The Dark Lantern Episode 7
Friday, June 1, 2018
Add Comment
Not My Day
NARASI MARIA
Hari ini UAS. Siap nggak siap kami sudah menemui tengah semester. Sebentar lagi liburan Natal dan Tahun Baru. Mungkin sudah banyak rencana untuk natalan nanti. Aku? Entahlah. Yang jelas aku sudah berusaha sekuat tenaga UAS ini. Kami semua di dalam ruangan benar-benar stress, konsentrasi mengerjakan soal-soal. Tapi tidak dengan Ray. Dia tenang sekali dan mengerjakan seolah-olah soal itu tak ada apa-apanya. Tapi maklum sih, dia selalu juara satu. Dasar nerd.
Aku benci kalau ada orang yang lebih hebat dari aku. Baru juga setengah jam mengerjakan soal dan Ray sudah mengumpulkannya ke depan kelas. Itu bener semua nggak? Setelah Ray keluar kelas guru penjaga melihat hasil pekerjaannya. Dia menegakkan alis. Gimana? Bener semua? Sang guru pun tersenyum.
"Siapa anak tadi? Ray ya?" katanya.
"Iya bu, kenapa?" tanyaku.
"Pekerjaannya perfect, makanya kalian yang rajin belajar biar bisa seperti dia," jelasnya.
HAAAAHHH!??? Sintiiiiiinngg! Dasar si Ray, pake cari muka segala di hadapan guru pengawas. Aku nggak boleh kalah, nggak boleh kalah. AARRRGGHHH!
Dan akhirnya setelah bergelut dengan soal matematika di dalam kelas, aku pun keluar dengan tampang kuyu. Rambutku berantakan. Mukaku kusut seperti rambutku. Dan aku melihat Ray malah asyik membaca novel di tempat duduk yang ada di sepanjang luar kelas. Dia membalik satu per satu halaman novel itu, sialan, sok menikmati dia. Nggak lihat apa kita teman sekelasnya berjuang mati-matian di dalam tadi.
Aku lihat Andre baru keluar kelas.
"Anjiirr...susah banget sih?" keluh Andre.
"Iya say, susah banget," kataku.
"Terutama nomor terakhir tuh, lupa rumusnya," katanya.
"Tapi tenang aja, habis ini kan bahasa Indonesia, jadi nggak perlu mikir seperti Mat," kataku.
"Iya, bener juga," katanya.
Tapi aku masih takjub kepada Ray. Walaupun dia anak yatim piatu tapi otaknya encer banget. Aku kagum kepadanya. Dan setelah istirahat kami masuk lagi untuk mengerjakan soal bahasa Indonesia. Nggak perlu ditanyalah, apakah soalnya sulit atau nggak, emang bahasa kita ya harus bisa dong. Paling tidak ini refreshing setelah pelajaran matematika tadi. Dan....lagi-lagi Ray keluar duluan! Gila ini anak!
Dia melintasi tempatku duduk sambil bilang, "Tenang aja, ngerjain itu rileks, biar mudah dikerjakan."
Iya, rileks di elu, nggak di gue. Aku pun hanya menggerutu dalam hati. Akhirnya ya emang aku harus rileks, kunikmati setiap soal dan akhirnya aku kerjakan semuanya hingga selesai. Setelah itu aku rasanya bebaaaaasss banget. Huh, entahla nanti nilainya UAS dapat berapa.
Andre pun keluar.
"Gimana?" tanyaku.
"Lumayanlah daripada tadi mikirin Mat, yang ini lebih enteng," katanya.
"Ndre, bareng yah pulangnya," kataku.
"Jaaah...nggak bisa Mar, aku ada janji sama nyokap," kata Andre.
"Yaelaaaaaahhh....ya udahlah, jalan kaki lagi," kataku.
"Jangan marah dong, kan ini janjian sama nyokap. Besok-besok deh. Kamu kan tahu sendiri aku harus bantu nyokap jualan," kata Andre. Iya juga sih, keluarganya buka rumah makan bakso. Aku pernah ditraktir dia di tempat orang tuanya jualan. Menurutku baksonya enak koq. Aku malah sampai nambah. Atau gara-gara karena aku ditraktir ya? hehehe.
"Iya udah," kataku.
"Nah, gitu. Aku pulang dulu yah," katanya.
"OK, sampai besok sayang," kataku.
"Sampai besok!" katanya.
Yah, pulang jalan kaki naik monorail lagi deh. Tapi nggak apa-apalah. Udah terbiasa koq. Jalan kaki bersama teman-teman naik monorail. Yah, apa yang nggak enak coba? Bisa bercanda ama temen-temen. Tapi hari ini sedikit beda. Karena aku sendirian! Heran juga sih, mana temen-temen? Oh mungkin karena yang lainnya masih UAS.
Terpaksa deh, aku sendirian. Entah kenapa hari itu aku melewati rute berbeda dengan biasanya. Aku melewati gang kampung hingga sampai ke sebuah gang yang memisahkan antara dua gedung. Tapi di situlah aku melihat sesuatu yang tidak biasa. Seperti air es gitu, dingin. Dan di tengah jalan aku lihat beberapa balok es. Siapa sih naroh balok es di gang sempit kaya' gini? Mana baloknya gedhe-gedhe pula.
Aku coba pegang satu. Eh dingin. Hmm...sebentar, sepertinya balok ini ada isinya deh, soalnya ada bayangan di dalamnya. Apa itu? Koq gerak-gerak?
"Kyaaaaaa!" aku menjerit ketika aku sadari di dalam balok es itu ada mata yang berkedip. Mana banyak banget balok-balok es itu. Aku berlari sekencang-kencangnya hingga keluar gang. Nafasku ngos-ngosan. Gila, apa itu tadi? Mana nggak ada orang lagi. Segera aku berlari menuju pemberhentian monorail yang tak jauh dari tempat itu.
Nafasku masih ngos-ngosan ketika aku sudah sampai di sana dan membeli tiket. Aku menarik nafas panjang.
"Kenapa mbak? Kaya' dikejar hantu," kata mbak-mbak penjual tiket.
Aku cuma nyengir. Nggak mungkin dong aku ceritain ke mereka. Aku aja ketakutan tadi. Aku mencoba menelan ludah, tapi sulitnya setengah mati. Keringatku keluar banyak, entah mereka melihatku seperti apa sekarang ini. Aku kacau. Habis UAS yang sulit, trus nggak dianter Andre, pulang ketemu hal yang aneh gini. Makin stress aja aku perasaan.
Aku harus tenang, aku harus tenang, aku harus tenang. Aku terus membisikkan itu ke dalam hatiku. Harus tenang, harus tenang.
"Kamu tak apa-apa?" tanya seseorang. Aku kaget dan melihat Ray sudah ada di sampingku. Sejak kapan?
"Ray! Ray! Syukurlah, syukurlah! Ray tadi aku melihat, melihat.....melihat...," aku memegangi tangan Ray.
"Apaan sih?"
"I..itu di gang tadi aku melihat ada orang yang berada di dalam balok es. Orangnya mengedipkan mata ke aku," kataku sambil gemetar.
"Mana ada?" tanyanya.
"Ayo deh lihat, ayo!" aku menggeret Ray. Ray nurut saja aku geret. Kami berlari sampai ke tempat gang di mana aku tadi menemukan orang-orang di dalam balok es itu. Eh, di mana mereka? Gang itu sepi, nggak ada orang.
"Mana?" tanya Ray.
"Tadi di sini, ada sekitar lima balok es gedhe gitu," kataku ngotot.
"Sudah, kamu habis UAS, mungkin kamu capek. Pulang aja sana. Aku anter?" dia menawarkan diri. Dia lalu memegang tanganku.
"I..iya deh, m..mm..makasih," kataku. Tangannya dingin tapi entah kenapa hawa dingin tangan itu menusuk langsung ke hatiku. Cessss.....Aku melirik ke wajahnya. Wajahnya masih saja dingin, sok cool, sok keren, nggak noleh ke aku sama sekali. Entah kenapa di dalam dadaku ada perasaan aneh yang sukar aku ungkapkan.
Akhirnya aku pun di antarnya pulang hari itu. Aku berkali-kali bilang kalau apa yang aku lihat itu beneran kepada Ray. Ray hanya bilang, "Aku percaya kepadamu." Tapi itu sama sekali tak meyakinkan aku. Dia hanya ingin agar aku tenang. Oh, Andre di mana kamu? Kenapa yang menolongku malah Ray? Entah reflek atau gimana di dalam monorail, aku bersandar ke bahunya Ray. Saat itu aku hanya ingin mencari rasa aman dan nyaman. Dan itu semua aku dapatkan pada diri Ray. Si anak yang sok cool, dingin yang jarang sekali menyapaku.
Sampai tak terasa monorail sudah sampai tujuan.
"Sudah sampai tuh, aku antar sampai rumah ya," katanya. Aku langsung gelagapan duduk tegap. Nafasku sudah teratur dan aku mulai berjalan beriringan dengan Ray. Tapi...itu...itu...tangannya malah menggenggam tanganku. Aduuuuhh....gimana nih. Masa' aku bilang lepasin gitu? Tapi jujur antara ingin nolak atau ingin terusan seperti ini, aku lebih suka terusan gandengan seperti ini.
Kami berjalan beriringan hingga sampai di depan rumahku.
"Nah, sudah sampai," kata Ray. "Nggak usah dipikirkan kejadian tadi. Anggap saja itu cuma halusinasi. Habis ini mandi, bersih-bersih, segarkan pikiran dengan ngeteh gitu. Soalnya besok masih UAS. Gimana tadi UASnya?"
"Kacau, aku nggak nyangka soalnya sesulit itu tadi," gerutuku.
"Makanya belajar nggak pacaran melulu," sindirnya.
"Ihh...biarin suka-suka aku," kataku. Dan aku masih belum melepaskan tanganku dari tangannya. Tidak, sekarang malah aku yang menggenggam erat tangannya. Eh, sejak kapan? Aku buru-buru melepaskannya. Kulihat pagar rumahku. Lalu ku menoleh ke arahnya.
"Thanks ya," kataku.
"Sama-sama, kalau kamu butuh sesuatu misalnya pelajaran tertentu, aku bisa menolongmu," kata Ray.
Hmm...dia pedekate nih, pasti. Sinyal-sinyal cowok suka ama cewek ya seperti ini. Tapi koq aku nggak teganya bilang tidak. Ray tersenyum. Dia berbalik.
"Sampai besok," katanya.
"Ray tunggu!" kenapa aku manggil dia? Kenapa coba? Udah deh, aku udah punya cowok. Tapi.....aku nggak bisa. Entah kenapa dadaku sekarang sesak. Sesaaaak sekali, kenapa aku tak ingin dia pergi? Kenapa dadaku berdebar-debar. Kenapa telingaku tak bisa mendengar? Kenapa di mataku hanya fokus kepada Ray sekarang? Dia menoleh ke arahku. Lalu berbalik.
"Ya, ada apa?" tanyaku.
Aku melangkah mendekati dirinya, "Kamu bisa temani aku sampai ayah dan ibuku pulang? Aku masih takut."
"Ke mana mereka?" tanyanya.
"Ayah masih pergi untuk urusan klien, ibu sedang berada di butik. Justin belum pulang, mungkin langsung main dia. Jadi aku sendirian....Andre juga sedang bantu orang tuanya....kalau kamu tak keberatan....kamu ada acara nggak? Kalau ada acara ya nggak apa-apa sih aku ...." suaraku makin merendah hingga hampir tak terdengar.
"OK, aku akan temani kamu sampai orang tuamu pulang," katanya.
Akhirnya aku menyuruh Ray masuk ke rumah. Dia sangat sopan. Bahkan tak banyak bergerak dari kursi sofa di ruang tamu. Yah, kalau toh ini bukan hariku setidaknya ini pertama kalinya Ray aku ajak ke rumahku.
NARASI RAY
Aku ada di rumah Maria. Dia sangat shock terhadap apa yang terjadi tadi. Sebenarnya kejadiannya seperti ini. Aku pulang dari sekolah. Aku memang pulang duluan. Karena aku sudah selesai lebih dulu daripada yang lainnya. Sebenarnya pula aku baru saja membeli dua buah buku yang sudah mengantri untuk aku baca. Dan rasanya ini waktu yang tepat. Besok pelajaran Fisika dan Bahasa Inggris, nggak buruk sih. Mereka berdua adalah mata pelajaran yang paling aku suka. Dengan fisika aku mempelajari banyak hal dengan kekuatanku. Maka dari itulah aku bisa membentuk banyak macam wujud dari es dan salju.
Hari itu aku berjalan seperti biasa, menuju ke tempat pemberhentian monorail. Dan ini bukan hariku ternyata. Ketika aku melewati gang aku sudah dikepung oleh lima orang.
"Siapa kalian?" tanyaku.
"Kami orang yang menghukum mereka yang membawa kekuatan iblis," kata salah seorang di antara mereka.
Dark Lantern?!
"Kami mendapati laporan para preman yang disentuh oleh kekuatanmu. Maka kami pun melacak dan mengetahui bahwa engkau orangnya. Maaf, tapi kami tak bisa mengampuni siapapun," kata orang itu.
Aku mengeluarkan kedua tanganku dari dalam saku celana. Mereka tampaknya serius ingin menyerangku. Kulihat mereka semua membawa tongkat. Sepertinya tongkat itu dialiri aliran listrik. Sama yang aku lihat seperti yang dibawa oleh para polisi untuk melumpuhkan lawan mereka. Apa mereka polisi?
"Kalian polisi?" tanyaku.
"Kami divisi khusus untuk melumpuhkan orang-orang sepertimu.....," belum sempat ia bicara aku sudah membekukan dia dan semua rekan-rekannya dengan gerakan berputar. Aku lalu menyentuh mereka semua dan seluruh udara berkumpul mengurung mereka semua menjadi sebuah balok es.
"Maaf, tapi aku tak tertarik untuk kalah oleh orang-orang seperti kalian," kataku.
Saat itulah aku menoleh ke ujung gang kulihat Maria ada di sana. Aku segera berlari dan bersembunyi. Dia keheranan melihat air yang mengalir dari balok es itu, lalu mencolok-colok balok-balok es dan mengamatinya. Ia kemudian menjerit dan berlari. Aku mengikutinya dari jauh. Ia segera menuju ke pemberhentian monorail dan kami bertemu di sana.
Sebelum mengejarnya aku harus membereskan mereka semua. Karena mereka sudah melihatku dan melihat Maria. Aku tak ingin gadis itu disakiti, yang aku lakukan adalah aku uapkan mereka. Aku bekukan mereka hingga mencapai titik nol yang sangat dingin. Setelah itu dengan bantuan panas matahari dan kemampuanku mengendalikan air mereka pun menguap. Aku gunakan kekuatanku untuk menghilangkan jejak seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Potongan-potongan tubuh mereka yang berupa serpihan-serpihan kecil aku arahkan ke sebuah got pembuangan.
Aku pun kemudian berdo'a, "Maafkan aku, maafkan aku tuhan. Semoga dosaku dan dosa mereka engkau ampuni."
****
Hari ini UAS. Siap nggak siap kami sudah menemui tengah semester. Sebentar lagi liburan Natal dan Tahun Baru. Mungkin sudah banyak rencana untuk natalan nanti. Aku? Entahlah. Yang jelas aku sudah berusaha sekuat tenaga UAS ini. Kami semua di dalam ruangan benar-benar stress, konsentrasi mengerjakan soal-soal. Tapi tidak dengan Ray. Dia tenang sekali dan mengerjakan seolah-olah soal itu tak ada apa-apanya. Tapi maklum sih, dia selalu juara satu. Dasar nerd.
Aku benci kalau ada orang yang lebih hebat dari aku. Baru juga setengah jam mengerjakan soal dan Ray sudah mengumpulkannya ke depan kelas. Itu bener semua nggak? Setelah Ray keluar kelas guru penjaga melihat hasil pekerjaannya. Dia menegakkan alis. Gimana? Bener semua? Sang guru pun tersenyum.
"Siapa anak tadi? Ray ya?" katanya.
"Iya bu, kenapa?" tanyaku.
"Pekerjaannya perfect, makanya kalian yang rajin belajar biar bisa seperti dia," jelasnya.
HAAAAHHH!??? Sintiiiiiinngg! Dasar si Ray, pake cari muka segala di hadapan guru pengawas. Aku nggak boleh kalah, nggak boleh kalah. AARRRGGHHH!
Dan akhirnya setelah bergelut dengan soal matematika di dalam kelas, aku pun keluar dengan tampang kuyu. Rambutku berantakan. Mukaku kusut seperti rambutku. Dan aku melihat Ray malah asyik membaca novel di tempat duduk yang ada di sepanjang luar kelas. Dia membalik satu per satu halaman novel itu, sialan, sok menikmati dia. Nggak lihat apa kita teman sekelasnya berjuang mati-matian di dalam tadi.
Aku lihat Andre baru keluar kelas.
"Anjiirr...susah banget sih?" keluh Andre.
"Iya say, susah banget," kataku.
"Terutama nomor terakhir tuh, lupa rumusnya," katanya.
"Tapi tenang aja, habis ini kan bahasa Indonesia, jadi nggak perlu mikir seperti Mat," kataku.
"Iya, bener juga," katanya.
Tapi aku masih takjub kepada Ray. Walaupun dia anak yatim piatu tapi otaknya encer banget. Aku kagum kepadanya. Dan setelah istirahat kami masuk lagi untuk mengerjakan soal bahasa Indonesia. Nggak perlu ditanyalah, apakah soalnya sulit atau nggak, emang bahasa kita ya harus bisa dong. Paling tidak ini refreshing setelah pelajaran matematika tadi. Dan....lagi-lagi Ray keluar duluan! Gila ini anak!
Dia melintasi tempatku duduk sambil bilang, "Tenang aja, ngerjain itu rileks, biar mudah dikerjakan."
Iya, rileks di elu, nggak di gue. Aku pun hanya menggerutu dalam hati. Akhirnya ya emang aku harus rileks, kunikmati setiap soal dan akhirnya aku kerjakan semuanya hingga selesai. Setelah itu aku rasanya bebaaaaasss banget. Huh, entahla nanti nilainya UAS dapat berapa.
Andre pun keluar.
"Gimana?" tanyaku.
"Lumayanlah daripada tadi mikirin Mat, yang ini lebih enteng," katanya.
"Ndre, bareng yah pulangnya," kataku.
"Jaaah...nggak bisa Mar, aku ada janji sama nyokap," kata Andre.
"Yaelaaaaaahhh....ya udahlah, jalan kaki lagi," kataku.
"Jangan marah dong, kan ini janjian sama nyokap. Besok-besok deh. Kamu kan tahu sendiri aku harus bantu nyokap jualan," kata Andre. Iya juga sih, keluarganya buka rumah makan bakso. Aku pernah ditraktir dia di tempat orang tuanya jualan. Menurutku baksonya enak koq. Aku malah sampai nambah. Atau gara-gara karena aku ditraktir ya? hehehe.
"Iya udah," kataku.
"Nah, gitu. Aku pulang dulu yah," katanya.
"OK, sampai besok sayang," kataku.
"Sampai besok!" katanya.
Yah, pulang jalan kaki naik monorail lagi deh. Tapi nggak apa-apalah. Udah terbiasa koq. Jalan kaki bersama teman-teman naik monorail. Yah, apa yang nggak enak coba? Bisa bercanda ama temen-temen. Tapi hari ini sedikit beda. Karena aku sendirian! Heran juga sih, mana temen-temen? Oh mungkin karena yang lainnya masih UAS.
Terpaksa deh, aku sendirian. Entah kenapa hari itu aku melewati rute berbeda dengan biasanya. Aku melewati gang kampung hingga sampai ke sebuah gang yang memisahkan antara dua gedung. Tapi di situlah aku melihat sesuatu yang tidak biasa. Seperti air es gitu, dingin. Dan di tengah jalan aku lihat beberapa balok es. Siapa sih naroh balok es di gang sempit kaya' gini? Mana baloknya gedhe-gedhe pula.
Aku coba pegang satu. Eh dingin. Hmm...sebentar, sepertinya balok ini ada isinya deh, soalnya ada bayangan di dalamnya. Apa itu? Koq gerak-gerak?
"Kyaaaaaa!" aku menjerit ketika aku sadari di dalam balok es itu ada mata yang berkedip. Mana banyak banget balok-balok es itu. Aku berlari sekencang-kencangnya hingga keluar gang. Nafasku ngos-ngosan. Gila, apa itu tadi? Mana nggak ada orang lagi. Segera aku berlari menuju pemberhentian monorail yang tak jauh dari tempat itu.
Nafasku masih ngos-ngosan ketika aku sudah sampai di sana dan membeli tiket. Aku menarik nafas panjang.
"Kenapa mbak? Kaya' dikejar hantu," kata mbak-mbak penjual tiket.
Aku cuma nyengir. Nggak mungkin dong aku ceritain ke mereka. Aku aja ketakutan tadi. Aku mencoba menelan ludah, tapi sulitnya setengah mati. Keringatku keluar banyak, entah mereka melihatku seperti apa sekarang ini. Aku kacau. Habis UAS yang sulit, trus nggak dianter Andre, pulang ketemu hal yang aneh gini. Makin stress aja aku perasaan.
Aku harus tenang, aku harus tenang, aku harus tenang. Aku terus membisikkan itu ke dalam hatiku. Harus tenang, harus tenang.
"Kamu tak apa-apa?" tanya seseorang. Aku kaget dan melihat Ray sudah ada di sampingku. Sejak kapan?
"Ray! Ray! Syukurlah, syukurlah! Ray tadi aku melihat, melihat.....melihat...," aku memegangi tangan Ray.
"Apaan sih?"
"I..itu di gang tadi aku melihat ada orang yang berada di dalam balok es. Orangnya mengedipkan mata ke aku," kataku sambil gemetar.
"Mana ada?" tanyanya.
"Ayo deh lihat, ayo!" aku menggeret Ray. Ray nurut saja aku geret. Kami berlari sampai ke tempat gang di mana aku tadi menemukan orang-orang di dalam balok es itu. Eh, di mana mereka? Gang itu sepi, nggak ada orang.
"Mana?" tanya Ray.
"Tadi di sini, ada sekitar lima balok es gedhe gitu," kataku ngotot.
"Sudah, kamu habis UAS, mungkin kamu capek. Pulang aja sana. Aku anter?" dia menawarkan diri. Dia lalu memegang tanganku.
"I..iya deh, m..mm..makasih," kataku. Tangannya dingin tapi entah kenapa hawa dingin tangan itu menusuk langsung ke hatiku. Cessss.....Aku melirik ke wajahnya. Wajahnya masih saja dingin, sok cool, sok keren, nggak noleh ke aku sama sekali. Entah kenapa di dalam dadaku ada perasaan aneh yang sukar aku ungkapkan.
Akhirnya aku pun di antarnya pulang hari itu. Aku berkali-kali bilang kalau apa yang aku lihat itu beneran kepada Ray. Ray hanya bilang, "Aku percaya kepadamu." Tapi itu sama sekali tak meyakinkan aku. Dia hanya ingin agar aku tenang. Oh, Andre di mana kamu? Kenapa yang menolongku malah Ray? Entah reflek atau gimana di dalam monorail, aku bersandar ke bahunya Ray. Saat itu aku hanya ingin mencari rasa aman dan nyaman. Dan itu semua aku dapatkan pada diri Ray. Si anak yang sok cool, dingin yang jarang sekali menyapaku.
Sampai tak terasa monorail sudah sampai tujuan.
"Sudah sampai tuh, aku antar sampai rumah ya," katanya. Aku langsung gelagapan duduk tegap. Nafasku sudah teratur dan aku mulai berjalan beriringan dengan Ray. Tapi...itu...itu...tangannya malah menggenggam tanganku. Aduuuuhh....gimana nih. Masa' aku bilang lepasin gitu? Tapi jujur antara ingin nolak atau ingin terusan seperti ini, aku lebih suka terusan gandengan seperti ini.
Kami berjalan beriringan hingga sampai di depan rumahku.
"Nah, sudah sampai," kata Ray. "Nggak usah dipikirkan kejadian tadi. Anggap saja itu cuma halusinasi. Habis ini mandi, bersih-bersih, segarkan pikiran dengan ngeteh gitu. Soalnya besok masih UAS. Gimana tadi UASnya?"
"Kacau, aku nggak nyangka soalnya sesulit itu tadi," gerutuku.
"Makanya belajar nggak pacaran melulu," sindirnya.
"Ihh...biarin suka-suka aku," kataku. Dan aku masih belum melepaskan tanganku dari tangannya. Tidak, sekarang malah aku yang menggenggam erat tangannya. Eh, sejak kapan? Aku buru-buru melepaskannya. Kulihat pagar rumahku. Lalu ku menoleh ke arahnya.
"Thanks ya," kataku.
"Sama-sama, kalau kamu butuh sesuatu misalnya pelajaran tertentu, aku bisa menolongmu," kata Ray.
Hmm...dia pedekate nih, pasti. Sinyal-sinyal cowok suka ama cewek ya seperti ini. Tapi koq aku nggak teganya bilang tidak. Ray tersenyum. Dia berbalik.
"Sampai besok," katanya.
"Ray tunggu!" kenapa aku manggil dia? Kenapa coba? Udah deh, aku udah punya cowok. Tapi.....aku nggak bisa. Entah kenapa dadaku sekarang sesak. Sesaaaak sekali, kenapa aku tak ingin dia pergi? Kenapa dadaku berdebar-debar. Kenapa telingaku tak bisa mendengar? Kenapa di mataku hanya fokus kepada Ray sekarang? Dia menoleh ke arahku. Lalu berbalik.
"Ya, ada apa?" tanyaku.
Aku melangkah mendekati dirinya, "Kamu bisa temani aku sampai ayah dan ibuku pulang? Aku masih takut."
"Ke mana mereka?" tanyanya.
"Ayah masih pergi untuk urusan klien, ibu sedang berada di butik. Justin belum pulang, mungkin langsung main dia. Jadi aku sendirian....Andre juga sedang bantu orang tuanya....kalau kamu tak keberatan....kamu ada acara nggak? Kalau ada acara ya nggak apa-apa sih aku ...." suaraku makin merendah hingga hampir tak terdengar.
"OK, aku akan temani kamu sampai orang tuamu pulang," katanya.
Akhirnya aku menyuruh Ray masuk ke rumah. Dia sangat sopan. Bahkan tak banyak bergerak dari kursi sofa di ruang tamu. Yah, kalau toh ini bukan hariku setidaknya ini pertama kalinya Ray aku ajak ke rumahku.
NARASI RAY
Aku ada di rumah Maria. Dia sangat shock terhadap apa yang terjadi tadi. Sebenarnya kejadiannya seperti ini. Aku pulang dari sekolah. Aku memang pulang duluan. Karena aku sudah selesai lebih dulu daripada yang lainnya. Sebenarnya pula aku baru saja membeli dua buah buku yang sudah mengantri untuk aku baca. Dan rasanya ini waktu yang tepat. Besok pelajaran Fisika dan Bahasa Inggris, nggak buruk sih. Mereka berdua adalah mata pelajaran yang paling aku suka. Dengan fisika aku mempelajari banyak hal dengan kekuatanku. Maka dari itulah aku bisa membentuk banyak macam wujud dari es dan salju.
Hari itu aku berjalan seperti biasa, menuju ke tempat pemberhentian monorail. Dan ini bukan hariku ternyata. Ketika aku melewati gang aku sudah dikepung oleh lima orang.
"Siapa kalian?" tanyaku.
"Kami orang yang menghukum mereka yang membawa kekuatan iblis," kata salah seorang di antara mereka.
Dark Lantern?!
"Kami mendapati laporan para preman yang disentuh oleh kekuatanmu. Maka kami pun melacak dan mengetahui bahwa engkau orangnya. Maaf, tapi kami tak bisa mengampuni siapapun," kata orang itu.
Aku mengeluarkan kedua tanganku dari dalam saku celana. Mereka tampaknya serius ingin menyerangku. Kulihat mereka semua membawa tongkat. Sepertinya tongkat itu dialiri aliran listrik. Sama yang aku lihat seperti yang dibawa oleh para polisi untuk melumpuhkan lawan mereka. Apa mereka polisi?
"Kalian polisi?" tanyaku.
"Kami divisi khusus untuk melumpuhkan orang-orang sepertimu.....," belum sempat ia bicara aku sudah membekukan dia dan semua rekan-rekannya dengan gerakan berputar. Aku lalu menyentuh mereka semua dan seluruh udara berkumpul mengurung mereka semua menjadi sebuah balok es.
"Maaf, tapi aku tak tertarik untuk kalah oleh orang-orang seperti kalian," kataku.
Saat itulah aku menoleh ke ujung gang kulihat Maria ada di sana. Aku segera berlari dan bersembunyi. Dia keheranan melihat air yang mengalir dari balok es itu, lalu mencolok-colok balok-balok es dan mengamatinya. Ia kemudian menjerit dan berlari. Aku mengikutinya dari jauh. Ia segera menuju ke pemberhentian monorail dan kami bertemu di sana.
Sebelum mengejarnya aku harus membereskan mereka semua. Karena mereka sudah melihatku dan melihat Maria. Aku tak ingin gadis itu disakiti, yang aku lakukan adalah aku uapkan mereka. Aku bekukan mereka hingga mencapai titik nol yang sangat dingin. Setelah itu dengan bantuan panas matahari dan kemampuanku mengendalikan air mereka pun menguap. Aku gunakan kekuatanku untuk menghilangkan jejak seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Potongan-potongan tubuh mereka yang berupa serpihan-serpihan kecil aku arahkan ke sebuah got pembuangan.
Aku pun kemudian berdo'a, "Maafkan aku, maafkan aku tuhan. Semoga dosaku dan dosa mereka engkau ampuni."
****
Please Dont' Go
NARASI MARIA
Ayah menelponku.
"Maria, aku pulang agak malam. Ibu nanti aku jemput. Justin sudah pulang?" tanyanya.
"Sudah barusan," jawabku.
"OK, sampai nanti," kata ayah.
"Daaahh..!" kataku.
Justin baru saja datang. Tapi begitu masuk kamar ia sudah mau keluar lagi.
"Lho, mau ke mana?" tanyaku.
"Aku mau ke rumah teman kak, mau belajar bareng. Besok UASnya mata pelajarannya sulit," jawabnya.
"Yaaah...kakak sendirian dong," kataku.
"Lha? Kan ada pacar kakak itu," katanya.
Aku getok kepalanya. "Seenaknya saja, bukan pacar tauk!"
"Aduh!" dia memegangi kepalanya. "Sakit nih!"
"Ya udah, beliin kakak nasi goreng yah, ayah sama ibu pulangnya malem. Nih duit!" aku kasih dia uang.
"Kembaliannya buatku ya," kata Justin sambil tersenyum jahat.
"Ya sudah sana, cepetan pulang!" kataku.
"Iya, iya, rese' amat," Justin membenarkan ranselnya dan mengambil mantel hujan lalu memakainya hingga ranselnya tertutupi oleh mantel hujan itu.
"Emang hujan di luar?" tanyaku.
"Iya noh hujan," Justin menunjuk ke jendela. Buseet, hampir tiap hari hujan. Tapi untunglah di tempat ini jarang banget terjadi banjir walaupun sering hujan. Justin kemudian keluar dan naik sepedanya lagi.
Aku kembali melihat ke arah Ray. Dia duduk tenang di sana seolah tak terjadi apa-apa sambil baca novel yang ia bawa tadi. Dasar anak ini. Tapi, aneh juga sih, ngapain dia aku suruh nemenin aku ya? Duh, aku galau sekarang. Aku hanya berdiri melihat dia saja. Tak berani mendekat, juga tak berani beranjak. Kenapa aku berdebar-debar? Kenapa? Kami di rumah sendirian. Kalau ada Andre dia pasti sudah mendekap aku, dan menciumiku bahkan sampai petting segala.
Tak terasa aku sudah cukup lama berdiri.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Ray.
"Eh...enggak,..nggak apa-apa," jawabku.
"Koq nggak duduk? Aku sudah baca satu bab sampai selesai dari mulai ketika adikmu pergi sampai sekarang kamu masih berdiri. Nggak capek di situ teru?" tanya Ray.
"Ha..habis, kamu kaya'nya enak banget bacanya," kataku. Duh mukaku memerah.
"Yah, akukan ngira kamu masih sibuk sampai berdiri terus di situ," katanya. "Inikan rumahmu koq aku yang nyuruh kamu duduk sih?"
"Eh,,..iya..hihihi," aku lalu duduk di sofa. "Kamu mau minum apa?"
"Nah, setelah setengah jam lamanya akhirnya ditawarin juga," kata Ray.
"Iya, iya maaf, aku masih shock, jangan ketawain dong," kataku. Aku malu banget.
"Terserah deh, air putih boleh, teh boleh, asal bukan air cucian atau comberan aja," kata Ray mulai bergurau.
"Hihihi...ya deh iya," aku kemudian menuju ke dapur. Kuambilkan gelas dan aku beri satu sachet tes instant kemudian kutuangkan air panas dari dispenser ke gelas, lalu aku tambah air dingin sedikit. Setelah itu aku aduk. Jadilah teh anget, cepet kan? Sekarang semuanya serba praktis. Uap tehnya pun mengepul.
Aku kemudian mengambil nampan dan aku antarkan teh itu ke Ray. Dia sudah nggak membaca novel lagi. "Silakan!"
Ray mengembil gelas itu. Ia ciumi aroma tehnya.
"Teh instan ya?" katanya.
"Koq tahu?"
"Dari aromanya beda, gulanya lebih berasa di hidung karena memakai gula dan pemanis buatan. Kalau diminum maka akan terasa di lidah. Lidah akan mengeluarkan ludah berlebih. Kalau orang yang punya tenggorokan sensitif akan terkena batuk."
"Sok tahu banget kamu."
"Ini namanya ilmu, bukan sok, sok'an."
"Iya deh, iya, dasar kutu buku."
Kulihat Ray mulai meminumnya sedikit-demi-sedikit.
"Kamu tadi nyuruh adikmu beliin makan ya? Kenapa nggak masak sendiri?" tanyanya.
"Aku nggak bisa masak," jawabku.
"Ah, bercanda. Anak cewek biasanya bisa masak."
"Beneran suer."
"Mau aku ajarin?"
"Emang bisa?"
"Di panti, aku diajari untuk mandiri. Kalau cuma masak sih aku sudah bisa sejak masih SD."
Aku melongo saja mendengar penjelasannya. Karena penasaran, akhirnya, "Coba deh, kamu bisa masak apa. Tuh, sayuran-sayurannya ada di dapur, semuanya ada di kulkas. Coba aku ingin tahu kamu bisa masak apa."
Ray kemudian melepaskan jaketnya. "Siapa takut."
Surprise. Aku tak pernah tahu bahwa cowok ini bisa memasak. Entah dia masak apa yang jelas dia terampil banget motong sayuran. Motong wortel, semua cara memotongnya profesional banget. Aku jadi malu sebagai seorang wanita yang nggak bisa memasak. Dia potong tomat, ambil tepung kanji, ambil garam, ambil gula, akhirnya dapur pun mengepul. Dia masak cap chay sih, tapi dari baunya hhhmmm...bikin perut keroncongan.
Daaann....nggak lama kemudian tersajilah cap chay buatan Ray. Gilaaaakk....beneran ini cowok bisa masak. Kami saat itu berdiri berhadapan di meja dapur. Ray memberikanku garpu, aku kemudian mencicipinya. HHmmmmmm........ ini sih masakan restoran.
"Gila kamu, bisa masak juga rupanya. Aku jadi iriiii," kataku.
Ray lalu mengambil garpu dan mencicipi masakannya sendiri. Aduh, alamaaak... entah kenapa aku sekarang ini melihat Ray adalah sesosok pria tampan yang menjadi penyelamatku. Tapi...hiks, koq ya aku sudah punya cowok sih?? Kenapa nggak dia aja. Huhuhuhu.... Andai aku bisa memilih, aku kepingin dia yang jadi cowokku. Bukannya si Andre. Udah ah, hilangkan pikiran berharap itu.
Memang Ray orangnya sangat menarik. Tapi aku harus sadar diri dong. Nggak mungkin aku mengkhianati Andre. Dan Ray, kalau kamu suka ama aku maaf ya, aku tak bisa. Tapi apa dia suka ama aku? Jangan merasa Ge-er dulu laaah.
Tangan Ray melambai-lambai di depan wajahku. Ngapain sih, orang pikiran sedang menerawang koq. Lho.....
"Hoi, koq malah ngelamun. Udah di makan sana," kata Ray.
"Eh...i...iya," kataku sambil mengumpat dalam hati. Ngapain ngelamun coba?
Kami akhirnya makan masakan yang dibuat oleh Ray sang koki terkenal hahahaha. Pada saat makan itu pun kami mulai banyak bicara. Meja makan di dapur itu menjadi saksi bahwa aku dan Ray banyak ngobrol sore itu. Ia bercerita tentang pengalamannya ketika ada di panti. Tentang bagaimana ibu asuh memperlakukan dia. Tentang anak-anak panti lainnya yang sangat baik. Sebenarnya ia punya keinginan untuk bisa tinggal sendiri tapi ibu kepala melarangnya karena tenaga Ray masih dibutuhkan.
Setelah perut kenyang dan banyak obrolan yang mengalir, kami lanjutkan dengan belajar. Karena besok pelajaran Fisika. Gila deh si Ray ini. Dia mampu mengajariku seperti seorang guru. Aku sedikit terbantu dengan dia ada di sini. Mungkin karena dia kutu buku kali ya? Dia pintar banget ngajari aku tentang Fisika, gravitasi, gaya, katrol. Dia emang the best. Emang sih, pelajaran yang paling disukainya. Untuk bahasa Inggris sih nggak masalah.
Dan tepat pukul delapan malam adikku datang membawa nasi goreng pesenanku.
"Ini kak!" katanya sambil membawa bungkusan nasi goreng.
"Waduh, kakak udah kenyang. Buat kamu aja deh," kataku.
"Lha, aku beli dua ini, satu buat kakak, satu buatku," kata Justin.
"Udah buat kamu aja, tuh di dapur masih ada cap chay buatan Kak Ray," kataku.
Justin beringsut pergi ke dapur. Kemudian dia berseru. "Kaaaaak, aku makan yaaaa?"
"Iya habisin aja, emang buat kamu koq," kataku.
Aku tertawa.
"Makasih ya Ray," kataku.
"Ya, sama-sama," katanya. "Kalau begitu aku pulang yah, adikmu udah di rumah."
Entah kenapa rasanya berat banget melepas Ray pergi. Aku hanya bisa mengantarnya keluar. Ray, please jangan pergi. Please! Please!
Terdengar suara ringtone. Rupanya ponsel milik Ray, ia pun mengangkatnya, "Oh, ibu. Iya, iya. Saya pulang. Ini dari rumah temen belajar. Iya, segera."
Ray menutup teleponnya. "Maaf ya, aku harus kembali. Dicari ibu asuh. Malam Maria."
"Malam Ray," kataku.
Kenapa? Kenapa ketika aku sudah dapat pasangan aku malah merasa dia adalah jodohku? Kenapa? Ray, jangan pergi! Kumohon! Aku sekarang mengakui, aku mulai suka ama Ray. Aku suka ama dia. Tapi kenapa? Kenapa harus di saat aku sudah bersama Andre. Sosok Ray pun menghilang. Aku meneteskan air mataku lalu segera masuk ke dalam rumah.
NARASI MARIA
Ayah menelponku.
"Maria, aku pulang agak malam. Ibu nanti aku jemput. Justin sudah pulang?" tanyanya.
"Sudah barusan," jawabku.
"OK, sampai nanti," kata ayah.
"Daaahh..!" kataku.
Justin baru saja datang. Tapi begitu masuk kamar ia sudah mau keluar lagi.
"Lho, mau ke mana?" tanyaku.
"Aku mau ke rumah teman kak, mau belajar bareng. Besok UASnya mata pelajarannya sulit," jawabnya.
"Yaaah...kakak sendirian dong," kataku.
"Lha? Kan ada pacar kakak itu," katanya.
Aku getok kepalanya. "Seenaknya saja, bukan pacar tauk!"
"Aduh!" dia memegangi kepalanya. "Sakit nih!"
"Ya udah, beliin kakak nasi goreng yah, ayah sama ibu pulangnya malem. Nih duit!" aku kasih dia uang.
"Kembaliannya buatku ya," kata Justin sambil tersenyum jahat.
"Ya sudah sana, cepetan pulang!" kataku.
"Iya, iya, rese' amat," Justin membenarkan ranselnya dan mengambil mantel hujan lalu memakainya hingga ranselnya tertutupi oleh mantel hujan itu.
"Emang hujan di luar?" tanyaku.
"Iya noh hujan," Justin menunjuk ke jendela. Buseet, hampir tiap hari hujan. Tapi untunglah di tempat ini jarang banget terjadi banjir walaupun sering hujan. Justin kemudian keluar dan naik sepedanya lagi.
Aku kembali melihat ke arah Ray. Dia duduk tenang di sana seolah tak terjadi apa-apa sambil baca novel yang ia bawa tadi. Dasar anak ini. Tapi, aneh juga sih, ngapain dia aku suruh nemenin aku ya? Duh, aku galau sekarang. Aku hanya berdiri melihat dia saja. Tak berani mendekat, juga tak berani beranjak. Kenapa aku berdebar-debar? Kenapa? Kami di rumah sendirian. Kalau ada Andre dia pasti sudah mendekap aku, dan menciumiku bahkan sampai petting segala.
Tak terasa aku sudah cukup lama berdiri.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Ray.
"Eh...enggak,..nggak apa-apa," jawabku.
"Koq nggak duduk? Aku sudah baca satu bab sampai selesai dari mulai ketika adikmu pergi sampai sekarang kamu masih berdiri. Nggak capek di situ teru?" tanya Ray.
"Ha..habis, kamu kaya'nya enak banget bacanya," kataku. Duh mukaku memerah.
"Yah, akukan ngira kamu masih sibuk sampai berdiri terus di situ," katanya. "Inikan rumahmu koq aku yang nyuruh kamu duduk sih?"
"Eh,,..iya..hihihi," aku lalu duduk di sofa. "Kamu mau minum apa?"
"Nah, setelah setengah jam lamanya akhirnya ditawarin juga," kata Ray.
"Iya, iya maaf, aku masih shock, jangan ketawain dong," kataku. Aku malu banget.
"Terserah deh, air putih boleh, teh boleh, asal bukan air cucian atau comberan aja," kata Ray mulai bergurau.
"Hihihi...ya deh iya," aku kemudian menuju ke dapur. Kuambilkan gelas dan aku beri satu sachet tes instant kemudian kutuangkan air panas dari dispenser ke gelas, lalu aku tambah air dingin sedikit. Setelah itu aku aduk. Jadilah teh anget, cepet kan? Sekarang semuanya serba praktis. Uap tehnya pun mengepul.
Aku kemudian mengambil nampan dan aku antarkan teh itu ke Ray. Dia sudah nggak membaca novel lagi. "Silakan!"
Ray mengembil gelas itu. Ia ciumi aroma tehnya.
"Teh instan ya?" katanya.
"Koq tahu?"
"Dari aromanya beda, gulanya lebih berasa di hidung karena memakai gula dan pemanis buatan. Kalau diminum maka akan terasa di lidah. Lidah akan mengeluarkan ludah berlebih. Kalau orang yang punya tenggorokan sensitif akan terkena batuk."
"Sok tahu banget kamu."
"Ini namanya ilmu, bukan sok, sok'an."
"Iya deh, iya, dasar kutu buku."
Kulihat Ray mulai meminumnya sedikit-demi-sedikit.
"Kamu tadi nyuruh adikmu beliin makan ya? Kenapa nggak masak sendiri?" tanyanya.
"Aku nggak bisa masak," jawabku.
"Ah, bercanda. Anak cewek biasanya bisa masak."
"Beneran suer."
"Mau aku ajarin?"
"Emang bisa?"
"Di panti, aku diajari untuk mandiri. Kalau cuma masak sih aku sudah bisa sejak masih SD."
Aku melongo saja mendengar penjelasannya. Karena penasaran, akhirnya, "Coba deh, kamu bisa masak apa. Tuh, sayuran-sayurannya ada di dapur, semuanya ada di kulkas. Coba aku ingin tahu kamu bisa masak apa."
Ray kemudian melepaskan jaketnya. "Siapa takut."
Surprise. Aku tak pernah tahu bahwa cowok ini bisa memasak. Entah dia masak apa yang jelas dia terampil banget motong sayuran. Motong wortel, semua cara memotongnya profesional banget. Aku jadi malu sebagai seorang wanita yang nggak bisa memasak. Dia potong tomat, ambil tepung kanji, ambil garam, ambil gula, akhirnya dapur pun mengepul. Dia masak cap chay sih, tapi dari baunya hhhmmm...bikin perut keroncongan.
Daaann....nggak lama kemudian tersajilah cap chay buatan Ray. Gilaaaakk....beneran ini cowok bisa masak. Kami saat itu berdiri berhadapan di meja dapur. Ray memberikanku garpu, aku kemudian mencicipinya. HHmmmmmm........ ini sih masakan restoran.
"Gila kamu, bisa masak juga rupanya. Aku jadi iriiii," kataku.
Ray lalu mengambil garpu dan mencicipi masakannya sendiri. Aduh, alamaaak... entah kenapa aku sekarang ini melihat Ray adalah sesosok pria tampan yang menjadi penyelamatku. Tapi...hiks, koq ya aku sudah punya cowok sih?? Kenapa nggak dia aja. Huhuhuhu.... Andai aku bisa memilih, aku kepingin dia yang jadi cowokku. Bukannya si Andre. Udah ah, hilangkan pikiran berharap itu.
Memang Ray orangnya sangat menarik. Tapi aku harus sadar diri dong. Nggak mungkin aku mengkhianati Andre. Dan Ray, kalau kamu suka ama aku maaf ya, aku tak bisa. Tapi apa dia suka ama aku? Jangan merasa Ge-er dulu laaah.
Tangan Ray melambai-lambai di depan wajahku. Ngapain sih, orang pikiran sedang menerawang koq. Lho.....
"Hoi, koq malah ngelamun. Udah di makan sana," kata Ray.
"Eh...i...iya," kataku sambil mengumpat dalam hati. Ngapain ngelamun coba?
Kami akhirnya makan masakan yang dibuat oleh Ray sang koki terkenal hahahaha. Pada saat makan itu pun kami mulai banyak bicara. Meja makan di dapur itu menjadi saksi bahwa aku dan Ray banyak ngobrol sore itu. Ia bercerita tentang pengalamannya ketika ada di panti. Tentang bagaimana ibu asuh memperlakukan dia. Tentang anak-anak panti lainnya yang sangat baik. Sebenarnya ia punya keinginan untuk bisa tinggal sendiri tapi ibu kepala melarangnya karena tenaga Ray masih dibutuhkan.
Setelah perut kenyang dan banyak obrolan yang mengalir, kami lanjutkan dengan belajar. Karena besok pelajaran Fisika. Gila deh si Ray ini. Dia mampu mengajariku seperti seorang guru. Aku sedikit terbantu dengan dia ada di sini. Mungkin karena dia kutu buku kali ya? Dia pintar banget ngajari aku tentang Fisika, gravitasi, gaya, katrol. Dia emang the best. Emang sih, pelajaran yang paling disukainya. Untuk bahasa Inggris sih nggak masalah.
Dan tepat pukul delapan malam adikku datang membawa nasi goreng pesenanku.
"Ini kak!" katanya sambil membawa bungkusan nasi goreng.
"Waduh, kakak udah kenyang. Buat kamu aja deh," kataku.
"Lha, aku beli dua ini, satu buat kakak, satu buatku," kata Justin.
"Udah buat kamu aja, tuh di dapur masih ada cap chay buatan Kak Ray," kataku.
Justin beringsut pergi ke dapur. Kemudian dia berseru. "Kaaaaak, aku makan yaaaa?"
"Iya habisin aja, emang buat kamu koq," kataku.
Aku tertawa.
"Makasih ya Ray," kataku.
"Ya, sama-sama," katanya. "Kalau begitu aku pulang yah, adikmu udah di rumah."
Entah kenapa rasanya berat banget melepas Ray pergi. Aku hanya bisa mengantarnya keluar. Ray, please jangan pergi. Please! Please!
Terdengar suara ringtone. Rupanya ponsel milik Ray, ia pun mengangkatnya, "Oh, ibu. Iya, iya. Saya pulang. Ini dari rumah temen belajar. Iya, segera."
Ray menutup teleponnya. "Maaf ya, aku harus kembali. Dicari ibu asuh. Malam Maria."
"Malam Ray," kataku.
Kenapa? Kenapa ketika aku sudah dapat pasangan aku malah merasa dia adalah jodohku? Kenapa? Ray, jangan pergi! Kumohon! Aku sekarang mengakui, aku mulai suka ama Ray. Aku suka ama dia. Tapi kenapa? Kenapa harus di saat aku sudah bersama Andre. Sosok Ray pun menghilang. Aku meneteskan air mataku lalu segera masuk ke dalam rumah.
0 Response to "The Dark Lantern Episode 7"
Post a Comment