I Love You Episode 25

GERILYA part II​


Kantor polisi itu tampak temaram. Setelah kemarin malam terjadi penggerebekan terhadap pabrik narkoba dengan dibumbui mayat-mayat bergelimpangan membuat pengganti Letnan Yanuar yaitu Komisaris Polisi Letnan Basuki semakin tenggelam mempelajari file-file yang dipunyai oleh Letnan Yanuar. Letnan Yanuar di situ memiliki catatan tentang sejarah kelam keluarga Zenedine. Berbagai usaha penggelapan pajak, narkoba dan barang seludupan semuanya ada. Satu-satunya usaha yang murni--tapi mungkin juga ada haramnya--adalah perusahaan tekstil PT Evolus. Letnan Basuki tertarik dengan seorang pewaris keluarga Zenedine, Arczre.

Semenjak Letnan Yanuar terbunuh akibat dikeroyok oleh anggota gangster beberapa waktu lalu, Letnan Basuki menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Bagaimana anggota gangster itu bisa menarget seorang polisi kalau tidak dikomandoi? Dan juga bagaimana mereka bisa mengeroyok polisi reserse itu di saat tak membawa senjatanya? Itu berarti selama ini gerak-gerik Letnan Yanuar telah diketahui.

Hal menarik lainnya adalah Letnan Basuki menanyai semua orang yang ditangkap di pabrik narkoba itu. Semuanya mengaku bahwa Sang Archer yang telah melakukannya, Sang Archer telah kembali. Dan hal yang menakjubkan lainnya beberapa pabrik narkoba dihancurkan oleh Arci. Apa maksud dari semua ini? Kalau memang pabrik narkoba itu adalah salah satu usaha dari keluarga Zenedine, kenapa Arci yang sebagai pewaris tunggal malah menghancurkannya sendiri? Sepertinya ada yang tidak beres dengan ini semua.

Letnan Basuki mengumpulkan semua file yang ada. Dia mengumpulkan orang-orang yang tewas dengan cara yang tidak wajar. Pieter Zenedine, Jacques, Amanda dan juga Safira. Mereka semua mati dengan tidak wajar. Apalagi Safira yang matinya ditembak punggungnya hingga tembus perutnya. Dia punya hubungan dengan Arci, yaitu kakaknya. Apakah semua ini ada hubungannya dengan keluarga Zenedine? Berarti ada perang dingin di dalam keluarga Zenedine. Dan kalau melihat peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, maka perang ini belum berakhir. Dari catatan Letnan Yanuar berusaha menghubungi Arci untuk minta bantuan kepadanya. Letnan Basuki pun akhirnya mengambil kesimpulan Arci berada di pihak yang seharusnya bisa membantu pihak kepolisian. Tapi bagaimana cara untuk menghubungi Arci? Itu yang jadi masalah.

Polisi ini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kantor yang ia tempati sekarang adalah tempat di mana ia biasa menyapa Letnan Yanuar. Setelah Letnan Yanuar meninggal ia menempatinya. Ia agak canggung sebenarnya. Tapi lambat laun rasa canggung itu akan berubah menjadi rasa kerasan sebagaimana tempat-tempat sebelumnya. Letnan Basuki berbeda dengan Letnan Yanuar tentunya, Letnan Basuki tidak selembut dirinya. Ia keras terhadap penjahat dan tanpa tedeng aling-aling akan menghajar para penjahat.

Letnan Basuki benar-benar ingin menemui Arci, hingga akhirnya ia pun punya satu cara. Dia akan menginterogasi para tersangka. Segera ia beranjak, dia tampak terburu-buru. Dia mengajak dua ajudannya untuk pergi ke rumah tahanan. Di sana ia akan bertemu dengan para tersangka.

Singkat cerita mereka pun akhirnya sampai di rumah tahanan. Letnan Basuki segera masuk ke ruang interogasi. Di sana dia membawa beberapa tahanan ke ruang interogasi. Salah seorang yang ada di sana adalah sang mandor yang dibiarkan hidup oleh Arci.

Letnan Basuki segera duduk di kursi yang disediakan. Tatapannya tertuju ke enam orang tahanan yang berada di ruang interogasi. Mereka tampak kaki dan tangannya diborgol. Melihat tatapan mata Letnan Basuki mereka tak berani.

"Ceritakan kepadaku tentang Arci, siapa dia?" tanya Letnan Basuki.

Mereka semua berpandangan. Hanya satu yang bisa menjawab.

"Kami tak kenal pak, yang jelas ia orangnya gila. Berdarah dingin yang bergerak di tembak oleh dia," jawab sang mandor.

"Nama kamu?" tanya Letnan Basuki.

"Wawan, pak," jawab sang Mandor.

"Baiklah Wawan, kamu tahu di mana pabrik yang belum diserang oleh Arci?" tanya Letnan Basuki.

"Saya tak tahu pabrik mana saja yang sudah diserang oleh dia," jawab Wawan. "Maklum pak, saya di dalam penjara. Tak ada alat komunikasi."

"Yang sudah dihancurkan Arci dalam empat hari ini ada lima pabrik. Cukup cepat bagi orang seperti dia. Di Wagir, Batu, Kepanjen, Dieng dan di Singosari. Di mana lagi ia akan beraksi?"

"Ada satu pabrik yang belum dia serang, lokasinya ada di Pasuruan."

"Kamu tahu lokasinya?"

Tommy menendang-nendang seseorang yang sedang terkapar di lantai berkali-kali. Dia tampak marah sekali hari itu. Semua orang tak berani menatapnya.

"Brengsek! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" terus menerus kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Sedangkan orang yang dia tendangi di lantai sekarang sudah pingsan. Mungkin sekarang perutnya sudah hancur. Wajah orang itu sudah pucat.

Tommy kemudian melampiaskan kemarahannya ke sebuah meja. Dia tendang meja itu hingga bergeser beberapa meter.

"Kenapa belum ada yang memberiku laporan di mana keberadaan Andini? Sekarang pabrik-pabrikku dihancurkan oleh anak Archer. Kemana kalian semuaa??!"

Di ruangan itu ada lima orang yang sepertinya mempunyai kedudukan tinggi. Seseorang pria dengan rambut cepak, berbadan tegap, memakai baju hitam. Dialah assasin yang membunuh Amanda. Di sebelahnya ada Alfred. Di sebelahnya lagi ada seorang wanita yang sedang bermain-main dengan sebuah pisau yang berada di tangannya. Lainnya ada seorang lelaki berkulit hitam dengan kacamata hitamnya tubuhnya gempal dan sesekali menggaruk-garuk hidungnya. Seorang lagi seorang anak muda kemungkinan berusia 17 tahun. Dia hanya tersenyum saja melihat orang yang disakiti oleh Tommy. Lima orang kecuali Alfred adalah para pembunuh kelas kakap. Mereka punya reputasi tinggi di dunia hitam. Dan kemampuan mereka tak bisa diremehkan.

"Kenapa hanya karena satu orang saja semuanya jadi berantakan? Alfred, kamu tahu Arci itu hanya seekor semut kecil. Kenapa susah sekali? Kenapa hanya karena dia rusak semua rencana kita. Brengsek bener. Kita harus bergerak cepat. Temukan Andini! Kalian semua temukan Andini! Dan jangan kembali sebelum kalian menemukannya! Kecuali kamu Alfred, kamu pergi ke pabrik. Periksa pabriknya! Aku takut Arci sedang mengincarnya juga," suara Tommy meninggi.

Tommy makin marah. Dia sudah berada di ambang batas kesabarannya. Arci telah mengacaukan segalanya, segalanya yang telah ia lakukan selama ini. Dia berada di Perancis menikmati kekayaan dari apa yang dilakukan oleh anaknya Alfred, ada satu hal yang dia inginkan sejak dulu, yaitu menjadi penguasa keluarga Zenedine. Kini dia telah mendapatkan semuanya, PT. Evolus menjadi miliknya, tapi semuanya tertunda gara-gara Arci.

Arci mendapatkan informasi tentang cara pengedaran obat-obatan terlarang yang terakhir. Pabrik yang ini benar-benar tidak bisa dilacak begitu saja. Memang benar ada di Pasuruan, tapi untuk bisa melacak keberadaan pabrik ini maka tidak diberitahukan oleh siapapun kecuali oleh orang-orang dekat Tommy. Dalam hal ini tentu saja ini adalah pusat dari semua pabrik yang pernah ada. Alfred-lah yang mengurus ini semua. Untuk melacaknya Arci diberi petunjuk untuk membuntuti seorang anak jalanan yang biasanya mangkal di sebuah perempatan lampu merah. Mereka menjajakan kacang atau mente, atau terkadang menjajakan stiker dan terkadang ada yang mengamen.

"Ikutilah seorang anak pengamen bertopi abu-abu, ikuti dan lihat bagaimana cara dia bertransaksi!" ujar seorang mandor di pabrik terakhir yang telah ia hancurkan.

Arci terus mengikuti anak kecil yang usianya kira-kira sebelas tahun itu melewati gang, pertokoan pasar, hingga kemudian berhenti di sebuah taman bermain. Dia melihat kiri-kanan, sementara itu Arci bersembunyi di balik pohon sambil mengawasi bocah itu. Di taman itu ada sebuah kotak pos. Sang anak kecil memasukkan sebuah amplop ke dalamnya, tapi tak sekedar memasukkan. Entah bagaimana anak itu menekan sesuatu di dekat lubang suratnya sebelum memasukkan amplop, setelah itu anak itu pergi.

Arci berhenti mengikuti anak itu dan menunggu, siapa kira-kira yang bakal mengambil amplop yang ada di kotak pos. Cukup bosan dia menunggu, hingga hari hampir sore ketika seorang memakai baju jaket jeans, kaos dan celana jeans bersepatu kets warna putih membuka kotak pos itu. Bagaimana dia bisa membuka kotak pos itu? Oh, ternyata ia memegang kuncinya. Bukankah seharusnya hanya petugas pos saja yang bisa melakukannya? Arci melihat dari jauh bagaimana orang itu mengambil sesuatu seperti kantong plastik. Ternyata di dalam kotak pos itu ada sebuah kantong plastik. Di sanalah sebenarnya amplop yang entah isinya apa tadi masuk ke dalamnya. Anak kecil tadi melakukan hal itu untuk menyimpan amplopnya ke kantong tersebut agar tak tercampur dengan surat yang sebenarnya.

Arci kemudian bergegas mengikuti orang itu dari jauh. Sesaat kemudian orang itu naik angkot. Arci memberi aba-aba, segera sebuah mobil sedan mendekat ke arahnya. Arci segera membuka pintu dan masuk.

"Aku tak tahu kalau Tommy memanfaatkan anak kecil untuk jual beli narkoba ini," kata Arci.

"Aku juga baru tahu," kata Ghea.

Angkot itu terus diikuti hingga sampai ke sebuah tempat. Orang yang diikuti Arci tadi pun turun dari angkot, kemudian dia berjalan menuju ke sebuah belokan gang.

"Kita ikuti!" kata Arci. Dia mengambil pistolnya, juga Ghea. Mereka berdua memarkir mobilnya dan kemudian berlari mengejar orang tadi.

Mereka melewati sebah persawahan yang tumbuh banyak tanaman tebu. Orang itu berhenti di sebuah gudang. Bukan ini bukan gudang sembarangan. Walaupun bentuknya seperti lumbung padi dan gudang, tapi di dalamnya ada banyak bangunan lagi. Menyembunyikan jati diri pabrik narkoba dengan cara menyamar sebagai lumbung padi? Arci dan Ghea saling pandang.

Mereka kemudian memilih memutar dan memepet ke tembok. Di sana Arci menolong Ghea untuk memanjat pagar tembok. Setelah keduanya naik mereka pun turun dan bersembunyi di balik sisa-sisa padi yang sekarang berserakan dan ditumpuk. Mereka melihat orang yang mereka buntuti masuk ke sebuah bangunan lagi. Tapi bangunan itu tampak ada tulisan RESTRICTED. Gudang itu sepi, mungkin para pekerjanya sudah pulang.

Arci mengamati keadaan sekitar, kalau-kalau ada kamera CCTV. Setelah yakin tidak ada segera ia mengendap-endap menyelinap ke gudang yang dimasuki tadi. Mereka mencoba mengintip melalui jendela. Dan tampaklah pemandangan yang tidak asing bagi mereka. Berplastik-plastik bubuk putih tampak sedang dipacking. Orang yang mereka buntuti tadi sedang mengobrol dengan seseorang. Arci tahu siapa dia. Dia adalah Alfred. Alfred yang ditugaskan oleh Tommy ternyata sudah berada di tempat ini.

"Kita tidak salah, ini pabrik terakhirnya," kata Arci.

"Betul. Trus?" tanya Ghea. "Rasanya kalau kita serbu boleh juga."

"Itu memang ideku. Aku tak menyangka lumbung padi ini digunakan kedok untuk menyembunyikan usaha mereka."

"Yeah, they're worst than I thought"

"Sebaiknya kita pergi dulu mempersiapkan segalanya. Lagi pula tujuan kita adalah menghacurkan pabriknya bukan?" usul Arci.

"Yeah, lagi pula untuk menggempurnya kita butuh sesuatu," Ghea setuju.

Setelah melihat bagaimana keadaan di dalam, mereka pun mengendap-endap pergi. Menyelinap di antara tumpukan jerami, hingga kemudian naik ke tembok. Setelah itu mereka menuju ke mobil mereka. Sebenarnya ketika mereka kembali keadaan tak ada yang mencurigakan, hingga Arci mendapati seseorang sudah bersandar di mobil mereka. Arci dan Ghea berpandangan. Mereka tak kenal siapa orang ini. Tapi orang itu sepertinya tahu siapa Arci.

"Maafkan aku sedikit mengganggu," kata orang itu yang tak lain adalah Letnan Basuki.

Arci dan Ghea mengeluarkan pistol glock mereka dan menodongnya ke arah Letnan Basuki. Melihat Arci menodongnya Letnan Basuki tidak panik dan terkejut. Arci dan Ghea saling berpandangan lagi.

"Kita terkepung," kata Ghea.

"Pengamatanmu bagus sekali, tak bisa dipungkiri orang yang telah mengikuti pelatihan KOPASUS dan berbagai pasukan elit, aku sangat takjub. Tak perlu khawatir, aku tak ingin menangkap kalian karena menodongku atau menghancurkan pabrik-pabrik narkoba mereka. Aku adalah Letnan Basuki pengganti Letnan Yanuar yang telah meninggal. Aku telah memeriksa filemu Arci dan kamu pernah bekerja sama dengan Letnan Yanuar. Aku ingin bekerja sama denganmu," kata Letnan Basuki.

"Aku bekerja sendiri," kata Arci.

"Ada banyak hal yang tidak bisa dikerjakan sendiri seperti bagaimana kamu bisa mengalahkan Tommy seorang diri? Menghancurkan kerajaan mereka adalah hal yang tidak mudah, aku menawarkan bantuan," kata Letnan Basuki.

"Kami tidak butuh bantuanmu," Arci menolak.

"Aku tahu kamu bukan seperti mereka. Kamu hanya orang yang terjebak dalam dunia ini. Aku bisa menawarkan pengampunan atas apa yang telah engkau lakukan," kata Letnan Basuki.

"Aku tidak butuh itu. Aku akan mencincang mereka semua," kata Arci. "Setelah itu, kamu mau tangkap aku terserah. Mereka telah membunuh kakakku dan aku tak akan memaafkannya."

Arci kemudian menuju ke pintu mobil begitu juga dengan Ghea. Kemudian Letnan Basuki perlahan-lahan menyingkir.

"Kalau engkau menyalahkanku karena menghancurkan pabrik narkoba itu, maka aku ingin tanya kemana hukum selama ini? Kalau engkau ingin menangkapku karena mengacaukan pekerjaan kalian, maka lakukan sekarang sebelum aku melakukannya. Kalau kamu tidak ingin, maka menyingkirlah!"

"Arci, kalau kamu sampai berbuat sesuatu yang nekat aku akan menangkapmu," kata Letnan Basuki.

"Coba saja!" kata Arci. "Aku akan tunggu saat borgolmu membelengguku Letnan."

Mobil Arci melaju kencang dikendarai oleh Ghea. Arci segera ke jok belakang dan mengambil sesuatu. Dia mengambil beberapa senapan mesin dan juga beberapa granat. Letnan Basuki hanya menyaksikan mobil itu menjauh dari dirinya. Sementara itu beberapa anak buahnya yang sebenarnya dari tadi sudah bersedia dengan membidik Arci dan Ghea mulai keluar dari tempat persembunyian mereka.

"Let, apa yang harus kita lakukan?" tanya salah satu anak buahnya.

"Biarkan mereka," kata Letnan Basuki.

"Tapi mereka akan menghancurkan pabrik itu!" katanya.

"Tenang, justru dengan begitu pekerjaan kita akan lebih ringan. Ingat, Arci di pihak kita. Dia akan mengirim kita ke jackpot!" kata Letnan Basuki.

BLARRRR!

Gerbang lumbung padi itu dihancurkan oleh granat. Semua orang yang berada di pabrik narkoba terkejut. Beberapa di antaranya segera keluar dengan memanggul senjata seperti Uzi. Arci dan mobilnya menyerbu dengan senapan mesin. Terjadi perang di sini. Alfred yang mengetahuinya segera mengambil senjatanya untuk ikut berperang. Mobil yang dikemudikan Ghea berhenti. Ia segera keluar sambil melempar granat ke pintu gudang. Ledakan demi ledakan tidak berhenti. Arci menembaki semua orang yang keluar dari gudang. Para pekerja yang berada di dalamnya kalang kabut dan mencoba melarikan diri. Arci lagi-lagi melemparkan granatnya. Ledakan demi ledakan kembali terdengar. Dalam sekejap api menjalar di mana-mana.

Ketika senapan otomatisnya habis peluru Arci kemudian mengeluarkan pistolnya dan menembaki para penjaga yang melakukan perlawanan. Ghea dengan gesit menembak beberapa orang hingga terjatuh. Dia melihat Alfred berlari, segera ia susul sepupunya itu. Melihat Ghea mengejar Alfred Arci pun menyusulnya sembari meninggalkan beberapa granat ke sebuah mesin pembentuk kokain.

Alfred lari ke belakang, Ghea dan Arci segera mengejarnya.

Ponsel Alfred berbunyi. Ia segera mengangkat teleponnya, "Halo?"

"Andini ketemu," kata orang di telepon itu.

"Bagus. Aku masih sibuk, hubungi aku nanti," kata Alfred.

Alfred lari sekarang menuju ke sawah tebu. Hari mulai gelap ketika mereka saling kejar mengejar. Kini ketiganya saling kejar mengejar dalam kegelapan. Arci hanya mengandalkan pendengarannya saja ketika mengejar Alfred dan Ghea.

DOR! DOR!

Dua kali Alfred menembak ke arah ngawur. Hal itu malah menyebabkan Ghea dan Arci tahu di mana posisinya sekarang berada. Suara gesekan daun-daun tebu saling bersahutan. Alfred terus berlari hingga ia terjatuh. Tak jauh dari posisinya terjatuh tampak Arci sudah ada di belakangnya. Ghea juga sudah ada di belakangnya dan hampir saja ia menembak Alfred, tapi Alfred berbalik menyerang dan menendang tangan Ghea yang ada pistolnya. Arci mengacukan pistolnya, tapi Ghea dan Alfred terlibat perkelahian sehingga ia tak bisa membidik. Arci kemudian menyimpan pistolnya lalu menerjang Alfred.

Ghea berhasil memukul Alfred, kemudian Arci menangkap leher lelaki ini. Alfred bisa berontak dan memukul perutnya. Ghea langsung menerjang dengan mendaratkan lututnya di wajah Alfred. Seketika itu hidung Alfred patah. Darah mengalir di hidungnya. Arci kemudian menarik jas yang dikenakan oleh Alfred, kemudian tubuh Alfred di putar dan dibekap wajahnya dengan menggunakan jas tersebut. Alfred tak bisa melihat. Ghea kemudian menghantam perut Alfred hingga sepupunya ini pun tumbang.

Alfred tak berdaya. Jasnya yang menutupi wajahnya pun ditarik hingga robek oleh Arci. Dia menodongkan pistolnya ke arah Alfred.

Alfred tak bisa bergerak. Badannya sakit semua. Ia bergerak pun percuma pasti Arci akan menembaknya. Ia bahkan untuk memukul nyamuk pun tak berdaya.

"Kamu mau apa?" tanya Alfred.

"Aku ingin tahu di mana lagi tempat usaha Tommy," kata Arci.

"Hahahahahaha, kamu kira dengan menghancurkan usahanya itu akan membuat dia gentar?"

"Setidaknya demikian bukan?" kata Ghea sambil menurunkan lututnya ke leher Alfred.

"Aku hanya tertawa saja melihat kalian seperti ini. Yang satu kehilangan ayahnya, yang satu kehilangan kakaknya. Bahkan mungkin sebentar lagi wanita yang sudah engkau nikahi itu akan mati," kata Alfred.

"Apa?" Arci menempelkan pistolnya ke kepala Alfred.

"Arci, dia cuma berbohong!" kata Ghea.

"Kamu kira aku berbohong? Hahahaha, ketahuilah seorang pembunuh nomor wahid sedang berusaha untuk membunuh Andini. Mungkin sekarang kamu sudah terlambat. Perang gerilya yang kalian lakukan hanya sia-sia saja," kata Alfred.

Arci pun menarik pelatuknya tepat di kepala Alfred.

DOR!DOR!DOR!DOR!DOR!DOR!DOR!

Dia menghabiskan seluruh isi magazinenya. Ghea langsung berdiri. Ia tak pernah melihat Arci semarah ini sebelumnya.

"Andini, Ghea, kamu tahu di mana dia?" tanya Arci.

Ghea menggeleng. "Aku tak tahu."

Arci kemudian merogoh saku Alfred. Dia melihat siapa yang baru saja menghubungi Alfred. Kemudian dia menelpon nomor tersebut. Nomor itu pun diangkat.

"Halo?" sapa Arci. "Kalian di mana?"

"Kami ada di daerah Lawang," kata orang di telepon itu.

"Andini ada di mana?" tanya Arci.

"Ada di perkampungan di daerah Lawang. Ikuti saja perumahan yang ada di Argobimo, terus naik. Kami mendapati Lian ada di sana. Kalau ada Lian berarti pasti ada Andini."

"Baiklah, bagus," kata Arci.

"Oke, bos," kata orang itu tanpa sadar kalau yang sedang diajak bicara adalah Arci.

"Kita ke Lawang. Menyelamatkan Andini!" kata Arci.


Kani, dikenal sebagai seorang pembunuh bayaran. Dia tak banyak bicara. Kebiasaannya ia selalu membawa coklat ke mana-mana. Dan kalau stoknya habis ia akan beli berbungkus-bungkus coklat. Ia memang suka coklat sejak kecil. Hidup Kani sejak kecil sangat keras. Dia hidup di jalanan, makan terkadang harus mengais sampah. Orang tuanya? Orang tuanya sudah tiada. Ia anak yatim piatu yang kabur dari panti asuhan. Ketika hidup di jalanan dan menggelandang itulah dia belajar kerasnya kehidupan. Hingga suatu ketika Kani terlibat perkelahian. Ia cukup beruntung ketika itu perkelahiannya dilihat oleh Tommy. Tommy saat itu sedang mencari orang-orang yang bisa ia jadikan tukang pukul. Melihat Kani sedang terlibat perkelahian Tommy tertarik untuk melihat.

Kani berusaha keras untuk tetap berdiri sekalipun lawannya banyak. Perkelahian mereka sebenarnya sepele, masalah lapak. Kani dikeroyok oleh beberapa orang anak remaja, tapi dia melawan balik. Saling pukul, saling tendang. Kerasnya hidup sudah ia rasakan sejak lama. Kani berhasil menghajar mereka semua hingga terkapar. Dia melawan mereka semua seorang diri dan masih hidup.

"Hahahaha, bagus. Siapa namamu nak?" tanya Tommy yang mengejutkannya.

Kani yang babak belur itu pun menjawab, "Aku Kani."

"Kau mau aku latih biar menjadi lebih kuat?" ajak Tommy.

Kani tak mengerti apa-apa. Tapi mendengar kata lebih kuat ia pun tertarik.

"Tak usah khawatir aku akan berikan apapun yang kamu mau. Asalkan kamu mau menjadi bawahanku," kata Tommy.

Mengingat-ingat masa lalu, itulah yang dilakukan Kani sekarang. Ia menjadi orang yang sangat loyal kepada Tommy. Semua telah diberikan oleh Tommy kepadanya. Semuanya. Dia juga diajarkan cara untuk membunuh orang dan sekarang menjadi seorang assasin. Dia bersama tiga orang rekannya yaitu Baek, Tina dan Ungi mereka menjadi tukang pukul yang sangat berbahaya.

Beberapa orang anak buahnya sekarang sedang berada di dekatnya. Mereka melihat sebuah rumah yang menyendiri. Kani masih melihat-lihat keadaan.

"Alfred barusan menelpon bertanya di mana kita berada," kata salah seorang anak buahnya.

"Baguslah kalau begitu. Kita tangkap mereka lalu kita tanya kepada Alfred enaknya diapain mereka," kata Kani. "Bergerak!"

Anak buah Kani yang jumlahnya belasan itu mulai mengepung rumah. Kani pun ikut serta. Sementara itu Andini yang berada di dalam rumah sedang membaca-baca buku. Dia menemani Putri yang saat itu sedang belajar.

"Tadi ibu pergi ke pasar beli apa aja?" tanya Andini.

"Nggak tahu, pokoknya banyak banget belanjanya," jawab Putri. "Kenapa kak?"

"Perasaanku tak enak malam ini," jawab Andini.

Lian dari dapur membawa makanan kecil kemudian ikut nimbrung. "Tak enak bagaimana Din?"

"Entahlah, rasanya ada sesuatu yang akan terjadi," jawab Andini.

"Kamu masih kangen sama Arci? Kita semua kangen," kata Lian.

"Bukan itu...," Andini tersenyum. "Lainnya."

TOK! TOK! TOK!

Terdengar suara pintu diketuk. Andini dan Lian saling berpandangan.

"Siapa malam-malam begini?" gumam Lian, ia beranjak.

"Tunggu!" kata Andini. "Ibu sudah kunci pintu?"

"Sudah, ibu mau lihat dulu," kata Lian.

"Andini, kau di dalam? Keluarlah! Ada yang ingin bertemu!" kata orang itu.

Lian dan Andini pun merinding.

"Mereka tahu di mana kita!" kata Andini.

"Jangan-jangan mereka membuntuti ibu ketika belanja tadi," ujar Lian.

"Aduh, mana mama dan papa sedang pergi. Gimana ini?" tanya Andini.

Putri tampak ketakutan. Lian segera memeluknya dan mencoba menenangkan gadis kecil itu. Andini segera menyeret sofa dan meja.

"Ibu, bantu saya. Kita tahan mereka agar tidak masuk," ujar Andini.

Lian pun segera membantu Andini menggeser meja untuk membuat barikade. Terdengar suara ribut-ribut di dalam membuat Kani yang saat itu sedang mengetuk pintu menjadi gusar. Ia pun menendang pintu tersebut. Tapi seperti ada yang menghalangi. Andini dan Lian menahannya. Kani menendang lagi lagi dan lagi.

"Brengsek! Lempari kaca jendelanya!" kata Kani.

PRANG!

Bebatuan pun dilempar ke arah kaca jendela rumah itu. Putri menjerit histeris. Andini dan Lian harus berjuang sendiri sekarang. Untunglah jendela mereka berteralis, bisa dipastikan tak akan ada orang yang bakal bisa masuk. Tapi itu juga mengakibatkan mereka juga tak bisa keluar.

"Pintu belakang!" seru Andini.

Lian dan Andini segera berlari ke dapur. Di sana mereka pun berusaha menyeret meja makan untuk mengganjal pintu. Mereka benar-benar diterror. Dan puncaknya, salah seorang anak buah Kani melemparkan bom molotov ke atap rumah.

"Kalau kamu tidak keluar, maka bersiaplah untuk terbakar!" kata Kani.

Api mulai membakar merembet kemana-mana. Putri mulai menangis. Lian berusaha menenangkan anaknya itu. Andini berjalan ke arah sekering listrik kemudian mematikannya. Seketika itu semua lampu mati. Andini bukan seorang gadis yang bodoh, penakut ataupun lemah. Dia pintar, pemberani dan kuat. Maka dari itulah Andini kemudian mondar-mandir mencari sesuatu. Dan ia pun akhirnya menemukan sebuah linggis, tapi linggis terlalu berat. Akhirnya ia menemukan sebuah pemukul kasur. Sekalipun terbuat dari rotan, tapi kalau buat gebukin orang akan sangat terasa.

"Kita harus bertahan, tak ada jalan lain," ujar Andini.

Lian pun ke dapur mengambil pisau. Mereka benar-benar tak tahu harus apa kecuali satu hal yang ada di benak mereka. Bertahan.


WROOOOOMMM! CKIIIITTT! BRAAAKK! DOR! DOR! DOR!

Terdengar suara yang heboh di luar sana. Andini dan Lian saling berpandangan. Saat itu Arci menabrak mobil Kani yang terparkir tak jauh dari tempat itu. Melihat api yang tersulut dari kejauhan membuat Arci segera mengambil kesimpulan di sanalah tempat Andini berada. Ghea segera melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju ke arah itu. Ketika melihat banyak orang mengepung rumah sambil melemparkan bom molotov Arci menyuruh Ghea menabrak sebuah mobil, lalu mereka berdua menembaki orang-orang Kani.

Kani dan anak buahnya yang diserang seperti itu tentu saja kaget. Mereka segera berhamburan dan membalas. Terjadi tembak-menembak. Beberapa anak buahnya tumbang karena keahlian Ghea lebih baik ketika menembak. Kani dan Arci saling menembak, mereka pun kemudian kehabisan peluru, langsung saja keduanya saling menerjang dan bergelut. Mereka berguling-guling di tanah yang berumput serta masih ada beberapa tanaman liar. Arci dan Kani mereka berdua saling memukul, menangkis, menendang, menghindar dan mencoba menangkap tangan lawannya. Gaya bertarung Arci benar-benar menggunakan segala kesempatan untuk menyerang dengan cara mematikan.

Kejutan mungkin bagi Arci karena mereka berdua memiliki gaya bertarung yang sama.

"Terkejut? Kita sama-sama diajari oleh keluarga Zenedine, kita punya gaya bertarung yang sama," kata Kani.

Kani memukul Arci, Arci menangkis ia dengan cepat segera menyerang leher Kani. Tapi kani mengetahui cara Arci menyerang maka dia menangkap tangan Arci. Pemuda ini kemudian memakai kakinya untuk menendang betis Kani. Arci lalu menangkap tangan kanan Kani dan membantingnya. Ia kemudian mencekik leher Kani. Kani mendorong Arci dengan kakinya.

Arci mengambil pisau yang ada di pinggangnya. Kani juga mengambil pisau. Keduanya kini saling bertarung dengan pisau. Sementara itu Ghea berhasil melumpuhkan semua anak buah Kani. Dia lalu berteriak, "Andini, keluarlah! Ada Arci di sini! Kalian aman!"

Mendengar teriakan Ghea Andini sangat senang sekali. Ia akan keluar tapi api sudah membakar rumah bagian depannya. Akhirnya mereka keluar lewat pintu belakang. Ghea melihat mereka keluar dari kobaran api. Segera ia menolong Andini, Lian dan Putri. Ghea melihat wajah Andini, ada rasa cemburu di dadanya ketika melihat Andini saat itu. Ia jadi tahu sekarang bahwa dia akan sangat kalah kalau harus berjuang untuk mendapatkan cinta dari seorang Arci. Andini lebih cantik dari dia, Andini lebih feminim dari dia. Entah kenapa ia berkaca-kaca saat itu, ia membuang mukanya agar tak diketahui oleh Andini bahwa dia hampir saja menangis.

Ghea kemudian menunjuk ke sebuah arah di mana Arci dan Kani sedang bergelut. Kani menyayatkan pisaunya ke lengan Arci. Arci pun membalasnya. Mereka saling menyabetkan pisau, kadang kena kadang tidak. Hingga kemudian sebuah kesempatan Kani tidak melihat tempat ia berpijak sehingga ia jatuh, Arci kemudian menuburuknya dan menangkap tangan kanan Kani. Dipukul-pukulkan tangan itu hingga pisaunya terlepas setelah itu Arci menghunuskan pisaunya ke dada Kani. Kani menahannya. Ia berusaha agar Arci tidak menusukkan pisau itu ke dadanya. Tapi Arci menggigit tangan Kani. Sang Assasin itu sekarang menjerit dan di saat ia merasakan sakit yang amat sangat saat itulah pisau itu pun menembus dadanya. Paru-parunya robek darah masuk ke sana kemudian keluar dari mulutnya. Tatapan mata Kani tampak membelalak seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan. Arci kemudian berguling ke samping. Nafasnya terengah-engah. Saat itulah Andini, Lian, Ghea dan Putri menghampirinya.

"Sayangku, Cici...kamu tak apa-apa?" Andini langsung menghampiri Arci yang sedang kelelahan.

Arci langsung bangkit dan memeluknya. Air mata Andini tak bisa dibendung lagi. Sementara itu Ghea memalingkan wajahnya. Ia tak kuat melihat pemandangan ini.

"Aku datang sayangku, aku datang," kata Arci.

"Iya, aku tahu kamu pasti datang, aku tahu," ujar Andini.

Malam yang mulai larut. Rumah tempat persembunyian mereka terbakar. Api yang makin membesar itu pun menjadi sebuah saksi bisu bagaimana kedua kekasih akhirnya bisa bertemu lagi.

* * * ​

"Kamu bisa tinggal di sini," kata Rahma.

Rahma menerima rombongan Arci dan yang lainnya. Usulan ke tempat Rahma sebenarnya datang dari Arci. Karena Andini dan yang lainnya sudah berpindah-pindah selama dua bulan ini. Rahma tahu apa yang terjadi dengan mereka semua. Maka dari itulah ia mau menolong mereka semua.

"Makasih ya Ma?" kata Andini.

"Nggak apa-apa bu," jawab Rahma.

"Nggak usah panggil bu, kamu sudah bukan sekretarisku lagi," kata Andini.

"Arci," sapa Singgih di kursi rodanya.

"Apa kabar?" tanya Arci sambil memeluk Singgih.

"Baik, makasih atas yang telah kamu lakukan. Mungkin sudah saatnya aku membalasnya," ujar Singgih.

"Aku tak tahu kalau kamu masih ingat saja ama nomorku," kata Rahma.

"Hahahaha, siapa lagi kalau bukan kamu yang bisa aku mintai tolong. Sekarang adik dan ibuku butuh istirahat, kalau boleh ada kamar kosong?" tanya Arci.

"Tentu saja. Ada satu kamar kosong di sini, maaf ya cuma satu," jawab Rahma.

"Nggak apa-apa, yang penting ibu dan Putri bisa istirahat," ucap Arci.

"Trus kalian?" tanya Rahma.

Andini dan Arci saling berpandangan. "Kami gampang, Andini bisa tidur bersama ibu dan Putri, aku di sofa saja nggak apa-apa."

"Kalau kamu nggak keberatan sih," kata Rahma.

"Aku biar nemani suamiku saja deh," kata Andini. "Ibu sama Putri segera ke kamar saja, istirahat. Lagian ini sebentar lagi subuh."

"Wah, kalau gitu aku ambilin kasur deh, ada satu kasur yang nganggur. Juga selimut," ujar Rahma.

"Ya sudah, ayo Put!" ajak Lian.

Mereka akhirnya istirahat di rumahnya Rahma. Rumahnya sederhana. Setelah menikah Rahma tinggal pisah dengan orang tuanya. Diberhentikan dari perusahaan PT Evolus sebenarnya juga berat. Tapi Rahma cukup lega, karena ia sekarang bisa usaha sendiri dengan menjahit dan bekerja seadanya. Ia cukup bahagia karena bersama Singgih, lelaki yang dicintainya. Melihat keadaan Arci yang sekarang ia merasa ironis sekali. Seseorang yang seharusnya mendapatkan kebahagiaan yaitu kekayaan dari ayahnya, malah sekarang harus berjibaku dengan maut.

Andini dengan telaten merawat Arci malam itu.

"Untung cuma tergores saja," ujar Andini.

Arci membelai pipi istrinya, "Aku sangat merindukanmu."

"Aku juga," jawab Andini. "Dibuka bajunya!"

Arci kemudian membuka kemejanya. Andini tampak terkejut. Ia melihat banyak luka di tubuh suaminya. Ia pun mengusap bekas-bekas luka itu. Ia pun menutup mulutnya.

"Ini...., oh sayangku apa yang terjadi denganmu? Kenapa semua bisa terjadi seperti ini?" tanya Andini.

"Ceritanya panjang... aku tahu siapa yang telah melakukan ini semua. Aku pun melihat Safira tewas di depan mataku. Dan luka-luka ini adalah ulah mereka. Sungguh aku merasa akan kehilangan kamu, aku tak mau kehilangan orang yang aku cintai lagi," kata Arci.

"Ceritakanlah kepadaku semuanya, aku istrimu. Aku akan lakukan apapun untukmu. Aku juga merasa kehilangan kamu... Sayangku...jangan pergi lagi ya?"

"Aku tak bisa janji."

"Kamu harus bisa!"

"Boleh aku minta satu ciuman? Karena aku belum menciummu semenjak terakhir kali aku bertemu."

"Kamu minta ribuan ciuman pun aku akan berikan."

Andini langsung mendaratkan bibirnya. Arci dan Andini pun berciuman hangat. Arci seolah-olah tak pernah merasakan ciuman seperti ini sebelumnya. Semua perasaan cinta dan kerinduannya pun akhirnya tercurah di sini.

Mungkin hanya seseorang saja yang menangis dalam kesedihan malam itu. Ghea. Dia masih berada di mobil. Menangisi dirinya sendiri.

"Cinta itu rasanya sakit..." jerit Ghea di dalam hatinya.


0 Response to "I Love You Episode 25"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel