I Love You Episode 24
Sunday, May 27, 2018
Add Comment
GERILYA part I
Arci memakai kemeja, jas, kemudian sepatu. Ghea memberikan baju ayahnya untuk Arci. Dia seperti melihat sosok Pieter dalam diri Arci. Bahkan melebihi semuanya. Kenyataan bahwa dia mencintai pemuda ini adalah sebuah kenyataan yang tak bisa diubah. Mencintai Arci, pikiran itu membuatnya geli, terlebih perjumpaan mereka pertama kali di mana dia menodong Arci. Ia malu sekali sekarang kalau mengingat peristiwa itu. Mereka sudah siap untuk merencanakan pembalasan. Dua bulan bukan waktu yang lama bagi Tommy dan kawan-kawannya, tapi waktu itu cukup untuk Arci membangun kekuatannya. Selama dua bulan, dendam di dalam dadanya bergemuruh. Ia akan menghabisi semuanya yang terlibat.
"Kamu mirip seperti papa," kata Ghea.
"Aku tak menyangka ukuran bajuku dan bajunya sama, padahal kelihatannya papamu lebih besar dari aku," ujar Arci.
"Benar, tapi kamulah sekarang yang berubah. Kamu tak sadar?"
Arci meraba tubuhnya. Benar. Ia berubah. Di punggungnya ada luka jahitan, di dada dan perutnya ada luka tembak. Tubuh penuh bekas luka, seperti bos mafia yang telah merasakan banyak kekerasan di dalam hidupnya. Arci tiba-tiba memeluk Ghea, lalu menciumnya. Ghea tentu saja terkejut. Tapi ia tak menyia-nyiakan kesempatan ini, Ghea seperti orang yang kehausan ingin terus mengecup bibir pemuda yang dicintainya ini. Tapi Arci hanya memberikannya beberapa detik saja.
"Itu untuk apa?" tanya Ghea.
"Ucapan terima kasihku atas yang kamu lakukan selama ini. Aku tak tahu apakah aku bisa bertemu lagi denganmu setelah ini, tapi kuharap....kita tetap hidup," jawab Arci.
Ghea tersenyum. Sekalipun ucapan terima kasih. Itu sudah cukup baginya. Ia memang tak bisa berharap banyak dari seorang lelaki yang sudah beristri. Ia hanya bisa berharap, walaupun tanpa pernah akan mendapatkan keinginanya yang sesungguhnya. Tapi sebagaimana yang Arci ajarkan kepadanya, cinta tak harus memiliki, cinta adalah memberi, sekalipun orang yang diberikan tak akan membalas, tapi dengan cinta maka kedamaian akan merata. Sekalipun karena rasa cemburu membuatnya sakit, tapi ia yakin suatu saat akan berbuah manis. Benar kata Arci, ia hanya harus mencari pria yang tepat. Dan ia bersungguh-sungguh untuk mencari sesosok pria seperti Arci. Atau mungkin yang lebih baik darinya. Ia berjanji dalam hatinya dan ia bersungguh-sungguh.
Arci melangkah keluar rumah. Dia membuka bagasi mobil. Di dalamnya terdapat banyak senjata, dari senapan MP-90, pistol glock, shotgun, PSG-2, M-16, Bullpup, dan berbagai amunisi. Serta sebuah senjata yang Arci tak habis pikir bagaimana Ghea bisa mendapatkannya. Sebuah senjata yang biasanya digunakan para gereliyawan, RPG.
"Aku tak habis pikir bagaimana kamu bisa mendapatkan ini semua?" tanya Arci.
"Kamu jangan meremehkan aku, sayangnya stok AK-47 habis. Jadinya minus senjata itu," ujar Ghea dengan santai. "Untuk menghancurkan Tommy, kamu tak akan bisa menyerbunya langsung. Kalau menyerbu langsung itu sama saja cari mati. Usaha gelap Tommy sangat banyak. Kita hancurkan semua usaha mereka."
Seorang berambut gondrong diikat tampak sedang menimang-nimang sebuah bungkusan kecil, lalu ia menyimpannya. Lelaki ini memakai baju lengan panjang berwarna coklat. Kainnya tampak lusuh. Dia menghampiri seorang penjual gorengan.
"Bang, aku ambil dua ya?" kata lelaki itu langsung mengambil dua gorengan.
Sang penjual hanya geleng-geleng. Sore itu sedikit ramai jalan raya. Terlihat beberapa polisi sibuk mengatur lalu lintas. Lelaki ini mengeluarkan ponselnya ketika dia menerima SMS, kemudian ia balas SMSnya. Tak berapa lama kemudian dia menuju ke sebuah jembatan penyeberangan di atas jembatan ini ia berpapasan dengan seorang pelajar. Mereka tampaknya sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Sang pelajar mengeluarkan uang beberapa lembar lima puluh ribuan. Lelaki ini pun mengeluarkan bungkusan kecil dan pelajar tadi menerimanya, setelah itu mereka pun berpisah.
Ini adalah transaksi narkoba yang biasanya dilakukan oleh lelaki ini. Dia adalah pengedar yang biasanya mengedarkan narkoba kepada anak-anak pelajar. Julukannya adalah Jack Gondronk, sedangkan sebenarnya nama aslinya adalah Sutopo. Sutopo tak punya profesi yang jelas. Dia terkadang jadi juru parkir liar, di lain waktu ia jadi tukang ojek, tapi pekerjaan tetapnya adalah sebagai pengedar narkoba.
Sebenarnya juga sudah selama sepuluh tahun ini dia menekuni profesi ini dan belum terendus oleh petugas. Namun dengan segepok uang, ia selalu lolos, ia selalu bisa pergi di saat ada polisi yang ingin menggeberebek dirinya. Di terkenal di dalam dunia narkoba, namanya Jarmo sang pengedar. Dia mengedarkan narkoba dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan cara seperti tadi. Caranya juga macam-macam, seperti ketika menjadi juru parkir liar, dia bisa mendapatkan uang dari situ dengan betransaksi dari orang-orang yang pura-pura parkir di tempat dia mangkal. Atau sebagai tukang ojek di mana dia pura-pura mengantar orang yang membeli narkoba dari dia, lalu ketika membayar ia pun menyerahkan bungkusan itu.
Jarmo bukan orang yang berpendidikan tinggi. Dia pun mendapatkan pekerjaan ini juga awalnya kepepet. Walaupun dia pengedar, sama sekali dia bukan pengguna. Selama ini uang yang diterima sebagai pengedar tidaklah sedikit. Yang penting bisa menghidupi keluarganya yang mana punya seorang istri dan empat orang anak yang kesemuanya masih kecil. Jarmo orangnya cukup berhemat. Ia tak pernah menghabiskan uangnya untuk hal yang aneh-aneh. Semuanya untuk istri dan anaknya. Dan istrinya sendiri orangnya tak peduli dari mana Jarmo mendapatkan uang, yang penting hidup mereka berkecukupan. Sang istri tak peduli suaminya jadi preman atau jadi apapun yang penting pulang dengan uang dan uang, sehingga setiap minggu ia bisa pergi ke salon, bersolek dan mensekolahkan anak-anak mereka.
Siapa sangka mereka dari keluarga kriminal tapi begitulah keadaannya. Keadaan sekarang sedang sulit. Perekonomian tak menentu, mereka menempuh cara ini karena mungkin tak ada cara lain yang bisa mereka peroleh dari seorang yang pendidikan rendah seperti Jarmo. Istrinya walaupun pendidikannya lebih tinggi, tapi ia hanya bisa menghabiskan uang daripada mendapatkannya.
Selepas transaksi super kilat di jembatan penyeberangan itu, Jarmo naik angkot. Para sopir angkot tahu dia ini preman, jadi untuk soal ongkos dia tak pernah bayar. Semua sopir angkot sudah hafal siapa dia. Begitu masuk angkot yang memang sudah penuh sesak dengan penumpang, angkot pun jalan. Satu per satu penumpang turun sesuai dengan tujuannya, Jarmo akan berhenti di pemberhentian terakhir. Di sana dia menjadi juru parkir liar.
Menjadi juru parkir liar sebuah pekerjaan yang gampang, tinggal mengatur dan mengaba-aba saja. Gitu sudah dapat pemasukan. Pemasukannya kemudian dibagi dengan rekan-rekannya, juru parkir liar tidak pernah setor ke pemda atau pemkot. Oleh karena itulah kalau mobil sehari saja ada 500 yang parkir, maka tinggal dikali Rp. 5.000,-. Hasilnya Rp. 2.500.000,- dalam sehari. Belum sepeda motor yang parkir berkali-kali.
Tapi modus yang dipakai oleh Jarmo ini sedikit beda. Dia membawa sebuah tas pinggang. Tas pinggang ini berisi narkoba pesanan-pesanan kliennya. Bahkan dia membawa beberapa kantong plastik kecil untuk mengenalkan narkoba kepada orang-orang yang depresi, atau yang ingin dia ajak sebagai pelanggan amatir yang ingin coba-coba.
Seharian ini satu per satu pelanggannya datang. Beberapa mobil memberikan dia beberapa lembar uang seratus ribu. Dia langsung merogoh kantong plastik kecil dari dalam tas pinggangnya. Itulah narkoba yang ia punya.
Ketika hari sudah mulai menjelang maghrib, Jarmo pun ingin pulang. Saat itulah sebuah mobil city car menghampirinya. Jarmo agak heran kenapa mobil itu menghampirinya. Yang mengemudikan seorang cewek setengah bule, bermata merah, bermata hijau. Dari belakang ada seseorang yang memegang kepalanya, lalu dengan kuat menghantamkan kepalanya hingga membentur ke mobil.
BRAK! Jarmo tak sadarkan diri setelah itu.
Jarmo duduk di sebuah tempat gelap. Matanya juga tertutup. Ia tak bisa merasakan apapun terkecuali tangan dan kakinya terikat di atas sebuah kursi. Ada sesuatu yang ia rasakan. Ia tak memakai celana. Ia hanya memakai baju tapi tak pakai celana? Dan tiba-tiba ada yang mengguyur tubuh bagian bawahnya menggunakan air dingin. Sontak Jarmo menggigil kedinginan.
"Di-dimana aku? Siapa kalian?" tanya Jarmo.
"Kamu di tempat yang aman. Mungkin sekarang ini istri dan anakmu sedang mencarimu. Kamu tentunya tak ingin itu terjadi bukan?"
"Keparat! Bangsat! Aku akan mengulitimu! Bajingan! J**c*K!"
"Woi, woi, woi, nggak perlu bicara kotor. Lakukan!"
Tiba-tiba sebuah tangan memegang batang penis Jarmo. Jarmo terkejut. "Mau apa kau?"
"Batangmu sekarang ini sedang dipegang oleh seorang wanita. Tangannya lembut bukan? Bahkan ia akan memberikanmu hadiah."
Jarmo pun kemudian merasakan sesuatu yang basah, hangat, berputar-putar di kemaluannya. Dia ingat ini, sesuatu yang hangat yang pernah ia rasakan, lidah. Lidah manusia. Dia sedang disepong oleh seorang wanita. Apa maksudnya ini?
"Aku bisa menyuruh wanita itu untuk menggigit penismu hingga putus. Kalau kamu tidak menjawab pertanyaanku!"
"Brengsek! Ahhhh..!" desah Jarmo. Tentu saja, sebagai seorang lelaki normal, dihisap oleh seorang wanita seperti itu tentu saja ia bakal merasakan keenakan. Penisnya pun menegang.
"Katakan dari mana kamu mendapatkan narkoba itu?"
"Aku tidak akan katakan!" kata Jarmo.
"Jadi kamu mau penismu putus? Baiklah!"
"Tu-tunggu! Bukan begitu....apakah kamu bisa menjamin kalau aku tidak akan celaka kalau mengatakannya?" Jarmo sekarang ketakutan.
"Gampang, kalau kamu tidak berbohong. Maka aku akan melepaskanmu."
"B-baiklah. Aku mendapatkannya dari orang yang bernama Rafa," jawab Jarmo antara takut dan keenakan disepong.
"Siapa Rafa? Bagaimana aku menemuinya?"
"Dia orang yang sering mangkal di diskotik dan karaoke, aku mendapatkannya dari dia."
"Bagaimana caranya kamu mendapatkannya?"
"Aku memintanya langsung."
"Di diskotik mana aku bisa menemuinya?"
"Diskotik Ultra." Penis Jarmo serasa dililit dan ia keenakan. Ia meringis menahan enak.
"Kalau kamu sampai bohong, aku akan meledakkan kepalamu."
"Aku bicara jujur."
"Kalau begitu, antar kami. Sebelum itu biar kamu dituntaskan dulu."
Jarmo merasakan penisnya digelitik memakai lidah dan dihisap kuat. Ia pun tak tahan lagi, apalagi sepongan itu makin kuat. Dia pun meledak. Spermanya menyembur kuat. Ia pun lemas dan jatungnya berdebar-debar. Penutup kepalanya pun dilepas, ia mengejap-kejapkan mata. Di depannya ada dua orang sedang berdiri. Mereka adalah Arci dan Ghea. Dan seseorang di selakangannya, seseorang yang cukup cantik, kulitnya mulus, di mulutnya belepotan sperma, itu pasti spermanya.
"Pejuhnya enak om!" suara wanita itu berat. Bukan itu bukan wanita, tapi waria. Jarmo terbelalak, ia kira yang menyepongnya seorang wanita, ternyata seorang waria. Penisnya langsung mengkeret. Ia tak pernah dicoba oleh waria, baru kali ini ada waria yang mengerjainya. Tiba-tiba kepalanya jadi pusing.
Arci melepaskan ikatan Jarmo dan memaksanya berdiri sambil menodongkan senjatanya. Jarmo tak berkutik. Setelah ia memakai celananya ia pun digelandang Arci keluar dari sebuah rumah. Setelah Ghea membayar waria itu dengan beberapa lembar uang ia pun pergi. Mereka kemudian segera menuju ke sebuah diskotik yang dimaksud. Tak susah mencari diskotik itu karena diskotik itu terlalu mencolok dengan mobil-mobil yang banyak serta suara musik yang mendebum-debum.
"Kita masuk, kalau kamu melakukan tindakan aneh aku akan meledakkan kepalamu!" kata Arci. "Ghea, kamu backup aku!"
"OK!" kata Ghea.
Arci dan Jarmo pun keluar mobil menuju ke dalam. Arci menyembunyikan pistolnya di pinggangnya. Ia memakai jas agar sedikit terlihat parlente. Begitu masuk tampak semuanya mengenal Jarmo. Arci dan Jarmo langsung masuk setelah mereka dikenali. Diskotik itu penuh dengan orang-orang yang sedang nongkrong, joget, dan sebagian sedang bercumbu. Ada juga yang sedang menikmati sabu di sudut ruangan. Bau alkohol langsung menyengat di hidung ketika Arci masuk ke tempat itu. Dia hanya mengikuti Jarmo hingga naik ke sebuah tangga menuju lantai dua. Kemudian mereka melewati lorong menuju ke sebuah pintu yang ada tulisan VVIP.
Ketika masuk, Arci menyaksikan anak tangga turun. Jarmo turun ke sana. Mereka berpapasan dengan beberapa orang berbadan gempal. Arci membuang muka agar tidak dikenali, karena ia tahu itu anak buah keluarga Zenedine yang sekarang sudah dikuasai oleh Tommy.
Setelah itu mereka ternyata berada di sebuah ruangan lain. Ruangan yang penuh dengan kolam dan Jacuzzy. Jarmo menunjuk ke seseorang yang sedang berendam di Jacuzzy air hangat di temani tiga orang wanita tanpa busana. Rafa ini orangnya cukup tampan, usianya kira-kira 35 tahun. Badannya atletis, menurut perkiraan Arci orang ini cukup terlatih. Begitu Rafa melihat Jarmo dia mengangguk.
"Ada apa?" tanya Rafa yang saat itu sedang diciumi dan dijilati oleh ketiga wanita.
"Barang habis, ada lagi?" tanya Jarmo.
"Cepet amat, perasaan baru dua hari lalu kamu minta. Siapa itu?" Rafa menunjuk ke Arci.
"Dia temen."
"Temen? Perasaan kamu nggak punya temen."
"Kamu dapat barang itu dari mana?" sela Arci.
"Siapa kamu? Polisi?" tanya Rafa.
Arci mengambil pistol glock di pinggangnya dan meletakkannya di pelipis Jarmo. DOR! Tanpa basa-basi Arci menembak Jarmo. Rafa hanya terbelalak sambil melihat tubuh Jarmo yang tertembus peluru tergeletak ambruk ke dalam Jacuzzy-nya. Ketiga wanita telanjang itu langsung menjerit dan kabur. Arci menodongkan pistol glock-nya ke arah Rafa.
"Katakan kepadaku, di mana pabriknya!" ancam Arci.
Mendengar suara tembakan beberapa sekuriti segera menuju ke dalam. Arci langsung mencengkram leher Rafa dan dia mengacungkan pistolnya ke arah sekuriti yang baru datang.
DOR! DOR!
Dua sekuriti tumbang.
"Brengsek! Siapa kamu? Kamu tahu kalau kamu lakukan ini, maka kamu akan menyesal seumur hidupmu!" ancam Rafa.
"Oh ya? Siapa yang akan menyesal kalau peluru ini menghabisimu?" ancam Arci balik. "Katakan di mana pabriknya, atau aku akan meledakkan kepalamu!"
Pistol glocknya sudah berada di kepala Rafa. Rafa sedikit merinding melihat pistol glock yang kini jaraknya dengan matanya hanya beberapa cm saja. Arci menarik hammernya.
"Sebentar, OK, OK! Aku akan katakan," kata Rafa menyerah.
"Bagus, sekarang ikut aku!" Arci kemudian menyeretnya keluar dari bak jacuzzy. Rafa tertatih-tatih. Ia hanya mengenakan celana dalam dan diseret keluar dengan keadaan seperti itu. Arci menyeretnya sampai keluar ke pintu darurat. Setelah itu mereka menuju tempat parkir. Beberapa sekuriti mencoba menghalangi tapi melihat Arci membawa pistol dan menodong Rafa, mereka tak bisa apa-apa. Sebuah sedan menghampiri mereka, di dalamnya sudah ada Ghea. Segera Arci membuka pintu dan mendorong Rafa masuk. Kemudian mobil itu pun melaju kencang.
Andini tampak sedang membersihkan rumah. Ia menyapu halaman sambil sesekali melihat ke arah Putri yang mengamatinya sedari tadi. Putri mungkin sedikit bingung dengan keadaannya sekarang. Adiknya Arci itu masih belum mengetahui kalau kakaknya telah meninggal. Dia hanya tahu kalau Kakaknya Arci telah menikah dengan Andini.
"Ada apa ngelihatin terus?" tanya Andini.
"Jadi, kamu sudah menikah dengan Kak Arci?" tanya Putri balik.
Andini mengangguk.
"Jadi aku manggil kamu kakak dong?" tanya Putri.
"Iya gadis manis."
"Hhh..," tampak Putri menghela nafas.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa, aku cuma iri saja. Kak Arci pasti suka ama kamu, kamu cantik, putih, dadanya besar....Kapan kalian mau punya anak?
"Eh??" Andini wajahnya memerah. "Kami belum membicarakannya."
"Sampai kapan sih Kak Arci pergi? Jadi kangen ama dia. Kamu tahu di mana dia?"
Andini mengangkat bahunya, "Entahlah, dia ada satu urusan yang harus diselesaikan."
Sudah selama dua bulan ini Andini, tinggal bersama Lian dan Putri. Mereka tinggal di sebuah rumah di daerah perkampungan yang jauh dari kota. Agaknya tempat mereka bersembunyi sekarang ini tidak terendus oleh anak buah Tommy. Hal itu sengaja mereka lakukan karena selama Tommy masih hidup, maka mereka tidak aman. Andini mengetahui bahwa kantornya sekarang terjadi kemelut. Semua staf yang berada di bawahnya dipecat semua, termasuk Rahma dan Yusuf. Tak ada yang tahu kabar mereka sekarang. Andini juga masih menunggu email dari Arci. Tak ada email sama sekali, membuat ia was-was. Tapi ia tetap berharap bahwa Arci baik-baik saja di luar sana.
"Kalau nanti Kak Andini punya anak, boleh ya aku gendong," celetuk Putri.
"Boleh, siapa yang ngelarang?"
"Beneran?"
"Iya," kata Andini.
"Cowok apa cewek ntar?"
"Nggak tau deh, ntar lihat aja. Hihihihi."
"Kalau cowok, aku kepengen yang beri nama!"
"Emang mau namain siapa?"
"Ada deh."
"Kalau namanya jelek aku nggak setuju."
"Nggak koq, beneran. Kakak pasti suka."
"Udah ah, do'ain aja."
"Hihihihi," Putri tampak tersenyum lucu.
"Jadi, ini pabriknya?" tanya Arci.
"Iya," jawab Rafa.
Ghea melemparkan sebuah masker ke arah Arci. Arci menerimanya. Mereka berdua memakai masker itu sekarang.
"Kalian mau apa?" tanya Rafa.
"Omset pabrik kokain ini pasti milyaran. Tapi, aku akan menghancurkannya," jawab Arci.
"Kalian gila!"
BUK! Arci memukul kepala Rafa, hingga ia tak sadarkan diri.
"Cerewet!" Arci segera keluar dari mobil. Sebelumnya ia melakban mulut Rafa, kaki dan tangan lelaki ini pun diikat.
"Kamu tahu siapa Rafa ini?" tanya Ghea.
Arci menggeleng. "Peduli amat."
"Dia ini anaknya walikota," kata Ghea sambil tersenyum.
"Kamu tahu?"
"Ya jelaslah, hanya saja kenakalannya jarang terekspos. Pabrik narkoba ini tetap beroperasi salah satunya menggunakan kekuasaan ayahnya."
"Kita akan telanjangi dia besok, sekarang kita akan hancurkan pabrik mereka."
Arci membuka bagasi mobilnya. Dia mengambil RPG. Ghea sudah bersiap dengan senjata pistol glock dan beberapa magazine yang ia simpan di saku bajunya. Arci juga mengambil beberapa magazine, dua buah pisau dan sebilah kapak. Dia membidik pintu pabrik dengan RPG miliknya. Tanpa diberi aba-aba dia langsung menembakkan RPG itu dan WWUUUUSSSHH.....BLAAAARRR!
Pintu pabrik narkoba itu didobrak dengan menggunakan peluncur roket. Arci dan Ghea segera masuk. Orang-orang yang terdiri dari para pekerja dan penjaga panik. Mereka mengira digerebek oleh polisi. Arci segera menembaki semua objek yang bergerak. Ghea juga beraksi demikian. Mereka memuntahkan peluru-peluru dari pistol mereka menembus daging-daging, menghancurkan tulang-belulang, total semuanya berantakan, hancur, mayat-mayat bergelimpangan. Arci menyerbu ke atas, Ghea ke bawah. Mereka berpencar untuk membunuh semua orang yang ada di pabrik itu. Baik wanita maupun laki-laki tak ada yang dibiarkan hidup. Arci tak peduli lagi apa yang ia lakukan. Di dalam dirinya hanya ada satu hal "balas dendam". Sebagaimana yang dikatakan oleh Ghea, ia tak akan bisa kembali lagi. Inilah yang dilakukannya.
Di sebuah ruangan tempat mandor berada. Ia tampak keheranan dengan keributan yang terjadi. Dua orang lainnya yang ada di ruangan itu pun bingung. Mereka berdua sedang bermain catur dan tampaknya terganggu. Kemudian muncullah seseorang dari arah pintu. Ia tampak panik dan tergesa-gesa.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya sang mandor.
"Ada yang menyerang!" jawab salah seorang anak buahnya yang panik dan menghambur masuk ruangan.
"Polisi?"
"Bukan!"
DOR!
Orang itu pun tergeletak dengan kepala telah berlubang. Arci masuk ke ruangan itu. Sang mandor berusaha mengambil sebuah senapan Shotgun yang ada di tembok, sebelum ia beraksi Arci melemparkan sebilah pisau dan menancap di tangan sang mandor.
"Aaaarrgghhh!" jerit mandor itu.
Dua orang yang ada di ruangan itu menyerang Arci, tapi dengan cekatan Arci menusukkan lima jari tangan kanannya ke leher salah seoran dari mereka. Orang itu langsung mundur sambil memegangi lehernya. Tenggorokannya tiba-tiba tertutup sehingga ia tak bisa bernafas. Seorang lagi mengambil parang dan mengayunkannya ke arah Arci. Arci mengambil pisau di pinggangnya dengan tangan kiri, lalu menahan tebasan parang itu. Pisau dan parang beradu, orang yang menyerangnya pun kaget karena pisau itu bukan pisau biasa, tapi pisau yang biasa dipakai oleh militer yang terbuat dari baja murni. Tangan kanan Arci naik dan membidik kepala orang itu. Orang yang menyerangnya gentar dan melotot melihat moncong pistol glock yang hangat.
DOR!
Tanpa basa-basi Arci menembaknya. Arci berjalan dengan santai mendekat ke arah sang mandor. Sang mandor memegangi tangannya yang tertancap pisau. Arci menyarungkan pisaunya dan mengambil pisau yang ada di tangan sang mandor. Mandor itu pun menjerit saat pisau itu dicabut.
"Ingin hidup? Katakan pabrik lainnya ada di mana?" ancam Arci.
"Iya, iya, aku akan katakan!" jawab mandor.
Singkat cerita sisa-sisa orang yang hidup menyerah. Arci dan Ghea mengikat mereka semua di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi oleh bubuk putih.
"Kalian tahu yang kalian lakukan?" tanya Arci.
"Iya," jawab sang mandor.
"Kalian tahu, kalau pabrik ini menghasilkan narkoba yang bisa merusak para pemuda?"
"Iya," jawab yang lain.
"Jadi kalian sudah tahu konsekuensinya?" tanya Arci.
"Hah? Jangan! Jangan! Jangan! Kumohon jangaaan!" mereka menjerit.
Arci tersenyum sinis. "Aku bisa membunuh kalian semua sekarang, tapi aku tidak akan melakukannya. Aku akan biarkan kalian seperti ini, sementara pihak yang berwajib akan datang kemari. Kalau kalian bersaksi palsu, aku akan merobek mulut kalian dan kalian akan menyesal karena telah melihat dunia ini."
"Tidak akan, tidak akan!" mereka semua ketakutan.
"Kalau kalian ingin tahu siapa aku, namaku adalah Arci... anak dari Archer Zenedine. Kalau polisi bertanya siapa yang melakukannya katakan saja Sang Archer yang melakukannya."
Setelah itu Arci meninggalkan mereka semua. Tak berapa lama kemudian polisi datang dan tentu saja mereka mendapatkan jackpot pabrik narkoba. Pasti akan terjadi skandal besar setelah ini, karena pabrik ini dilindungi oleh Walikota. Sedangkan Arci melangkah ke pabrik-pabrik berikutnya.
Tak ada manisnya yang namanya balas dendam
Rasanya pahit dan getir
Namun bagi siapapun yang telah melakukannya
kepuasan hati tak bisa mengembalikan apa yang sudah hilang
Arci memakai kemeja, jas, kemudian sepatu. Ghea memberikan baju ayahnya untuk Arci. Dia seperti melihat sosok Pieter dalam diri Arci. Bahkan melebihi semuanya. Kenyataan bahwa dia mencintai pemuda ini adalah sebuah kenyataan yang tak bisa diubah. Mencintai Arci, pikiran itu membuatnya geli, terlebih perjumpaan mereka pertama kali di mana dia menodong Arci. Ia malu sekali sekarang kalau mengingat peristiwa itu. Mereka sudah siap untuk merencanakan pembalasan. Dua bulan bukan waktu yang lama bagi Tommy dan kawan-kawannya, tapi waktu itu cukup untuk Arci membangun kekuatannya. Selama dua bulan, dendam di dalam dadanya bergemuruh. Ia akan menghabisi semuanya yang terlibat.
"Kamu mirip seperti papa," kata Ghea.
"Aku tak menyangka ukuran bajuku dan bajunya sama, padahal kelihatannya papamu lebih besar dari aku," ujar Arci.
"Benar, tapi kamulah sekarang yang berubah. Kamu tak sadar?"
Arci meraba tubuhnya. Benar. Ia berubah. Di punggungnya ada luka jahitan, di dada dan perutnya ada luka tembak. Tubuh penuh bekas luka, seperti bos mafia yang telah merasakan banyak kekerasan di dalam hidupnya. Arci tiba-tiba memeluk Ghea, lalu menciumnya. Ghea tentu saja terkejut. Tapi ia tak menyia-nyiakan kesempatan ini, Ghea seperti orang yang kehausan ingin terus mengecup bibir pemuda yang dicintainya ini. Tapi Arci hanya memberikannya beberapa detik saja.
"Itu untuk apa?" tanya Ghea.
"Ucapan terima kasihku atas yang kamu lakukan selama ini. Aku tak tahu apakah aku bisa bertemu lagi denganmu setelah ini, tapi kuharap....kita tetap hidup," jawab Arci.
Ghea tersenyum. Sekalipun ucapan terima kasih. Itu sudah cukup baginya. Ia memang tak bisa berharap banyak dari seorang lelaki yang sudah beristri. Ia hanya bisa berharap, walaupun tanpa pernah akan mendapatkan keinginanya yang sesungguhnya. Tapi sebagaimana yang Arci ajarkan kepadanya, cinta tak harus memiliki, cinta adalah memberi, sekalipun orang yang diberikan tak akan membalas, tapi dengan cinta maka kedamaian akan merata. Sekalipun karena rasa cemburu membuatnya sakit, tapi ia yakin suatu saat akan berbuah manis. Benar kata Arci, ia hanya harus mencari pria yang tepat. Dan ia bersungguh-sungguh untuk mencari sesosok pria seperti Arci. Atau mungkin yang lebih baik darinya. Ia berjanji dalam hatinya dan ia bersungguh-sungguh.
Arci melangkah keluar rumah. Dia membuka bagasi mobil. Di dalamnya terdapat banyak senjata, dari senapan MP-90, pistol glock, shotgun, PSG-2, M-16, Bullpup, dan berbagai amunisi. Serta sebuah senjata yang Arci tak habis pikir bagaimana Ghea bisa mendapatkannya. Sebuah senjata yang biasanya digunakan para gereliyawan, RPG.
"Aku tak habis pikir bagaimana kamu bisa mendapatkan ini semua?" tanya Arci.
"Kamu jangan meremehkan aku, sayangnya stok AK-47 habis. Jadinya minus senjata itu," ujar Ghea dengan santai. "Untuk menghancurkan Tommy, kamu tak akan bisa menyerbunya langsung. Kalau menyerbu langsung itu sama saja cari mati. Usaha gelap Tommy sangat banyak. Kita hancurkan semua usaha mereka."
Seorang berambut gondrong diikat tampak sedang menimang-nimang sebuah bungkusan kecil, lalu ia menyimpannya. Lelaki ini memakai baju lengan panjang berwarna coklat. Kainnya tampak lusuh. Dia menghampiri seorang penjual gorengan.
"Bang, aku ambil dua ya?" kata lelaki itu langsung mengambil dua gorengan.
Sang penjual hanya geleng-geleng. Sore itu sedikit ramai jalan raya. Terlihat beberapa polisi sibuk mengatur lalu lintas. Lelaki ini mengeluarkan ponselnya ketika dia menerima SMS, kemudian ia balas SMSnya. Tak berapa lama kemudian dia menuju ke sebuah jembatan penyeberangan di atas jembatan ini ia berpapasan dengan seorang pelajar. Mereka tampaknya sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Sang pelajar mengeluarkan uang beberapa lembar lima puluh ribuan. Lelaki ini pun mengeluarkan bungkusan kecil dan pelajar tadi menerimanya, setelah itu mereka pun berpisah.
Ini adalah transaksi narkoba yang biasanya dilakukan oleh lelaki ini. Dia adalah pengedar yang biasanya mengedarkan narkoba kepada anak-anak pelajar. Julukannya adalah Jack Gondronk, sedangkan sebenarnya nama aslinya adalah Sutopo. Sutopo tak punya profesi yang jelas. Dia terkadang jadi juru parkir liar, di lain waktu ia jadi tukang ojek, tapi pekerjaan tetapnya adalah sebagai pengedar narkoba.
Sebenarnya juga sudah selama sepuluh tahun ini dia menekuni profesi ini dan belum terendus oleh petugas. Namun dengan segepok uang, ia selalu lolos, ia selalu bisa pergi di saat ada polisi yang ingin menggeberebek dirinya. Di terkenal di dalam dunia narkoba, namanya Jarmo sang pengedar. Dia mengedarkan narkoba dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan cara seperti tadi. Caranya juga macam-macam, seperti ketika menjadi juru parkir liar, dia bisa mendapatkan uang dari situ dengan betransaksi dari orang-orang yang pura-pura parkir di tempat dia mangkal. Atau sebagai tukang ojek di mana dia pura-pura mengantar orang yang membeli narkoba dari dia, lalu ketika membayar ia pun menyerahkan bungkusan itu.
Jarmo bukan orang yang berpendidikan tinggi. Dia pun mendapatkan pekerjaan ini juga awalnya kepepet. Walaupun dia pengedar, sama sekali dia bukan pengguna. Selama ini uang yang diterima sebagai pengedar tidaklah sedikit. Yang penting bisa menghidupi keluarganya yang mana punya seorang istri dan empat orang anak yang kesemuanya masih kecil. Jarmo orangnya cukup berhemat. Ia tak pernah menghabiskan uangnya untuk hal yang aneh-aneh. Semuanya untuk istri dan anaknya. Dan istrinya sendiri orangnya tak peduli dari mana Jarmo mendapatkan uang, yang penting hidup mereka berkecukupan. Sang istri tak peduli suaminya jadi preman atau jadi apapun yang penting pulang dengan uang dan uang, sehingga setiap minggu ia bisa pergi ke salon, bersolek dan mensekolahkan anak-anak mereka.
Siapa sangka mereka dari keluarga kriminal tapi begitulah keadaannya. Keadaan sekarang sedang sulit. Perekonomian tak menentu, mereka menempuh cara ini karena mungkin tak ada cara lain yang bisa mereka peroleh dari seorang yang pendidikan rendah seperti Jarmo. Istrinya walaupun pendidikannya lebih tinggi, tapi ia hanya bisa menghabiskan uang daripada mendapatkannya.
Selepas transaksi super kilat di jembatan penyeberangan itu, Jarmo naik angkot. Para sopir angkot tahu dia ini preman, jadi untuk soal ongkos dia tak pernah bayar. Semua sopir angkot sudah hafal siapa dia. Begitu masuk angkot yang memang sudah penuh sesak dengan penumpang, angkot pun jalan. Satu per satu penumpang turun sesuai dengan tujuannya, Jarmo akan berhenti di pemberhentian terakhir. Di sana dia menjadi juru parkir liar.
Menjadi juru parkir liar sebuah pekerjaan yang gampang, tinggal mengatur dan mengaba-aba saja. Gitu sudah dapat pemasukan. Pemasukannya kemudian dibagi dengan rekan-rekannya, juru parkir liar tidak pernah setor ke pemda atau pemkot. Oleh karena itulah kalau mobil sehari saja ada 500 yang parkir, maka tinggal dikali Rp. 5.000,-. Hasilnya Rp. 2.500.000,- dalam sehari. Belum sepeda motor yang parkir berkali-kali.
Tapi modus yang dipakai oleh Jarmo ini sedikit beda. Dia membawa sebuah tas pinggang. Tas pinggang ini berisi narkoba pesanan-pesanan kliennya. Bahkan dia membawa beberapa kantong plastik kecil untuk mengenalkan narkoba kepada orang-orang yang depresi, atau yang ingin dia ajak sebagai pelanggan amatir yang ingin coba-coba.
Seharian ini satu per satu pelanggannya datang. Beberapa mobil memberikan dia beberapa lembar uang seratus ribu. Dia langsung merogoh kantong plastik kecil dari dalam tas pinggangnya. Itulah narkoba yang ia punya.
Ketika hari sudah mulai menjelang maghrib, Jarmo pun ingin pulang. Saat itulah sebuah mobil city car menghampirinya. Jarmo agak heran kenapa mobil itu menghampirinya. Yang mengemudikan seorang cewek setengah bule, bermata merah, bermata hijau. Dari belakang ada seseorang yang memegang kepalanya, lalu dengan kuat menghantamkan kepalanya hingga membentur ke mobil.
BRAK! Jarmo tak sadarkan diri setelah itu.
Jarmo duduk di sebuah tempat gelap. Matanya juga tertutup. Ia tak bisa merasakan apapun terkecuali tangan dan kakinya terikat di atas sebuah kursi. Ada sesuatu yang ia rasakan. Ia tak memakai celana. Ia hanya memakai baju tapi tak pakai celana? Dan tiba-tiba ada yang mengguyur tubuh bagian bawahnya menggunakan air dingin. Sontak Jarmo menggigil kedinginan.
"Di-dimana aku? Siapa kalian?" tanya Jarmo.
"Kamu di tempat yang aman. Mungkin sekarang ini istri dan anakmu sedang mencarimu. Kamu tentunya tak ingin itu terjadi bukan?"
"Keparat! Bangsat! Aku akan mengulitimu! Bajingan! J**c*K!"
"Woi, woi, woi, nggak perlu bicara kotor. Lakukan!"
Tiba-tiba sebuah tangan memegang batang penis Jarmo. Jarmo terkejut. "Mau apa kau?"
"Batangmu sekarang ini sedang dipegang oleh seorang wanita. Tangannya lembut bukan? Bahkan ia akan memberikanmu hadiah."
Jarmo pun kemudian merasakan sesuatu yang basah, hangat, berputar-putar di kemaluannya. Dia ingat ini, sesuatu yang hangat yang pernah ia rasakan, lidah. Lidah manusia. Dia sedang disepong oleh seorang wanita. Apa maksudnya ini?
"Aku bisa menyuruh wanita itu untuk menggigit penismu hingga putus. Kalau kamu tidak menjawab pertanyaanku!"
"Brengsek! Ahhhh..!" desah Jarmo. Tentu saja, sebagai seorang lelaki normal, dihisap oleh seorang wanita seperti itu tentu saja ia bakal merasakan keenakan. Penisnya pun menegang.
"Katakan dari mana kamu mendapatkan narkoba itu?"
"Aku tidak akan katakan!" kata Jarmo.
"Jadi kamu mau penismu putus? Baiklah!"
"Tu-tunggu! Bukan begitu....apakah kamu bisa menjamin kalau aku tidak akan celaka kalau mengatakannya?" Jarmo sekarang ketakutan.
"Gampang, kalau kamu tidak berbohong. Maka aku akan melepaskanmu."
"B-baiklah. Aku mendapatkannya dari orang yang bernama Rafa," jawab Jarmo antara takut dan keenakan disepong.
"Siapa Rafa? Bagaimana aku menemuinya?"
"Dia orang yang sering mangkal di diskotik dan karaoke, aku mendapatkannya dari dia."
"Bagaimana caranya kamu mendapatkannya?"
"Aku memintanya langsung."
"Di diskotik mana aku bisa menemuinya?"
"Diskotik Ultra." Penis Jarmo serasa dililit dan ia keenakan. Ia meringis menahan enak.
"Kalau kamu sampai bohong, aku akan meledakkan kepalamu."
"Aku bicara jujur."
"Kalau begitu, antar kami. Sebelum itu biar kamu dituntaskan dulu."
Jarmo merasakan penisnya digelitik memakai lidah dan dihisap kuat. Ia pun tak tahan lagi, apalagi sepongan itu makin kuat. Dia pun meledak. Spermanya menyembur kuat. Ia pun lemas dan jatungnya berdebar-debar. Penutup kepalanya pun dilepas, ia mengejap-kejapkan mata. Di depannya ada dua orang sedang berdiri. Mereka adalah Arci dan Ghea. Dan seseorang di selakangannya, seseorang yang cukup cantik, kulitnya mulus, di mulutnya belepotan sperma, itu pasti spermanya.
"Pejuhnya enak om!" suara wanita itu berat. Bukan itu bukan wanita, tapi waria. Jarmo terbelalak, ia kira yang menyepongnya seorang wanita, ternyata seorang waria. Penisnya langsung mengkeret. Ia tak pernah dicoba oleh waria, baru kali ini ada waria yang mengerjainya. Tiba-tiba kepalanya jadi pusing.
Arci melepaskan ikatan Jarmo dan memaksanya berdiri sambil menodongkan senjatanya. Jarmo tak berkutik. Setelah ia memakai celananya ia pun digelandang Arci keluar dari sebuah rumah. Setelah Ghea membayar waria itu dengan beberapa lembar uang ia pun pergi. Mereka kemudian segera menuju ke sebuah diskotik yang dimaksud. Tak susah mencari diskotik itu karena diskotik itu terlalu mencolok dengan mobil-mobil yang banyak serta suara musik yang mendebum-debum.
"Kita masuk, kalau kamu melakukan tindakan aneh aku akan meledakkan kepalamu!" kata Arci. "Ghea, kamu backup aku!"
"OK!" kata Ghea.
Arci dan Jarmo pun keluar mobil menuju ke dalam. Arci menyembunyikan pistolnya di pinggangnya. Ia memakai jas agar sedikit terlihat parlente. Begitu masuk tampak semuanya mengenal Jarmo. Arci dan Jarmo langsung masuk setelah mereka dikenali. Diskotik itu penuh dengan orang-orang yang sedang nongkrong, joget, dan sebagian sedang bercumbu. Ada juga yang sedang menikmati sabu di sudut ruangan. Bau alkohol langsung menyengat di hidung ketika Arci masuk ke tempat itu. Dia hanya mengikuti Jarmo hingga naik ke sebuah tangga menuju lantai dua. Kemudian mereka melewati lorong menuju ke sebuah pintu yang ada tulisan VVIP.
Ketika masuk, Arci menyaksikan anak tangga turun. Jarmo turun ke sana. Mereka berpapasan dengan beberapa orang berbadan gempal. Arci membuang muka agar tidak dikenali, karena ia tahu itu anak buah keluarga Zenedine yang sekarang sudah dikuasai oleh Tommy.
Setelah itu mereka ternyata berada di sebuah ruangan lain. Ruangan yang penuh dengan kolam dan Jacuzzy. Jarmo menunjuk ke seseorang yang sedang berendam di Jacuzzy air hangat di temani tiga orang wanita tanpa busana. Rafa ini orangnya cukup tampan, usianya kira-kira 35 tahun. Badannya atletis, menurut perkiraan Arci orang ini cukup terlatih. Begitu Rafa melihat Jarmo dia mengangguk.
"Ada apa?" tanya Rafa yang saat itu sedang diciumi dan dijilati oleh ketiga wanita.
"Barang habis, ada lagi?" tanya Jarmo.
"Cepet amat, perasaan baru dua hari lalu kamu minta. Siapa itu?" Rafa menunjuk ke Arci.
"Dia temen."
"Temen? Perasaan kamu nggak punya temen."
"Kamu dapat barang itu dari mana?" sela Arci.
"Siapa kamu? Polisi?" tanya Rafa.
Arci mengambil pistol glock di pinggangnya dan meletakkannya di pelipis Jarmo. DOR! Tanpa basa-basi Arci menembak Jarmo. Rafa hanya terbelalak sambil melihat tubuh Jarmo yang tertembus peluru tergeletak ambruk ke dalam Jacuzzy-nya. Ketiga wanita telanjang itu langsung menjerit dan kabur. Arci menodongkan pistol glock-nya ke arah Rafa.
"Katakan kepadaku, di mana pabriknya!" ancam Arci.
Mendengar suara tembakan beberapa sekuriti segera menuju ke dalam. Arci langsung mencengkram leher Rafa dan dia mengacungkan pistolnya ke arah sekuriti yang baru datang.
DOR! DOR!
Dua sekuriti tumbang.
"Brengsek! Siapa kamu? Kamu tahu kalau kamu lakukan ini, maka kamu akan menyesal seumur hidupmu!" ancam Rafa.
"Oh ya? Siapa yang akan menyesal kalau peluru ini menghabisimu?" ancam Arci balik. "Katakan di mana pabriknya, atau aku akan meledakkan kepalamu!"
Pistol glocknya sudah berada di kepala Rafa. Rafa sedikit merinding melihat pistol glock yang kini jaraknya dengan matanya hanya beberapa cm saja. Arci menarik hammernya.
"Sebentar, OK, OK! Aku akan katakan," kata Rafa menyerah.
"Bagus, sekarang ikut aku!" Arci kemudian menyeretnya keluar dari bak jacuzzy. Rafa tertatih-tatih. Ia hanya mengenakan celana dalam dan diseret keluar dengan keadaan seperti itu. Arci menyeretnya sampai keluar ke pintu darurat. Setelah itu mereka menuju tempat parkir. Beberapa sekuriti mencoba menghalangi tapi melihat Arci membawa pistol dan menodong Rafa, mereka tak bisa apa-apa. Sebuah sedan menghampiri mereka, di dalamnya sudah ada Ghea. Segera Arci membuka pintu dan mendorong Rafa masuk. Kemudian mobil itu pun melaju kencang.
Andini tampak sedang membersihkan rumah. Ia menyapu halaman sambil sesekali melihat ke arah Putri yang mengamatinya sedari tadi. Putri mungkin sedikit bingung dengan keadaannya sekarang. Adiknya Arci itu masih belum mengetahui kalau kakaknya telah meninggal. Dia hanya tahu kalau Kakaknya Arci telah menikah dengan Andini.
"Ada apa ngelihatin terus?" tanya Andini.
"Jadi, kamu sudah menikah dengan Kak Arci?" tanya Putri balik.
Andini mengangguk.
"Jadi aku manggil kamu kakak dong?" tanya Putri.
"Iya gadis manis."
"Hhh..," tampak Putri menghela nafas.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa, aku cuma iri saja. Kak Arci pasti suka ama kamu, kamu cantik, putih, dadanya besar....Kapan kalian mau punya anak?
"Eh??" Andini wajahnya memerah. "Kami belum membicarakannya."
"Sampai kapan sih Kak Arci pergi? Jadi kangen ama dia. Kamu tahu di mana dia?"
Andini mengangkat bahunya, "Entahlah, dia ada satu urusan yang harus diselesaikan."
Sudah selama dua bulan ini Andini, tinggal bersama Lian dan Putri. Mereka tinggal di sebuah rumah di daerah perkampungan yang jauh dari kota. Agaknya tempat mereka bersembunyi sekarang ini tidak terendus oleh anak buah Tommy. Hal itu sengaja mereka lakukan karena selama Tommy masih hidup, maka mereka tidak aman. Andini mengetahui bahwa kantornya sekarang terjadi kemelut. Semua staf yang berada di bawahnya dipecat semua, termasuk Rahma dan Yusuf. Tak ada yang tahu kabar mereka sekarang. Andini juga masih menunggu email dari Arci. Tak ada email sama sekali, membuat ia was-was. Tapi ia tetap berharap bahwa Arci baik-baik saja di luar sana.
"Kalau nanti Kak Andini punya anak, boleh ya aku gendong," celetuk Putri.
"Boleh, siapa yang ngelarang?"
"Beneran?"
"Iya," kata Andini.
"Cowok apa cewek ntar?"
"Nggak tau deh, ntar lihat aja. Hihihihi."
"Kalau cowok, aku kepengen yang beri nama!"
"Emang mau namain siapa?"
"Ada deh."
"Kalau namanya jelek aku nggak setuju."
"Nggak koq, beneran. Kakak pasti suka."
"Udah ah, do'ain aja."
"Hihihihi," Putri tampak tersenyum lucu.
"Jadi, ini pabriknya?" tanya Arci.
"Iya," jawab Rafa.
Ghea melemparkan sebuah masker ke arah Arci. Arci menerimanya. Mereka berdua memakai masker itu sekarang.
"Kalian mau apa?" tanya Rafa.
"Omset pabrik kokain ini pasti milyaran. Tapi, aku akan menghancurkannya," jawab Arci.
"Kalian gila!"
BUK! Arci memukul kepala Rafa, hingga ia tak sadarkan diri.
"Cerewet!" Arci segera keluar dari mobil. Sebelumnya ia melakban mulut Rafa, kaki dan tangan lelaki ini pun diikat.
"Kamu tahu siapa Rafa ini?" tanya Ghea.
Arci menggeleng. "Peduli amat."
"Dia ini anaknya walikota," kata Ghea sambil tersenyum.
"Kamu tahu?"
"Ya jelaslah, hanya saja kenakalannya jarang terekspos. Pabrik narkoba ini tetap beroperasi salah satunya menggunakan kekuasaan ayahnya."
"Kita akan telanjangi dia besok, sekarang kita akan hancurkan pabrik mereka."
Arci membuka bagasi mobilnya. Dia mengambil RPG. Ghea sudah bersiap dengan senjata pistol glock dan beberapa magazine yang ia simpan di saku bajunya. Arci juga mengambil beberapa magazine, dua buah pisau dan sebilah kapak. Dia membidik pintu pabrik dengan RPG miliknya. Tanpa diberi aba-aba dia langsung menembakkan RPG itu dan WWUUUUSSSHH.....BLAAAARRR!
Pintu pabrik narkoba itu didobrak dengan menggunakan peluncur roket. Arci dan Ghea segera masuk. Orang-orang yang terdiri dari para pekerja dan penjaga panik. Mereka mengira digerebek oleh polisi. Arci segera menembaki semua objek yang bergerak. Ghea juga beraksi demikian. Mereka memuntahkan peluru-peluru dari pistol mereka menembus daging-daging, menghancurkan tulang-belulang, total semuanya berantakan, hancur, mayat-mayat bergelimpangan. Arci menyerbu ke atas, Ghea ke bawah. Mereka berpencar untuk membunuh semua orang yang ada di pabrik itu. Baik wanita maupun laki-laki tak ada yang dibiarkan hidup. Arci tak peduli lagi apa yang ia lakukan. Di dalam dirinya hanya ada satu hal "balas dendam". Sebagaimana yang dikatakan oleh Ghea, ia tak akan bisa kembali lagi. Inilah yang dilakukannya.
Di sebuah ruangan tempat mandor berada. Ia tampak keheranan dengan keributan yang terjadi. Dua orang lainnya yang ada di ruangan itu pun bingung. Mereka berdua sedang bermain catur dan tampaknya terganggu. Kemudian muncullah seseorang dari arah pintu. Ia tampak panik dan tergesa-gesa.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya sang mandor.
"Ada yang menyerang!" jawab salah seorang anak buahnya yang panik dan menghambur masuk ruangan.
"Polisi?"
"Bukan!"
DOR!
Orang itu pun tergeletak dengan kepala telah berlubang. Arci masuk ke ruangan itu. Sang mandor berusaha mengambil sebuah senapan Shotgun yang ada di tembok, sebelum ia beraksi Arci melemparkan sebilah pisau dan menancap di tangan sang mandor.
"Aaaarrgghhh!" jerit mandor itu.
Dua orang yang ada di ruangan itu menyerang Arci, tapi dengan cekatan Arci menusukkan lima jari tangan kanannya ke leher salah seoran dari mereka. Orang itu langsung mundur sambil memegangi lehernya. Tenggorokannya tiba-tiba tertutup sehingga ia tak bisa bernafas. Seorang lagi mengambil parang dan mengayunkannya ke arah Arci. Arci mengambil pisau di pinggangnya dengan tangan kiri, lalu menahan tebasan parang itu. Pisau dan parang beradu, orang yang menyerangnya pun kaget karena pisau itu bukan pisau biasa, tapi pisau yang biasa dipakai oleh militer yang terbuat dari baja murni. Tangan kanan Arci naik dan membidik kepala orang itu. Orang yang menyerangnya gentar dan melotot melihat moncong pistol glock yang hangat.
DOR!
Tanpa basa-basi Arci menembaknya. Arci berjalan dengan santai mendekat ke arah sang mandor. Sang mandor memegangi tangannya yang tertancap pisau. Arci menyarungkan pisaunya dan mengambil pisau yang ada di tangan sang mandor. Mandor itu pun menjerit saat pisau itu dicabut.
"Ingin hidup? Katakan pabrik lainnya ada di mana?" ancam Arci.
"Iya, iya, aku akan katakan!" jawab mandor.
Singkat cerita sisa-sisa orang yang hidup menyerah. Arci dan Ghea mengikat mereka semua di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi oleh bubuk putih.
"Kalian tahu yang kalian lakukan?" tanya Arci.
"Iya," jawab sang mandor.
"Kalian tahu, kalau pabrik ini menghasilkan narkoba yang bisa merusak para pemuda?"
"Iya," jawab yang lain.
"Jadi kalian sudah tahu konsekuensinya?" tanya Arci.
"Hah? Jangan! Jangan! Jangan! Kumohon jangaaan!" mereka menjerit.
Arci tersenyum sinis. "Aku bisa membunuh kalian semua sekarang, tapi aku tidak akan melakukannya. Aku akan biarkan kalian seperti ini, sementara pihak yang berwajib akan datang kemari. Kalau kalian bersaksi palsu, aku akan merobek mulut kalian dan kalian akan menyesal karena telah melihat dunia ini."
"Tidak akan, tidak akan!" mereka semua ketakutan.
"Kalau kalian ingin tahu siapa aku, namaku adalah Arci... anak dari Archer Zenedine. Kalau polisi bertanya siapa yang melakukannya katakan saja Sang Archer yang melakukannya."
Setelah itu Arci meninggalkan mereka semua. Tak berapa lama kemudian polisi datang dan tentu saja mereka mendapatkan jackpot pabrik narkoba. Pasti akan terjadi skandal besar setelah ini, karena pabrik ini dilindungi oleh Walikota. Sedangkan Arci melangkah ke pabrik-pabrik berikutnya.
0 Response to "I Love You Episode 24"
Post a Comment