dalam melakukannya. Bisa jadi Arci kemarin sebenarnya kidal, makanya untuk agar seolah-olah dia menandatangani surat perjanjian itu, dia menggunakan tangan kanan. Terlebih tanda tangannya Arci seperti condong ke kiri, hal ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang punya kebiasaan menulis dengan tangan kiri."
Agus segera mengambil ponselnya. Ia pun menelpon Tommy. Tommy pun langsung mengangkatnya. Saat itu ia berada di kolam dengan ditemani oleh beberapa wanita panggilan. Pemandangan di kolam itu sungguh erotis di mana dua perempuan seksi dengan hanya memakai lingerie sedang berebutan menjilati batang kemaluannya.
"Ada apa Gus?" tanya Tommy.
"Ada masalah Tom!" kata Agus.
"Masalah apa?"
"Keponakanmu itu memalsukan tanda tangannya! Kita dibodohi!"
"Apa?!"
"Kita harus mencari Arci!"
Tommy agaknya sedikit gusar. Ia mendorong kedua perempuan yang sedang berebut penisnya itu agar menyingkir. Kedua perempuan itu pun pergi. "Jadi begitu ya, baiklah. Aku akan memaksa dia keluar. Aku akan lacak keberadaan istrinya. Ia pasti akan muncul kalau aku berhasil mendapatkan Andini. Kamu jangan khawatir. Sekarang tak ada yang bisa menghalangiku, keluarga Zenedine sudah aku taklukkan, semuanya sudah aku kuasai."
Arci menembak tiga target dan semuanya kena. Sudah hampir satu bulan Arci berlatih. Kini dia sudah mulai bisa menggunakan pisau, pistol dan beberapa gerakan kravmaga. Hampir tiap hari dia berlatih dengan Ghea. Sekalipun tubuhnya sakit semua, tapi Arci memaksa untuk berlatih. Pagi hari turun gunung, kemudian naik lagi lagi. Begitu terus hampir tiap hari. Kini otot-ototnya sudah terbentuk. Refleknya pun sudah terbentuk. Di bulan kedua Arci mulai mahir, menggunakan semua senjata yang ia punya, bahkan menggunakan apapun sebagai senjata. Ghea benar-benar keras melatihnya.
Mungkin karena sering bersama Arci, melihat tingkah Arci, mempelajari sifatnya, Ghea makin terusik hatinya. Dia tak tahu apa maknanya. Hatinya merasa kehilangan ketika Arci belum naik gunung sampai hari hampir siang. Tapi perasaannya lega ketika melihat Arci tiba. Ketika Arci membuka perbannya ia sangat kesakitan dan entah mengapa Ghea reflek langsung menolongnya. Awalnya mereka diam-diam saja, tak bicara satu sama lain. Kemudian seminggu setelahnya mereka mulai bicara satu sama lain walaupun masih canggung. Minggu kedua, barulah mereka bisa bicara akrab satu sama lain.
Awalnya Ghea tertutup. Tapi dia kemudian mulai bicara. Dia menceritakan masa lalunya, dia menceritakan bagaimana dia berlatih militer, dididik keras oleh ayahnya hingga seperti sekarang. Arci pun mulai menyadari Ghea tak pernah diajarkan tentang cinta.
"Kamu pernah tahu ayahku bukan? Ceritakan tentangnya! Orangnya seperti apa?" tanya Arci.
"Ah, paman Archer. Dari seluruh keluarga Zenedine. Kukira dia yang paling baik. Dia sangat lembut kepadaku, berbeda dengan ayahku. Aku suka setiap dia memperlakukanku. Aku rindu saat dia menganggapku sebagai orang yang paling dia sayangi. Aku tak pernah mendapatkan perlakuan sayang dari seorang lelaki manapun kecuali dari dia. Sebagai keponakannya ia sangat memanjakanku, ayahku sempat marah ketika aku bermain boneka hadiah ulang tahunku yang diberikan oleh paman Archer. Ayahku marah dan merusak boneka itu."
"Itu kejam sekali!"
Ghea tersenyum. "Apa yang bisa kamu harapkan dari ayahku?"
"Ah, aku kira dia orang yang baik."
"Dia sangat baik sebenarnya, hanya saja ia menempatkanku kepada fungsinya."
"Fungsi?"
"Fungsiku di keluarga ini adalah sebagai tangan kanan ayahku. Dia adalah anjing penjaga Zenedine, aku harus mensupport dia. Agaknya setelah ayahku tidak ada semua sekutu-sekutunya pun tidak punya kekuatan untuk mengalahkan Tommy."
Malam mulai larut. Mereka berdua duduk di dekat perapian. Sementara itu hawa dingin mulai datang, kabut sudah menyapa menyelimuti sekeliling rumah. Ada rasa debar tak menentu di dalam diri Ghea. Baru kali ini dia bertemu dengan lelaki seperti Arci, biasanya kalau seorang lelaki di dekatnya bakal langsung menggoda dirinya. Tapi Arci tidak. Karena itulah ia merasa nyaman dekat dengan Arci, tak hanya itu, ada sesuatu yang lain.
"Kamu pernah jatuh cinta sebelumnya?" tanya Arci.
Ghea bingung menjawabnya, "Aku...jujur tak tahu apa itu cinta."
"Sungguhkah?"
"Iya."
"Ah, I see."
"Anehkah orang yang belum mengenal cinta?"
"Tidak juga, hanya saja. Seseorang paling tidak harus mengenal cinta sekalipun sekali. Ketahuilah, kamu pernah mengenalnya."
"Kamu sok tahu."
"Ketika ayahku memperlakukanmu, itu adalah cinta."
"Cinta?"
"Ya, cinta seorang paman kepada keponakannya."
"Ayahku juga mencintaiku, dia senang ketika aku menyelesaikan tugas yang diberikan olehnya."
"Bukan seperti itu. Cinta itu tak butuh balasan. Cinta tak membutuhkan imbalan. Ketika seseorang mencintai orang lain, maka yang ia lakukan adalah memberikan cinta itu tanpa mengharapkan balasan."
"Apakah orang sepertiku bisa memberikan cinta kepada orang lain?"
"Bisa, tentu saja bisa."
"Bagaimana caranya?"
Arci juga bingung menjawabnya. "Ah, soal itu. Banyak cara sih. Seperti memberikan kecupan, atau memberikan hadiah seperti yang ayahku lakukan. Atau mungkin selalu memperlakukan dia dengan baik."
"Kamu mencintai kakakmu?"
"Ya, sangat mencintainya."
"Apakah bercinta dengannya juga salah satu wujud cinta?"
"Ah, soal itu....beda."
"Beda? Kenapa beda? Bukankah kalian saling mencintai?"
"Iya, tapi seharusnya itu tak terjadi."
"Kenapa?"
"Ah, aku tak tahu. Ada hal-hal kompleks yang tak bisa aku jelaskan dengan bahasaku sendiri."
Ghea merangkak mendekat ke Arci. "Aku tak tahu apa itu cinta, tapi... saat ini dadaku berdebar-debar ketika bersamamu."
"Hah?"
Ghea mengangguk. "Dan semenjak aku melakukan ini...". Ghea tiba-tiba mencium bibir Arci. Arci kaget. Wajah Ghea makin tersipu-sipu, "Rasanya aneh, perasaan itu makin kuat."
Arci tak menyangka Ghea menyukai dia.
"Apakah itu cinta?"
"M-mungkin."
"Tak mungkin, aku jatuh cinta kepadamu? Tapi, saat aku mengatakannya aku menjadi lega. Ya, lega. Arci, aku sepertinya jatuh cinta kepadamu."
Arci mengerutkan dahi. Ia tak tahu harus bilang apa. Ghea makin mendekat kepadanya. Bibir mereka bertemu lagi. Ingat Arci lelaki normal. Berduaan dengan wanita seksi, berambut merah, cantik dan kulitnya mulus, siapa yang tak tergoda, tapi, dia tahu diri. Apakah kalau dia melakukannya dengan Ghea berarti ia telah mengkhianati Andini? Ia pun bingung, haruskah ini terjadi lagi?
"Ghea, kamu tahu aku sudah beristri," kata Arci.
"Ya, aku tahu. Apa salahnya? Bukankah kamu juga melakukan hal itu kepada kakakmu? Bukankah papaku dan ibu tirimu juga melakukannya? Salahkah hal itu?"
"Itu...," Arci tak bisa menjawabnya.
Ghea yang hanya memakai kaos dan celana pendek itu mulai menggoda Arci dengan menempelkan tubuhnya ke tubuh Arci. Kini kedua selakangan mereka bertemu lagi. Ghea teringat akan peristiwa memalukan antara dirinya dan Arci saat itu. Posisi kemaluan mereka bertemu seperti sekarang. Perlahan-lahan Arci menerima tubuh Ghea yang bersandar di tubuhnya.
Arci tahu ini salah. Tapi mungkin karena situasi dan kondisi, godaan ini terlalu kuat. Dia juga manusia biasa, tak mungkin ia bisa menolak ini. Apalagi Ghea masih polos, kalau ia menolaknya takut Ghea salah mempresepsikan tentang arti cinta yang sebenarnya. Mungkin dengan perlahan ia akan mencoba untuk mengajarinya. Arci agak ragu ketika ingin menjamah rambut Ghea yang tergerai panjang. Akhirnya dia pun memeluknya.
"Andini, maafkan aku," rutuknya pada dirinya sendiri. Mungkin pria manapun tak akan sanggup menerima cobaan berat seperti ini. Seorang cewek, cantik, dan sedang ingin dibelai berada di depannya menggoda dirinya. Siapapun lelaki itu pasti akan takluk. Sebenarnya bisa saja Arci saat itu mendorong Ghea dan Ghea tak akan marah, tapi perasaannya melampaui itu semua. Terlebih Arci juga sudah lama tak bercinta, rasa itu pun datang, sebuah rasa yang disebut sebagai nafsu. Ya, nafsunya sudah melebihi apapun.
"Kamu mau bercinta denganku?" tanya Arci.
"Sejujurnya berhubungan badan aku hanya sekali, dan itu pun ketika aku diperkosa dulu," jawab Ghea.
"Kamu mau merasakan make love yang sesungguhnya?"
Ghea mengangguk.
"Tapi aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, cinta itu tak bisa dipaksa. Dan aku sudah mencintai wanita lain. Kamu tahu?"
Ghea mengangguk. Ia memalingkan wajahnya, "Maafkan aku..." Ghea meneteskan air mata. Baru kali ini Arci melihat gadis ini meneteskan air mata. Baru kali ini. Ghea yang terkenal keras, kejam, beringas, bisa melow seperti ini. Arci memegang wajahnya agar menatap dirinya. Mata Ghea masih berkaca-kaca. Arci tak tega dan kemudian menciumnya. Mereka pun berpagutan. Arci bernafsu menciumnya. Tak ada yang bisa mencegah mereka berdua bercinta malam itu. Di depan perapian, dengan hawa dingin yang makin menusuk, serta birahi yang telah memuncak. Akhirnya Arci harus melakukannya. Ia akan melakukannya dengan lembut.
Perlahan-lahan Ghea menarik kaos Arci, kini tubuh Arci bagian atas terbuka. Ada perban di bagian luka tempat dia dijahit. Sementara bekas luka tembak yang ada di tubuhnya sudah mengering. Ada enam, Ghea berkaca-kaca melihat luka itu. Baginya itu luka terindah yang pernah ada pada seorang cowok, luka yang macho menurut Ghea. Dia pun menciumi luka itu. Setelah satu per satu luka itu dicium, barulah Arci melepaskan baju Ghea. Kini mereka berdua sama-sama atasannya tanpa baju alias topless.
Buah dada Ghea tak terlalu besar. Mungkin cukup di tangan Arci, dia pun mencoba untuk memegangnya. Ghea menangkap tangannya dan menuntun tangan Arci untuk meremasnya.
"Aaahhkk..!" erang Ghea. "Arci...remas yach?!"
Arci meremasnya, terus dan terus. Ia memberikan rangsangan di buah dada Ghea yang putingnya terlihat kemerahan itu. Mata Ghea menatapnya sayu. Sementara itu pinggul Ghea terus bergerak-gerak, belahan vaginanya menggesek kemaluan Arci membuatnya sedikit ngilu dan sakit.
Ghea sepertinya tahu Arci kesakitan, dia pun melepaskan celana pendeknya. Kini tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Dia beringsut melepaskan celana lawan mainnya. Arci membantu Ghea melepaskan semua baju yang melekat di tubuhnya, kini keduanya tanpa busana, Ghea langsung memeluk Arci. Kedua tubuh mereka bertemu memberikan kehangatan satu sama lainnya.
"Arci, aku ingin jadi kekasihmu," kata Ghea.
"Kamu tahu, cinta tak bisa dipaksa," kata Arci.
"Jadilah kekasihku hanya untuk malam ini, please!"
"I can't"
"Ohhh... please suck my nipple!"
Arci menurut, ia pun langsung menghisap puting susu Ghea. Ghea menggelinjang hebat. Dia meremas kepala Arci kuat-kuat, mengacak-acak rambutnya, baru kali ini ia merasakan geli seperti ini. Geli dan nikmat yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Dia baru sadar, tak pernah ada lelaki yang menghisap putingnya seperti ini. Tidak juga wanita-wanita yang pernah memuaskan dirinya. Arci menghisapnya dengan penuh perasaan. Arci menghirup aroma tubuhnya. Ghea merasa malu. Dia khawatir bau tubuhnya menyengat, tidak enak. Tapi Arci terus menghirupnya. Bahkan setelah puas menghisap pentil susunya, Arci menuju ke ketiaknya. Ketiaknya memang ada bulu-bulu halus, tidak panjang, sangat pendek, bukan tidak berbulu. Bahkan memang mungkin terlihat tidak berbulu, tapi bulu-bulu halus itu akan terlihat kalau mata mendekat seperti Arci sekarang yang mengunyah ketiaknya. Ghea makin menggelinjang. Kemaluannya makin banjir.
"Tidaaakk....Arrgghh...! Arci...aku...tak tahan lagi!"
Arci tak menghiraukannya, ia terus menikmati ketiak gadis blesteran ini. Dia meronta, tapi rasanya tak ingin Arci mengakhirinya. Arci menjilatnya, menghirupnya, menghisapnya. Ghea pun mengejang. Memeluk Arci erat-erat.
"Akh...aku nyampee....!" keluhnya.
Arci menyudahi aksinya. Ghea duduk di pangkuannya sekarang sambil nafasnya terengah-engah. Arci membelai rambut gadis ini. Gadis yang belum pernah merasakan nikmatnya bercinta. Mereka berpandangan, kemudian berpagutan lagi. Kini Ghea, menjilati tubuh Arci. Dia terus mengelamuti tubuh pemuda ini hingga Ghea turun dari pangkuan Arci. Kemudian dia mulai menciumi perut Arci dan sebuah tongkat tegang mulai menyentuh dagunya. Ghea memegang batang Arci yang sudah keras. Membelainya, lalu bibirnya mengecup topi bajanya.
Arci merinding. Lidah Ghea meliuk-liuk, menjilati batangnya, lalu menyapu kedua telurnya. Ghea agaknya berlama-lama di sana sambil menghirup aroma yang keluar dari tubuh Arci. Dia suka. Dia suka aroma penisnya. Dia mengemut dua bola yang lari-lari itu. Arci lemas, ia tak berdaya dengan perlakuan Ghea itu. Ghea mengocok lembut batang itu sambil ia hisap pangkalnya. Telurnya lagi-lagi dijilati, hingga hampir menyentuh anusnya. Ghea teruskan dengan mengulum batang penis Arci yang makin mengeras. Setetes lendir bening mulai keluar sedikit di lubang kencingnya. Ghea tak sia-siakan dihisapnya lendir itu. Kini penisnya benar-benar basah oleh air liur gadis ini.
"Gheaa...aahhkk!" Arci tak tahan.
"Bercintalah denganku Ci!?" katanya.
Arci tak tahan lagi. Ia pun segera menubruk Ghea. Ia memeluk Ghea sekarang, mereka berpagutan. Arci meremas buah dada Ghea lagi, Ghea menggelinjang hingga tak sengaja kepala penis Arci menyentuh bibir kemaluannya yang berbulu.
"Ufffhh!" keluh Ghea.
Dan Arci pun mulai mendorongnya. SLEEBB...karena becek mudah sekali untuk bisa masuk. Dan tak disangka kemaluannya dicengkram kuat oleh liang senggama Ghea. Ghea mendongak dan menatap Arci lekat-lekat.
"Inikah rasanya?" tanya Ghea. "Aku tak pernah bercinta seperti ini."
Wajar bagi Ghea baru merasakannya. Selama ini ia hanya merasakan lewat perkosaan. Dia dipaksa waktu itu, juga disiksa. Tapi kali ini Arci melakukannya dengan kasih sayang, dengan perasaan yang kuat. Membuat Ghea merasakan hubungan intim ini melebihi apapun yang diinginkannya.
Arci mendiamkan penisnya tertanam di dalam. Ia juga menikmati bagaimana liang senggama Ghea mencengkeram kuat. Kedutan demi kedutan, makin lama membuat ia keenakan. Ghea terus memandang Arci. Pemuda ini merasa ditantang oleh Ghea, "Ayo goyang!"
Arci pun mulai menarik dan memajukan pinggulnya. Maju mundur, maju mundur. Gesekan demi gesekan kini membuat rangsangan demi rangsangan menjalar ke seluruh tubuh Ghea. Rasanya sangat nikmat, geli, nikmat, entahlah ia tak bisa menjelaskannya. Dia menggigit bibir bawahnya dan matanya mulai terpejam.
"Arci...nikmat sekali, aku tak pernah merasakan senikmat ini," kata Ghea.
Arci tak bicara, hanya terus bekerja, memompa penisnya keluar masuk liang senggama Ghea yang sudah banjir. Rasanya nikmat sekali. Dia makin erat memeluk Ghea dan tubuh Ghea makin melengkung merasakan gesekan demi gesekan. Setelah beberapa menit Arci kemudian menghentikan gerakannya. Ghea sedikit terkejut. Arci mencabutnya perlahan. Ghea penasaran ketika Arci membalikkan tubuhnya. Ternyata dia disuruh untuk menungging. Ghea tak tahu gaya ini, tapi ketika Arci melesakkan lagi rudalnya ke dalam kemaluannya ia merasakan nikmat yang tak terkira.
Arci mulai menusuk-nusuk liang senggama Ghea dari belakang. Ghea baru kali ini merasakan gaya seperti ini yang rasanya tak kalah nikmat. Buah dadanya jadi terjuntai bebas. Sementara tangannya menekuk, dan kepalanya bersandar di karpet. Arci melihat pantat Ghea yang bahenol, sesekali ia meremasnya, membuat penisnya seperti diremas-rema. Arci kemudian menggapai buah dada Ghea dan mengajak Ghea untuk mendudukinya sementara Arci kemudian berbaring telentang. Ghea yang mengerti keinginan Arci pun mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun, sambil sesekali memutar-mutarnya. Tapi makin lama goyangan Ghea makin cepat, ternyata ia ingi orgasme lagi.
Dan ambruklah Ghea ke atas tubuh Arci ketika orgasme yang panjang. Ghea mencari-cari bibir Arci keduanya berciuman lagi. Arci membalikkan tubuh Ghea kini kembali dalam posisi misionari. Arci sepertinya sudah tak tahan lagi ingin menyemburkan spermanya. Dia pun menggoyang pinggulnya menyodok selakangan Ghea bertubi-tubi sambil melihat wajah Ghea yang kini keenakan sambil memejamkan mata. Ia tak pernah mengira putri Pieter ini sekarang jadi feminim, manja dan menggairahkan. Arci makin cepat menggoyang, kepala Ghea menoleh kiri dan kanan. Ia tak kuasa lagi menahan ledakan orgasme dahsyat yang ketiga kalinya.
"Aku keluarrr....ohhh...Gheaaa...aaakhhh!"
Spermanya sangat banyak. Berkali-kali Arci menyemprot ke dalam kemaluan Ghea. Ghea baru kali ini merasakan nikmat yang luar biasa. Ledakan demi ledakan sperma menyiram rahimnya. Hangat, puas...
Keduanya berciuman lagi. Menikmati momen-momen yang tak akan mereka lupakan seumur hidup. Ghea menatap mata Arci dengan sayu. Arci membelai rambut Ghea, menciumnya lagi.
"Aku tak pernah merasakan bercinta seperti ini. Kamu luar biasa," kata Ghea.
Arci kemudian perlahan-lahan mencabut kemaluannya. Liang senggama Ghea becek sekali, bercampur sperma dan cairan lendirnya. Rasanya baru kali ini Ghea merasa kelelahan seperti ini. Ia cukup puas. Arci pun memeluknya dan mereka berdua mengambil sebuah selimut di dekat mereka. Arci mendekapnya kemudian keduanya terlelap. Wajah Ghea tampak menunjukkan kepuasan.
Pagi datang. Ghea terbangun dalam pelukan Arci. Ia bingung sekarang. Apa yang harus dia lakukan dalam keadaan seperti ini. Ia merasa dirinya hina. Takluk kepada seorang lelaki, terlebih, lelaki ini sudah beristri. Bahkan lelaki ini saja belum merasakan malam pengantinnya. Ia merasa bersalah. Namun ketika mengingat kembali malam sebelumnya ia tak menyesal. Ada sebuah perasaan aneh, yang kemudian ia pun mengetahui ini namanya cinta.
Arci terbangun. Ketika menyadari dia mendekap Ghea, ia segera melepaskannya. Ghea tahu Arci teringat dengan Andini, maka dari itu ia memakluminya. Sebenarnya Ghea terbangun beberapa kali ketika Arci memanggil-manggil nama istrinya. Ironis memang, orang yang dipeluknya ini bukanlah istrinya. Ghea pun menyadari siapa dirinya. Ada rasa sakit, sakit sekali di dadanya.
Arci berdiri memakai celananya lagi. Pemuda ini melangkah menuju kaca jendela dan melihat matahari terbit. Ghea baru menyadari bahwa pemuda ini sangat gagah. Bahunya mulai kekar, lengannya mulai berotot, hasil latihan yang dia tempa selama ini.
"Ini adalah pertama dan terakhir aku melakukannya denganmu. Kuharap kamu mengerti," kata Arci.
"Aku mengerti, cinta tak bisa dipaksa," kata Ghea.
"Tapi, apakah aku bisa merasakan cinta darimu Arci?" kata Ghea dalam hati. "Entah kenapa dadaku rasanya sakit sekali. Apakah ini namanya cemburu?"
Inilah untuk pertama kalinya Ghea merasakan cemburu. Rasanya sakit, bukan sakit secara fisik, tapi secara batin hatinya serasa dicabik-cabik. Dia baru kali ini mengenal cinta, ia juga baru kali ini mengenal sakit karena mengenal cinta. Tapi ia tahu, Arci bukan miliknya. Dia tak bisa memaksa Arci untuk menjadi miliknya, Arci milik Andini dan ia harus menerimanya walaupun rasanya sakit. Entah kenapa ia sangat menyesal bercinta dengan Arci tadi malam. Ia sangat menyesal. Ia menyadari seandainya ia berada di posisi Andini, ia akan sangat marah kepada apa yang telah dia lakukan. Dia menggoda Arci, dia sudah menjadi wanita jalang yang menggoda seorang lelaki yang sudah beristri. Apalagi ia belum pernah menyentuh istrinya sama sekali. Betapa rendahnya dia. Ingin sekali saat itu Ghea menarik pelatuknya dan menembakkan saja dikepalanya. Tapi hal itu akan menyakiti hati Arci, ia tak ingin seperti itu. Gadis ini terlalu cinta kepada Arci, mungkin sekarang cintanya sangat dalam.
Arci menoleh kepada Ghea. Arci baru sadar Ghea menangis. Pemuda ini pun berbalik dan menghampirinya. Setelah itu Arci menelukupkan selimut yang tadi ia pakai ke Ghea seluruhnya hingga gadis yang sedang menangis ini badannya tertutupi selimut dengan sempurna.
"Aku yakin suatu saat nanti kamu akan bertemu dengan lelaki yang tepat, yang penting kamu sudah mengerti bukan apa arti cinta?"
Ghea mengangguk, "Tapi rasanya sakit."
Arci mengusap-usap kepala Ghea. "Aku tahu rasanya, aku juga pernah merasakannya. Tapi jangan jadikan rasa cinta itu berubah jadi kebencian, jadikan itu sebagai semangat untuk hidupmu"
Kata-kata Arci itu seperti sebuah embun yang membasahi hatinya yang gersang. Ghea baru sadar, selama ini ia tak pernah punya alasan membenci sesuatu. Ia juga tak pernah punya alasan menyukai sesuatu. Apapun itu asalkan sesuai yang diinginkan ayahnya maka itulah dirinya. Bersama dengan Arci mengubah dia, dari singa betina menjadi seekor kucing yang lucu, mungkin. Tapi itu sekarang dirasakannya. Ia telah takluk kepada pemuda ini tanpa dia sadari.
Agus Trunojoyo menggebrak meja. "Apa??!"
Pengacaranya mengangguk. "Benar, ini yang terjadi."
"Maksudnya? Tanda tangannya tidak sah?" tanya Agus.
"Iya, tanda tangan Arci tidak sah, karena itu bukan tanda tangannya. Berdasarkan tanda tangan yang pernah ia lakukan pada beberapa berkas dan surat-menyurat tanda tangannya tidak seperti itu," kata sang pengacara.
"Apa tidak bisa dipalsu?" tanya Agus.
"Tidak mungkin, tanda tanganya terlalu rumit. Kalau pun kita menirunya butuh orang yang benar-benar ahli dalam melakukannya. Bisa jadi Arci kemarin sebenarnya kidal, makanya untuk agar seolah-olah dia menandatangani surat perjanjian itu, dia menggunakan tangan kanan. Terlebih tanda tangannya Arci seperti condong ke kiri, hal ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang punya kebiasaan menulis dengan tangan kiri."
Agus segera mengambil ponselnya. Ia pun menelpon Tommy. Tommy pun langsung mengangkatnya. Saat itu ia berada di kolam dengan ditemani oleh beberapa wanita panggilan. Pemandangan di kolam itu sungguh erotis di mana dua perempuan seksi dengan hanya memakai lingerie sedang berebutan menjilati batang kemaluannya.
"Ada apa Gus?" tanya Tommy.
"Ada masalah Tom!" kata Agus.
"Masalah apa?"
"Keponakanmu itu memalsukan tanda tangannya! Kita dibodohi!"
"Apa?!"
"Kita harus mencari Arci!"
Tommy agaknya sedikit gusar. Ia mendorong kedua perempuan yang sedang berebut penisnya itu agar menyingkir. Kedua perempuan itu pun pergi. "Jadi begitu ya, baiklah. Aku akan memaksa dia keluar. Aku akan lacak keberadaan istrinya. Ia pasti akan muncul kalau aku berhasil mendapatkan Andini. Kamu jangan khawatir. Sekarang tak ada yang bisa menghalangiku, keluarga Zenedine sudah aku taklukkan, semuanya sudah aku kuasai."
0 Response to "I Love You Episode 23"
Post a Comment