I Love You Season 2 Episode 4


"Mbak Diva? Ada apa? Ngapain malam-malam ke sini?" tanya Asyifa.

Diva beringsut mendekat ke jendela. Dia memberikan sebuah kotak kado kecil kepada Asyifa. "Selamat Ulang Tahun adikku. Nih, buatmu."

Baca Juga

"Apaan ini? Kalau ketahuan ama Bapak atau Ibu Asuh bisa berabe lho"

"Halah, biarin aja. Masa' ama adiknya sendiri nggak boleh ketemu?"

Asyifa tersenyum. Dia kemudian membuka kotak kado itu. Terlihatlah sebuah jam tangan cantik di dalamnya. Asyifa terkejut meliha arloji itu.

"Ya Ampun mbak? Ini mahal pasti," ujar Asyifa.

"Nggak usah dipikirin harganya. Mbak sudah janji tak akan melupakan hari ulang tahunmu. Pakailah, tenang aja mbak nggak beli itu dari uang haram."

Asyifa menghela nafas, "Mbak nggak perlu seperti ini. Kenapa mbak nggak berhenti saja sih? Tinggal bersamaku"

Diva mengetuk kepala Asyifa, "Kamu ini, sejak kapan jadi alim? Mau nyeramahin mbak? Udah, urus saja dirimu sendiri."

"Tapi mbak, cuma mbak keluarga yang aku punya. Aku nggak mau kehilangan mbak."

"Sudah, jangan khawatirkan mbak. Selama mbak hidup, nggak bakal mbak biarkan orang lain menyakitimu. Katanya kamu barusan ditabrak orang? Tahu siapa yang nabrak? Biar mbak gambar orangnya."

Asyifa menggeleng. "Nggak mbak, lagian dia pakai motor. Larinya cepat."

Tampak raut wajah kecewa terpancar dari Diva. "Kamu perlu mbak beliin sepeda motor?"

"Nggak usah mbak, nggak usah. Lagian aku nggak bisa nyetir sepeda motor"

"Yeee, ya belajarlah!"

"Nggak deh mbak. Aku masih suka naik sepedaku."

"Dasar culun lo! Dikasih enak nggak pernah mau. Ya udah deh. Oh ya, ingat kamu jangan sembarangan pacaran. Aku melarangmu pacaran. Kalau sampai aku mergokin kamu pacaran awas. Aku nggak mau nemui kamu lagi."

"Nggak koq mbak, nggak bakal. Aku sudah janji ama mbak."

"Ya udah. Mbak mau pergi."

"Mbak?!"

"Apa?"

"Peluk Syifa dong! Syifa kangen ama mbak."

Diva tersenyum. Ia pun segera memeluk adik satu-satunya itu. Dipuk-puk punggung adik yang sangat dicintainya itu. Ia sudah bersumpah akan menjaga adiknya ini, apapun yang terjadi. Setelah beberapa saat mereka berpelukan Diva melepaskan pelukannya.

"Oh ya, kamu bisa bawa ponselnya mbak? Nanti bakal mbak ambil lagi deh."

"Lho, trus nomornya mbak ganti?"

"Nggak, masih koq. Cuma mau ganti ponsel aja. Soalnya kepengen punya ponsel baru."

"Oke deh."

Diva menyerahkan ponselnya ke Asyifa. Asyifa juga heran, ponsel kakaknya ini sebenarnya sudah yang paling bagus. IPhone 4. Tapi kenapa koq kakaknya ingin punya ponsel baru lagi? Ah entahlah. Ia juga tak begitu faham tentang gadget. Asyifa memegang ponsel kakaknya. Diva kemudian berbalik meninggalkan Asyifa. Sang adik melambaikan tangannya dan sang kakak memberikan kiss bye.

Asyifa menutup kembali jendelanya. Dia kemudian meletakkan ponsel kakaknya di dalam laci, setelah itu kembali tidur melanjutkan mimpi-mimpinya di pulau kapuk.



oOo​



Bagong, seorang preman pasar yang kesehariannya bertugas sebagai juru parkir dan menarik uang keamanan di lapak-lapak orang yang ada di Velodrome sedang bermain kartu remi bersama rekan-rekannya. Velodrome serasa gelap dan sepi ketika malam hari, tentu saja. Mereka bermain remi di salah satu sudut yang diterangi lampu. Yang mana tempat itu adalah tempat jual beli buku-buku bekas. Permainan cukup seru bagi mereka karena uang pun menjadi taruhan. Bagong sedikit sial memang karena sudah dua puluh giliran uangnya makin menipis. Ia takut kalau-kalau istrinya di rumah marah lagi karena pulang tak membawa uang sepeser pun.

"Gong, udahan?" tanya Supri, temannya yang kali ini lebih beruntung dari pada dirinya.

Bagong berdiri dan meninggalkan teman-temannya. Uangnya sudah menipis. "Purik ah, nggak mau ikutan lagi. Ludes duitku."

"Hahahaha, ya sudah lain kali ya, Gong?!" ujar Supri.

"Yaah, lain kali!" ujar Bagong.

Dengan langkah gontai Bagong pergi meninggalkan kumpulan rekan-rekannya. Bakalan kena semprot istri lagi deh, pikirnya. Dia mungkin mengira tak ada makhluk apapun yang ia takuti. Genderuwo, kuntilanak, bahkan alien dari Planet Mars pun tak ia takuti kecuali satu makhluk yaitu istrinya. Kalau istrinya ngambek, kalau istrinya marah. Ia bisa tidak dapat jatah, ya jatah makan, jatah tidur dan jatah ehm-ehm. Padahal ia sangat sayang kepada istrinya. Istrinya sangat semok, bahenol, empot-empot ayamnya luar biasa, dan sejak pacaran sampai punya dua anak, Bagong sangat suka dengan perlakuan istrinya itu.

Bagong pulang jalan kaki seperti biasa. Hanya saja, ada satu yang tidak biasa. Kalau tiap hari ia biasa bawa pisau belati sebagai jaga diri, mungkin karena merasa aman dia tidak membawanya kali ini. Satu hal yang menjadi alasan, keadaan terlalu damai.

Keadaan yang terlalu damai membuat semua orang lengah. Seperti Bagong ini. Sudah hampir satu dekade ia tak pernah menghajar orang. Keadaan yang seperti ini membuat dia lengah ketika sebuah kayu besar menghantam kepalanya.

BUK! BUK! BUK!

Berkali-kali kayu itu dihantamkan ke kepala Bagong hingga preman bertumbuh besar itu pun tak sadarkan diri tergeletak di sana. Bagong tidak pulang malam itu. Istrinya sangat khawatir. Pagi harinya Bagong ditemukan oleh seorang petugas kebersihan. Bagong tidak selamat hari itu. Dia tewas di tangan orang misterius. Dari sinilah awal semuanya bermula.



oOo ​



Asyifa memandangi arloji yang dia pakai. Hadiah dari kakaknya. Jam KW mungkin, mana mungkin kakaknya punya uang untuk membelikan dia lebih dari pada ini. Nggak mungkin kakaknya punya uang yang banyak untuk beli arloji seperti ini. Punya banyak, tapi yang benar-benar dikatakannya "Halal" itu lain soal. Asyifa memang tak pernah melihat kakaknya bekerja dengan cara yang benar, tapi ia yakin kakaknya tak pernah membohonginya sampai sekarang.

"Cieehhh, jam tangan baru?" tanya Leli.

"Yup, hadiah dari mbakku," jawab Asyifa.

"Mbakmu? Ngasih hadiah? Ah iya, kamu ultah ya? Aduh aku sampai lupa. Selamat yaah!" Leli segera memeluk sahabatnya itu.

"Hehehe, makasih Lel," ujar Asyifa.

"Tumben kakakmu baik."

"Dia selalu baik koq. Cuma ia menghindar saja dari aku. Tapi ia berjanji akan selalu memberiku hadiah kalau sedang ulang tahun. Kemarin saja sampai ngetok jendela kamarku. Kamu tahu sendiri kan Ibu Asuh paling sebel kalau lihat Mbak Diva."

"Aku mengerti koq. Tak banyak orang yang bisa menerima kakakmu."

"Sebentar lagi kelulusan nih, sudah siap?"

"Entahlah Fa, enak kamu pinter. Aku pas-pasan."

"Nggak boleh begitu, semua punya kesempatan yang sama koq. Aku yakin kamu bisa lulus Lel, kita kan selalu sama-sama."

Leli tersenyum mendengar penjelasan sahabatnya itu. Agaknya kekhawatirannya sedikit hilang. Mereka sudah berteman sejak lama, semenjak mereka berdua masih berada di bangku Sekolah Dasar. Asyifa periang, cerdas dan pandai bergaul. Berbeda dengan Leli, sekalipun sama-sama periangnya dan pandai bergaul, dalam hal pelajaran dia selalu dibantu oleh Asyifa. Meskipun begitu mereka kompak dan menjadi sahabat sejati.

Murid-murid SMA sedang mempersiapkan diri mereka untuk menempuh Ujian Akhir Nasional yang akan diikuti oleh mereka beberapa minggu lagi. Berbagai macam cara dilakukan, mulai kursus, les bahkan sejak dari awal mereka sudah deg-deg-an apakah bakal berhasil atau tidak. Ada yang melakukannya dengan cara positif tentunya dengan belajar atau melakukan hal-hal yang wajar. Namun ada yang melakukannya dengan cara yang tidak wajar, seperti minta ke orang pintar atau dukun, atau bahkan minta ke batu dan pohon dengan cara mereka masing-masing. Ada juga yang minta dikasih susuk di kepalanya biar cerdas.

Asyifa menghabiskan waktunya untuk belajar bersama dengan Leli, terkadang Leli yang pergi ke Panti Asuhan tempat Asyifa tinggal terkadang Asyifa yang pergi ke rumah Leli.

"Eh, nanti ke rumahku yah?!" kata Leli.

"Hmm?? Nggak apa-apa? Ntar ganggu mamamu," kata Asyifa.

"Tenang aja, nggak bakal koq. Mama masih sibuk seperti biasa. Paling juga di rumah jagain Deni."

"Eh iya, kamu punya adik tiri yah? Gimana kabar Deni?"

"Ya begitulah, makin nakal. Maklum dia kan sudah masuk SD sekarang. Tapi kadang sebel juga sih ama mama tiriku ini."

"Kenapa?"

"Soalnya jarang di rumah. Papa juga jarang di rumah, sering keluar untuk urusan bisnis."

"Yeee... nggak boleh gitu dong. Mereka juga kan orang tuamu."

"Semenjak mamaku meninggal memang aku kesepian Fa, tahu sendiri kan aku sangat dekat ama mamaku. Aku sempat berpikir kalau kehadiran mama baru ini akan mengubah kehidupanku. Tapi ternyata ya tidak semudah itu. Aku juga berpikir kalau dengan adanya seorang adik aku jadi lebih bisa hidup lagi, tapi ternyata ya tidak juga."

"Kamu nggak boleh begitu lho Lel, aku saja sangat ingin punya keluarga. Koq kamu gitu?"

"Hehehehe, maaf ya Fa. Jadi kebawa kamunya."

Asyifa menggeleng. "Aku ngerti koq. Kamu cuma butuh komunikasi aja sama mereka. Mungkin lebih bisa dikatakan frekuensi ketemuannya kalian ditambah gitu."

"Aku sih sudah berusah Fa, tapi ya begitulah. Susah, aku cuma bertemu mereka di hari Minggu itu pun kalau papa nggak keluar kota."

"Kamu deket dengan mama tirimu?"

"Nggak juga sih."

"Coba aja deket dengan dia. Masa' sudah delapan tahun bersama koq nggak deket?"

"Bukan gitu Fa, aku pasti canggung kalau deket dengan dia. Tahu sendiri kan dia itu punya wibawa. Tatapan mata tajam, dia juga cantik seperti bintang film Hollywood Rosamund Pike itu, tapi.... ah, pokoknya susah deh."

"Mungkin kamu sendiri yang tidak membuka diri Lel, bukankah untuk bisa dekat dengan seseorang kamu harus membuka diri?"

Leli menatap langit-langit kelas. "Ah, entahlah Fa. Mungkin kamu benar."

"Oke deh, ntar aku main ke rumahmu."

"Thank's ya Fa."

Setelah sekolah hari itu selesai Asyifa membonceng Leli sampai ke rumah sahabatnya itu. Rumahnya lumayan jauh, tapi karena jalanan yang menurun hal itu tak terasa. Tanpa dikayuh sepedanya pun meluncur turun. Keduanya sambil bercanda melewati siang hari yang terik itu sampai ke sebuah perumahan yang ada disalah satu sudut kota Malang. Sebuah tanah lapang dengan dua buah gawang berwarna putih yang biasanya digunakan oleh anak-anak remaja untuk bermain bola di sore hari terbentang di tengah perumahan.

Rumah yang dibangun dengan model Eropa itu terlihat lebih mentereng daripada rumah-rumah yang lain. Di halaman rumah tampak sebuah mobil Mercedes Benz Type S berwarna putih sedang terparkir. Mamanya ada di rumah, pikir Leli.

Leli dan Asyifa pun bergegas masuk ke rumah.

"Aku pulaangg!" seru Leli.

Dia membuka pintu rumah dan mendapati seorang pemuda ada di sana. Asyifa sepertinya pernah bertemu dengan lelaki ini. Tampak Bianca ada di ruang tamu menemani pemuda tersebut.

"Oh, ada kak Ryuji?!" sapa Leli.

"Hai Lel, apa kabar?" sapa Ryuji.

"Sudah pulang Lel?" tanya Bianca.

"Tumben mama sudah ada di rumah," kata Leli.

"Iya, urusannya sudah selesai. Sekalian tadi diantar oleh Ryuji karena mobil mama belum beres di bengkel"

"Oh begitu. Yuk Fa, ke kamar yuk!?" Leli menggandeng Asyifa. Ryuji mengamati Asyifa.

Bianca dan Ryuji mengamati Asyifa dan Leli pergi ke kamar Leli yang ada di lantai dua. Setelah itu Bianca menoleh ke arah Ryuji yang masih mengamati dua gadis itu masuk ke kamar.

"Hush, awas kalau macam-macam ama anakku!" ancam Bianca.

"Nggak tan, nggak berani," kata Ryuji.

"Hehehehe, ingat lho ya. Kamu boleh pacaran ama siapapun. Aku tak memaksamu, apalagi hubungan kita anggap aja TTM-an."

Ryuji tersenyum. "Yang begini ini, bikin aku nggak kuat. Udah ah, aku akan kembali besok. Jam berapa?"

"Besok jam delapan anterin ke bengkel. Aku mau lihat mobilku sudah selesai atau belum," pinta Bianca.

"Baiklah, sampai besok," Ryuji berdiri. Bianca pun berdiri. Keduanya berpelukan sambil berciuman mesra sesaat, setelah itu Ryuji segera pergi dari rumah Bianca.

Bianca menghela nafas ketika pemuda itu keluar dari rumahnya. Hubungan yang sangat aneh. Padahal selama ini ia tak pernah mengira akan bercinta dengan pemuda keturunan Jepang itu. Bianca pergi ke kamar anaknya yang paling kecil, Deni. Di sana dilihatnya dia sedang bermain Playstation 3.

"Sudah makan, Deni?" tanya Bianca.

"Sudah ma," jawab Deni.

"Jangan main terus! Ingat, belajar juga!"

"Iya ma, iyaa."

Sementara itu di dalam kamar Leli, Asyifa dan Leli tampak sedang bergurau sambil membuka buku pelajaran. Asyifa menuntun Leli dengan mata pelajaran yang sulit dia mengerti. Mereka berdua sibuk untuk belajar. Tapi Asyifa masih teringat dengan Ryuji. Orang yang pernah bertemu dengan dirinya di Panti Asuhan beberapa hari yang lalu.



oOo​



"Put, Putri!?" panggil ibunya.

"Ya bu?" sahut Putri.

"Kamu sudah siap? Jangan lupa sarapan!"

"Iya, sudah koq bu. Sudah, sudah kenyang," jawabnya.

Hari ini dia memakai baju hitam putih. Karena hari ini dia akan melakukan sidang Tugas Akhir. Akhirnya setelah sekian lama dia akan melakukannya hari ini. Sempat tiga tahun tidak kuliah karena masalah pekerjaan, dia akhirnya kuliah juga. Putri sebagai adik dari Arci memang termasuk anak yang workaholic, terlebih setelah tahu cara bekerja online. Membuat kuliahnya terbengkalai cukup lama. Arci sempat marah karena dia tidak lulus-lulus.

"Awas lho ya, kalau sampai kakakmu marah lagi," kata Lian.

"Iya, ngerti."

"Ngerti koq masih lihat-lihat ponsel???"

"Bentar, ini lho ada yang pesen buku"

Putri pun dijewer. "Anak iniiii!"

"Adudududuh! Iya bu, iya ditutup!" Putri segera menyimpan ponselnya.

"Nanti kakakmu bakal datang ke kampus," ujar Lian.

"Hah? Ngapain? Mau nakutin dosen?"

"Nggaklah, kamu kan adik satu-satunya. Sudah pasti dia khawatir dan ingin melihat adiknya bisa lulus dengan nilai terbaik, jadi sarjana."

Putri tersenyum. Ia menghela nafas, tak terasa ia sudah lulus kuliah sekarang. Mungkin sudah saatnya ia ingin membalas jasa kakaknya selama ini. Karena selama ini kakaknyalah yang mengurus semua kebutuhannya. Baginya Arci sudah menjadi seorang ayah bagi dirinya. Walaupun dia tak tahu siapa ayah kandungnya tapi, rasanya Arci lebih dari seorang kakak bagi dirinya. Sosoknya berwibawa, tampan dan gagah. Idaman semua wanita.

"Ya udah, aku berangkat dulu," kata Putri.

"Hati-hati!" ujar Lian.

Putri keluar dari rumahnya dengan membawa ransel dan beberapa tas plastik berisi bahan-bahannya untuk presentasi nanti. Seorang sopir membuka pintu untuknya. Putri duduk di belakang. Kakaknya memang memperkerjakan seorang sopir yang siap dipanggil kapan saja dengan mobilnya. Tak berapa lama kemudian meluncurlah mobil itu meninggalkan rumah menuju ke kampus.



oOo ​



Kenji menyerahkan sebuah tas berisi uang kepada seorang wanita yang sedang menangis di hadapan sesosok tubuh gempal yang sekarang kaku dengan ditutup kain kafan. Dia adalah Bagong yang tewas secara misterius. Polisi masih menyelidiki siapa pelaku dari penyerangan itu. Kenji membungkukkan badannya.

"Saya mewakili Arczre mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Bagong," kata Kenji.

"Terima kasih kepada Pak Arci, sampaikan terima kasih saya," kata sang istri.

"Pasti akan saya sampaikan. Dan Pak Arci berjanji akan menangkap pelakunya," kata Kenji.

Setelah itu Kenji undur diri bersama beberapa orang yang mengawalnya. Tampak kerumunan orang sedang bersiap untuk mengurus jenazah itu agar segera dikebumikan. Kenji mengamati dari kejauhan sebuah mobil Mercedes Benz warna putih terparkir dan seorang pemuda bersandar di pintu dengan memakai kacamata hitam. Kenji menghampiri keponakannya yang sepertinya baru saja hadir.

"Kemana saja kamu?" tanya Kenji.

"Mengantar Tante Bianca, disuruh oleh Big Boss," jawab Ryuji.

"Ada yang ingin bermain api dengan kita. Kamu bisa menyelidikinya?" tanya Kenji.

"Siapa dia?" tanya Ryuji.

"Bagong, selama ini yang menjaga daerah Velodrome dan sekitarnya. Dia dibunuh dengan sadis oleh seseorang yang tidak dikenal. Kamu ada pandangan siapa yang membunuhnya?"

Ryuji berpikir sejenak. "Entahlah, Big Boss punya banyak musuh. Siapa saja bisa melakukannya."

"Big Boss mengatakan ini siaga satu. Kemungkinan akan ada lagi korban, dilihat dari kondisi Bagong, sepertinya pelaku punya dendam dengannya. Ryuji, kutugaskan kamu untuk menyelidikinya."

"Siap!"

Setelah itu Kenji menuju ke arah lain. Dia masuk ke mobil SUV berwarna hitam bersama dengan anak buahnya yang lain. Tak berapa lama kemudian mobil pun pergi meninggalkan Ryuji yang masih melihat kerumunan orang yang sekarang mengangkat keranda mayat. Ryuji kemudian masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Agaknya sedikit demi sedikit musuh-musuh Arci mulai memunculkan taringnya.

Ryuji mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Aku butuh bantuanmu," kata Ryuji.

"..."

"Ya, temui aku setelah ini."


Related Posts

0 Response to "I Love You Season 2 Episode 4"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel