The Dark Lantern Episode 2
Thursday, May 3, 2018
Add Comment
8 Miles
NARASI RAY
Namaku Ray. Aku anak yatim piatu. Sejak kecil orang tuaku sudah membuangku ke sebuah panti asuhan KASIH IBU. Tak ada pesan apapun, hanya sebuah sapu tangan bertuliskan Ray. Dan dengan itulah ku dinamai. Aku tak punya marga, tak punya nama belakang. Sebab memang itulah aku. Orang yang tidak dikenal.
Selain nama Ray, aku mendapatkan uang setiap bulan yang tidak sedikit. 20 juta. Dan belum pernah aku gunakan sampai sekarang. Ibu asuh membantuku untuk menyimpan semua uang itu di rekening atas namaku. Siapakah aku, siapakah kedua orang tuaku sebenarnya? Ini masih rahasia. Aku cukup beruntung mempunyai teman anak seorang detektif terkenal Johan Maheswara. Aku sudah membaca semua tentang kasus-kasus yang ia pecahkan. Rata-rata kasus-kasus berat dan dia bisa menyelesaikan dengan baik.
Bicara soal teman, aku tak punya banyak teman. Karena aku lebih suka menyendiri. Membaca buku adalah kesukaanku. Aku pun tidak pernah mendekati satu cewek pun tapi kalau ditanya apakah aku suka sama seseorang sejujurnya aku suka sama Maria. Suka sejak dulu. Tapi aku terlalu cuek, terlalu dingin, bahkan sampai dia jadian dengan Andre pun aku hanya bisa melihat mereka.
Sebenarnya ia ulang tahun kemarin, tapi aku tak punya sesuatu untuk diberikan sebagai hadiah. Karena aku benci dengan ulang tahun. Setiap mengingat ulang tahun, aku selalu teringat tentang nasibku. Aku tak tahu kapan hari ulang tahunku, kapan aku dilahirkan. Catatan tanggal kelahiranku adalah hari di mana aku ditemukan. Sebenarnya boleh dibilang aku adalah secret admirernya. Tak pernah bisa mengungkapkan perasaanku. Tak pernah bisa punya keberanian seperti halnya Andre. Dan bahkan mungkin Andre mampu mendapatkan apapun yang dia inginkan.
Aku sudah cukup memendam lama perasaanku kepada Maria semenjak kita kelas X. Aku selalu memperhatikan dia. Walaupun dia tak begitu mengetahui diriku. Tapi aku mengetahui semua tentang dirinya. Apa kesukaannya, warna favoritnya, buku yang ia baca, bahkan dia menempuh rute mana untuk berangkat dan pulang sekolah aku tahu semuanya.
Aku sebenarnya kasihan kepada dia hari itu. Dia dikerjai teman-temannya sampai bajunya kotor banget. Tepung, telur, dan entah air apa lagi yang dilempar ke dirinya. Entah juga tradisi penghukuman seperti ini sejak kapan dimulainya tak ada yang tahu. Sekali lagi, aku hanya melihatnya dari jauh tanpa memberi dia selamat. Maaf ya Maria, tapi aku sangat benci yang namanya ulang tahun.
Dan hari itu juga aku melihat Andre malah pergi terburu-buru. Ada sebuah telepon yang ia terima.
"Waah...masa' harus sekarang sih?" tanya Andre. Ia sedang menerima telepon dan sepertinya darurat. "Cewek gua sedang ultah ini, nggak bisa nunggu nanti gitu? Ya udah deh, tunggu! Iya, iya, segera...iya segera!"
Setelah itu Andre buru-buru pergi. Aku melihat Maria tampak gembira tanpa menyadari pacarnya sudah pergi dari tempat itu. Ia pun tengak-tengok kiri kanan sepertinya mencari Andre. Lalu ia buru-buru pergi ke belakang untuk membasuh dirinya. Ia semprot kepalanya dengan kran air. Aku sebenarnya sangat apa ya....punya rasa semriwing ketika air membasahi rambutnya sampai buliran-buliran air jatuh ke tanah. Kemudian ia mengibaskan rambutnya. Serpihan butiran-butiran air itu melayang ke udara. Sebuah pemandangan yang membuatku menelan ludah. Dan dia melanjutkan membersihkan baju seragamnya yang kotor dengan air. Aku bisa melihat branya yang melekat di baju seragamnya. Sebuah bra berwarna putih dengan tali berwarna pink. Menurutku apa yang baru saja aku lihat bukan sekedar mimpi di siang bolong, bahkan itu adalah sebuah keseksian yang lebih menggoda daripada gravure model yang membuat para lelaki berfantasi.
Kuambil handuk di lockerku. Kemudian aku menghampirinya. Aku berencana meminta bantuan ayahnya untuk mencari tahu keberadaan orang tuaku. Semoga aku bisa lebih dekat dengan Maria dan sekaligus mengetahui keberadaan kedua orang tuaku. Aku tak perlu bingung soal uang, kalau perlu uang yang sudah berjumlah 4 milyar itu aku akan berikan semuanya ke Detektif Johan.
Setelah mengambil handukku di loker, lalu kuberikan handukku kepadanya.
"Eh, Ray. Makasih," katanya. Dia membersihkan rambut dan wajahnya dengan handukku. Wah, bakal nggak aku cuci tuh handuk.
"Bajumu kotor banget, nih pake ini," aku melepaskan jaketku dan kuberikan kepadanya.
"Nggak usah Ray, aku bisa minta tolong Andre," katanya.
"Orangnya udah pergi. Nggak apa-apa aku nggak bakal ngusilin kamu seperti mereka koq," kataku.
"Makasih," kata Maria.
"Ayahmu seorang detektif terkenal bukan?" tanyaku.
"Iya, kenapa emangnya?" tanyanya.
"Aku ingin minta tolong. Ini menyangkut tentang diriku," jawabku.
"Kenapa?"
"Aku ingin tahu siapa orang tuaku sebenarnya," jawabku.
Hari itu pun aku pergi ke rumahnya. Kami berjalan beriringan, naik monorail, dan aku dipersilakan masuk ke dalam kantor detektifnya. Kantor detektifnya tak begitu besar menurutku, seperti sebuah ruang konsultasi. Tapi jujur, ruangannya sangat nyaman untuk tempat klien. Bahkan di sebuah mesin pembuat kopi aku melihat tulisan "Gratis untuk Klien". Di dinding dekat meja kulihat jajaran rak buku berisi buku-buku dari berbagai penulis. Juga ada almanak, kamus dan ensiklopedia. Beberapa pengetahuan umum, juga beberapa buku tentang flora dan fauna.
Di sudut lain ada tumpukan kertas dan file-file yang ditata dengan rapi. Untuk sebuah kantor detektif ruangan ini lebih rapi. Yang pasti ada yang mau mengatur kantor ini sehingga nyaman untuk kerja maupun untuk klien. Aku duduk di sebuah sofa yang sudah dipersiapkan untuk klien. Di depanku ada sebuah meja kaca dengan sebuah asbak di tengahnya. Asbak itu bersih, berarti belum banyak klien yang datang ke kantor ini. Atau mungkin sebuah keberuntungan bahwa semua klien detektif ini tidak merokok sama sekali.
Tak berapa lama kemudian ada seorang paruh baya berusia kira-kira empat puluh tahun masuk dari sebuah pintu yang berada di belakang meja kerja detektif yang bertuliskan "FOR STAF ONLY". Wajahnya cukup berwibawa, sorot matanya serius ketika melihatku. Saat ini mungkin dia sedang mendeteksi apapun tentang diriku, sebagaimana para penyidik lainnya yang berusaha mencari informasi tentang diriku dari sekedar melihat.
"Ray? Katanya ingin bicara denganku?" tanyanya.
"Benar, Pak Detektif," jawabku. "Aku tahu bahwa Anda orang tua Maria, oleh karena itu saya kira Anda bisa menolongku kali ini. Saya punya persoalan yang belum bisa dipecahkan."
Wajah Detektif Johan menampakkan pancaran energi keingin tahuan yang sangat besar. Ia pun kemudian duduk di depanku.
"Baiklah, karena kamu teman putriku maka aku akan memberikan harga khusus untuk masalah yang sedang kau hadapi. Coba jelaskan kepadaku!" kata sang detektif.
Aku mengambil nafas dalam-dalam, kemudian mulai bercerita.
"Aku adalah seorang anak yang dibuang di sebuah panti asuhan. Kurang lebih tujuh belas tahun yang lalu aku dititipkan dengan sebuah keranjang yang ada sapu tangan bertuliskan nama Ray. Ini sapu tangannya," kuserahkan sapu tangan berwarna biru langit itu kepada sang detektif. "Aku juga tak tahu simbol apa yang ada di sana. Kenapa juga ada tulisan 8 Miles di sudutnya. Yang jelas hanya itulah satu-satunya benda yang aku punyai. Dan ada yang aneh..."
"Aneh?"
"Sejak aku bayi aku selalu diberi uang sebesar dua puluh juta setiap bulan. Bahkan panti asuhan pun mendapatkan uang yang tidak sedikit tiap bulan. Kami pun bingung, siapa yang mengirim uang sebesar itu tiap bulan. Bahkan siapa yang mengirim pun tidak bisa dilacak. Alamat pengirimnya palsu dan selalu dikirim melalui cek. Sepertinya tak ingin diketahui siapa yang mengirim. Aku tak pernah mengambil sepeser pun uang itu dan ibu asuh sudah membantuku membuatkanku rekening sendiri di bank," ceritaku.
"Hmm...menarik, 8 Miles ya....," gumam Detektif Johan.
"Bagaimana Pak Detektif, bisa bantu saya?" tanyaku.
"Aku akan usahakan. Tapi agak berat juga kalau hanya ini yang aku punya," kata Detektif Johan sambil menimang-nimang sapu tangan pemberianku.
"Kalau Anda tak keberatan silakan main-main ke panti asuhan dan bertanya kepada Ibu asuhku, untuk soal biaya. Aku bisa berikan berapapun yang Anda inginkan. Toh uang sebesar 4 milyar itu tak pernah aku gunakan," kataku.
Wajah Detektif Johan sedikit cerah. Mungkin menurut dia kata 4 milyar itu sangat luar biasa kalau untuk dihabiskan oleh seorang anak remaja seperti aku.
"Baiklah Ray, aku akan usahakan. Mungkin besok aku akan main ke panti asuhanmu. Kamu ada waktu bukan?"
"Aku ada di sana setiap pulang sekolah, jarang jalan-jalan."
"Anak baik. Beda dengan Maria. Baiklah, aku akan atur jadwalku besok. Berarti kita ketemuan jam lima sore?"
"Baiklah," jawabku.
Setelah itu aku pun berdiri dan menyalami sang detektif.
"Lho, koq udahan?" tanya Maria yang tiba-tiba masuk.
"Iya, aku sudah bicarakan semua dengan ayahmu. Dia bisa membantuku," jawabku.
"Baiklah nanti aku akan kabari lagi ya Ray," kata sang detektif.
"Makasih Tuan Johan," kataku.
Aku kemudian membuka pintu.
"Eh, Ray jaketmu aku ambil sebentar!" kata Maria.
"Bawa besok saja nggak apa-apa," kataku.
"Oh, ya udah," katanya.
Setelah itu aku pun pergi kembali ke panti asuhan.
NARASI RAY
Namaku Ray. Aku anak yatim piatu. Sejak kecil orang tuaku sudah membuangku ke sebuah panti asuhan KASIH IBU. Tak ada pesan apapun, hanya sebuah sapu tangan bertuliskan Ray. Dan dengan itulah ku dinamai. Aku tak punya marga, tak punya nama belakang. Sebab memang itulah aku. Orang yang tidak dikenal.
Selain nama Ray, aku mendapatkan uang setiap bulan yang tidak sedikit. 20 juta. Dan belum pernah aku gunakan sampai sekarang. Ibu asuh membantuku untuk menyimpan semua uang itu di rekening atas namaku. Siapakah aku, siapakah kedua orang tuaku sebenarnya? Ini masih rahasia. Aku cukup beruntung mempunyai teman anak seorang detektif terkenal Johan Maheswara. Aku sudah membaca semua tentang kasus-kasus yang ia pecahkan. Rata-rata kasus-kasus berat dan dia bisa menyelesaikan dengan baik.
Bicara soal teman, aku tak punya banyak teman. Karena aku lebih suka menyendiri. Membaca buku adalah kesukaanku. Aku pun tidak pernah mendekati satu cewek pun tapi kalau ditanya apakah aku suka sama seseorang sejujurnya aku suka sama Maria. Suka sejak dulu. Tapi aku terlalu cuek, terlalu dingin, bahkan sampai dia jadian dengan Andre pun aku hanya bisa melihat mereka.
Sebenarnya ia ulang tahun kemarin, tapi aku tak punya sesuatu untuk diberikan sebagai hadiah. Karena aku benci dengan ulang tahun. Setiap mengingat ulang tahun, aku selalu teringat tentang nasibku. Aku tak tahu kapan hari ulang tahunku, kapan aku dilahirkan. Catatan tanggal kelahiranku adalah hari di mana aku ditemukan. Sebenarnya boleh dibilang aku adalah secret admirernya. Tak pernah bisa mengungkapkan perasaanku. Tak pernah bisa punya keberanian seperti halnya Andre. Dan bahkan mungkin Andre mampu mendapatkan apapun yang dia inginkan.
Aku sudah cukup memendam lama perasaanku kepada Maria semenjak kita kelas X. Aku selalu memperhatikan dia. Walaupun dia tak begitu mengetahui diriku. Tapi aku mengetahui semua tentang dirinya. Apa kesukaannya, warna favoritnya, buku yang ia baca, bahkan dia menempuh rute mana untuk berangkat dan pulang sekolah aku tahu semuanya.
Aku sebenarnya kasihan kepada dia hari itu. Dia dikerjai teman-temannya sampai bajunya kotor banget. Tepung, telur, dan entah air apa lagi yang dilempar ke dirinya. Entah juga tradisi penghukuman seperti ini sejak kapan dimulainya tak ada yang tahu. Sekali lagi, aku hanya melihatnya dari jauh tanpa memberi dia selamat. Maaf ya Maria, tapi aku sangat benci yang namanya ulang tahun.
Dan hari itu juga aku melihat Andre malah pergi terburu-buru. Ada sebuah telepon yang ia terima.
"Waah...masa' harus sekarang sih?" tanya Andre. Ia sedang menerima telepon dan sepertinya darurat. "Cewek gua sedang ultah ini, nggak bisa nunggu nanti gitu? Ya udah deh, tunggu! Iya, iya, segera...iya segera!"
Setelah itu Andre buru-buru pergi. Aku melihat Maria tampak gembira tanpa menyadari pacarnya sudah pergi dari tempat itu. Ia pun tengak-tengok kiri kanan sepertinya mencari Andre. Lalu ia buru-buru pergi ke belakang untuk membasuh dirinya. Ia semprot kepalanya dengan kran air. Aku sebenarnya sangat apa ya....punya rasa semriwing ketika air membasahi rambutnya sampai buliran-buliran air jatuh ke tanah. Kemudian ia mengibaskan rambutnya. Serpihan butiran-butiran air itu melayang ke udara. Sebuah pemandangan yang membuatku menelan ludah. Dan dia melanjutkan membersihkan baju seragamnya yang kotor dengan air. Aku bisa melihat branya yang melekat di baju seragamnya. Sebuah bra berwarna putih dengan tali berwarna pink. Menurutku apa yang baru saja aku lihat bukan sekedar mimpi di siang bolong, bahkan itu adalah sebuah keseksian yang lebih menggoda daripada gravure model yang membuat para lelaki berfantasi.
Kuambil handuk di lockerku. Kemudian aku menghampirinya. Aku berencana meminta bantuan ayahnya untuk mencari tahu keberadaan orang tuaku. Semoga aku bisa lebih dekat dengan Maria dan sekaligus mengetahui keberadaan kedua orang tuaku. Aku tak perlu bingung soal uang, kalau perlu uang yang sudah berjumlah 4 milyar itu aku akan berikan semuanya ke Detektif Johan.
Setelah mengambil handukku di loker, lalu kuberikan handukku kepadanya.
"Eh, Ray. Makasih," katanya. Dia membersihkan rambut dan wajahnya dengan handukku. Wah, bakal nggak aku cuci tuh handuk.
"Bajumu kotor banget, nih pake ini," aku melepaskan jaketku dan kuberikan kepadanya.
"Nggak usah Ray, aku bisa minta tolong Andre," katanya.
"Orangnya udah pergi. Nggak apa-apa aku nggak bakal ngusilin kamu seperti mereka koq," kataku.
"Makasih," kata Maria.
"Ayahmu seorang detektif terkenal bukan?" tanyaku.
"Iya, kenapa emangnya?" tanyanya.
"Aku ingin minta tolong. Ini menyangkut tentang diriku," jawabku.
"Kenapa?"
"Aku ingin tahu siapa orang tuaku sebenarnya," jawabku.
Hari itu pun aku pergi ke rumahnya. Kami berjalan beriringan, naik monorail, dan aku dipersilakan masuk ke dalam kantor detektifnya. Kantor detektifnya tak begitu besar menurutku, seperti sebuah ruang konsultasi. Tapi jujur, ruangannya sangat nyaman untuk tempat klien. Bahkan di sebuah mesin pembuat kopi aku melihat tulisan "Gratis untuk Klien". Di dinding dekat meja kulihat jajaran rak buku berisi buku-buku dari berbagai penulis. Juga ada almanak, kamus dan ensiklopedia. Beberapa pengetahuan umum, juga beberapa buku tentang flora dan fauna.
Di sudut lain ada tumpukan kertas dan file-file yang ditata dengan rapi. Untuk sebuah kantor detektif ruangan ini lebih rapi. Yang pasti ada yang mau mengatur kantor ini sehingga nyaman untuk kerja maupun untuk klien. Aku duduk di sebuah sofa yang sudah dipersiapkan untuk klien. Di depanku ada sebuah meja kaca dengan sebuah asbak di tengahnya. Asbak itu bersih, berarti belum banyak klien yang datang ke kantor ini. Atau mungkin sebuah keberuntungan bahwa semua klien detektif ini tidak merokok sama sekali.
Tak berapa lama kemudian ada seorang paruh baya berusia kira-kira empat puluh tahun masuk dari sebuah pintu yang berada di belakang meja kerja detektif yang bertuliskan "FOR STAF ONLY". Wajahnya cukup berwibawa, sorot matanya serius ketika melihatku. Saat ini mungkin dia sedang mendeteksi apapun tentang diriku, sebagaimana para penyidik lainnya yang berusaha mencari informasi tentang diriku dari sekedar melihat.
"Ray? Katanya ingin bicara denganku?" tanyanya.
"Benar, Pak Detektif," jawabku. "Aku tahu bahwa Anda orang tua Maria, oleh karena itu saya kira Anda bisa menolongku kali ini. Saya punya persoalan yang belum bisa dipecahkan."
Wajah Detektif Johan menampakkan pancaran energi keingin tahuan yang sangat besar. Ia pun kemudian duduk di depanku.
"Baiklah, karena kamu teman putriku maka aku akan memberikan harga khusus untuk masalah yang sedang kau hadapi. Coba jelaskan kepadaku!" kata sang detektif.
Aku mengambil nafas dalam-dalam, kemudian mulai bercerita.
"Aku adalah seorang anak yang dibuang di sebuah panti asuhan. Kurang lebih tujuh belas tahun yang lalu aku dititipkan dengan sebuah keranjang yang ada sapu tangan bertuliskan nama Ray. Ini sapu tangannya," kuserahkan sapu tangan berwarna biru langit itu kepada sang detektif. "Aku juga tak tahu simbol apa yang ada di sana. Kenapa juga ada tulisan 8 Miles di sudutnya. Yang jelas hanya itulah satu-satunya benda yang aku punyai. Dan ada yang aneh..."
"Aneh?"
"Sejak aku bayi aku selalu diberi uang sebesar dua puluh juta setiap bulan. Bahkan panti asuhan pun mendapatkan uang yang tidak sedikit tiap bulan. Kami pun bingung, siapa yang mengirim uang sebesar itu tiap bulan. Bahkan siapa yang mengirim pun tidak bisa dilacak. Alamat pengirimnya palsu dan selalu dikirim melalui cek. Sepertinya tak ingin diketahui siapa yang mengirim. Aku tak pernah mengambil sepeser pun uang itu dan ibu asuh sudah membantuku membuatkanku rekening sendiri di bank," ceritaku.
"Hmm...menarik, 8 Miles ya....," gumam Detektif Johan.
"Bagaimana Pak Detektif, bisa bantu saya?" tanyaku.
"Aku akan usahakan. Tapi agak berat juga kalau hanya ini yang aku punya," kata Detektif Johan sambil menimang-nimang sapu tangan pemberianku.
"Kalau Anda tak keberatan silakan main-main ke panti asuhan dan bertanya kepada Ibu asuhku, untuk soal biaya. Aku bisa berikan berapapun yang Anda inginkan. Toh uang sebesar 4 milyar itu tak pernah aku gunakan," kataku.
Wajah Detektif Johan sedikit cerah. Mungkin menurut dia kata 4 milyar itu sangat luar biasa kalau untuk dihabiskan oleh seorang anak remaja seperti aku.
"Baiklah Ray, aku akan usahakan. Mungkin besok aku akan main ke panti asuhanmu. Kamu ada waktu bukan?"
"Aku ada di sana setiap pulang sekolah, jarang jalan-jalan."
"Anak baik. Beda dengan Maria. Baiklah, aku akan atur jadwalku besok. Berarti kita ketemuan jam lima sore?"
"Baiklah," jawabku.
Setelah itu aku pun berdiri dan menyalami sang detektif.
"Lho, koq udahan?" tanya Maria yang tiba-tiba masuk.
"Iya, aku sudah bicarakan semua dengan ayahmu. Dia bisa membantuku," jawabku.
"Baiklah nanti aku akan kabari lagi ya Ray," kata sang detektif.
"Makasih Tuan Johan," kataku.
Aku kemudian membuka pintu.
"Eh, Ray jaketmu aku ambil sebentar!" kata Maria.
"Bawa besok saja nggak apa-apa," kataku.
"Oh, ya udah," katanya.
Setelah itu aku pun pergi kembali ke panti asuhan.
0 Response to "The Dark Lantern Episode 2"
Post a Comment