The Dark Lantern Episode 1


PROLOG

NARASI DETEKTIF JOHAN


Kuhisap puting padatnya dengan lembut sambil tangan kiriku meremas payudara kanannya. Istriku hari ini bernafsu sekali, mungkin karena udara dingin di bulan Desember. Tak ada yang salah sebenarnya, tapi hal ini akan membuatku terjaga sampai pagi. Aku baru saja menenggak segelas espresso dan sekarang harus menuntaskan apa yang aku mulai. Dari ketika aku menciumi lehernya, bibirnya, hingga kemudian dengan pancingan-pancingan lembut itu dia mau bangun dan melayaniku.

Agaknya aku cukup terpuaskan dengan buah dada 34D miliknya. Memang semenjak dia melahirkan anak pertama kami buah dadanya makin besar. Aku makin gemas untuk menghisapi susunya. Ia menggeliat dengan mata terpejam. Cahaya remang-remang dari luar jendela masuk memberikan sebuah siluet badan istriku yang seksi. Aku terus menggoyang pinggulku, menggeseki liang senggamanya yang udah basah oleh lendiran nafsu. Tubuhku didorongnya, kini ia menjadi ratu memompa dan mengoyang kemaluanku hingga setruman-setruman kenikmatan menggelora dari pinggang sampai ke ubun-ubunku.

Istriku makin liar ketika orgasmenya sudah hampir sampai. Aku terus remasi buah dadanya yang naik turun seiring naik turunnya pinggangnya memompa batang kejantananku. Ponselku berbunyi. Itu adalah pemecah konsetrasi yang tidak aku sukai. Aku punya dua ponsel, satu untuk pribadi dan satu untuk kerja. Yang kali ini untuk kerja. Siapa malam-malam begini berani mengganggu diriku yang sedang asyik indehoi dengan istri?

"Mas, aku nyampe!" keluh istriku. AKu pun ikut menusuk-nusukkan kejantananku makin dalam ke liang senggamanya. Dan kemaluannya pun menjepit kuat batang kejantananku. Aku bisa merasakan susulan rasa kedutan di ujung pionku yang menyemburkan gelombang kenikmatan dari puncak persenggamaan kita yang hebat malam ini.

Bidadariku ini kemudian ambruk di atas dadaku. Ia menciumi dadaku sambil memeluk erat tubuhku yang masih ada keringat walaupun malam sudah memberikan efek dingin pada suhu kamar ini. Kugapai ponselku. Ada sebuah nama yang membuatku sedikit bersemangat walaupun rasa lelah akibat orgasme tadi. Kuangkat ponsel itu.

"Inspektur James?" sapaku.

"Ya, Piere. Maaf mengganggu tidurmu malam ini. Kami baru saja menemukan mayat di dekat tempatmu. Mungkin kamu bisa datang ke sini," katanya.

Inspektur James Sukoco adalah teman baikku. Kalau dia butuh bantuanku dalam suatu kasus dia pasti menghubungiku. Artinya ada kasus, ada uang. Tapi untuk kasus kali ini, aku tidak beruntung. Aku langsung bangun dan memberikan kecupan hangat untuk istriku yang masih terlena dengan orgasme yang baru ia rasakan tadi. Tempatnya memang tak jauh dari rumahku. Setelah berbenah dan memakai baju, aku pun pergi. Kulajukan gerobak besi bernama Suzuki Ertiga menjauh dari rumahku. Tak berapa lama kemudian aku sudah sampai. Benar-benar dekat. Hanya cukup mengitari satu blok dan aku sudah disambut lampu sirine yang meliuk-liuk ke segala penjuru. Beberapa mobil polisi dan sebuah mobil ambulance terparkir di pinggir jalan. Lebih tepatnya di depan jembatan.

Kuparkir mobilku tak jauh dari mereka. Wajah seorang yang sangat aku kenal segera menyambutku. Aku termasuk orang yang gemas dengan kumis milik inspektur James ini. Dia sedikit gemuk tapi tidak tambun, rambutnya botak dan kumisnya lebat seperti tokoh video game Mario Bross.

"Apa yang kamu temukan?" tanyaku.

"Maaf, tapi mungkin saja kamu tertarik dengan seorang mayat dengan identitas William van Bosch," jawabnya sambil berjalan beriringan dengan diriku.

"Orang asing?"

Inspektur tak menjawabku. Aku pun menyusuri samping jembatan dan turun ke bibir sungai. Tampak garis polisi sudah melintang di sana. Beberapa orang berkerumun di antaranya adalah tim ahli forensik. Sebuah senter menyorot ke sebuah tubuh yang teronggok di atas rerumputan dengan bau anyir darah.

"Yang menemukannya seorang gelandangan. Awalnya petugas mengira ia cuma membual dan mabuk karena tercium bau alkohol di mulutnya. Tapi petugas kita cepat tanggap dan melaporkan ini," kata Inspektur James. "Nah, karena ini dekat rumahmu aku ajak saja kamu ke sini."

"William van Bosch?"

"Itu yang tertulis kartu identitasnya. Ini murni pembunuhan. Karena barang korban masih ada di dalam celananya. Dompet lengkap dengan kartu kredit, ATM, dan uang dua juta rupiah."

"Lukanya cukup parah. Wajahnya remuk. Apakah batu itu yang menyebabkan di tewas?"

"Iya."

"Kalau begitu Anda butuh test DNA untuk memastikan bahwa itu identitas aslinya."

"Iya, itu sudah aku pikirkan."

"Dan sepertinya ini perbuatan orang yang sangat dikenalnya."

"Kenapa bisa begitu?"

"Tak ada perlawanan. Dan kenapa orang ini mau turun ke bawah jembatan seperti ini? Apalagi hari ini hujan dari pagi hingga malam. Apa tidak bisa melihat kalau arus sungai sangat deras di bawah sana?" aku menunjuk ke aliran sungai yang deras.

"Kesengajaan?"

"Terencana."

"Tapi dia hanya ada pasport turis, tak ada sanak familinya di sini."

"Kalau begitu tugas kita tambah berat. Siapa orang yang diangapnya sangat dekat di negara ini?"

"Itu yang harus kita cari."

Aku mencoba mendekat ke mayat tersebut sambil memasang sarung tangan. Kuamati dengan seksama pakaiannya. Dia memakai jeans dan kaos berwarna putih. Dan kucium aroma di dadanya. Walaupun hujan mengguyur mayat itu aku masih bisa cium sesuatu seperti parfum wanita. Baunya sangat khas. Unik, bahkan istriku tidak pernah mencium bau seperti ini. Baunya seperti menusuk, tapi lembut dan menggoda. Apabila dihirup seolah-olah hidungku sangat rileks.

"Bagaimana kalau aku putuskan sang pembunuh adalah wanita?" tanyaku.

"Terlalu cepat."

"Tidak, ada bau parfum wanita di sini. Walaupun sudah samar aku masih bisa menciumnya."

"Mana mungkin?"

Inspektur James mendekat. Ia melakukan sama yang seperti aku lakukan. "Kamu cuma membual. Tak ada baunya."

"Ah mungkin cuma perasaanku saja," Tapi aku yakin sekali baunya tadi masih ada. Dan tak mungkin pria ini memakai parfum wanita. Kecuali memang dia punya kelainan seksual.

"Inspektur, maaf," kata salah seorang petugas.

"Kenapa?" tanya Inspektur.

"Ada seseorang menitipkan bayi di panti asuhan. Sepertinya dibuang oleh orang tuanya," ujar petugas itu.

"Apa?"

Awalnya memang aku tak pernah mengetahui bahwa kedua kasus ini saling berhubungan. Seorang turis tewas dan ditemukannya seorang bayi yang dibuang. Karena seluruh bukti dan saksi-saksi yang minim. Kasus itu pun tak aku hiraukan lagi. Hingga setelah tujuh belas tahun berlalu, kembali lagi kasus aneh itu menyelimuti mimpi-mimpiku.


Permintaan Dari Teman

NARASI DETEKTIF JOHAN


Hari ini dunia dihebohkan dengan pernikahan Faiz Hendrajaya, anak dari pemilik Hendrajaya Group dengan seorang artis ternama bernama Iskha. Sejujurnya anakku paling suka lagu-lagu dari artis ini. Bahkan sejak awal Faiz Hendrajaya dan Iskha berpacaran Maria selalu mencari-cari beritanya di infotainment. Menurutnya perjalanan kisah cinta mereka sungguh romantis. Entahlah nak, ayahmu tak pernah membahas infotainment. Ayahmu hanya membahas kasus dan karena itulah kamu bisa sekolah sekarang ini.

Memang sih beberapa waktu lalu ketika siaran LIVE di stasiun tv aku dan istriku menonton siarannya. Ketika Faiz melamar Iskha secara langsung di hadapan penonton. Aku pun ikut terharu menontonnya. Terlebih istriku sampai meneteskan air matanya. Ia pun bilang, "Cara Mas melamar aku waktu itu nggak seheboh ini sih."

Iya, memang tak heboh. Aku melamar istriku dengan cara sederhana. Kuajak makan malam dan kuberi cincin sebagai tanda lamaran. Maklumlah, pekerjaan mendirikan biro detektif itu tak mudah. Gajinya juga tak selalu besar. Tergantung kasus yang diminta. Untung saja istriku tak meminta lebih. Ia sudah cukup bahagia dengan apa yang aku punya. Ia juga membantuku dengan berjualan baju-baju lewat online.

Maria sekarang usianya tujuh belas tahun. Aku sudah menyiapkan kue ulang tahun untuknya.

Ketika dia turun dari kamarnya aku langsung sambut dia dengan kue itu. "Happy Birthday my heroine!"

"Aahhh....ayah, makasiiihh," ia langsung meniup lilinnya dan memelukku. Lalu istriku memberikan dia sebuah hadiah. "Kalian emang the best!"

Disusul kemudian Justin yang langsung memberikan kado untuk kakaknya.

"Makasih ya bro," kata Maria.

"Buka saja!" kataku.

Kami lalu pergi ke ruang keluarga. Maria membuka hadiah dari kami dan ia sangat senang sekali. "Ya ampuun, ayah aku sudah lama kepingin jam tangan ini. Makasih yaa.."

Dia juga membuka hadiah dari Justin. Justin menghadiahi kakaknya sebuah action figured Hello Kitty. Maria mengerutkan dahi. "Bro, aku bukan anak kecil lagi ya. Dan aku sudah nggak suka lagi ama Hello Kitty."

"Sudah terima saja, toh Justin sudah berusaha," kataku.

Maria menghela nafas. Ia lalu memeluk adiknya yang masih SMP itu. "Thanks bro."

"Sama-sama kak," katanya.

"Kamu sudah tujuh belas tahun, kuharap kamu sudah banyak berubah sekarang. Nggak manja lagi dan lebih dewasa," kataku.

"Iya ayah, do'ain aku ya," katanya.

Setelah itu, Maria pergi ke sekolah. Pasti akan banyak kejutan nantinya di sekolah. Aku orang yang cukup bahagia dengan momen-momen ini. Tapi itu tak berlangsung lama.

NARASI MARIA

Kenalkan namaku Maria. Aku anak dari seorang detektif ternama bernama Johan Maheswara. Hari ini aku berusia 17 tahun. Dan ayah memberikanku kejutan yang luar biasa. Aku memang sudah lama ngebet ingin punya arloji kinetik. Siapa sangka ayahku yang membelikanku sebagai hadiah ulang tahunku. Arloji ini sangat cantik, karena ada untaian seperti kristal di angka 12, 3, 6 dan 9. Lagipula jam ini tak memerlukan batteray. Itulah yang aku suka.

Aku ke sekolah naik monorail. Setelah itu aku sambung dengan jalan kaki tak jauh sih sekolahku dari tempat pemberhentian monorail portable. Aku bisa menyapa teman-temanku yang memang naik monorail juga.

"Maria!?" sapa temanku.

"Hai, Retno. Pagi?" sapaku.

"Pagi, eh, ngomong-ngomong boleh dong minta contekan matematikanya, pliiiiss," ia mengiba.

"Kenapa emangnya? Belum ngerjain?" tanyaku.

"Aku lupa!" katanya.

"Yaelah, emangnya kemarin ngapain aja?"

"Ayolah Mar, ya ya ya?"

"Ya udah deh," kataku.

Aku segera masuk ke halaman sekolah dan masuk kelas. Seorang anak laki-laki menyapaku. "Hai Mar, happy birthday."

"Eh,..Andre?" sapaku. Aku terkejut ketika aku diberi sebuah kado kecil. Waduuh...apa isinya.

"Tenang aja, bukan cincin pertunangan koq," guraunya.

"Cieeee...ciee....," Retno menggodaku. "Yang inget ulang tahunnya."

"Ya iyalah inget, kalau nggak inget bisa kena bogem mentah nanti aku," kata Andre. Andre ini, pacarku. Kami barusan jadian beberapa minggu yang lalu. So sweet dia masih ingat ulang tahunku.

"Hihihi, makasih ya," kataku.

Ketika aku masuk kelas langsung seluruh kelas mengucapkan selamat kepadaku. "Selamat Ulang Tahun Maria!"

"Makasiiiihhh...." ucapku.

Tak cuma murid-murid sekelas yang heboh, guru-guru juga heboh. Setiap mereka mengajar ke kelasku selalu ngucapin selamat ulang tahun. Bahkan teman-teman dari kelas lain juga mengucapkan selamat. Hihihihi, emang pesonaku sebegitu dahsyatnya kah?

Dari semua murid cuma satu orang yang tidak mengucapkan selamat kepadaku. Namanya Ray. Anaknya memang penyendiri. Tapi sekalipun itu dia orangnya baik koq. Hanya saja dia tak pandai bergaul. Lebih disibukkan dengan dunianya sendiri. Sekalipun dia begitu tapi seluruh pelajaran di kelas bisa ia kuasai. Dan dia selalu mendapatkan ranking satu. Aku tak begitu akrab sih dengan dia. Karena sorot matanya itu tajam sekali, seolah-olah menusuk jantungku. Jadi sedikit mungkin aku menghindari bicara dengan dirinya.

Ray emang tak pernah merayakan ulang tahun. Ia sendiri sebenarnya tak tahu kapan dia dilahirkan, karena dia adalah anak yatim piatu. Dia dititipkan di sebuah panti asuhan KASIH IBU. Jadi wajar saja sih kalau dia tidak mengucapkan selamat kepadaku. Ray cuma menoleh ke arahku ketika aku memotong kue ulang tahun pemberian teman-temanku. Dia mengangguk kepadaku. Aku juga membalas anggukannya.

Sebenarnya Ray itu nggak jelek-jelek amat. Bahkan ia termasuk cowok yang ganteng. Tapi karena ia suka menyendiri dan tak banyak bicara, ia sering dijauhi. Pacar, sudah pasti ia tak punya. Aku tak pernah melihat dia bareng dengan cewek. Atau jangan-jangan dia gay? Hihihihi. Bodo ah.

Tak terasa hari itu heboh pokoknya. Setelah pulang sekolah aku pun jadi bulan-bulanan teman-temanku. Aku diikat dikursi pake selotip dan disiksa. Dilempari tepung, telor. Trus diguyur lumpur. Haduuuuhhh...ini tradisi macam gini siapa sih yang mulai. Bajuku kotor banget. Tapi asyik. Hari itu aku diberlakukan seperti ratu pokoknya. Tapi yang agak gila adalah...kenapa juga aku harus pulang dengan baju sekotor ini?? Huhuhuhu....tega ih mereka.

Di saat aku selesai membersihkan diri di kran yang berada di dekat toilet, aku melihat Ray. Dia memberikanku handuk.

"Eh, Ray. Makasih," kataku. Aku menerima handuk itu dan membersihkan rambut dan wajahku.

"Bajumu kotor banget, nih pake ini," dia mengulurkan jaketnya.

"Nggak usah Ray, aku bisa minta tolong Andre," kataku.

"Orangnya udah pergi. Nggak apa-apa aku nggak bakal ngusilin kamu seperti mereka koq," katanya. Wah, jangan-jangan dia naksir lagi ama aku. Woi, aku udah punya pacar!

"Makasih," sekali lagi aku bilang itu.

"Ayahmu seorang detektif terkenal bukan?" tanyanya.

"Iya, kenapa emangnya?" tanyaku.

"Aku ingin minta tolong. Ini menyangkut tentang diriku," jawabnya.

"Kenapa?"

"Aku ingin tahu siapa orang tuaku sebenarnya," jawabnya.

Singkat cerita aku dan Ray pulang bersama. Tentunya aku mencopot baju seragamku dan aku taruh di sebuah tas plastik. Dan aku memakai jaket pemberian Ray. Lagian, kemana juga itu si Andre koq nggak nolong pacarnya. Mana aku hubungi ponselnya, BBMnya nggak nyala dibales lagi. Awas ya nanti kalau ketemu. Mau kudamprat habis-habisan dia.

Setelah setengah jam perjalanan, kami pun sampai di rumahku. Tampak sebuah papan "BIRO DETEKTIF JOHAN MAHESWARA" di atas pagar. Papan itu seingatku sudah ada di saana semenjak aku masih balita. Dan tak pernah berubah kecuali ayah menggantinya dengan cat baru. Bahkan paku-pakunya pun masih tetap pada posisinya. Rumahku bukanlah sebuah rumah yang besar. Ukurannya kecil koq. Tapi cukuplah untuk dibuat tempat tinggal.

"Kantor ayahku ada di pintu itu. Masuk saja, aku akan panggilkan beliau," kataku.

Ray tak bicara ia langsung membuka pintu yang bertuliskan "KANTOR DETEKTIF". Kemudian dengan langkah tenang ia masuk. Aku segera masuk ke pintu yang satunya. Kulepaskan sepatuku dan kaos kakiku yang basah. Kemudian segera aku taruh di mesin cuci. Kulepaskan jaket milik Ray. Ayah tampak sedang berada di dapur memasak sesuatu.

"Ayah ada temanku yang ingin meminta bantuan jasa detektifmu," kataku.

"Hah? Temanmu?" tanyanya.

"Iya. Katanya ingin tahu siapa orang tuanya gitu," jawabku.

"Oh, dia sudah masuk?" tanyanya.

"Iya, sudah masuk di kantor," jawabku.

"Kamu kenapa koq berantakan seperti itu?" tanyanya.

"Dikerjai teman-teman gara-gara ulang tahun hari ini," jawabku.

"Ya sudah, segera mandi kalau begitu!" kata ayah.

"OK dad."

Aku pun berangkat mandi biar nggak lengket-lengket ini. Ugghh... Aku tak berlama-lama di kamar mandi karena penasaran dengan Ray tentu saja. Anaknya memang tak banyak bicara dan misterius. Karena berhubungan dengan orang tuanya aku jadi ikutan penasaran. Setelah mandi yang cepat dengan air hangat di shower aku segera ganti baju di kamar dengan baju casual yang biasa aku pakai di rumah. Sejurus kemudian aku masuk ke kantor detektif ayahku.

Begitu aku masuk ke ruangan ayahku, Ray sudah mau pergi.

"Lho, koq udahan?" tanyaku.

"Iya, aku sudah bicarakan semua dengan ayahmu. Dia bisa membantuku," jawab Ray.

"Baiklah nanti aku akan kabari lagi ya Ray," kata ayah.

"Makasih Tuan Johan," katanya.

Ray kemudian membuka pintu.

"Eh, Ray jaketmu aku ambil sebentar!" kataku.

"Bawa besok saja nggak apa-apa," katanya.

"Oh, ya udah," kataku.

Setelah itu ia pun pergi.

Ayah bersandar di kursi kerjanya. Kulihat tatapan matanya sudah menerawang jauh dan jari-jemarinya sudah disatukan. Kalau sudah begini ia sedang sibuk berfikir. Apakah permintaan Ray serumit itu?

"Tadi Ray gimana ayah?" tanyaku.

"Temanmu itu meminta ayah untuk menyelidiki siapa orang tuanya sesungguhnya," jawab ayah.

"Jelasin dong, cerita!" kataku sambil duduk di kursi di depan meja kerja ayahku.

"Jadi begini. Ray ini kan yatim piatu. Ketika kecil ternyata ia dibuang oleh orang tuanya. Kemudian dititipkan di sebuah panti asuhan KASIH IBU. Sepertinya orang tuanya bukan dari kota ini. Karena ketika peristiwa itu, tidak ada satupun orang di kota ini yang hamil dan melahirkan. Hampir seluruh DNA wanita di kota ini diperiksa tapi tak ada kecocokan semua. Artinya orang tua Ray tidak ada di kota ini. Ayah tahu siapa Ray karena ketika dia dibuang ayah ada di sana mendapatkan laporan tentang bayi yang dibuang.

"Kemudian Ray bercerita bahwa setiap sebulan sekali ia mendapatkan uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Bahkan panti asuhan tempat ia diasuh pun mendapatkan uang yang tidak sedikit pula. Uang sebanyak itu bagaimana bisa? Awalnya pihak panti asuhan diam saja. Menganggap mungkin ada dermawan yang memang berbuat baik kepada Ray. Tapi kalau setiap bulan uangnya makin bertambah dan terus menerus secara kontinu, maka sudah pasti ini adalah keanehan. Memang, uang itu bisa menghidupi Ray sampai sekarang. Dan agaknya Ray menjadi penasaran apakah uang-uang itu dikirim oleh keluargnya ataukah tidak," jelas ayah.

"Wah, ternyata begitu ya kehidupannya Ray. Jadi kemungkinan besar orang tua Ray sangat kaya ya?" tanyaku.

"Bisa jadi, uang yang dikirim tiap bulan juga jumlahnya sangat besar. Setiap bulan Ray mendapatkan uang 20 juta, luar biasa bukan? Dan dia tak pernah menggunakan uang itu sampai sekarang. Totalnya sekarang ada 4 milyar lebih."

"Waaahhh...itu uang yah?"

"Bukan, itu daun. Ya jelaslah!"

Aku nyengir. Wah, diam-diam ternyata si Ray kaya juga ya. Setelah itu aku makin tertarik untuk mengetahui jati diri Ray.

EPISODE SELANJUTNYA

0 Response to "The Dark Lantern Episode 1"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel