The Dark Lantern Episode 8

Almost

NARASI DETEKTIF JOHAN

Robert menemuiku lagi. Kali ini wajahnya agak serius. Maksudku, dia tak senang. Setelah aku pusing menyelidiki sebuah nama Tina Einsburgh tak kunjung selesai dia datang langsung ke kantor detektifku. Dia memakai jas warna putih dengan kemeja warna abu-abu. Dia langsung berdiri di hadapanku saat aku ada di kursiku.

"Detektif, orang-orangku baru saja mati," kata Robert.

"Ya, terus?" tanyaku.

"Jangan tampilkan mimik seperti itu, aku serius."

"Aku juga serius dan apa yang harus aku lakukan? Kalian punya divisi sendiri, punya tim sendiri!" kataku.

"Masalahnya bukan itu, katakan kepadaku bagaimana putrimu bisa ada di sana sewaktu orang-orangku tewas?" Robert menunjukkan tabletnya. Di tablet itu aku melihat putriku sedang berlari keluar dari gang. Itu sepertinya kamera cctv.

"Trus apa hubungannya?" tanyaku.

"Ketahuilah, seluruh orang-orangku yang tewas itu ada lima orang. Tubuh mereka menguap, terpotong kecil-kecil dan masuk ke dalam selokan seperti sampah, kami memunguti setiap bagian organ yang tersisa dan mengecek DNA mereka untuk kemudian dikirimkan ke keluarganya, apakah itu bisa kamu terima tuan detektif?"

Aku gemetar dengan kata-katanya. Tapi apa hubungannya putriku? Kenapa putriku bisa ada di sana?

"Aku akan bicara dengan putriku. Boleh aku copy filenya?" tanyaku.

Aku kemudian mengcopy filenya ke komputerku.

"Pak Detektif, ingatlah. Urusannya sekarang adalah nyawa. Anda tak bakal mau kalau nyawa orang-orang yang tak bersalah jadi korban bukan? Coba tanyakan ke putrimu, dia pasti punya teman yang punya kekuatan aneh semacam ini. Dan Anda tak akan mungkin mau putri Anda jadi korbannya juga bukan?"

****

NARASI MARIA

Akhirnya UTS hari ini selesai juga. Aku sangat berterima kasih kepada Ray atas bantuannya kemarin. Benar-benar aku sekarang bisa menyelesaikan soal Fisika dengan mudah. Andre tampak suntuk mengerjakan soal-soal Fisika. Dia menggerutu berkali-kali.

"Gile aje, susah banget tadi," katanya.

"Ah biasa aja koq, aku bisa ngerjain semuanya," kataku.

"Iya dong, pacarku harus pinter," kata Andre memujiku.

"Ndre, ajak aku ke restoranmu dong, kepengen bakso nih habis UTS," kataku.

"OK, siapa takut," katanya. "Yuk!"

Terdengar suara ringtone ponselku. Wah, dari ayah. Aku segera mengangkat.

"Ya, ada apa yah?" tanyaku.

"Segera pulang, ayah mau ngomong penting banget," jawabnya.

"Soal apa?" tanyaku.

"Soal kemarin, sudah pokoknya pulang aja," katanya.

"I..iya deh," kataku lesu.

Soal kemarin? Maksudnya apa ya? Ahh! Soal kunjungan Ray di rumah?? Waduuuhh...kenapa ayah mempersoalkan itu? Apa ayah nggak suka kalau Ray main ke rumahku? Hmm...gawat nih.

"Aduh Ndre, nggak jadi ya," kataku.

"Lho, katanya kepengen mampir?" tanyanya.

"Ayahku nyuruh pulang, kayaknya aku bakal dihukum deh," jawabku.

"Hah? Dihukum kenapa?"

"Nggak tahu, dari nada suaranya sih begitu. Aku anterin pulang ke rumah aja deh. Ya?? Please," kataku memohon.

"Ya...nggak masalah sih. Ayuk," kata Andre.

Aku langsung naik ke motornya Andre. Nggak lama kemudian aku sudah melesat meninggalkan sekolah. Di jalan kulihat Ray menatapku pergi. Beberapa menit kemudian aku sudah ada di rumah.

"Makasih ya Ndre," kataku sambil kukecup pipinya.

"Bye honey," katanya.

Aku segera masuk ke rumah. Kulepaskan sepatuku dan langsung menemui ayah di ruang kerjanya.

"Ada apa yah?" tanyaku.

"Sini sebentar!" ayah menyuruhku mendekat. Aku pun mendekat. Ada apa sih sebenarnya?

Beliau pun kemudian menunjukkan sesuatu. Sebuah rekaman kamera CCTV. Dan ada aku berlari keluar dari gang.

"Ini kamu bukan?"

"I..Iya..., ayah dapat dari mana?"

"Apa yang kamu lihat?"

Aku pun kemudian menceritakan apa yang terjadi, minus bagian Ray. Ayahku mengangguk-angguk.

"Ayah percaya ama aku kan?"

"Iya, tentu saja ayah percaya. Sama putri sendiri koq nggak percaaya."

Aku langsung memeluk ayahku. "Makasih ayaaah."

"Kalau begitu, apakah kamu bersama temanmu ketika kemarin di tempat ini?"

"Aku sendirian."

"Yakin sendirian?"

"Iya ayah, aku pulang sendirian. Seharusnya bersama Andre tapi Andre ada keperluan. Aku juga nggak biasa lewat daerah situ tapi hari itu aneh aja sih," kataku.

"Kemarin di tempat itu ditemukan potongan-potongan mayat yang sudah dimutilasi," kata ayah.

DEG! Aku jadi merinding, "Ayah serius?"

"Iya, makanya hari ini ayah diberi video ini. Berarti memang kamu secara tidak langsung terlibat dengan hal ini Maria," jelas ayahku.

"Trus?" aku jadi takut.

"Tak perlu takut, ayah akan selalu melindungimu. Sudah sana ganti baju," kata ayah.

Fiyuh, untung ayah nggak tanya tentang Ray.

***

NARASI RAY

Aku melihat Maria pergi bersama Andre berboncengan. Nampak buru-buru sekali. Sejujurnya aku sakit banget melihat mereka jalan berdua. Tapi apa yang bisa aku lakukan. Dia sudah jadi milik orang. Aku juga hanya bisa jadi secret admirernya.

Ngomong-ngomong tentang kejadian kemarin. Itu sudah kebeberapa kalinya kau membunuh orang. Dan itu pun karena aku membela diri. Aku tak tahu kalau Dark Lantern yang dikatakan oleh Detektif Johan itu ternyata berhubungan dengan ini. Aku sudah ditarget oleh mereka. Artinya keberadaanku sudah diketahui. Dan kelima orang kemarin itu adalah korban pertamaku untuk Dark Lantern.

Ya, sebelumnya aku pernah membunuh orang. Itu pun karena aku tak sengaja. Korban keduaku adalah karena aku harus duel dengan dia. Kami berdua sama-sama pengguna kekuatan ini. Saat aku berjalan itulah ada seseorang yang sangat aku kenal sedang berdiri tak jauh dari hadapanku sambil memakan es krim. Dia memakai baju rompi hitam, tanpa kaos, celana jeans dan dia bertatto di lengan dan tubuhnya.

"Alex?" sapaku.

"Yo, gimana kabarnya Ray?" sapanya balik.

"Ada apa?"

"Kamu keren dude, membunuh mereka. Hahahaha."

"Bukan urusanmu."

"Hei, begini sobat. Sebenarnya tawaranku masih berlaku. Bergabunglah bersama kami, kematian Troya harus dibalaskan!"

"Aku tak tertarik."

"Ayolah Ray, kita butuh bantuanmu. Kita masih empat sekawan bukan?"

"Empat sekawan? Aku sudah membunuh Agni, apakah itu tak cukup buatmu. Aku tak mau mengorbankan rekan-rekanku lagi. Ini sudah cukup. Aku ingin bekerja sendiri. Aku juga tak mau orang-orang yang aku cintai jadi korban."

"Jadi, kamu masih mikirin cewek itu? Sudahlah dia udah punya pacar, mau sampai kapan kamu berharap?"

"Bukan urusanmu."

Aku melangkah meninggalkan Alex.

"Bagaimana dengan detektif itu? Dia sudah tahu kelompok apa mereka?"

"Ya, mereka menamakan dirinya Dark Lantern. Dan kita tidak sendirian, orang-orang seperti kita banyak ternyata. Kamu bisa cari mereka, tapi aku tidak mau. Aku ingin bekerja sendiri."

"Dark Lantern, Lentera Kegelapan. Kamu bisa jelaskan ke aku?"

Aku berhenti berjalan. "Temui aku nanti di panti asuhan. Kita bicara di sana."

Siapakah Alex dan bagaimana aku bisa bertemu dengannya? Semuanya berawal dari kisah beberapa tahun yang lalu. Awal di mana aku bisa memiliki kekuatan ini dan belajar mengendalikannya.

Memories

NARASI RAY


Aku masih berusia tujuh tahun saat itu. Aku juga masih belum tahu tentang sejatinya kekuatan yang ada pada diriku. Aku seperti anak gereja lainnya, belajar menyanyi, ketika minggu aku menjadi pengisi suara. Aku juga bermain bersama teman-temanku. Rasanya tak ada momen yang tidak aku sukai ketika masa anak-anak.

Awal mula aku memakai kekuatanku adalah awal mula aku membunuh seseorang. Dan itu tidak disengaja. Adalah Bapa Joseph, dia adalah orang yang baik kepadaku. Bahkan aku sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Bapa Joseph adalah mantan petinju yang kemudian mengambil jalan tuhan. Dia mengabdikan hidupnya kepada gereja setelah itu dan mengambil sumpah selibat.

Hari itu hujan badai. Aku takut. Suster Elizabeth memelukku erat karena aku menggigil.

"Ray demam!" serunya.

"Ayo beri dia kompres," kata ibu kepala.

Suster Elizabeth segera mempersiapkan baskom dan mengambil air panas. Udara makin dingin tidak seperti biasanya dan petir menggelegar berkali-kali. Sementara itu aku makin kedinginan, bahkan beberapa suster pun ikut membantu memberikanku selimut tebalnya. Mataku mulai memutih saat itu ketika suster Elizabeth sudah datang lagi membawa baskom berisi air panas.

"Ray...Ray! Nak bertahanlah!" kata ibu kepala. Suster Elizabeth kemudian memelukku sambil memberikan kompres ke dahiku.

"Dingiiiinn.....dingiiin," kataku sambil gigiku gemertuk.

"Ini mengerikan, kita harus bawa dia ke rumah sakit," kata ibu kepala.

"Di tengah badai seperti ini??" tanya suster Elizabeth.

"Kamu punya ide yang lebih baik?"

Bapa Joseph kemudian masuk. Dia langsung memeriksa kondisiku. Dipegangnya dahiku.

"Ya Tuhan, dia dingin sekali. Kita harus membawanya ke rumah sakit," kata Bapa Joseph.

"Tapi itu tak mungkin dengan kondisi hujan badai seperti ini!" kata suster Elizabeth.

"Tidak apa-apa, aku akan membawanya. Yang penting Ray bisa selamat," kata Bapa Joseph.

Akhirnya malam itu Bapa Joseph nekad membawaku dengan memakai mobilnya. Di luar benar-benar hujan angin parah.

"Biarkan aku yang menemani," kata ibu kepala.

Akhirnya kami bertiga kemudian masuk ke mobil. Aku didekap oleh ibu kepala. Sementara Bapa Joseph menyetir. Mobil pun melaju. Dari luar mobil tampak angin sangat kencang bahkan ketika mobil melintasi sebuah jalan terlihat sebuah pohon besar tumbang menindih beberapa mobil yang terparkir di pinggir jalan. Mobil kami pun tetap maju menuju rumah sakit. Namun sebuah petir tiba-tiba menghantam tiang listrik yang berada di depan kami dan tiang listrik itu pun tumbang menghantam mesin mobil.

Mobil pun berhenti.

"Bagaimana ini?" tanya ibu kepala.

Saat itulah kekuatanku mulai pertama kali muncul. Aku entah bagaimana bisa berbicara dengan air. Bukan dengan bahasa manusia, tapi bahasa khusus. Aku sendiri tak tahu bagaimana aku bisa melakukannya. Angin dan air menyapaku. Mereka bertanya apakah aku sakit? Kemudian aku katakan iya aku sakit. Aku sedang menggigil demam. Kemudian mereka menawarkan bantuan, apa yang bisa mereka bantu? Aku tak tahu, tapi aku hanya ingin mereka bisa menolong Bapa Joseph.

Angin dan air pun membantuku. Bapa Joseph melihat keajaiban ini. Aku tiba-tiba duduk. Dengan penuh kesadaran aku bisa melihat butir-butir air mengeras dan mulai hidup, mereka semua mengikutiku untuk menyingkirkan tiang listrik itu.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Bapa Joseph seakan-akan tak percaya terhadap apa yang dilihatnya.

"Bapa, lihat Ray!" kata ibu kepala.

"Ray?? Kamukah yang melakukannya?"

Aku kemudian menurunkan tanganku dan tak sadarkan diri.

"Ray!? Ray!?" pangil ibu kepala.

Besoknya aku sudah berada di kamarku dan ibu kepala menggenggam jemariku. Tampak Bapa Joseph ada di sana juga.

"Puji tuhan kamu selamat nak," kata Bapa Joseph.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Ray, kamu benar-benar anugrah tuhan yang datang kepada kami," kata ibu kepala.

Aku melihat tanganku. Entah bagaimana aku bisa berbicara dengan udara dan air. Mereka bisa berbicara denganku. Aku membentuk kristal salju di tanganku semudah aku menggerakkan tanganku. Suster Elizabeth, Bapa Joseph dan ibu kepala menciumi keningku. Kedua tanganku pun diciumi oleh mereka. Sejak saat itulah aku jadi anak kesayangan mereka. Dan mereka menjagaku agar aku tak menyalah gunakan kekuatanku.

***

"Ray, dengarlah nasehatku. Di luar sana ada banyak sekali hal yang tidak kamu ketahui. Kamu harus bijak dalam menggunakan kekuatanmu. Ini adalah pemberian tuhan yang tidak ternilai untukmu," kata Bapa Joseph. Kata-kata beliau inilah yang selalu aku ingat. Namun itu adalah kata-kata terakhirnya.

Aku saat itu diajak oleh beliau berkunjung ke sebuah kota. Beliau mengisi khutbah di sana. Ceramah beliau memang banyak menarik perhatian bahkan pesertanya pun tidak sedikit. Aku selalu duduk di depan mendengarkan ceramahnya. Setelah ceramah beliau selesai, beliau didatangi oleh tiga orang anak. Mereka sebaya denganku, tapi salah satunya lebih tua dariku.

"Permisi Bapa, kenalkan namaku Agni. Dan dua orang ini kawanku yang sudah aku anggap saudara. Sejujurnya kami tersentuh dengan semua ceramahmu dan kami ingin konsultasi kepadamu," kata anak yang paling tua.

"Agni? Iya, tentu saja katakan! Tapi kemana orang tua kalian?" tanya Bapa Joseph.

"Kami tak punya orang tua," jawab Agni.

"Siapa nama dua orang lagi?" tanya Bapa Joseph.

"Aku Alex," kata Alex kecil.

"Aku Troya," kata Troya kecil.

"Kalau kalian tidak punya orang tua, berarti kalian sama dengan Ray," kata Bapa Joseph sambil memegang pundakku.

"Tidak, Anda tidak mengerti Bapa. Kami lain. Akan kami tunjukkan," kata Agni.

Saat itulah Agni mengeluarkan api dari telapak tangannya. Bapa Joseph terkejut.

"Kami juga bisa," kata Alex.

Dia mampu membuat sebuah kursi melayang di udara. Aku bisa merasakan desiran angin yang mengelilingi kursi yang terbang itu. Sedangkan Troya, ia membuat tubuhnya bisa diselimuti tanah dan batu. Ia bisa menggerakkan semua bebatuan yang dia injak.

"Ya tuhan, kalian???" Bapa Joseph terkejut tentu saja.

"Katakan kepadaku bapa, apa yang harus kita lakukan?" kata Agni.

"Sudah cukup hentikan!" perintah Bapa Joseph. "Aku sudah lihat semuanya."

"Bagaimana, kami berbeda dengan anak itu bukan?" kata Agni sambil menunjukku.

Aku kemudian membuka telapak tanganku dan aku perintahkan angin untuk membeku di atas tanganku. Ketiga anak-anak itu terkejut tentu saja. Mereka merasa gembira melihatku ada di sana.

"Kamu sama seperti kami?" tanya Agni. Matanya tampak berkaca-kaca.

"Kalian sudah berjodoh. Ya, Ray sama seperti kalian," kata Bapa Joseph. "Bagaimana kalau kalian ikut bersamaku."

Akhirnya kami berempat pun menjadi teman akrab di panti asuhan. Agni terutama. Aku sangat akrab dengan Agni. Dia seorang cewek yang sangat tangguh. Lebih tepatnya tomboy dan susah diatur. Troya lebih suka menyendiri tapi dia sangat cekatan dalam membuat sesuatu. Alex, dia orang yang sangat setia kawan. Kami pun dikenal sebagai empat sekawan.

Kami pun sering menggunakan kekuatan kami untuk bercanda dan bermain-main. Dan kebersamaan kita pun berakhir tak berapa lama kemudian.

****

Beberapa tahun setelah kebersamaan kami. Aku sudah masuk SMP, demikian juga Agni, Alex dan Troya. Tapi Agni lebih tua dua tahun dariku. Sejujurnya aku suka kepada Agni. Sekalipun cewek tomboy dan berapi-api seperti sifatnya, tapi dia orangnya baik. Aku dan Agni sering jalan bersama kalau pulang, apalagi aku dan dia di satu sekolah yang sama. Beda ama Alex dan Troya. Mereka di satu sekolah yang sama.

"Hei Ray?!" sapa Agni. Aku sempat mencari-cari sumber suaranya ketika aku ketahui dia sudah ada di atas gapura gerbang sekolah.

"Woi, ngapain lo di atas sana?" tanyaku.

"Lihat nih, gue punya jurus baru!" katanya. Dia melompat tapi dengan kakinya yang mengeluar api seperti roket. Dan dia turun dengan mudah sampai ke tanah.

"Whoaaaa!" seruku. "Lo gila apa kalau ada yang lihat gimana?"

"Biarin," katanya sambil menjulurkan lidah. "Agak nggak nyaman juga sih."

"Apanya?"

"Sepatuku bisa kebakar habis kalau aku melakukan itu lagi," Agni menunjukkan sepatunya bagian bawah.

Memang Agni tidak takut untuk memamerkan kekuatannya. Tidak seperti aku. Aku terlalu malu. Tidak, atau mungkin aku takut.

"Kamu bisa apalagi sekarang?" tanya Agni.

"Nggak ah, kata Bapa Joseph aku nggak boleh gunain sembarangan," jawabku.

"Halah Ray, ayolah!" paksanya.

"Aku nggak bisa," kataku.

"Ayolah, sekali aja!" katanya.

Aku menghela nafas. "Baiklah, sekali ya."

Aku kemudian mengangkat tanganku ke atas. Dengan sekejap aku perintahkan air dan udara untuk membentuk butiran-butiran salju. Seketika itu dalam radius tiga meter di sekelilingku ada hujan salju.

"Waaaaaaaaaa.....Ray! Indah sekali!" seru Agni. Melihat wajahnya yang sangat gembira aku senang sekali. Ia berputar-putar seperti tokoh kartun Disney yang sedang menari. Aku tersenyum melihat dia seperti itu.

Karena jam pelajaran telah usai kami pun pulang bersama. Saat itulah ada sesuatu yang tak terduga. Kami serasa diikuti oleh seseorang. Bukan seseorang, tapi beberapa orang.

"Ray, kamu merasa diikuti nggak?" bisik Agni ketika kami sedang berjalan di trotoar.

"Iya, aku juga merasa gitu," kataku.

"Lari yuk!" katanya. Dia langsung mengambil langkah seribu.

"Hah?" aku terkejut. Segera aku susul Agni. Dan benar ada tiga orang yang langsung mengejar kami.

Aku dan Agni berlari secepat mungkin. Tiga orang memakai jas hitam, berkaca mata. Siapa mereka? Kenapa mereka mengejar kami? Kami lalu berbelok masuk ke sebuah blok pertokoan. Namun itu blok ternyata sepi tak ada satupun toko yang buka.

"Kita lawan saja Ray!" kata Agni, ia tiba-tiba berhenti. Aku lucunya, ikut juga.

Tiga orang yang mengejar kami pun berhenti mengejar. Mereka kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik jas mereka. Pistol? Mereka membawa pistol!?

"Ray, mereka bukan orang baik-baik, seraaang!" Agni berteriak. Dia tiba-tiba sudah melompat ke udara dengan istilah yang dia sebut "kaki roket". Tentu saja ketiga orang itu kaget.

Aku tak tahu harus bagaimana. Akhirnya aku hanya bisa berbicara kepada angin dan air yang ada di udara. Apa yang harus aku lakukan? Dan mereka pun memberikan usulan untukku membekukan mereka bertiga. Ide yang bagus. Aku pun mulai membuka kedua tanganku. Sebuah cahaya biru terbentuk di atas telapak tanganku .Seluruh angin dan air yang ada di udara kompak bersatu menyambut panggilanku, mereka bergerak ke arah tiga orang yang sekarang sedang membidikku. Pistol mereka pun membeku. Ketiganya terkejut, terlebih lagi ketika kaki mereka tak bisa digerakkan.

"Aahhhh...apa ini?!" seru mereka. Ketiganya melepaskan pistol mereka. Dengan cepat Agni yang sudah ada diudara melepaskan bogem ke salah seorang dari mereka. Satu orang langsung KO. Dia lepaskan bogem lagi ke yang lainnya.

Setelah itu ia sangat senang sekali, "Yuhuuuuuu! Kita menang!"

Aku pun menurunkan tanganku. Cahaya biru di atas telapak tanganku menghilang. Agni langsung menggeretku.

"Ayo Ray, aku khawatir dengan yang lain," kata Agni.

Siapa ketiga orang itu dan kenapa mereka ingin membunuh kami aku tak tahu. Tapi untunglah hanya Agni dan aku saja yang mendapatkan petualangan kecil tadi. Alex dan Troya baik-baik saja. Tapi kami tak menyadari bahaya yang lebih besar lagi akan datang lagi setelah itu.


0 Response to "The Dark Lantern Episode 8"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel