The Dark Lantern Episode 3
Friday, May 4, 2018
Add Comment
Kunjungan ke Panti Asuhan
"Ayah, jelaskan kepadaku kenapa inspektur James selalu memanggilmu dengan sebutan Piere?" tanya Maria.
"Ceritanya panjang, aku dan dia dulu di satu kesatuan. Dan kami jadi partner cukup lama. Dia selalu memanggilku dengan sebutan Piere," jawabku.
"Dan, gara-gara nama Piere ayahmu sampai disebut sebagai orang hilang," kata istriku.
"Yang benar? Gimana kejadiannya?" tanya Maria.
"Kejadiannya adalah saat itu terjadi gempa bumi yang dahsyat di Jepang dan ayahmu menjadi salah satu korban. Memang ketika itu ada tugas di sana. Sang inspektur berkata Piere belum ditemukan alhasil dia merepotkan satu regu tim SAR. Akhirnya setelah kujelaskan nama aslinya adalah Johan, langsung tim SAR tidak bingung. Dan nama Piere itu adalah gara-gara ayahmu memenangkan kejuaraan tinju dan disebut sebagai kembaran Piere Zangief, petinju nomor satu dunia saat itu," jelas istriku. Dia masih ingat saja kejadian itu. Ya, itu kejadian paling menggelikan yang pernah terjadi dalam hidupku.
Ketika di kesatuan dulu ada kejuaraan tinju antar kepolisian. Aku salah satu orang yang memenangkan pertandingan dan menjadi juara. Ketika muda aku selalu mengidolakan Piere Zangief, salah seorang atlet tinju kebangsaan Rusia yang sudah memenangi lima sabuk kejuaraan WBF dan WBC. Style yang aku suka darinya adalah pukulan Hien. Yaitu sebuah pukulan yang bisa berubah menjadi Upper Cut, Hook, maupun jab dalam satu gerakan. Dan dengan Hien pula aku memenangkan kejuaraan itu. James setelah itu memanggilku dengan sebutan Piere.
"Oh, begitu ceritanya," kata Maria.
"Kamu nanti pulang jam berapa?" tanyaku ke Maria.
"Jam seperti biasa, kenapa yah?" tanya Maria.
"Aku nanti akan mampir ke panti asuhan temanmu, Ray itu. Barangkali nanti sore kamu bisa ikut, lagipula dia temanmu bukan?"
"Tapi aku nggak dekat ama dia," keluh Maria.
"Ayolah Maria, sama teman sendiri koq begitu?"
Maria memutar bola matanya, "Baiklah."
"Ayah hari ini akan ke kantor catatan sipil dan menemui Inspektur James. Sayang, aku nanti pulang terlambat sepertinya," kataku kepada istriku.
"Hati-hati di jalan. Oh ya, sekalian titip belikan Sauce Bolognaise, aku ingin membuat pasta untuk besok," kata istriku.
"Tak masalah, aku akan mampir swalayan pulang nanti," kataku.
"Ayah, aku berangkat!" Justin langsung keluar mengambil sepedanya.
"Justin! Tidak sarapan dulu?" tanya istriku.
"Sudah terlambat!" jawabnya.
"Aku juga berangkat yah, takut ketinggalan monorail," kata Maria.
"Hati-hati!" kataku.
Setelah kedua anakku pergi, aku langsung memeluk istriku dan mencium bibirnya.
"Hmmmm, kenapa ini?" tanyanya.
"Mumpung aku belum berangkat, ada waktu lima belas menit?" tanyaku.
Ia merangkul leherku diliriknya jam dinding, "Baiklah, lima belas menit."
Aku kemudian mencium bibirnya. Bibir kami pun saling menghisap. Walaupun usia pernikahan kami sudah dibilang tidak muda lagi, tapi hal itu tetap tak menyurutkan kehausan birahi kami. Aku masih belum memakai baju formal, masih memakai kaos dan celana pendek. Istriku memakai celana legging dan tank-top. Aku bisa melihat belahan dadanya yang sangat menggiurkan. Aku pun meremas kedua buah dadanya itu.
Dia selalu ikut fitness hal itu membuat dia makin seksi saja. Dan yang membuatku takjub lainnya adalah buah dadanya. Oh...aku tergila-gila kepada istriku. Kuciumi lehernya, dia menggeliat seperti cacing kepanasan. Aku lalu turun ke dadanya dan kuhisapi buah dadanya. Kucupangi. Dan aku makin ke bawah, kuturunkan celana leggingnya berikut celana dalamnya hingga terlepas dari tubuhnya bagian bawah.
Sebuah gundukan dengan rambut tak begitu lebat membuatku tergiur untuk menciuminya. Kuciumilah mahkota istriku itu. Dia makin lama kucium dia makin basah, rambutku pun sudah diacak-acaknya. Kujilati juga sebuah tonjolan di bibir kemaluannya. Dia makin menggeliat dan menjambak-jambak rambutku. Tak butuh waktu lama untukku untuk bisa menghisap cairan kemaluannya yang sudah keluar. Awalnya sedikit tapi seiring aku mempermainkan bibir liang senggamanya cairannya makin banyak yang keluar. Lalu beralih aku ciumi pahanya pinggangnya, naik ke atas dan kusibakkan tank-topnya ke atas. Tampaklah buah dada yang kulihat sebuah puting yang sudah mengeras. Kuhisap pula itu benda berujung kencang itu.
Kunaikkan kedua pahanya, hingga kini bidadariku itu sudah naik di atas meja dapur. Kuturunkan celanaku dan kutempatkan ujung pionku tepat di lubang kemaluannya. Tak butuh waktu lama untukku harus mendorong kejantananku ke dalam liang senggamanya. Dia langsung menjerit ketika benda besar dan panjang menerobos masuk dengan mudah karena kebasahannya yang sudah sangat.
Aku pun menggoyang pinggulku. Sebuah kehebohan di atas meja dapur, semua barang-barang seperti panci, spatula, wajah bergoyang seperti gempa bumi. Istriku melenguh, mendesis dan mendekapku erat. Pinggulku saling menghantam dan saling menggesek, akibatnya pun sangat indah. Kemaluanku pun serasa diremas-remas oleh kemaluannya.
"Sayang, memekmu enak banget. Kamu apain itu burungku?" rancauku sambil menciumi bibirnya.
"Aku berikan seperti biasanya sayang, gigit-gigit kecil," jawabnya.
Aku makin menggila bergoyang hingga panci-panci dan wajan berjatuhan. Aku kemudian angkat tubuh istriku dan kuangkat kini kugendong dirinya. Aku berjalan melewati dapur hingga kemudian sampai di atas karpet ruang keluarga. Ia kuturunkan di sana. Kutindih dia dan kugenjot dengan irama yang menggila.
"Ohh....Jooooo.....hhhhhaaaann.....aku sampaiiiii!" seru istriku.
Aku juga sudah ingin sampai. Aku percepat dan akhirnya aku pun keluar di dalam. Cukup banyak aku keluar, bahkan ketika aku sudah berhenti bergoyang masih ada saja yang berusaha keluar dari penisku. Ketika aku cabut cairan putih kental itu pun keluar dengan mengalir ke pantatnya. Istriku lalu meletakkan lengannya di dahinya. Nafasnya terengah-engah. Aku lalu berdiri, masih dengan kemaluanku yang mengkilat akibat lendirnya aku pun berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diriku. Kubiarkan istriku menikmati orgasme yang baru saja diraihnya.
****
Aku pergi ke kantor catatan sipil menyelidiki tentang Ray. Dia terdaftar di sana lahir pada tanggal 15 Desember, tapi itu adalah hari di mana dia ditemukan di depan pintu Panti Asuhan. Di catatan sipil itu aku bisa melihat banyak data mengenai Ray. Dia mempunyai darah A RH-. Artinya orang yang mempunyai darah itu pasti bukan orang asli Indonesia. Barangkali ini semua ada hubungannya dengan Sapu tangan 8 Miles yang dia punyai.
Tak banyak yang aku gali lagi tentang Ray. Karena itu aku langsung menuju ke tempat Inspektur James. Aku biasa saja sih masuk ke polda. Mereka toh sudah tahu banyak tentang diriku. Sebagian pun rekan-rekan kerjaku dulu sebelum aku pensiun dini dari kepolisian. Aku langsung meminta ijin untuk menemui inspektur.
Melihatku yang sudah lama tak bertemu langsung dia bangun dan menyalamiku.
"Ahhh...Piere! Masuk masuk! Duduklah!" dia mempersilakanku duduk.
Aku pun duduk dengan santai.
"Ada apa gerangan, tak biasanya kamu datang kemari kalau tidak penting sekali," katanya.
"Kamu benar. Aku sedang menyelidiki orang tua bayi yang kita temukan tujuh belas tahun yang lalu, kamu masih ingat setelah kita menemukan mayat William van Bosch?"
"Sebentar...ah turis itu? Iya, aku ingat sang bayi."
"Sang bayi sudah besar sekarang dan dia menyewaku untuk menemukan orang tuanya."
"Wah, sudah setua itukah kita? Kukira itu masih tahun kemarin."
"Sudahlah akui saja kita sudah tua, kumis tebalmu itu sudah memutih, dan rambutku pun makin putih," aku mengusap-usap kepalaku.
"Hehehehe, setidaknya hiburlah aku biar tidak terlihat tua," Inspektur James kemudian berdiri mengambil gelas dan menuangkan kopi di mesin pembuat kopinya. Lalu kembali lagi dengan gelas penuh terisi kopi dan menyerahkannya kepadaku. Aku menerimanya. "Jadi coba jelaskan kepadaku, apa yang ingin kamu katakan?"
"Begini, kamu tahukah kalau sang anak mendapatkan uang dua puluh juta setiap bulan? Bahkan sampai hari ini?" tanyaku.
Hampir saja sang inspektur menyemburkan kopinya. "Sampai hari ini?"
"Kamu mungkin tak akan percaya, tapi sang anak itu tidak membual. Aku akan e tempatnya hari ini untuk membuktikannya," jelasku.
"What a damn...dan pengirimnya?"
"Tak ada yang tahu. Alamatnya palsu. Jadi bagaimana menurutmu?"
"Bukan money laundry?"
"Kita tak tahu, tapi besar kemungkinan itu dari orang tuanya bukan? Hanya saja siapa orang tua yang punya kekayaan sampai bermilyar-milyar itu. Siapa juga orang kaya selain pemilik Hendrajaya Group?"
"Banyak pastinya orang kaya di negeri ini. Ada lagi?"
"Ini, sapu tangan bertuliskan Ray. Dan sebuah simbol dengan tulisan 8 Miles."
"8 Miles? Sepertinya tak asing."
"Komunitas?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Aku tak yakin. Aku akan periksa file-file lama," kata Inspektur.
"Baiklah, terima kasih atas kopinya. Setelah ini aku akan ke panti asuhan itu dan membaca-baca di perpustakaan," kataku.
"Sering-seringlah mampir Piere!" katanya.
"Kalau ada kasus aku pasti mampir," ujarku.
Dari kantor polisi aku meluncur ke perpustakaan. Aku mencari-cari segala hal tentang yang namanya 8 Miles. Pastinya tidak mudah. Aku mulai mencari tentang tempat dan istilah-istilah yang menggunakan kata 8 Miles. Aku juga mengakses internet untuk mencari tahu tentang 8 Miles. Tapi tak ada satupun yang cocok dengan simbol 8 Miles. Emang banyak istilah, hanya saja tak ada yang cocok. Terlebih simbolnya. Seperti sebuah lentera atau bangunan menara. Tapi sepertinya lentera. Aku tak punya bakat seni untuk melihat hal-hal semendetail ini.
Aku pun ditelpon oleh putriku. Aku segera mengangkat.
"Ayah?! Ada di mana?" tanyanya.
"Di perpustakaan," jawabku.
"Aku ikut saja deh ke panti asuhannya. Bisa jemput aku?" tanyanya.
"Tentu saja. Oh, sudah jam segini rupanya. Oke deh," kataku. Aku segera meluncur ke sekolahnya Maria.
NARASI MARIA
Aku langsung mencari Andre ketika tiba di sekolah. Agak sebel soalnya dia kemarin ninggalin aku seenaknya.
"Andreeeeee!" panggilku ketika masuk kelas.
"Ada apa sayang?" tanya Andre dengan wajah tanpa dosa di tempat dia duduk.
"Kamu itu ya, tega banget ninggalin aku kemarin!?" kataku sewot.
"Maaf sayang maaf, kemarin soalnya ada urusan yang darurat sekali aku harus pergi! Sorry ya?" tampak Andre memohon-mohon sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.
"Huh, benci aku! Lain kali kalau kamu lakukan lagi awas ya?!" kataku. Aku segera ke bangkuku. Masih dengan wajah mendongkol. Aku menoleh ke arah Ray. Dia memfokuskan pandangannya ke sebuah buku novel yang ia baca. Novel apa sih itu jadi penasaran aku, tebel banget.
Andre menghampiriku, "Sayang, maaf dong ya maaf!"
"Iya aku maafkan, jangan ulangi lagi. Sebel tauk, udah bajuku kotor, eh kamunya malah ninggalin aku seenaknya," kataku.
"Ya tapikan kemarin emang darurat, aku nggak bisa ninggalin orang tuaku dong, mereka sedang butuh aku soalnya," kata Andre.
"Ya udah, sebagai permintaan maaf besok ajak aku nonton," kataku.
"Oke deeeh...deal. Besok ya, aku jemput," kata Andre.
Aku menyunggingkan senyumku.
"Naah, gitu dong senyum. Senyummu manis deh," kata Andre. Entah kenapa aku selalu takluk ama kegombalan dia. Cara nembaknya dia juga bikin aku tak bisa nolak. Pas hari valentine, ngasih coklat satu kardus dengan hiasan I Love You. Trus habis itu dia bilang "kalau kamu ngambil coklat itu berarti kamu nerima aku, kalau tidak maka kamu nggak nolak aku" Ya gimana bisa bilang tidak. Hahahaha dasar dia ini.
Guru Fisika masuk ke kelas. Segera murid-murid kembali ke bangkunya masing-masing. Aku menoleh ke arah Ray. Dia sudah menyimpan buku novelnya tadi. Ia mengeluarkan bukunya dari tas dan menoleh ke arahku. Ketika mata kami beradu aku pura-pura menoleh ke papan tulis. Sialan ini anak tetep sok cool. Menurutku sih Ray ini nggak jelek-jelek amat, mungki ada alasan kenapa dia selalu menyendiri. Tapi ketika kemarin ayahku memberitahu tentang dirinya, rasanya aku ingin menyapa dia hari ini. Gila apa selama kelas satu sampai sekarang jarang banget aku menyapa dia.
Jam istirahat pun datang. Andre mengajakku ke kantin tapi aku tolak.
"Kenapa say, masih marah?" tanyanya.
"Nggak, nggak ada apa-apa. Aku mau ke perpustakaan sebentar," jawabku.
"Oh, OK," kata Andre.
Andre pun keluar kelas. Aku segera mengambil jaket milik Ray dari ranselku. Kemudian aku ambil dan kuberikan kepada Ray. Ray menoleh ke arahku.
"Makasih ya," kataku.
Ray hanya tersenyum sambil menerima jaketnya.
"Kudengar nanti ayahku akan ke panti asuhan tempatmu tinggal, aku ingin ke sana juga kalau kamu tak keberatan," kataku.
"Tak masalah, lagi pula tak pernah ada teman-teman yang ke sana sebelumnya. Kamu bisa jadi orang pertama yang mengunjungiku," kata Ray.
"OK, aku akan telepon ayahku nanti biar kita berangkat bersama," kataku.
"Good idea," katanya.
Setelah itu aku pun beranjak pergi dan keluar dari kelas menuju ke perpustakaan. Entah kenapa hari itu aku ke perpustakaan, memang tak biasa aku ke sini. Tapi itulah yang terjadi. Dan aku iseng saja sih baca-baca sesuatu buku di perpustakaan, buku tentang tata surya. Dan ternyata nggak buruk. Aku cukup duduk selama sepuluh menit, aku bisa tahu banyak tentang tata surya, gugusan bintang dan galaksi.
"Tumben ke perpustakaan," celetuk sebuah suara. Anjrit! Kaget aku. Ray! Sejak kapan dia ada di meja depanku.
"Yah, nggak apa-apa kan?" kataku.
"Buku yang bagus. Aku juga suka buku itu," kata Ray. "Buku itu yang pertama kali memberitahuku apa itu Intestellar."
"Oh ya?"
"Suka Disney?" tanya Ray.
"Suka dong, gila apa? Masa kecilku indah juga karena film-fim Disney. Kenapa?"
Ray beranjak dari kursinya. Pergi ke salah satu rak dan mengambil sebuah buku yang lumyan tebal. Dia kemudian memberikannya kepadaku. Ensiklopedia Disney?? Eh, ada buku seperti ini di perpustakaan kita? Gileeee.
"Kereeeeennn! Aku baru tahu ada buku seperti ini di perpustakaan," kataku.
"Sebenarnya banyak buku-buku yang tidak pernah engkau sangka sebelumnya," katanya.
Aku tersenyum kepadanya. Ternyata ia tak sebodoh yang kukira. Aku langsung membuka Ensiklopedia Disney itu. Aku membaca dari awal tentang tokoh buatan Walt Disney yang pertama, kemudian cara mereka membuat film kartun. Waaaahhh...keren, aku sampai terharu membaca buku itu. Ray hanya tersenyum saja melihatku sangat tertarik dengan buku itu. Dia pun duduk di seberangku sambil membuka bukunya lagi. Apa sih yang dia baca itu? Eh, ada judulnya TIME LINE. Hmm...novel ya?
"Itu buku apa?" tanyaku.
"Ini novel sudah diangkat jadi film, judulnya Time Line. Cerita sci-fiction sih," jawabnya.
"Ohh...begitu," kataku manggut-manggut.
Trully, aku senang sekali hari itu. Entah kenapa, ada sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan. Dan baru kali ini aku bisa sedekat ini dengan Ray.
Akhirnya setelah mengikuti semua pelajaran aku pun pulang. Tapi kali ini aku menelpon ayahku biar bisa barengan ke tempatnya Ray.
"Ayah?! Ada di mana?" tanyaku
"Di perpustakaan," jawab ayah.
"Aku ikut saja deh ke panti asuhannya. Bisa jemput aku?" tanyaku.
"Tentu saja. Oh, sudah jam segini rupanya. Oke deh," kata ayah. Setelah itu beliau menutup teleponnya.
Andre menyeletukku. "Hai, mau ikut?"
"OH nggak Ndre makasih, aku dijemput babe," kataku.
"Tumben babe jemput," katanya.
"Mumpung sejalan soalnya," kataku.
"Oh, begitu. Ya udah aku duluan ya," katanya. Ia sempat mencium pipiku. Iiihh..genit amat nih cowok. Padahal juga udah biasa kali dicium ama Andre. Grepe-grepe juga pernah padahal. Tapi entah kenapa hari ini koq aku rasanya risih sih.
Andre pun pergi dengan sepeda motornya. Dengan sekejap dia sudah tak kelihatan. Aku keluar dari gerbang sekolah. Dan tak jauh di sebelahku tampak Ray sedang berdiri dengan kedua tangannya di saku celana. Ia menoleh ke arahku. Arggghh...kenapa aku jadi gemetar gini sih ditatap olehnya.
"Ayah sedang ke sini, tunggu saja ya," kataku untuk mengusir rasa tak enakku.
Dia mengangguk. Bener-bener deh si Ray ini, sok keren. Tapi ya emang keren sih sebenarnya. Duh, inget diri udah punya cowok. Udah punya cowok, udah punya cowok, udah punya cowok, udah punya cowok, udah punya cowok, udah punya cowok, udah punya cowok!
"HAI!" seseorang menepuk pundakku.
Aku kaget sampai latah, "Udah punya cowok! Udah punya cowok! Eh, Retno?!"
"Hah? Udah punya cowok? Siapa??" tanya Retno.
"Ah, nggak apa-apa," kataku.
"Kamu ngapain di sini?" tanyanya.
"Nunggu babe," kataku.
"Oh, tumben babemu jemput," katanya.
"Ya udah, aku duluan ya," katanya.
"Yo'i, hati-hati!" kataku.
Retno pun sudah berjalan menjauh. Sepuluh menit kemudian ayah datang dengan mobilnya.
"Maaf, nunggu lama?" tanyanya.
"Nggak koq yah," jawabku.
"Ya udah, masuk!" kata ayahku. "Ray, kamu duduk belakang!"
Ray melangkah membuka pintu mobil bagian belakang. Aku dan ayah duduk di depan. Tak berapa lama kemudian mobil pun melaju mulus di atas aspal. Matahari sore menyorot hingga masuk ke dalam jendela mobil. Selama di dalam mobil Ray diam saja. Ia memang cowok yang tidak banyak bicara. Ia juga lebih banyak membuang mukanya ke luar.
Kurang lebih setengah jam kemudian setelah terlibat kemacetan kami pun sampai di panti asuhan KASIH IBU. Bangunannya lumayan tua. Terlihat ada patung Bunda Maria berdiri di depan gedung. Setelah mobil di parkir di tempat parkir, kami pun keluar. Seorang suster menyapa kami.
"Ray, kamu sama siapa?" tanyanya.
"Suster Elizabeth, kenalkan ini Detektif Johan dan putrinya," jawab Ray.
"Oh, Tuhan Memberkati kalian. Ada keperluan apa detektif pergi ke tempat ini?" tanya Suster Elizabeth.
"Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan tentang Ray, kalau boleh," jawab ayahku.
"Hmm..baiklah, mari ikut!" kata Suster Elizabeth.
"Saya akan ke kamar saya kalau begitu," kata Ray sambil beranjak dari tempat itu.
Aku dan ayah kemudian di antar oleh Suster Elizabeth menuju ke sebuah ruangan. Di sana ternyata ada seorang suster yang sepertinya pimpinan di tempat ini.
"Maaf, Matron. Ada yang ingin bertanya tentang Ray, detektif Johan," ujar Suster Elizabeth.
Ibu asuh ini sudah tua rupanya. Tampak wajahnya sudah berkerut-kerut, ia memakai kacamata, namun matanya masih fokus melihat ke arah kami berdua.
"Detektif Johan?" tanya sang Ibu asuh. "Baiklah, tinggalkan kami suster."
Suster Elizabeth kemudian mengundurkan diri. Suster kepala dan juga ibu asuh itu menatap kami berdua.
"Apa anak itu yang memintamu detektif?" tanyanya.
"Iya, Anda benar. Aku penasaran tentang Ray, bagaimana keadaan dia ketika itu?" tanya ayahku.
"Keadaannya, oh dia waktu itu bayi yang sangat mungil, sangat lucu. Sebuah keranjang bayi dengan sapu tangan berbordir tulisan Ray. Itulah yang kami dapatkan. Ray seperti anugrah dari Yang Kuasa. Itulah yang bisa aku jelaskan kepadamu."
"Apa semenjak itu tidak pernah ada orang yang mengaku sebagai orang tuanya?"
"Tidak pernah ada."
"Lalu tentang uang yang selalu dikirim untuknya?"
"Oh itu, aku telah menyimpan potongan cek itu di sini, sebentar," suster kepala kemudian membuka laci mejanya dan menaruh di atas meja potongan cek. Ayahku segera mengambil potongan cek itu. "Semua alamatnya palsu. Semua dari rekening yang berbeda-beda. Polisi sudah memeriksanya. Alamat orang yang menulis cek yang terdapat di nomor serinya juga fiktif. Tapi uangnya memang benar-benar ada. Seolah-olah memang sengaja orang yang mengirimnya tidak ingin diketahui. Kami memang berinisiatif mengambil uangnya karena kami punya prasangka baik untuk Ray. Apalagi mereka juga mengirim uang untuk panti."
"Boleh aku bawa semua?" tanya ayahku.
"Silakan, kalau memang itu diperlukan detektif," jawab suster kepala.
"Selain cek apakah ada yang lain?"
"Kadang satu kardus berisi uang. Kadang juga wesel," jelas suster kepala.
"Apakah itu berkala? Atau acak?"
"Acak. Dan tidak selalu seperti itu. Engkau bakal terkejut ketika ada anak penjual koran menitipkan sebuah bungkus plastik berisi uang dua puluh juta dengan tulisan tangan berbunyi 'Untuk Ray'"
"Baiklah, apakah ada orang yang mencari Ray? Menghubungi dia atau siapapun yang Anda ketahui mengawasi Ray?"
"Tidak. Ray jarang keluar. Ia lebih suka tinggal menghabiskan waktunya dengan membaca di kamarnya. Ia juga termasuk anak yang rajin," jelas suster kepala.
"Apa kira-kira Anda tahu maksud simbol yang ada di dekat tulisan 8 Miles di sapu tangan itu?"
"Tidak detektif. Aku tidak begitu mengetahui hal-hal semacam itu."
"Baiklah, saya kira cukup suster kepala. Saya sudahi kunjungan ini," ujar ayahku.
Aku sebenarnya cukup senang berkunjung ke panti asuhan ini. Cukup besar, aku bisa melihat ruangannya sangat besar. Aku juga melewati ruang makan yang terdapat meja yang cukup besar dan panjang. Sepertinya di ruangan ini seluruh anak yatim piatu makan. Dan sebelum aku dan ayahku kembali ke mobil Ray tampak sudah menunggu kami. Dia sudah melepas seragamnya diganti dengan baju biasa.
"Bagaimana Pak Detektif?" tanya Ray.
"Masih aku selidiki," kata ayahku.
"Kamu tak perlu khawatir Ray, prestasi ayahku sudah tak bisa diragukan lagi," kataku.
"Oh begitu, baiklah. Aku percayakan kepadamu Tuan Detektif. Oh iya. Maria, aku ingin berikan ini ke dirimu," Ray menyerahkan sebuah box kecil kepadaku. Seperti kotak kado.
"Apa ini?" tanyaku.
"Aku kemarin belum memberikannya kepadamu, tapi kukira sekarang saja aku berikan," kata Ray. "Selamat ulang tahun."
Wah, ini baru. Ray tak pernah mengucapkan selamat ulang tahun kepada siapapun. Dan dia mengucapkannya kepadaku. Di hadapan ayahku lagi. Ayah mengusap kepalaku.
"Ya sudah, aku tunggu di mobil atau bagaimana?" tanya ayahku.
"Bentar aja ya yah," kataku.
Ayahku langsung pergi dan memberikan kesempatan kepada aku dan Ray berbicara.
"Makasih ya, tumben kamu ngucapin selamat ulang tahun kepadaku," kataku.
"Selalu ada yang pertama kurasa," katanya.
"Makasih, boleh aku buka?"
"Silakan."
Aku pun membuka kotak kado kecil itu. Cukup mudah membukanya, karena cuma ditutup oleh pita. Dan, awww...sebuah bola kaca yang di dalamnya berisi boneka salju yang kalau digoyang seolah-olah salju berasa turun. Eh, dari mana dia tahu kalau aku suka banget ama bola ini? Ini adalah benda yang sangat aku inginkan sejak aku kecil. Aku menoleh ke arah Ray, dia masih terlihat sok cool. Duh anak ini, masa' nyerahin hadiah seperti ini nggak pake senyum atau apa tanpa ekspresi gitu?
Justru...hal itu membuatku makin deg deg ser. Buset, aku sudah punya cowok! aku sudah punya cowok! aku sudah punya cowok! berkali-kali aku bisikkan itu ke hatiku. Tapi pesona dalam diri Ray benar-benar menyentuhku saat ini. Bagaimana mungkin dalam waktu sekejap aku bisa seperti ini di hadapan dia?
"Kamu nggak apa-apa? Nggak suka?" tanya Ray yang langsung membuyarkan lamunanku.
"Eh, suka koq, suka. Makasih ya. Baiklah. Aku akan menyimpannya. Sampai besok," kataku.
Ray tersenyum. "Sampai besok."
0 Response to "The Dark Lantern Episode 3"
Post a Comment