I Love You Season 2 Episode 5
Monday, June 18, 2018
Add Comment
Cerita ini berawal ketika Tanaka terkejut ketika melihat kota Malang penuh lautan darah. Malang Riot & Chaos. Tanaka hadir dan menyaksikan kerusuhan itu dari kejauhan. Keluarga Yakuza yang ada di kota ini diwanti-wanti untuk tidak ikut dalam pertarungan antar preman itu. Tanaka tidak mengetahui seluk beluk yang terjadi kenapa sampai ada peperangan seperti ini. Hingga kemudian setelah beberapa waktu Arci dipenjara dia pun menemui Bu Susiati.
Saat itu mertua Arci tampak sedang bersedih. Dia ditemui oleh Boss Tanaka di rumahnya. Kedatangan Tanaka di rumahnya tentunya membuat Bu Susiati terkejut.
"Konchiwa Susiati-san," sapa Tanaka.
"Oh, Tanaka-san. Terima kasih telah datang," kata Bu Susiati ketika membuka pintu rumahnya. "Masuklah!"
"Aku turut berduka atas kematian anakmu," ujar Tanaka.
"Terima kasih"
Tanaka memberi aba-aba agar anak buahnya tidak ikut bersama dia. Bos Tanaka kemudian duduk di ruang tamu bersama Bu Susiati.
"Jelaskan kepadaku, siapa Arci ini? Kudengar kamu yang akan membelanya nanti di pengadilan?" tanya Tanaka.
"Iya, benar," jawab Bu Susiati.
"Lalu, apa yang mendorongmu melakukannya? Padahal kami semua keluarga Yoshida tidak aku ijinkan untuk ikut campur dalam masalah ini."
Bu Susiati menyeka air matanya dengan tissue. Dia menarik nafas panjang lalu mulai bicara, "Orang yang aku bela adalah menantuku. Dan dia melakukan itu semua karena dikhianati oleh salah satu anggota keluarganya. Lebih lagi anakku menjadi korban. Dia hanya membela diri untuk melindungi anakku yang tak lain adalah istrinya."
"Jadi ini urusan dendam pribadi?"
"Lebih dari itu. Tommy Zenedine ingin menguasai kota ini, maka dari itulah dia berusaha menyingkirkan Arci. Arci pun kemudian mencari bantuan ke Raja Preman."
"Tak mungkin, Yuswo orang yang netral. Sampai mau menolong Arci???"
"Iya, begitulah. Dia yang bercerita semuanya kepadaku."
"Aku ingin menemuinya."
"Dia ada di rumah tahanan. Kamu bisa menemuinya denganku."
Segera saja tanpa banyak bicara hari itu juga Tanaka Yoshida dan Bu Susiati bersama-sama menemui Arci yang saat itu sedang meringkuk di rumah tahanan. Pengadilan belum diputuskan tapi dia sudah pasti akan mendapatkan hukuman atas hal yang dilakukannya. Tanaka Yoshida sedikit berpikir keras terhadap apa yang terjadi dengan Arci. Bagaimana mungkin Yuswo yang begitu keras bisa dilunakkan bahkan membantunya?
Agaknya ketika di rumah tahanan, Bu Susiati diberikan waktu yang sangat luang untuk menemui kliennya. Dengan didampingi oleh Tanaka Yoshida, Bu Susiati melihat kondisi Arci yang sangat mengenaskan. Tatapan matanya kosong. Dia benar-benar terpukul atas kematian Andini.
"Arci, ini ada tuan Tanaka Yoshida, dia ingin bicara denganmu," kata Bu Susiati.
Arci menoleh ke arah Tanaka. Wajah keriput Tanaka menyiratkan sinar rasa kekaguman. Seorang pemuda yang berjuang sendiri hingga mampu menggerakkan massa untuk menggempur kekuatan yang tidak pernah ia sangka-sangka sebelumnya. Tanaka masih penasaran bagaimana Arci melakukannya.
"Arci, aku ingin tahu apa yang kamu berikan kepada Yuswo hingga dia mau membantumu padahal dia terkenal sebagai orang yang netral?" tanya Tanaka.
Arci tak menjawab. Dia menundukkan wajahnya.
"Arci jawablah! Karena ini sangat penting!" kata Tanaka.
"Seberapa penting? Kepentinganku di dunia ini hanyalah Andini. Aku kehilangan dia. Kehilangan orang-orang yang aku cintai. Aku sudah tak mempedulikan diriku lagi."
"Arci, kamu tak boleh begitu. Sebagai ibunya aku juga kehilangan Andini!" kata Bu Susiati.
Arci tersenyum. "Aku yang menyebabkan Andini pergi. Marahlah kepadaku Bu, marahlah! Aku pantas untuk dimarahi. Seharusnya aku tak bertemu dengan dia dulu. Aku sangat mencintainya....." Arci kemudian menangis. Hatinya rapuh.
"Arci, jelaskan kepadaku!" desak Tanaka.
"Buat apa aku harus menjelaskannya?"
"Kamu tidak pernah mengerti tentang hal ini. Tapi ketahuilah, Archer dan aku terikat dengan sebuah perjanjian. Dan kami tak akan pernah melupakan perjanjian itu seumur hidup kami."
Arci menoleh ke arah Tanaka. Mata Tanaka menyiratkan perasaannya, perasaan yang sepertinya memiliki rasa kehilangan. Perasaan ketika seseorang kehilangan seorang sahabat.
"Aku dan ayahmu adalah dua orang sahabat. Kami terikat antara satu sama lain. Ketika ayahmu meninggal, hubunganku dengan keluarga Zenedine buruk, lebih buruk lagi karena perbuatan Tommy. Aku dan ayahmu berniat untuk menjadi penguasa kota ini sejak dulu, tapi hal itu terhalangi oleh Yuswo. Bahkan aku menghadiahkan kepadanya sebuah katana yang dibuat oleh Masamune agar Yuswo bisa bergabung bersamaku, tapi sepertinya Yuswo tidak tertarik. Hingga akhirnya aku dan Archer membuat sebuah keputusan, barangsiapa yang bisa menarik Yuswo menjadi sekutunya, maka dia berhak menjadi pemimpin. Itulah janji Archer dan aku. Lalu apa yang kamu berikan kepada Yuswo sampai dia mau bekerja sama denganmu?"
Penjelasan Tanaka itu membuat Arci tertawa. "Hahahaha, perjanjian yang bodoh. Sebegitu pentingnyakah hal itu?"
"Tentu saja penting! Yuswo menguasai seluruh preman yang ada di kota ini. Ini aset terbesar yang tak pernah kami punyai."
"Jadi ini semua hanya karena kekuasaan?"
"Lebih daripada itu. Sejak dulu kota ini dikuasai oleh Yuswo, ketika bermunculan orang-orang seperti kami, dia pun memilih netral dari peperangan yang terjadi antar kelompok. Dia sudah punya lapak sendiri dan tak ada satupun yang berani mengusik ketenangannya. Itulah sebabnya Yuswo menjadi seseorang yang harus kami rangkul."
"Aku merangkul siapa saja yang bisa aku rangkul. Jangan salah faham tuan Tanaka. Aku sebenarnya juga tidak ingin terjun ke dunia ini, tapi sepertinya aku terjun terlalu jauh. Lihatlah besok sudah keputusan pengadilan. Aku pasti akan dihukum berat. Tak ada lagi kekuasaan yang aku butuhkan."
"Ceritakan saja kepadaku, apa yang kamu berikan kepada Yuswo sehingga dia mau memberikan kekuasaannya kepadamu?"
Arci menghela nafas. "Aku berikan semua kekayaan keluarga Zenedine kepadanya dan aku rela menjadi pewarisnya."
Tanaka terhenyak. "Kamu sadar apa yang kamu ucapkan?!"
"Aku sadar. Dan dia setuju dengan itu."
"Itu artinya kamu akan melepaskan statusmu sebagai keluarga Zenedine?"
"Aku sudah siap. Dari awal aku bukan bagian keluarga ini kalau toh nanti aku pergi, aku tak akan mengambilnya lagi."
"Kamu gila, kamu bodoh"
"Aku memang gila Tuan Tanaka, aku memang gila. Aku masih belum menghabisi Tommy. Aku ingin sekali mengunyah dagingnya, DIA SUDAH BERANI MENGHANCURKAN HIDUP ISTRIKU! BRENGSEK!"
BRAK! BRAK! BRAK!BRAK! BRAK! BRAK!
Berkali-kali Arci menggebrak meja dan menghantam-hantamkan jidat kepalanya ke meja. Dua orang polisi langsung masuk dan mencoba menenangkan Arci yang menggila. Arci bahkan sampai menggigit meja, sebelum sang polisi mendorong kepala Arci agar tetap tegak.
"Hidupku tak ada gunanya lagi. Aku sudah kehilangan semuanya, aku tak peduli lagi. Aku hanya ingin nyawa Tommy. Berikan dia kepadaku, aku ingin memakannya hidup-hidup!"
"Arci, tenanglah! Kamu harus tenang!" ujar Bu Susiati.
"Andini....hikss....Andiniii.....," jeritan Arci sangat pilu.
"Aku akan berikan Tommy kepadamu. Aku berjanji. Aku akan mencari dia. Mulai sekarang, keluarga Yoshida akan bergabung denganmu," kata Tanaka. Tanaka kemudian membungkuk kepada Arci. "Kita adalah saudara, sebagaimana Archer menganggapku saudara, maka mulai sekarang kamu adalah bagian dari kami."
"Andiniiiii!....," Arci meronta-ronta. Kedua polisi itu berusaha menenangkan Arci.
"Arci, aku harus pergi, tolong jaga dia ya pak!?" kata Bu Susiati.
Kedua polisi itu mengangguk. Tanaka dan Bu Susiati pun meninggalkan Arci yang sedang rapuh. Ketika keluar ruangan mereka bertemu dengan Ghea. Tanaka Yoshida membungkuk kepada Ghea. Ghea pun membalasnya. Setelah itu mereka berpisah.
oOo
Tommy Zenedine menghabiskan waktunya menjadi seorang pelukis. Dia kabur, dia lari dan mengubah penampilan wajahnya. Dia perlu mengoperasi plastik di bagian pipi dan hidungnya agar bisa mengelabui mata setiap orang, baik mata polisi maupun mata anak buah Ghea yang sedang mengejarnya. Bakatnya melukis merupakan bakat yang membuatnya bisa bertahan hidup hingga saat ini.
Memang di antara keluarga Zenedine, hanya dia yang punya jiwa seni. Menggambar dan melukis merupakan keahlian yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Hal itu yang mendasari dirinya mencari nafkah dengan cara ini. Hidup low profile selama bertahun-tahun di sebuah apartemen ... sebut saja rumah susun di pinggiran kota Malang, membuatnya tidak banyak dikenal. Apalagi hidup di sini dia berbaur dengan orang-orang untuk menghilangkan kecurigaan. Tommy bahkan meninggalkan logatnya seperti orang luar, ia lebih berusaha untuk bicara medok agar terlihat sebagai orang pribumi.
Malang mulai berbenah setelah kejadian Chaos tersebut. Para preman yang terlibat banyak yang dipenjara. Setiap hari Tommy update berita di media massa. Dia selalu mengikuti perkembangan kasus Arci sampai diputuskan Arci bersalah dan harus disembuhkan dulu di Rumah Sakit Jiwa. Ketika Arci sudah sembuh bahkan sampai masuk penjara pun dia update beritanya. Arci bagi dunia bawah dianggap sebagai pahlawan tidak bagi pihak kepolisian. Dia dianggap sebagai sampah masyarakat. Hukuman penjara tak membuatnya jera tentu saja.
Tommy berangkat agak siang sambil menenteng beberapa kanvas yang masih kosong. Ia meman menerima pesanan lukisan. Kadangkala juga ada orang yang minta dilukiskan di tempat. Low profile, bukan kehidupan yang buruk menurut Tommy. Ia hanya bisa memandang PT Evolus dari jauh. Perusahaan yang seharusnya ia kendalikan itu kini sudah terlepas begitu saja. Dia beberapa kali memeriksa tentang DPO, dan sepertinya foto dan namanya masih terpampang di sana. Sebuah kasus akan dihapus kalau sudah 20 tahun lewat. Ia menunggu saat itu sebenarnya. Tommy tak tahu nasibnya, sudah pasti begitu.
Dia mendapatkan sepeda motor butut GL-MAX ini dari uangnya yang tersisa. Berangkat menuju ke alun-alun untuk kemudian membuka lapak di sana. Memang terkadang ia harus kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP. Itu pun kalau ketahuan. Selama tak ketahuan ia tetap melukis. Sebab dari mana lagi dia dapatkan uang? Kebanyakan lukisannya juga adalah pemandangan, lukisan manusia dan lukisan hewan. Lukisan itu terkadang terjual dengan harga Rp. 100.000,- atau bahkan bisa sampai Rp. 1juta. Tergantung dari keindahan, bentuk dan nilai seninya.
Menjual dengan harga murah terkadang memang harus dilakukan oleh Tommy untuk menyambung hidup. Ia sekarang lebih menjadi orang yang ketakutan daripada beberapa waktu yang lalu ketika dia masih berkuasa. Sekarang ia khawatir kalau-kalau besok bertemu dengan Arci. Karena itulah ia jarang menyapa orang lain, jarang pula bicara kalau tidak ada perlunya dan jarang keluar rumah. Bagi seorang Tommy hal ini tentu saja sangat memalukan.
"Lukisannya bagus," celetuk seseorang setelah Tommy menggelar lapak.
Tommy hanya tersenyum. Anak muda ini sepertinya tertarik dengan lukisan yang digarap oleh Tommy.
"Tertarik?" tanya Tommy.
"Boleh deh, berapa Om?" tanya cowok ini.
"Terserah kamu aja mampu bayarnya berapa," jawab Tommy sambil tersenyum.
"Wah, beneran?"
Tommy mengangguk. Anak muda itu segera menyerahkan selembar uang seratus ribu kepada Tommy dan mengambil lukisan itu. Tommy menerima begitu saja uang itu. Paling tidak hari itu lukisannya laku satu daripada tidak laku sama sekali. Pikiran sederhana. Tommy telah mengesampingkan semua pikiran buruknya selama ini, ia hanya ingin menikmati hidup. Itu saja. Walaupun mungkin terkadang ada rasa kekhawatiran pada dirinya.
Total hari itu lukisannya terjual dua buah. Hal itu sudah cukup baginya. Kembali ke rumah susun, menjalani hidup yang berputar seperti sekarang ini. Rasanya sudah cukup damai. Mungkin inilah yang dirasakan oleh Arci pikirnya, ketika dulu belum mengenal yang namanya keluarga Zenedine. Secara tak langsung ketidaksukaannya kepada Archer menyebabkan banyak petaka. Ia sendiri yang membuat orang-orang membencinya. Ah, andai saja ia tak salah jalan.
Sore hari itu ia makan nasi goreng yang berada di warung dekat dengan rumah susun. Warung Nasi Goreng yang sudah menjadi langganannya bertahun-tahun ini tahu apa selera Tommy, nasi goreng tanpa tambahan saos tomat. Tommy makan dengan lahap malam itu, besok lagi-lagi ia harus mempersiapkan diri untuk melukis. Setelah kenyang ia menata kanvas-kanvasnya yang berwarna putih. Dia memaku sendiri, menyiapkan kainnya sendiri dan mengecat dengan warna putih sendiri. Rutinitas yang terus ia lakukan tanpa mengenal lelah. Orang bilang kalau ingin hidup normal, maka inilah yang harus ia lakukan.
oOo
BYURR!
"HHmmmmhhfff!" mulut Tommy tak bisa terbuka, matanya tertutup. Dia diguyur air. Ia ingin berteriak tapi sekali lagi tak ada yang bisa dia lakukan. Tangannya terikat, kakinya terikat.
BUK! DESS! BUK! Pukulan bertubi-tubi mendarat di wajah, dada dan perutnya. Sebelum ia mengerti apa yang terjadi dia dihajar berkali-kali hingga kepalanya pusing. Inilah saat-saat yang ia takutkan. Saat-saat yang sangat ia benci.
"Buka penutup wajahnya!" perintah sebuah suara.
Akhirnya wajahnya yang terbungkus kain itu pun dibuka. Tampaklah wajah Tommy yang babak belur, pelipisnya berdarah, darah segar keluar dari hidungnya yang patah. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Dia melihat seseorang yang berada di hadapannya. Seseorang berjas hitam, kemeja putih duduk di atas kursi sambil menatapnya. Dia hampir tak mengenali orang itu. Di sebelahnya seseorang berwajah Asia berdiri sambil bersandar pada sebuah tongkat. Dia adalah Tanaka Yoshida.
"Aku sudah penuhi janjiku, dia berhasil ditemukan," ujar Tanaka.
"Aku berterima kasih kepada Anda, Tanaka-san," kata Arci. Dialah pria yang duduk di kursi sambil menatap Tommy.
"Memang kalau kita tidak jeli, maka seumur hidup tak akan tahu di mana keberadaannya. Untunglah kawan Ryuji membeli sebuah lukisan yang aku yakin Tommy pernah melukis lukisan itu. Seketika itu aku cocokkan sidik jari yang ada di kanvas itu. Akhirnya ketahuan siapa sang seniman ini," kata Tanaka.
"Tommy, apa kabar?" sapa Arci.
"Hmmmfffhhh! Hmmffffhh!" Tommy tak bisa bicara. Ia ketakutan setengah mati. Seolah-olah sekarang kematin sudah diambang pintu.
"Sssshhhh! Tenang, aku tidak merindukanmu Tom. Aku bukan orang yang kurang ajar harus membunuh pamanku sendiri. Ada orang yang lebih menginginkan kematianmu daripada aku."
"Arci, mulai sekarang... sesuai dengan janjiku Tanaka Yoshida dengan ini bergabung denganmu."
Arci berdiri lalu keduanya membungkuk. "Arigatou Tanaka-san."
Tommy benar-benar sial. Dia mengumpat kepada dirinya sendiri. Ia meronta-ronta agar dibebaskan, tapi ia sama sekali tak punya kesempatan. Bahkan ketika diseret sampai ke pemakaman pun dia tak punya kuasa. Dia berhadapan dengan Singgih, suami Rahma yang sudah tidak punya kaki dan lengan. Tommy tahu bahwa Rahma tewas akibat anak buahnya, sebenarnya kalau ingin dendam maka Arci-lah yang sangat dendam kepada Tommy, tapi sepertinya Arci memberikan kesempatan kepada Singgih untuk menghabisi Tommy.
Bagaimana perasaan Tommy ketika Singgih menekan tombol remote control itu? Ah, tak perlu ditanyakan, yang jelas tubuhnya sudah tercerai berai. Bahkan separuh kepalanya berpisah di tempat yang berbeda. Ketika semuanya pergi dan Singgih keluar dari pemakaman bola mata Tommy masih bergerak-gerak menandakan ia tak terima dengan kematian itu. Seekor burung gagak hingga di atas kepalanya kemudian mematuk bola mata itu dan membawanya pergi.


0 Response to "I Love You Season 2 Episode 5"
Post a Comment