Cerita Dewasa Cinta Sayur Asem Episode 11

Kamu Sedih Aku Sedih


Cinta adalah
bagaimana kamu bisa berbagi tawa dan kesedihan

Hari itu Anik menangis. Aku tak nganter dia karena dia ada di rumah sakit sejak tadi malam. UTS hari terakhir. Dan dia langsung meluk aku. 

"Kenapa Nik? Kenapa?" tanyaku.

"Bapak...bapak.....bapak..," ia sesenggukan.

"Kenapa bapak?" tanyaku.

"Bapak hari ini udah tiada," tangisnya pecah.

Ia meluk aku erat. 

"Bapak udah nggak ada Rian, Bapak udah nggak ada....huuaaaaaaa....," tangisnya menghebohkan teman-teman yang lain. 

Semua anak-anak mencoba menenangkan dirinya. Walaupun tahu bapaknya meninggal kenapa ia masih masuk aja.

"Kenapa kamu masih masuk kalau bapakmu tiada?" tanyaku.

"Ini hari terakhir UTS, ibu suruh aku ke sini tadi, aku nggak boleh dapet nilai jelek gara-gara ini. Tapi... tapi... bapak Yan, bapak...huaaaa," tangisnya makin membuatku mengiba. Aku jadi ikut nangis. Duh air mataku juga tak bisa dibendung. 

Setelah itu UTS itu jadi UTS yang memilukan. Guru menyuruh Anik untuk pulang tapi ia tak mau. Ia ingin menyelesaikan UTS hari ini. Gila ini anak. Dia ngerjain soal UTS itu sambil nangis. Aku jadi trenyuh. Aku juga seakan-akan bisa merasakan apa yang dia rasakan. Aku pun segera menyelesaikan UTS itu dan mengantarnya pulang. 

Dengan gemetar tangan Anik mengumpulkan hasil jawaban UTS. Kulihat lembar jawabannya sampai basah oleh air matanya. Aku pegang tangannya. Dia menatapku. Aku memberi isyarat tak apa-apa. Ada aku. Aku akan bersedih kalau kamu bersedih. Kami segera keluar dari ruangan kelas itu dan pulang. Ia merangkulku. Mendekapku erat sambil nangis. Aku tak akan melupakan hari ini. Kuantar dia pulang ke rumah dalam keadaan seperti itu. 

Sesampainya di rumah Anik aku pun ikut berkabung. Anik segera masuk ke dalam rumah sambil nangis. Tampak orang-orang sudah ada di sana semua. Termasuk ayahku. Mereka kemudian mengiringi jenazah untuk dimakamkan. Rupanya jenazah baru saja disholati, sekarang sedang diantar ke peraduan terakhir. Aku mengantar jenazah hingga ke kuburan. Aku pun membantu orang-orang untuk mengubur ayahnya Anik ini. 

Selamat jalan Pak Abdul Karim. Aku janji akan menjaga Anik pak. Sebab aku sangat cinta kepada putri bapak itu. Entah kenapa, aku juga ikut sedih.

****

Malam minggu aku ke rumah Anik. Di sana sedang ada tahlilan. Yah, sambil ikutan tahlilan aku pun mencoba menghiburnya. Anik terpukul. Matanya masih bengkak karena menangis. Tapi aku tak melihat Rahma. 

"Mbak Rahma kemana Nik?" tanyaku.

"Dia di kamar nggak keluar-keluar. Tampaknya ia lebih terpukul daripada aku, Yan," jawabnya.

"Oh, ya udah nggak usah diganggu. Toh nanti keluar sendiri," kataku. 

"Sekarang bapak udah nggak ada Yan, padahal bapak baik banget ama kita."

"Aku belum pernah kehilangan orang Nik, jadi nggak tahu perasaanmu sekarang seperti apa. Tapi, aku ikut sedih Nik. Setiap tangisanmu aku bisa merasakannya. Sakit di sini," Aku memegang dadaku.

"Oh Rian...," ia memegang lenganku. 

Iya, aku bisa merasakan kepedihan Anik hari itu. Pilu sekali. Minggu pagi pun aku sudah ada saja di rumahnya. Ia merasa senang aku temani. Paling tidak ia sudah bisa senyum. Aku menghiburnya dengan menceritakan kembali kenangan-kenangan masa kecil kita. Bagaimana kita semua pernah main di sawah. Numpang cikar sampai gerobak yang ditarik oleh sapi itu berguling karena masuk got. Untung kita semua nggak kenapa-napa. Ia sudah bisa tertawa. 

"Mbak Rahma koq belum keluar?" tanyaku.

"Dia nggak mau keluar," jawabnya.

"Kamarnya dikunci?"

"Nggak koq. Kami bisa masuk, tapi dianya nggak mau keluar."

"Aku mau bicara ama dia. Mau menghibur dia," kataku.

"Yuk!" 

Kami pun menuju ke kamarnya. Setelah di depan pintu kami diam. Anik mengetuk pintunya.

"Mbak? Mbak? Aku boleh masuk?" tanya Anik.

"Iya, masuk aja," jawabnya.

"Tapi aku ama Rian masuknya, nggak apa-apa?" tanya Anik.

"Sebentar!" katanya. Setelah tak ada jawaban selam kurang lebih satu menit, ia kemudian bersuara lagi. "Masuk aja!"

Aku dan Anik masuk ke kamarnya. Aku pernah masuk kamar Rahma waktu aku kecil. Tapi sekarang kondisi kamarnya sudah berubah. Jelas berubah. Dia udah gedhe. Aku juga penasaran bagaimana kamarnya Anik. Pasti nggak kalah jauh beda ama kakaknya. 

Aku melihat Rahma ada di atas ranjang. Bersandar. Tatapannya kosong. Ia melihat ke arahku. Memaksakan senyum. 

"Mbak Rahma koq nggak keluar?" tanyaku.

"Iya mbak, udah yuk keluar yuk!?" ajak Anik.

"Mbak kepengen sendiri Nik," jawabnya. 

"Weeh...nggak boleh itu. Kami akan temeni, aku akan temani Mbak. Sampai mbak udah nggak sedih lagi. Udahlah mbak, ikhlaskan saja. Yang namanya hidup pasti ada kematian," kataku.

"Iya, Rian. Mbak udah tahu, mbak hanya masih shock. Padahal mbak belum ngasih bukti ke bapak bahwa mbak bisa sampai kuliah dengan dapetin beasiswa. Padahal mbak sudah janji akan bikin bapak bangga. Trus siapa sekarang yang bisa lihat mbak?" Rahma nangis lagi.

Ohh...jadi ini toh alasannya Rahma kerja keras banget selama ini. Bahkan ketika nilainya jelek (yah nggak jelek-jelek amat sih. Ia anggap nilai 80 itu jelek) ia nangis. 

"Udah deh, gini aja. Kamu janji ama aku," kataku. 

Rahma menoleh ke arahku. Pandangannya sekarang fokus. 

"Janji apaan?"

"Kamu harus janji kepadaku dalam waktu 4 tahun kamu harus jadi dokter. Kamu katanya kepengen jadi dokter kan dulu?" tanyaku.

"I..itukan cuma cita-citaku waktu aku kecil, Yan," katanya.

"Nggak, aku ingin kamu janji. Kamu harus lulus dengan cumlaude, jadi dokter! Buat aku bangga!" kataku.

"Ah, kamu ngaco. Emangnya aku apamu?"

"Karena kamu adalah temanku, sahabatku, mbak juga sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Janjilah! Dan aku akan janji nyusul mbak. Aku nggak tahu nanti jadi apa, pokoknya aku juga bakal lulus jadi sarjana suatu saat nanti. Aku bakal nyusul mbak juga nanti," kataku.

"Dasar!" Rahma mulai tersenyum.

"Nah, gitu dong mbak, tersenyum," Anik tampak senang. "Kita hadapi bersama ya mbak."

Rahma mengangguk. Aku menghela nafas lega. Aku melihat dua orang ini berangkulan. Semoga mereka tabah terhadap ujian ini.

Time's up!


Andai seorang manusia bisa mengembalikan waktu
Akan banyak yang akan dia lakukan untuk kebaikan

#Pov Anik#

Sebulan sudah perjanjian aku dengan Elok. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Waktuku sudah habis. Kenapa cepat sekali berlalu? Perjanjianku dengan Elok. Waktuku sudah habis. Sekarang saatnya aku harus memutuskan hubungan ini ama Rian. Apa yang harus aku lakukan?

"Rian, kita nggak masuk yuk hari ini," kataku ketika dibonceng Rian.

"Kenapa?" tanyanya.

"Udah deh, nggak usah masuk yuk," kataku. 

"Kamu masih sedih soal ayahmu? Kan udah seminggu."

"Iya, tapi...bukan itu koq. Temenin aku Yan."

"Mau kemana?"

"Ke Gua Selomangleng aja."

Akhirnya kami berdua ke sana. Aku sengaja berbuat demikian agar tidak ketemu ama Elok. Setelah sampai kami jalan-jalan di sekitar tempat wisata ini. Aku dan Rian pun naik sampai ke puncak. Tempat di mana dia bilang suka ama aku. Berat hatiku kali ini. 

"Kamu kenapa? Nggak apa-apa kan?" tanyanya. 

"Rian, aku cintaaaaaa banget ama kamu," kataku sambil memegang pipinya. 

"Aku tahu koq, Nik. Aku tahu."

"Aku nggak ingin kamu pergi, sungguh. Aku ingin kamu selalu di sisiku, selamanya."

"Aku juga."

"Terus terang, sekarang ini kamu adalah orang yang mau mengisi hari-hariku disaat bapak udah pergi. Kamu baik Rian. Kamu sangaaaat baik. Aku tak tahu apakah aku bisa membalas kebaikanmu ataukah tidak."

"Kamu tak perlu membalasnya, aku ikhlas koq Nik. Sangat ikhlas."

"Bukan itu masalahnya Rian. Aku...aku takut kehilangan kamu."

"Aku juga."

"Kamu tidak mengerti Rian," aku langsung berbalik kemudian duduk diatas sebuah batu. AKu tutup mukaku. Aku bingung mengatakannya.

"Kamu kenapa sih? Koq nggak jelas gitu. Kalau kamu punya perasaan ama aku, aku sudah tahu. AKu sudah tahu kamu suka ama aku, sudah tahu."

"Tapi, bukan itu maksudku," air mataku mengalir. Aku nggak kuat lagi.

"Katakan dong, kalau kamu tak bilang mana aku bisa tahu?"

Maafkan aku Rian, aku harus jujur. 

"Begini....aku akan cerita dari awal.."

Aku pun menceritakan semuanya kepada Rian dengan air mata bercucuran. Aku bahkan tak berani menatap wajahnya. Aku jujur kepadanya. Aku jujur tentang perjanjianku dengan Elok. Aku menangis saat itu, menangis sejadi-jadinya. Aku tutupi wajahku. AKu tak mampu melihat Rian. Aku tak mampu. 

Rian diam. Ia telah mendengarkan seluruh penjelasanku. Tapi kenapa diam? Ia marah? Ia pantas marah. 

"Ayo, kita kembali!" katanya. 

Eh? Aku menoleh ke arahnya. Ia sudah membelakangiku. Punggungnya menjauh dariku. Tidak, Rian...maafkan aku. 

"Rian, maafin aku! Maafin aku Rian!" aku mengiba kepadanya. 

"Sudahlah, ayo kita masuk sekolah!" katanya. 

Akhirnya aku dibonceng lagi olehnya. Kembali ke sekolah kami. Walaupun terlambat aku tetap masuk kelas. Itu pun dengan ijin dari Guru BP. Rian beralasan bahwa ia masih menemaniku yang lagi shock. Akhirnya setelah tahu aku sedang menangis, mereka mengijinkanku masuk ke kelas. Tentu saja teman-teman di kelas kaget melihat aku dan Rian yang baru masuk. Untung saat itu sedang nggak ada guru. Aku langsung melabrak ke Elok sambil sesenggukan. 

Aku gebrak mejanya. BRAK! Semua anak menoleh ke arahku. 

"Puas kamu? Puas?? Kamu kalah! Kalau sampai nanti aku nggak lihat kamu nyium Pak Sapto awas kamu!" kataku sambil menangis. 

Aku menoleh ke arah Rian. Ia tanpa ekspresi. Tak menoleh ke arahku sama sekali. Aku tahu sekarang hatinya pasti hancur. Maafkan aku Rian. Maafkan aku. Elok gemetar melihatku yang sedang emosi. Aku kembali ke mejaku dan langsung menutupi mukaku dengan lengan. Kutundukkan kepalaku di meja dan menangis. Tak ada yang berani menenangkanku. Biasanya Rian yang menenangkanku ketika aku menangis. Sekarang ia pasti membenciku. Ia pasti membenciku. Aku sudah berjanji kalau aku tobat dari kelakuanku, tapi aku mengkhianatinya. 

****

Aku sudah kehilangan bapak. Sekarang aku kehilangan Rian. Elok benar-benar brengsek. Hari itu dia benar-benar mencium Pak Sapto di hadapan banyak orang. Sukses hari itu dia dijuluki lonte. Rasain. Dia mengaku kalah. Aku menang. Tapi di sisi lain, aku kalah. Kalah segala-galanya. Tapi inilah keputusanku. Aku sudah tahu segala resikonya. Ini adalah resikonya. Resiko yang harus aku pilih. Resiko yang sudah aku pilih untuk aku hadapi seumur hidupku.

Mulai saat itu Rian tidak lagi menyapaku. Melihatku saja tidak. Ia tidak lagi main ke rumahku seperti biasanya. BBM pun nggak pernah dibalas. Tiap hari aku mengirim pesan "Maafkan aku". Dia tak pernah membacanya. Entah berapa kali aku mengirimkannya pesan. Dia sekarang menjadi dingin kepadaku. Seolah-olah dia adalah pangeran dari negeri es. 

Aku mengirimkan pesan ke BBM-nya, juga SMS kepadanya. Pesan yang sangat panjang.

"Rian. Maafkan perbuatanku ya. Aku tahu kamu pasti marah sama aku. Aku tahu sifatmu kalau sudah marah nggak bakal maafin orang itu. Aku tahu semuanya. Kan kita sudah sahabatan sejak lama.

Aku ingin jujur kepadamu. Aku ingin tumpahkan seluruhnya kepadamu. Kamu baca atau tidak itu terserah kamu. Aku tak pernah berharap pula pesan ini kamu baca. Karena sampai sekarang pun BBM-ku nggak pernah kamu baca. 

Rian. Perasaanku jujur ama kamu. Aku beneran cinta ama kamu. Aku ingin bisa bersamamu. Aku jujur jatuh cinta kepadamu. Aku yang selama ini menaklukkan banyak laki-laki sekarang malah takluk kepadamu. Cara kamu menciumku, cara kamu memegang tanganku, cara kamu memperlakukanku. Semuanya. Itulah yang membuatku jatuh cinta kepadamu. 

Rian, seandainya kamu bilang kepadaku sejak awal. Sejak dulu. Mungkin sekarang kita sudah jadi sepasang kekasih. Mungkin sekarang kita tak akan seperti ini. Aku hanya ingin pacaran dengan satu orang lelaki. Yaitu kamu. Aku sudah bersumpah, aku sudah bertekad. Aku tak akan menyerahkan diriku ke lelaki manapun. Aku akan menunggumu Rian. Aku akan menunggumu. Walaupun sakit diriku. Walaupun lama. Aku tetap berharap kepadamu. Aku bersumpah tidak akan menikahi laki-laki manapun. Aku hanya ingin kamu. Aku hanya ingin kamu. Beratkah permintaanku ini bagimu?

Rian. Jangan pergi. Tolong Rian, jangan pergi. Maafkan aku Rian. Rian....."

Setelah mengirim pesan panjang itu, aku menangis. Kamarku sekarang berisi aura kesedihan. Aura kesedihan seorang Anik. Yang menyesal terhadap apa yang telah dilakukannya. Inilah hukumanku. Setelah itu, aku jauh dari Rian. Jauuuuhhh sekali. 

Apalagi setelah kenaikan kelas. Ia masuk ke IPS, sedangkan aku ke IPA. Dia tidak lagi peduli kepadaku. Walaupun kami berpapasan, tapi menoleh kepadaku saja tidak. Sebegitu bencinyakah dia kepadaku? 

Rian tak pernah datang lagi ke rumahku. Mbak Rahma sudah kuliah. Aku sendirian sekarang. Di rumah hanya ditemani ibu. Kadang aku sendiri karena ibu pergi mencari nafkah untuk kami. Aku termenung di dalam kamarku. Kupandangi foto Rian yang ada di laptopku. Kuusap-usap foto itu. Aku masih ingat bagaimana dia menciumku. Aku tak akan pernah melupakannya. Rianku. Engkaulah pangeranku, cintaku, kekasihku. Maafkan aku Rian. 

#Pov Rian

Sungguh hatiku terkoyak mendengar pengakuan Anik. Teganya dia melakukan itu. Dan kenapa dia mengingkari janjinya. Kenapa aku yang jadi targetnya. Hari itu setelah kami kembali ke sekolah, dia melabrak Elok. Dan hari itu Elok dipermalukan dengan mencium Pak Sapto satpam sekolah. 

Aku benci sekarang ama Anik. Pupus sudah harapanku kepadanya. Cinta yang selama ini aku berikan. Sayang yang selama ini aku berikan. Entah kenapa aku tak mau lagi melihat dia. Aku tak mau lagi menegur dia. Entah dia nangis, entah ia tersenyum aku tak pernah lagi peduli. Semenjak itu, aku menempuh jalur lain. Kalau dulu aku berjuang agar bisa masuk IPA. Sekarang aku ingin ke tujuanku sendiri ke IPS. 

Naik ke kelas 3 aku pun masuk IPS. Berpisah dengan Anik. Aku tahu dia berkali-kali mengirimkan BBM bahkan ada SMS dari dia. Tapi aku tak pernah membacanya. Bahkan aku pun membuang nomorku. Kujual ponselku. Dia tak tahu lagi nomorku sekarang. Aku benci ama dia. Aku tak memaafkan dia. 

Mas Yogi sampai heran kenapa aku melakukan itu. Aku hanya bilang "Bukan urusan mas". Ibu juga heran dengan sikapku yang tiba-tiba memutuskan Anik. Anik, apakah engkau hanya sebuah pelangi? Yang hanya muncul sesaat setelah hujan reda? Padahal harapanku kepadamu ibarat bintang di langit. Mungkin kita nggak berjodoh Nik. Aku tak memaafkan dosamu ini. Sakit rasanya Nik, sakiiit. 

Kabar terakhir, Mbak Rahma mendapatkan beasiswanya dan sekarang sudah kuliah. Entah si Anik. Aku tak peduli lagi kepadanya. Sudah kering air mataku untuknya. Andai ia tahu perasaanku kepadanya. Sesungguhnya aku pun berkorban untuk Anik. Kalau aku tak berpisah dengannya ia pasti akan disuruh mencium Pak Sapto itu. Satpam tua yang kumisnya lebar dan mata keranjang ke anak-anak sekolah. Aku tak mau dia menciumnya, maka aku pun berkorban untuk itu. APalagi cinta adalah pengorbanan. 

Namun karena itu pula aku benci kepadanya. Benci dan cinta. Bedanya emang tipis. Tapi aku lebih memilih benci ama dia. Toh sampai sekarang aku masih kuat. Aku bisa berdiri sendiri. Aku bisa berjalan sendiri tanpa dia. Menikmati waktu-waktuku sendiri. 

Tapi...tidak lama.

0 Response to "Cerita Dewasa Cinta Sayur Asem Episode 11"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel